“DUALISME PERAYAAN HARI RAYA”
*Yoyarib Mau
Perayaan lebaran Idulfitri 1430 H diantara suka dan duka, antara berkat dn bencana, perayaan dirayakan oleh mereka yang mengucapkan Alhamdulilah tetapi juga ada yang harus rela merayakan dengan berucap Astagfirullah. Idulfitri kali ini akan dirayakan pada 21-22 September 2009, perayaan menjadi dilematis karena ada yang dalam kondisi berbahagia menyambut perayaan hari raya, namun ada yang tidak beruntung tatkala lebaran akan tiba seperti yang dialami sejumlah masyarakat di Jawa Barat akibat gempa bumi yang merupakan kekuasaan alam semesta yang tak bisa dibendung.
Namun semua berkeinginan penuh untuk merayakan Idulfitri dengan berucap Alhamdulilah karena merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa menahan segala hawa nafsu. Kerinduan untuk merayakan hari lebaran merupakan niat mulia dari semua pemeluk agama Islam guna bersilaturahmi bersama keluarga, orang tua, tetangga dan masyarakat sekitarnya. Interaksi keagamaan inilah mendorong terciptanya tradisi mudik, namun yang menjadi kendala adalah jika mudik menjadi sebuah keharusan maka pemudik harus memiliki sejumlah rupiah untuk bisa mudik karena menyangkut biaya transportasi, zakat dan alokasi santunan bagi kaum duafa.
Bagi Pekerja Swasta dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) ataupun Militer bahkan lembaga, institusi atau usaha atau bisnis apapun yang mempekerjakan orang lain ada keharusan yang mengatur bagi pekerja swasta dan negeri guna mendapatkan tunjangan hari raya yang lebih dikenal dengan sebutan THR Keagamaan, tidak hanya itu tetapi pada level rekanan kerja atau bisnis bahkan guna menjalin hubungan antar umat beragama maka masing-masing membangun hubungan baik tesebut dengan klien atau kenalannya tidak hanya kartu ucapan, sejumlah ucapan melalui pesan elektronik maupun jaringan social terkini seperti facebook dengan ada persiapan “parcel-parcel” yang dikirimkan kepada klien-kliennya, semuanya merupakan ornament-ornament untuk mensemarakan nuansa lebaran.
Maka berbahagialah mereka sebagai pekerja tetap namun tangisan bagi mereka yang hanya bekerja sebagai tenaga harian, penjual koran, tukang parkiran, memiliki strategi tertentu guna mendapatkan sejumlah uang guna turut melakukan perayaan hari raya motif yang di lakuka adalah menyertakan amlop yang berisi surat dan ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu yang dikenal karena layanan jasa yang dilakukan dan yang paling menyedihkan adalah mereka yang mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), pengemis jalanan ataupun pengamen jalanan mereka sering dikategorikan sebagai kaum miskin kota, kaum marginal dan berbagai label miring lainnya.
Kaum marginal pun memiliki hak yang sama untuk merayakan hari raya tanpa ada pembatasan karena hal ini menyangkut masalah keyakinan yang dianutnya, sehingga mereka pun berusaha dengan pola tertentu guna bisa memperoleh biaya guna merayakan hari raya, Untuk menjawab kerinduan tersebut mereka harus berada di sejumlah lampu merah, sejumlah tempat perhentian busway, sejumlah jembatan penyeberangan guna mendapatkan belas kasihan dengan satu tujuan dapat merayakan hari raya. Namun pertanyaan yang menarik guna perenungan yakni “bagaimana kelompok miskin ini turut mensemarakan hari raya terutama hari raya lebaran yang akan dirayakan pada 21-22 September 2009 nanti”?
Padahal ada aturan konstitusi negara kita yakni UUD 1945 pasal 34 mengatur kewajiban negara yakni “fakir miskin dan dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara“ namun realitas yang terjadi adalah layanan yang harus dilakukan oleh negara tidak berdampak bagi kaum marginal, malah semakin hari semakin bertambah. tetapi kenyataannya jaminan pengamanan social yang seharusnya dilakukan oleh negara bagi kaum miskin tak kunjung tercapai. Dan ini menunjukan negara gagal mengatasi permaslahan ini.
Sehingga sudah barang tertentu manusia sebagai makhluk social “homo homoni socius” dalam melakukan interaksi social memaknai nilai kehidupan yakni berbagi kasih dengan orang lain, walau beresiko bagi pemberi sedekah namun naluri kemanusiaan hadir guna membawa keluar mereka yang bergelut dengan kesulitan dan kemiskinan guna dapat terbersit senyuman sukacita dalam merayakan hari raya.
Namun berbahaya bagi masyarakat atau kelompok masyarakat yang memiliki empati dengan kaum miskin dan mau melakukan amal ibadahnya dengan berbagi dengan kaum marginal namun di DKI Jakarta hal ini menuai bencana yakni 12 warga di tangkap karena memberi sedekah bagi para pengemis (Kompas 3/9/2009) tindakan ini dinilai telah melanggar Perda 08 tahun 2007 tentang “Ketertiban Umum”.
Kasus ini kemudian penulis merefleksikan bahwa adanya dualisme dalam merayakan hari raya , ada sebagian yang melakukan kebenaran mau menolong orang guna melakukan amal tetapi malah menuai bencana, membantu sesama adalah bentuk kepedulian social sebagai makhluk social dan bentuk asli dari budaya Indonesia. Jika para koruptor mengirimkan paket bingkisan lebaran dalam bentuk parcel kepada para pejabat penegak hukum atau pejabat pemerintah untuk meloloskan dan memuluskan proposal atau “tender” proyek yang sedang di ajukan tidak dikenakan hukuman atau di tangkap, mungkinkah karena mereka berdasi dan menduduki kelas social yang lebih terhormat?
Jika alasan nya adalah menggangu ketertiban umum? manakah yang lebih baik mengambil uang rakyat dengan pola korupsi dan kolusi untuk memperkaya diri sendiri, padahal uang itu merupakan hak rakyat untuk menikmati pembangunan yang bertujuan mensejahterakan rakyat sehingga rakyat tidak mengemis di jalanan. Realitas yang terjadi hanya karena dengan pakiannya yang kumal dan sobek berdasarkan perspektif keindahan menurut versi pemerintah hal ini menggangu ketertiban umum.
Kondisi rakyat miskin hadir semestinya kegagalan pemerintah menjalankan UUD – 1945 karena tidak memelihara fakir miskin dan anak terlantar, sehingga masyarakat luas berempati dengan kondisi ini malah di tangkap hal ini telah menjungkir balikan rasio berpikir yang benar.
Kondisi lain yang menjadi sorotan penulis terhadap pemerintah dalam memberlakukan aturan yang membatasi masyarakat melakukan atau memberikan bantuan bagi kaum miskin di jalanan kemungkinan berkeinginan untuk mendorong proses memberi zakat atau memberi bantuan melalui lembaga pemerintah seperti BAZARNAS di tingkat Pusat yang dikelola oleh Departemen Agama dan badan yang sama pula yang ada di daerah, apriori masyarakat terhadap mental korupsi dan tidaknya transparansi dalam tubuh birokrasi membuat masyarakat berkeinginan agar apa yang mereka berikan lebih baik dinikmati secara langsung oleh mereka yang layak menerima dan kepuasan emosional langsung dinikmati oleh masyarakat yang berkeinginan memberi.
*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar