“KOMISI 3 = KOMISI 86”
*Yoyarib Mau
Dipengujung
tahun 2015 anggota DPR RI Herman Herry Komisi III yang menangani hukum dan HAM,
Herman Herry (HH) melakukan tindakan kekerasan non fisik dengan melakukan makian
dan umpatan via telpon terhadap AKBP Albert Neno, perwira polri yang bertugas
di Polda NTT. kasus makian ini dilakukan jelang malam perayaan Natal merupakan
protes dari HH karena telah dilakukannya penggerebekan dan penyitaan minuman
keras di Cafe milik HH, kemudian sang perwira melaporkan kasus ini ke Polda NTT,
namun langkah hukum ini sambar balik oleh
HH selaku mitra penegak hukum mengancam balik sang perwira untuk
melaporkan sang perwira ke Propam Mabes Polri dengan ancaman akan dicopot.
Kasus
ini kemudian dilimpahkan ke Bareskrim Polri oleh Kapolda NTT dan korban untuk
ditangani lebih lanjut, awalnya HH membantah bahwa bukan dirinya yang melakukan
makian, namun kemudian HH meminta maaf ke Albert Neno (AN), namun AN berharap
kasus hukum tetap diproses oleh Mabes Polri, tidak lama kemudian Kapolda NTT
Brigjen Pol. Drs. Endang Sunjaya dipindah tugaskan, apakah karena buntut kasus
yang melibatkan HH atau karena bersamaan waktu.
Mengawali
tahun 2016 teman HH yang juga Komisi III Masinton Pasaribu (MP) dilaporkan oleh staf ahli DPR RI Dita
Aditia Ismawati karena diduga melakukan tindak kekerasan dengan melakukan
pemukulan terhadap dirinya. Kasus pemukulan ini telah dilaporkan ke Bareskrim
Mabes Polri, namun laporan yang dilakukan oleh korban Dita Aditia (DA) tersebut
berbeda dengan pengakuan MP, MP mengatakan bahwa karena DA histeris dan mabuk serta hendak merebut stir mobil sehingga mobil
oleng, kemudian sang sopir menepis tangan DA mengakibatkan wajah DA terpukul.
Kasus ini telah dilaporkan ke Kabareskim dan sedang dilakukan pendalaman.
Kedua
kasus ini memiliki kemiripan yang hampir persis, karena dialami oleh sesama
anggota Komisi III. Ada alasan yang sama bahwa, hal tersebut dilakukan oleh
staf mereka yang lain, sedangkan penggakuan dari kedua korban jika kekerasan
yang diderita, masing-masing akibat dilakukan oleh kedua anggota DPR RI Komisi
III Fraksi PDI-P. Yang membedakan dari kedua kasus ini adalah HH mengakui
perbuatannya serta meminta maaf kepada AN, dan kasus ini belum diketahui kemana
ujungnnya walaupun telah melampaui waktu P-21. Sedangkan yang menimpa DA
Bareskrim Mabes Polri masih melakukan penyusutan dan kasus ini terus bergulir
belum diketahui hendak kemana ujungnya. Kedua kasus ini dilakukan pelaporan ke
kepolisian untuk mendapatkan kepastian hukum, sedangkan pelaporan yang
dilakukan ke MKD juga dilakukan untuk melakukan penegakan etika terhadap kedua
anggota Komisi III yang diduga terlibat.
Menarik
dari penegakan etika yang dilakukan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) atas kedua
kasus yang menimpa kedua anggota Komisi III ini, dugaan pelanggara etik yang
diduga dilakukan oleh HH dihentikan oleh
MKD dengan alasan tidak memenuhi unsur verifikasi dari pelapor dan data-data
tidak jelas kelengkapannya. Sedangkan kasus yang menimpa MP tidak langsung di
tangani oleh MKD karena di tangani oleh penegak hukum, dan juga MKD sedang
melakukan penyelidikan dengan tetap menggandeng kepolisian dalam penyelidikan
kasus ini.
Dari
kedua kasus ini berbeda dengan kasus Setya Novanto, yang mengalami tekanan
publik yang luar biasa sehingga proses penanganan yang dilakukan oleh MKD
berlangsung cukup cepat dan dapat disaksikan secara terbuka oleh publik. Kedua
anggota Komisi III yakni HH dan MP tidak
terlepas dari pantauan publik namun animo publik melemah karena vonis pelanggaran
etika oleh MKD tidak memenuhi ekspektasi publik. Sehinga kedua kasus yang
melibatkan HH dan MP sepertinya tidak mendapatkan dukungan penuh dari publik.
Kondisi
ini kemudian menghadirkan pertanyaan kepada publik bahwa, Apakah kedua anggota
Komisi III yang memiliki mitra kerja dengan kepolisian, tidak dapat dipercepat
pemeriksaan terhadap mereka hanya karena mereka bermitra ? selanjutnya apakah
MKD dalam proses menegakan etika haruskah dilakukan sama seperti menegakan
hukum ? Meminjam pemahaman Ilmu Pengetahuan Alam akan istilah “simbiosis mutualis” yang memilki arti
hubungan antara dua jenis makhluk (baca : lembaga) yang berbeda tetapi saling
menguntungkan, contoh hubungan antara lebah dan bunga, dimana lebah diuntungkan
mendapat madu dan bunga diuntungkan dalam proses penyerbukan.
Keberadaan
Komisi III yang berrmitra dengan Kepolisian dan Kejaksaan dapat menyebabkan
hubungan simbiosis mutualis ini dapat memberikan peluang bagi proses simbiosis mutualis ini terjadi.
Bagaimana tidak jika pengakuan terkini
dari kasus HH yang terlihat mengendap dan melewati waktu P-21
karena kemungkinan kepolisian memberikan kesembatan untuk menunggu
negosiasi antara HH dan AN untuk berdamai, dimana AN menarik atau mencabut
laporannya. Berdasarkan pengakuan AN di Mapolda NTT bahwa dirinya didatangi
oleh orang suruhan HH dengan menawarkan sejumah uang bahkan jabatan asal AN
mencabut laporannya (Harian Umum Victory News 16-02-2016).
Jika
hal ini benar bahwa jabatan bisa diberikan kepada seorang AN sebagai perwira
polisi, maka benarlah bahwa keberadaan Komisi III dan Kepolisan serta juga
Kejaksaan dilain kesempatan, dapat melakukan hubungan “simbiosis mutualis”. Karena kewenangan sebagai legislatif yakni
fungsi pengawasan dimana dapat memanggil pihak kepolisian dan juga kejaksaan
untuk diminta pertanggung jawaban, bahkan mereka dapat melakukan pemboikotan
anggaran bagi dua lembaga mitra tersebut dengan memanfaatkan fungsi budgeting
yang mereka miliki. Indikasi ini juga bisa memberikan kebenaran bahwa ada
pembenaran bagi pencopotan Kapolda NTT dalam waktu yang bersamaan dengan kasus
yang melibatkan HH, karena hubungan simbiosis mutualis yang dimiliki antara
Komisi III dan Lembaga Penegak Hukum.
Ketidakyakinan
akan penegakan hukum dapat memberikan rasa keadilan bagi warga negara atas
kasus MP dan DA, rasa keadilan hanyalah
angan bagi korban yang jelas – jelas mengalami kekerasan fisik. Jika penegakan
hukum oleh pihak penegak hukum dengan pendekatan simbiosis mutualis, maka akan
menciptakan budaya “bar-bar” bagi masyarakat, karena rakyat bisa menerima
perlakuan kekerasan dari para anggota dewan terhormat, khususnya Komisi III,
rakyat tidak berdaya untuk mendapatkan kepastian hukum, karena rakyat dalam
ketidakberdayaan tersandera oleh permintaan maaf dari pelaku dengan iming
ataupun imbalan tertentu, akhirnya akan terbangun doktrin yang tidak tertulis
namun berlaku mutlak bagi Komisi III, bahwa mereka telah dijamin dengan hak
prerogatif dari pihak penegak hukum (lex specialis derogat legi generalis)
yakni kekhususan hak “immunities”
atau kekebalan hukum.
Para
anggota Komisi III juga akan bebas dari
tuntutan MKD kalau proses penegakan etika menanti penetapan Kepolisian, padahal
substansi penegakan hukum dan etika adalah dua persepsi yang berbeda, persepsi
etika tidak di dasarkan pada pasal-pasal hukum, tetapi etika lebih pada
pertimbangan perilaku yang berdasar pada baik-buruk, tata-krama dan
pertimbangan kemanusiaan. Jika MKD membasiskan keputusan penegakan etika pada
pasal-pasal hukum dengan menunggu hasil proses penyelidikan oleh pihak
kepolisian, maka benarlah apa yang terbangun dalam opini masyarakat bahwa jika
kasus anggota DPR RI ditangani oleh penegak hukum dalam hal ini kepolisian,
akhirnya adalah akan terselesaikan dengan kode 86.
*Pengamat
Sosial - Politik