“Demokrasi Semu di Indonesia”
Berdasarkan Pemikiran
“Issues dan Methods in Comparative Poliytics”
Todd Landman
Ringkasan :
Topik pembahasan dalam artikel ini diawali dengan pertanyaan mengapa perlu ada perbandingan, perbandingan adalah aktifitas yang alami dari manusia tentang bentuk – bentuk yang dapat dijadikan perbandingan di sebuah wilayah, atau negara lain bentuk-bentuk yang dapat dijadikan perbandingan antara lain; etnik, bahasa, agama, keluarga, budaya. dan juga identitas lain yang tampak atau kelihatan seperti; keadaan ekonomi, dan keadaan sosial politik.
Obyek pertama dari perbandingan politik adalah sebuah proses gambaran fenomena politik dan peristiwa istimewa yang terjadi di sebuah negara atau kelompok negara. Dalam tradisi ilmu politik, obyek dari perbandingan politik tampak berbeda dalam penelitian guna mencapai pemahaman yang sederhana perbandingan sering tidak sama dalam melakukan pengelompokan konsep untuk sejumlah negara karena sistim politik dan juga peristiwa tertentu di negara lain.
Penggolongan bisa di terjadi karena dikotomi sederhana seperti otoriter dan demokrasi atau ada lagi tipologi yang kompleks yakni rezim dan sistem pemerintahan. Karya terkenal sebagian diklasifikasikan dengan menghadirkan Aristotle’s Politics dengan menetapkan enam tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles, enam bentuk kekuasaan tersebut antara lain; Monarkhi, Aristokrasi, Pemerintahan Negara/Masyarakat, Tirani, Oligarki dan Demokrasi.
Ada klasifikasi lain yang diberikan oleh Finer’s (1997 – Sejarah Pemerintahan) yang mana bentuk kalsifikasi ini sudah ada sejak zaman kuno. Samuel Finer menyimpulkan empat tipe dasar yakni: Pemerintahan Kerajaan /Istana, Pemerintahan Gereja /Agama, Pemerintahan Kaum bangsawan/Ningrat, Pemerintahan Majelis/Musyawarah.
Setiap tipe memiliki perbedaan yang alami dari setiap keputusan pengelolaannya; pertama, Pemerintahan oleh kerajaan/istana, penetapan kebijakan hanya bersedia pada satu individu (raja/ratu), kedua; Pemerintahan oleh Agama/Gereja memiliki peranan penting jika ada masalah yang eklusif, gereja atau agama berhak mengatakan sesuatu sebagai sebuah kebijakan, ketiga; Pemerintahan oleh Bangsawan/Ningrat dalam satu wilayah masyarakat yang memiliki keunggulan tertentu yang kuat dan memberi pengaruh dalam penetapan kebijakan, keempat; Pemerintahan oleh Majelis/Musyawarah mereka mendapatkan hak yang dianugerahan kepada penguasa-penguasa yang di sebut majelisoleh pimpinan-pimpinan masyarakat bawah.
Dari pembahasan perbandingan politik diatas untuk mengakhiri pembahsan ini dibutuhkan term umum yang dapat digunakan oleh ilmu sosial dan seluruh pelaku politik guna melakukan pendekatan ilmiah untuk menemukan teori dan metode melalui pendekatan ontologis, epistimologis dan methodologis, hasil pendekatan ini menghasilkan dua tipe dasar dari teori ilmu politik kedua teori itu adalah teori normatif dan teori empirical.
Teori Normatif : secara spesifik bagaimana sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat memberi hasil dan memiliki makna filosofis. Sedangkan Teori Empiris mencari guna menemukan penyebab hubungan antara dua atau lebih konsep sebagai suatu upaya untuk menjelaskan kejadian dari observasi fenomena politik.
Tanggapan :
Jika teori empiris dan dan normatif, apabila membandingkan politik di Indonesia sangat menarik untuk melakukan kajian berdasarkan dua teori diatas yakni teori normatif dan teori empiris. Indonesia menerapkan tipe kekuasaan yang diberikan oleh Aristoteles yakni bentuk Demokrasi di pasca reformasi indikatornya adalah proses pemilihan kepala negara maupun kepala daerah baik di tingkat Provinsi, kabupaten bahkan kota di pilih secara langsung oleh rakyat yakni “one man one vote”.
Namun apabila penerapan teori normatif maka semua kapala daerah di seluruh wilayah Indonesia harus menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung tanpa ada pengecualian, kenyataan bahwa Indonesia memberikan pengecualian bagi salah satu Provinsi yakni Yogyakarta dimana Kepala Daerah lagsung oleh bangswan atau kraton, hal ini jika di hubungkan dengan pemikiran Samuel Finer yang mengklasifikasikan empat tipe dasar pemerintahan yakni pemerintahan oleh Bangsawan atau Ningrat, hal ini menjadi fenomena menarik sebelum pemilu president di mana Sri Sultan Hamengkubuwono XI sbagai pemangku dan kepala pemerintahan Yoyakarta berkeinginan untuk mengajukan diri sebagai Calon President. Fenomena ini membuat gejolak dalam masyarakat di mana akan ada kekosongan kepemimpinan di Yogyakarta.
Timbul fenomena politik dalam masyarakat dimana sebagian masyarakat tidak menginginkan agar pola pemerintahan dalam hal ini kepala pemerintahan di pilih langsung melalui pilkada, tetapi tetap menerapkan kaum bangwawan atau kraton sebagai kepala pemerintahan, namun di lain pihak sebagaian masyarakat berkehendak agar penerapan pilkada sesuai dengan semangat otonomi daerah dalam era demokrasi dapat di samakan dengan semua provinsi di tanah air.
Kontroversi ini menghasilkan dua isu mayor seperti yang di kemukan oleh SP. Varma (Teori Politik Modern – 2007) yakni; pertama; dapatkah analisa politik menjadi netral? kedua; haruskah analisa politik itu netral? Dua isu ini menjadi pertanyaan untuk melakukan perbandingan politik dalam negara Indonesia dan juga di bandingkan dengan negara lain. Dimana penerapan bentuk kekuasaan di Indonesia saat ini demokrasi tetapi tidak semua wilayah menerapkan klasifikasi pemerintahan dengan tipe pemerintahan bangsawan atau ningrat, bahkan gejolak menarik saat ini untuk melakukan penerapan klasifikasi pemerintahan agama (penerapan syarat islam di beberapa wilayah di Indonesia).
Permasalahan ini memerlukan analsa politik yang tepat guna menemukan fakta nomatif dimana posisi analisa politik atas bentuk demokrasi saat ini netral atau berdasakan bukti empiris yang ada dalam negara kita dapat menunjukan adanya persilangan penerapan bentuk atau tipe campur atau memang murni penerapan bentuk demokrasi. Namun kelihatannya Indonesia pada tingkatan Nasional murni demokrasi tetapi pada penerapan lokal atau daerah memakai penerapan berbagai tipe kalsifikasi menurut samuel Finner yang telah mengalami percampuran dan tidak lagi netral misalnya di Yogyakarta ada combinasi antara Pemerintahan Majelis (Forum) dan Pemerintahan Bangsawan (Nability) di Aceh ada combinasi Pemerintahan Majelis (Forum) tetapi juga ada Pemerintahan Agama (Church).
Apabila Indonesia dalam pemahaman ilmu politik dimana perbandingan politik Indonesia dengan negara lain pada tingkatan nasional benar menjalankan bentuk demokrasi namun pada tingkatan lokal atau daerah ada combinasi sehingga dapat di simpulkan bahwa penerapan demokrasi di Indonesia belum sepenuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar