“KABINET POLITIK IMBALAN JASA”
*Yoyarib Mau
Kekuasaan SBY mutlak dalam sistim pemerintahan presidensial pada kabinet yang di sebut SBY dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II), namun saat ini penulis lebih cenderung untuk memakai sebutan dalam tulisan ini dengan sebutan Kabinet Politik Imbalan Jasa, walaupun banyak sebutan lagi buat kabinet ini yakni kabinet politik balas budi, kabinet tukar-guling, dan juga kabinet barter, sebutan ini pasti ada sebab dan alasan yakni tiga kekuasaan dalam trias politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif ketiganya memiliki kekuasaan dan peran masing-masing namun kenyataan dalam kepemimpinan SBY saat ini hampir ketiganya di kuasai dan dikendalikan oleh SBY.
Sebutan Kabinet Politik SBY tidak menyertakan Boediono dalam sebutan ini karena tokoh sentral dalam kabinet ini hanyalah SBY, sedangkan Boediono tidak disebutkan. Hal ini tentu beralasan karena sejak penjaringan Calon Wakil President untuk mendampingi SBY, ada penekanan bahwa wapres adalah pembantu president, bukan memiliki kesejajaran yang sama. Wapres hanyalah membantu President dalam menyukseskan segala kebjakannya, dan tidak dapat memutuskan apalagi membuat kebijakan, bukan pada posisi penyeimbang seperti mengoreksi kebijakan. Posisi wapres dalam menjalankan tugas sepertinya hanyalah sebagai pemeran pengganti jika SBY berhalangan menghadiri atau melakukan aktifitasnya maka Boediono dapat menggantikannya. Guna menyelamatkan kekuasaan mungkinkah seorang SBY melakukan upaya politik dengan melakukan pembatasan secara massif dan sistematis terhadap peran legislatif, yudikatif dan eksekutif (eksekutif dalam hal ini lembaga pemerintahan, birokrasi dan BUMN serta sejumlah lembaga bentukan lainnya)?.
Pertanyaan diatas seyogianya telah dijawab oleh SBY dalam kebijakannya sejak kemenangannya namun pertanyaan ini penulis hadirkan kmbali guna memberikan arahan dalam memahami tulisan ini. tiga lembaga negara tersebut sebagai salah satu variabel penentu adanya demokrasi, bahwa demokrasi dapat terkelola dengan baik jika adanya peran yang optimal dari institusi elemen-elemen demokrasi. Samuel Huntington mengemukakan bahwa, sebuah negara demokrasi yang pelembagaan politiknya kacau dan lemah, maka akan berdampak buruk pada stabilitas (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Pendapat ini kembali ditegaskan oleh J. Mill bahwa, Semua sistem perlu dijalankan dengan ukuran yang besar oleh aturan-aturan yang pasti – oleh karena itu keberadaaan alat-alat pemerintah yang mandiri tersebut sangat dibutuhkan, untuk membentuk kemampuan tersebut dan melengkapinya dengan kesempatan serta pengalaman yang dibutuhkan bagi penilaian yang tepat bagi masalah-masalah praktis yang besar. (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Polititisasi jabatan dan peran ketiga kekuasaan pun hampir dikooptasi oleh SBY sebagaimana Legislatif saat ini diikat dalam dokument kontrak koalisi pendukung SBY – Boediono dari beberapa partai Politik sejak SBY dan Boediono mencalonkan diri untuk mengikuti pemilu President pada pemilu 2009 yang lalu, partai politik itu terdiri dari Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN dan pasca Munas Golkar yang dimenangkan oleh Aburizal Bakrie, Partai Golkar pun memilih untuk berkomitment dalam gerbong mendukung SBY – Boediono. Seluruh kursi DPR yang berjumlah 560 Kursi legislative sebagai wakil rakyat sudah seharusnya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan untuk melakukan chek and balance, namun jumlah kursi koalisi sudah mayoritas yang berjumlah 423 Kursi sudah berpihak pada kekuasaan yakni mendukung seluruh kebijakan pemerintahan SBY – Boediono, sedangkan hanya sisa 137 Kursi dari PDIP 94 Kursi, Gerindra 26, dan Hanura 17 Kursi, dari jumlah kursi antara partai pendukung dan partai oposisi sebenarnya tidak imbang dan dalam sistem demokrasi hal ini tidak sehat.
Jumlah tersebut hampir mutlak dimana PDIP pun di dekati untuk bergabung dalam koalisi SBY yang nanti nya akan mendapat jatah dalam cabinet sebagai menteri, namun proses pendekatan ini tidak mempan hanya mampu saja mempengaruhi Taufik Kiemas dan cs –nya dan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR , namun bagi Megawati beroposisi dengan memihak kepada rakyat adalah hal yang mutlak sehingga PDIP tetap sebagai oposisi.
Proses perekrutan kabinet yang di lakukan pun tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan jabatan yang di emban para menteri yang dipilih, sebagian besar di tempatkan tidak pada tempatnya dimana tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau kemampuan yang dimiliki seperti Hatta Rajasa yang berlatar belakang pendidikan tekhnik di tempatkan untuk mengurus perekonomian mungkin karena kabar yang santer berkembang bahwa Hatta Rajasa memiliki hubungan baik dengan SBY karena akan menjadi calon besan, sehingga posisi kementrian hanyalah bagi-bagi kedudukan untuk kepentingan kekeluargaan
Seandainya Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, SH yang berlatar belakang pendidikanm hanya S1 Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, apakah cukup matang dan memiliki kompetensi untuk menetapkan dan menyusun sebuah kebijakan hukum? Bagaimana hukum di Indonesia akan berkwalitas jika mereka yang ditempatkan pada posisi tersebut tidak berkompeten? Penempatan ini kelihatannya hanyalah pertimbangan politik semata seharusnya tanpa memperthatikan kemampuan dan kompetensi keilmuan yang di miliki. Pemilihan diri Patrialis Akbar mungkin karena alasan imbalan jasa atas kesediaan dirinya mewakili PAN untuk menandatangani surat keputusan KPU tentang partai-partai pengusung SBY-Boediono pada pemilu president yang lalu, yang saat itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berhalangan hadir karena sedang berobat ke luar negeri.
Padahal Hukum adalah panglima tertinggi dalam penegakan demokrasi jika posisi ini di jabat oleh seorang politisi maka akan ada tendensi keberpihakan demi kepentingan partai politik, keputusan hukum nantinya hanya akan berpihak bagi mereka yang memiliki kedekatan, hubungan emosional dan kepentingan partainya tidak berkeadilan bagi semua rakyat.
Dasar pembagian kekuasaan dan jabatan dalam membangun negara ini tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan imbalan jasa sebab, berbicara Hukum berarti bagaimana seorang pejabat menangani masalah pada satuan kerja dalam bidang hukum sehingga menurut Prof. Arief Rachman seorang begawan pendidikan ”otak dan watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif (Kompas, 31 Oktober 2009), pengetahuan profesional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang pengetahuan profesional dapat diperoleh dari pendidikan formal yang cukup dan berkompeten, dan tidak hanya itu saja tetapi pertimbangan track record juga harus menjadi bahan pertimbangan seperti; kemampuan mekanisme kerja, komunikasi, kerja tim, dan etos kerja yang baik.
Kematangan Otak atau IQ seharusnya menjadi salah satu pilar pertimbangan untuk dipilih sebagai pejabat, selain memiliki karakter mungkin saja memiliki karakter yang tepat yakni memiliki keberanian mengambil keputusan tetapi kolaborasi dari berbagai aspek sebagai modal yang sangat tepat untuk menentukan seorang pejabat.
Penekanan penulis lebih pada masalah hukum sebab hukum jika ditegakan dengan benar dan berkeadilan maka akan menciptakan aura demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyat. Karena masalah hukum yang tidak beres dalam negara ini salah satunya masalah korupsi, karena kegagalan Yudikatif menegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi sehingga terbentuk lah KPK yang dilengkapi dengan alat hukum atauUU KPK yang jelas, tetapi alat hukum yang dipakai oleh KPK di langgar oleh KPK sehingga menimbulkan ketidakstabilan dalam negara, tercipta ketidakharmonisan dalam penegakan hukum menyebabkan kekacauan dalam elemen-elemen negara.
Bahkan dengan masing-masing kewenangan dalam menafsirkan pasal-pasal hukum yang ada membuat mereka saling menjatuhkan sehingga peran pejabat hukum sangat dibutuhkan yang berkompeten sehingga tidak tumpang tindih dan memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya sehingga tecipta aturan hukum yang jelas, penegakan hukum yang tidak memihak serta memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam hukum.
Seandainya benar SBY memiliki komitment seperti yang diungkapkan dalam prosesi inaugurasinya dengan menyebutkan akan mengusung tiga hal dalam pemerintahannya saat ini yakni kesejahteraan, demokrasi dan keadilan. Dengan demikian jika mereka yang terlibat atau memiliki keterkaitan dengan masalah hukum maka demi keadilan mereka tidak dilibatkan dulu dalam pemerintahan atau penundaan pelantikan hingga ada kepastian hukum. Seperti kasus Bank Century dimana jelas-jelas ada keterkaitan dan garis koordinasi dalam permasalahan keuangan maka mereka yang ada di Kabinet Indonesia Bersatu II turut terlibat dimana ada dugaan yakni Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Gubernur Bank Indonesia.
Jika SBY memiliki komitment untuk menegakan demokrasi maka penentuan pejabat tidak berdasarkan asas imbalan jasa tetapi lebih pada kemandirian, kemampuan dan kompetensi, dengan demikian maka penegakan serta peran serta elemen-elemen pemerintahan yang optimal, akan tetapi elemen elemen ini kacau dan tak berperan dengan optimal maka tercipta kekacauan dalam negara bahkan antar lembaga negara sendiri.
*. Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI / 0806383314.
Jumat, 30 Oktober 2009
Sabtu, 17 Oktober 2009
"Revivalisasi Vs Oikoumene"
“REVIVALISASI Vs OIKOUMENE”
*Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya Gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia.
Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya.
Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tidak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesion tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, Perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesories tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini.
Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan ”besi putih” dan aksesories ini menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para birawati sering menggenakannya kemanapun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan.
Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesories ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni ”rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciri-ciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesories salib dan di salib tersbut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestant, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik.
Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesories sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesories tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu.
Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesories yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesories Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian).
Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai vairannya dan di jadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesories terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesories tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal.
Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesories telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut.
Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesories dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesories serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesories yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggab lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005).
Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesories yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai Identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesories kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Oikoumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar.
Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya.
Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besama-sama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi Gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial.
Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitas-komunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan ”musuh bersama” untuk dibasmi.
Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model oikoumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Oraginazation), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal social yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesories, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan.
Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesories lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal social guna menciptakan kehidupan Oikoumenis.
*Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekertaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bhakti 2008 – 2012.
*Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya Gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia.
Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya.
Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tidak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesion tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, Perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesories tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini.
Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan ”besi putih” dan aksesories ini menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para birawati sering menggenakannya kemanapun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan.
Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesories ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni ”rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciri-ciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesories salib dan di salib tersbut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestant, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik.
Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesories sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesories tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu.
Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesories yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesories Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian).
Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai vairannya dan di jadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesories terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesories tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal.
Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesories telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut.
Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesories dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesories serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesories yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggab lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005).
Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesories yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai Identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesories kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Oikoumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar.
Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya.
Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besama-sama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi Gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial.
Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitas-komunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan ”musuh bersama” untuk dibasmi.
Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model oikoumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Oraginazation), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal social yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesories, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan.
Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesories lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal social guna menciptakan kehidupan Oikoumenis.
*Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekertaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bhakti 2008 – 2012.
Senin, 12 Oktober 2009
"Kemanakah Arah Golkar?"
“KEMANAKAH ARAH GOLKAR”
*Yoyarib Mau
Aslinya wajah Golkar adalah hadir dari ketidakpastian, tentu ada alasan mengapa hadir dari ketidak pastian sebab sejak berdirinya Golkar sudah menunjukan jati diri bukan sebagai partai politik tetapi menggolongkan diri sebagai golongan kekaryaan, penggolongan ini mencakup tiga kelompok; kelompok nasionalis, kelompok agama, dan Golkar mengelompokan diri sebagai kelompok kekaryaan. Golkar menggolongkan diri bukan sebagai partai politik tetapi turut serta sebagai konstentan dalam pemilihan umum pada pemilu pertama pada masa orde baru 1971.
Dan selama beberapa periode pemilihan umum orde baru 1977 – 1997 Golkar sebagai pemenang mayoritas di legislatife yang walaupun proses pemenangannya melalui sikap yang represif dan dipaksaan. Menurut Daniel Daki Dae, “kemenangan yang dicapai pada pemilihan 1971 dengan seluruh kekerasan negara untuk mencapai kemenangan tersebut – teror politik terhadap para pemimpin politik, pembekuan partai-partai seperti PNI pelarangan dan terhadap didirikannya Masjumi yang disponsori Hatta, dan teror terhadap partai-partai lainny, mewajibakan pegawai negeri memilih Golkar dengan resiko akan dipecat dari pekerjaannya” (Cendikiawan dan Kekuasaan – Gramedia – 2003).
Masa reformasi runtuhnya rezim Orde baru karena Soeharto dipaksa mundur oleh kekuatan mahasiswa dan civil society lainnya, Golkar saat itu di ketuai oleh Harmoko dan juga Akbar Tanjung sebagai salah satu Menteri kabinet Orde Baru turut melakukan penolakan dengan meminta Soeharto untuk mengundurkan diri. Dikemudian hari ketika Golkar telah merias diri menjadi partai politik Akbar Tanjung membangun Golkar dengan slogan “Golkar Baru” sepertinya Golkar hadir setelah mereformasi diri dan tampil dengan semangat baru.
Alhasil pada pemilu 2004 Golkar mampu meracuni pikiran rakyat sehingga mampu meraup perolehan suara sebesar 21,58%, menempati urutan pertama, namun dalam perkembangan hingga kini hampir kader-kader partai Golkar yang pernah berada di parlement sebut saja seperti, Nurdin Halid, dan para kepala daerah seperti seperti Mantan Bupati Kutai Kartanegara Syukani, Gubernur Riau Rusli Zaenal yang diduga korupsi Rp. 439 miliar dana proyek multiyear dari APBD tahun 2001 – 2009, dan juga terlibat korupsi pemanfaatan hasil hutan (Kompas 06 Oktober 2009) dan sejumlah elit Golkar lainya tersandung masalah korupsi. Kondisi ini mengakibatkan Golkar mengalami keterpurukan dalam perolehan suara pada pemilu 2009 dimana kantong-kantong Golkar digembosi dan mengalami kehilangan konstituen yang cukup signifikan.
Permasalahan ini membuat elit Golkar yang terbagi dalam beberapa faksi dimana masing-masing membuat hipotesa bahwa kekalahan disebabkan oleh kepemimpinan partai Golkar yang rangkap jabatan sebagai Wakil President sehingga tidak memiliki waktu guna menyapa kader, sedangakan faksi yang lain mengatakan karena ketidakpastian posisi Golkar sebagai partai pemerintah, Golkar hanya sebagai bampers partai demokrat dan perilaku kader partai yang melakukan tindakan a-moral yakni korupsi dan lainnya sehingga citra buruk terbangun bagi Golkar.
Sehingga pada Munas partai Golkar yang berlangsung 05 Oktober – 08 Oktober 2009 di Pekan Baru – Riau yang telah berlalu para kandidat calon Ketua Umum Golkar seperti Aburizal Bakrie, Surya Palloh, Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, semuanya memiliki komitment untuk memajukan Golkar sebagaimana mana masa jayanya di rezim Orde Baru dengan memenangi pemilu pada tahun 2014.
Golkar sepertinya terbentuk guna berperan sebagai promotor bagi profesi kekaryaan untuk pembangunan negara seandainya ini menjadi ideology Golkar, mungkinkah Golka berperan sebagai agen pembangunan, maka masikah Golkar sebagai partai politik yang turut serta sebagai konstentan pemilihan umum?
Partai politik merupakan sarana atau alat penting dalam melakukan konsolidasi masa atau kelompok dalam sebuah negara dimana mereka dapat mengorganisir diri, berbentuk, terpola serta memiliki tujuan yang jelas. Sehingga di setiap negara idealnya ada partai politik baik itu di negara demokratis ataupun negara otoriter. Menurut Budi Winarnoyang mengulang kembali apa yang telah di tuliskan Miriam Budiardjo bahwa peranan partai politik yakni melakukan empat fungsi yakni, fungsi komunikasi, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekruitment politik, dan yang terkahir sebagai sarana pengatur konflik. (Sistem Politik Indonesia – Media Pressindo – 2008) Jika partai politik memiliki sejumlah peranan maka dalam tulisan ini penulis hanya mengutip salah satu peranan yakni, partai politik sebagai sarana sosialisasi.
Guna menjawab salah satu pertanyaan pendahuluan di atas yakni mungkinkah Golkar berperan sebagai agen pembangunan, apabila dilihat Golkar dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi maka apa program kerja Aburizal Bakrie sebagai pemenang dalam kompetisi Ketua Umum Golkar. Apa yang akan di sosialisasikan oleh Aburizal atau yang sering di sapa dengan sapaan simpel ”Ical”. Pada sambutan perdana kemenangan Ical sebagai ketua partai Golkar terpilih, beliau mengatakan bahwa ”Golkar mempersilahkan pengurusnya bergabung dengan kabinet mendatang jika diundang president terpilih” (Dodi Ambardi – Majalah Tempo Edisi 12 – 18 Oktober 2009.
Misorientasi Peran
Sambutan ini merupakan apa yang ingin disosialisakan oleh Golkar 5 tahun kedepan sehingga dapat disimpulkan dari Sambutan Ical adalah bahwa orientasi, nilai dan cita-cita Partai Golkar pada kepemimpinannya saat ini adalah begabung dalam gerbong President terpilih yang berasal dari Partai Demokrat. Dari pernyataan diatas dapat darik benang merah bahwa pidato kemenangan Ical merupakan ideologi partai Golkar saat ini, yakni mendukung pembangunan bangsa dibawah kepemimpinan.
Golkar selalu tidak pasti tidak memiliki pendirian dan ideologi yang tetap selalu berganti fleksibel sesuai kebutuhan dan kepentingan siapa yang memimpin partai, sudah barang tentu apabila Aburizal memiliki kepentingan yang sangat besar sehingga mati-matian melakukan konsolidasi di tingkat elit partai dan mampu menyatukan para elit Golkar dalam Munas sebelumnya di Bali, Agung Laksono menilikung Akbar Tanjung yang bertarung dengan Jusuf Kalla waktu itu, padahal Akbar Tanjung sebagai Guru Politik yang membesarkannya dirinya, namun Munas Pekanbaru dengan majunya Ical, pil pahit itu terasa hilang tanpa bekas. Melakukan konsolidasi dan mempengaruhi para pemilik suara dengan suatu sumber kekuatan yang mampu menundukan idealisme.
Politik Impas
Aburizal sudah barang tentu membawa Golkar untuk memberikan dukungan bagi kepemimpinan SBY yakni tidak menjadi oposisi, demikian juga SBY dapat mengamankan Ical dengan sejumlah catatan raport hitam Ical sehingga terkesan adanya politik ”impas”, dimana kasus lapindo yang merupakan tanggung jawab pemilik untuk melakukan ganti rugi bagi warga tetapi sampai hari ini belum juga terselesaikan, Bakrie Life yang mengalami krisis keuangan sehingga membutuhkan ”bilout” atau kucuran dari pemerintah untuk menyelematkan lembaga keuangan ini.
Kemungkinan perjuangan memenangkan kepemimpinan Golkar adalah untuk memberikan rasa trimakasih kepada SBY karena telah memberikan jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kepada Ical sehingga sebagai rasa terimakasih adalah berjuang memimpin Golkar sehingga tidak ada oposisi, karena Golkar sebagai salah satu kekuatan dalam parlement karena memiliki SDM yang cukup.
Sehingga tercipta sebuah pemahaman pembangunan yang di pahami adalah bukan pembangunan yang mensejahterakan keseluruhan rakyat tetapi hanya mensejahterahkan segelintir elit partai saja.
Dengan melihat realitas ini sudahkah partai Golkar melakukan peran nya sebagi partai politik, dan siap sebagai salah satu konstestan peserta pemilu yang diidolakan rakyat? Mungkinkah dengan keterpilihan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum hendak mencurahkan sebagian hartanya untuk mengentertaiment partai ini untuk memenangi pemilu pada periode yang akan atau sebaliknya rakyat berpaling muka.
Bola itu sudah di tangan Aburizal, kemanakah Golkar hendak dibawah apakah menunggu deal-deal penentuan kabinet, baru melakukan manufer atau tetap di bawah kendali ketiak SBY, atau berani mengambil sikap radikal untuk beroposisi ? semuanya di kembalikan di tangan rakyat dan konstituen Golkar untuk menentukan nanti pilihan maju atau mundur pada pemilu 2014.....
*Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Aslinya wajah Golkar adalah hadir dari ketidakpastian, tentu ada alasan mengapa hadir dari ketidak pastian sebab sejak berdirinya Golkar sudah menunjukan jati diri bukan sebagai partai politik tetapi menggolongkan diri sebagai golongan kekaryaan, penggolongan ini mencakup tiga kelompok; kelompok nasionalis, kelompok agama, dan Golkar mengelompokan diri sebagai kelompok kekaryaan. Golkar menggolongkan diri bukan sebagai partai politik tetapi turut serta sebagai konstentan dalam pemilihan umum pada pemilu pertama pada masa orde baru 1971.
Dan selama beberapa periode pemilihan umum orde baru 1977 – 1997 Golkar sebagai pemenang mayoritas di legislatife yang walaupun proses pemenangannya melalui sikap yang represif dan dipaksaan. Menurut Daniel Daki Dae, “kemenangan yang dicapai pada pemilihan 1971 dengan seluruh kekerasan negara untuk mencapai kemenangan tersebut – teror politik terhadap para pemimpin politik, pembekuan partai-partai seperti PNI pelarangan dan terhadap didirikannya Masjumi yang disponsori Hatta, dan teror terhadap partai-partai lainny, mewajibakan pegawai negeri memilih Golkar dengan resiko akan dipecat dari pekerjaannya” (Cendikiawan dan Kekuasaan – Gramedia – 2003).
Masa reformasi runtuhnya rezim Orde baru karena Soeharto dipaksa mundur oleh kekuatan mahasiswa dan civil society lainnya, Golkar saat itu di ketuai oleh Harmoko dan juga Akbar Tanjung sebagai salah satu Menteri kabinet Orde Baru turut melakukan penolakan dengan meminta Soeharto untuk mengundurkan diri. Dikemudian hari ketika Golkar telah merias diri menjadi partai politik Akbar Tanjung membangun Golkar dengan slogan “Golkar Baru” sepertinya Golkar hadir setelah mereformasi diri dan tampil dengan semangat baru.
Alhasil pada pemilu 2004 Golkar mampu meracuni pikiran rakyat sehingga mampu meraup perolehan suara sebesar 21,58%, menempati urutan pertama, namun dalam perkembangan hingga kini hampir kader-kader partai Golkar yang pernah berada di parlement sebut saja seperti, Nurdin Halid, dan para kepala daerah seperti seperti Mantan Bupati Kutai Kartanegara Syukani, Gubernur Riau Rusli Zaenal yang diduga korupsi Rp. 439 miliar dana proyek multiyear dari APBD tahun 2001 – 2009, dan juga terlibat korupsi pemanfaatan hasil hutan (Kompas 06 Oktober 2009) dan sejumlah elit Golkar lainya tersandung masalah korupsi. Kondisi ini mengakibatkan Golkar mengalami keterpurukan dalam perolehan suara pada pemilu 2009 dimana kantong-kantong Golkar digembosi dan mengalami kehilangan konstituen yang cukup signifikan.
Permasalahan ini membuat elit Golkar yang terbagi dalam beberapa faksi dimana masing-masing membuat hipotesa bahwa kekalahan disebabkan oleh kepemimpinan partai Golkar yang rangkap jabatan sebagai Wakil President sehingga tidak memiliki waktu guna menyapa kader, sedangakan faksi yang lain mengatakan karena ketidakpastian posisi Golkar sebagai partai pemerintah, Golkar hanya sebagai bampers partai demokrat dan perilaku kader partai yang melakukan tindakan a-moral yakni korupsi dan lainnya sehingga citra buruk terbangun bagi Golkar.
Sehingga pada Munas partai Golkar yang berlangsung 05 Oktober – 08 Oktober 2009 di Pekan Baru – Riau yang telah berlalu para kandidat calon Ketua Umum Golkar seperti Aburizal Bakrie, Surya Palloh, Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, semuanya memiliki komitment untuk memajukan Golkar sebagaimana mana masa jayanya di rezim Orde Baru dengan memenangi pemilu pada tahun 2014.
Golkar sepertinya terbentuk guna berperan sebagai promotor bagi profesi kekaryaan untuk pembangunan negara seandainya ini menjadi ideology Golkar, mungkinkah Golka berperan sebagai agen pembangunan, maka masikah Golkar sebagai partai politik yang turut serta sebagai konstentan pemilihan umum?
Partai politik merupakan sarana atau alat penting dalam melakukan konsolidasi masa atau kelompok dalam sebuah negara dimana mereka dapat mengorganisir diri, berbentuk, terpola serta memiliki tujuan yang jelas. Sehingga di setiap negara idealnya ada partai politik baik itu di negara demokratis ataupun negara otoriter. Menurut Budi Winarnoyang mengulang kembali apa yang telah di tuliskan Miriam Budiardjo bahwa peranan partai politik yakni melakukan empat fungsi yakni, fungsi komunikasi, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekruitment politik, dan yang terkahir sebagai sarana pengatur konflik. (Sistem Politik Indonesia – Media Pressindo – 2008) Jika partai politik memiliki sejumlah peranan maka dalam tulisan ini penulis hanya mengutip salah satu peranan yakni, partai politik sebagai sarana sosialisasi.
Guna menjawab salah satu pertanyaan pendahuluan di atas yakni mungkinkah Golkar berperan sebagai agen pembangunan, apabila dilihat Golkar dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi maka apa program kerja Aburizal Bakrie sebagai pemenang dalam kompetisi Ketua Umum Golkar. Apa yang akan di sosialisasikan oleh Aburizal atau yang sering di sapa dengan sapaan simpel ”Ical”. Pada sambutan perdana kemenangan Ical sebagai ketua partai Golkar terpilih, beliau mengatakan bahwa ”Golkar mempersilahkan pengurusnya bergabung dengan kabinet mendatang jika diundang president terpilih” (Dodi Ambardi – Majalah Tempo Edisi 12 – 18 Oktober 2009.
Misorientasi Peran
Sambutan ini merupakan apa yang ingin disosialisakan oleh Golkar 5 tahun kedepan sehingga dapat disimpulkan dari Sambutan Ical adalah bahwa orientasi, nilai dan cita-cita Partai Golkar pada kepemimpinannya saat ini adalah begabung dalam gerbong President terpilih yang berasal dari Partai Demokrat. Dari pernyataan diatas dapat darik benang merah bahwa pidato kemenangan Ical merupakan ideologi partai Golkar saat ini, yakni mendukung pembangunan bangsa dibawah kepemimpinan.
Golkar selalu tidak pasti tidak memiliki pendirian dan ideologi yang tetap selalu berganti fleksibel sesuai kebutuhan dan kepentingan siapa yang memimpin partai, sudah barang tentu apabila Aburizal memiliki kepentingan yang sangat besar sehingga mati-matian melakukan konsolidasi di tingkat elit partai dan mampu menyatukan para elit Golkar dalam Munas sebelumnya di Bali, Agung Laksono menilikung Akbar Tanjung yang bertarung dengan Jusuf Kalla waktu itu, padahal Akbar Tanjung sebagai Guru Politik yang membesarkannya dirinya, namun Munas Pekanbaru dengan majunya Ical, pil pahit itu terasa hilang tanpa bekas. Melakukan konsolidasi dan mempengaruhi para pemilik suara dengan suatu sumber kekuatan yang mampu menundukan idealisme.
Politik Impas
Aburizal sudah barang tentu membawa Golkar untuk memberikan dukungan bagi kepemimpinan SBY yakni tidak menjadi oposisi, demikian juga SBY dapat mengamankan Ical dengan sejumlah catatan raport hitam Ical sehingga terkesan adanya politik ”impas”, dimana kasus lapindo yang merupakan tanggung jawab pemilik untuk melakukan ganti rugi bagi warga tetapi sampai hari ini belum juga terselesaikan, Bakrie Life yang mengalami krisis keuangan sehingga membutuhkan ”bilout” atau kucuran dari pemerintah untuk menyelematkan lembaga keuangan ini.
Kemungkinan perjuangan memenangkan kepemimpinan Golkar adalah untuk memberikan rasa trimakasih kepada SBY karena telah memberikan jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kepada Ical sehingga sebagai rasa terimakasih adalah berjuang memimpin Golkar sehingga tidak ada oposisi, karena Golkar sebagai salah satu kekuatan dalam parlement karena memiliki SDM yang cukup.
Sehingga tercipta sebuah pemahaman pembangunan yang di pahami adalah bukan pembangunan yang mensejahterakan keseluruhan rakyat tetapi hanya mensejahterahkan segelintir elit partai saja.
Dengan melihat realitas ini sudahkah partai Golkar melakukan peran nya sebagi partai politik, dan siap sebagai salah satu konstestan peserta pemilu yang diidolakan rakyat? Mungkinkah dengan keterpilihan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum hendak mencurahkan sebagian hartanya untuk mengentertaiment partai ini untuk memenangi pemilu pada periode yang akan atau sebaliknya rakyat berpaling muka.
Bola itu sudah di tangan Aburizal, kemanakah Golkar hendak dibawah apakah menunggu deal-deal penentuan kabinet, baru melakukan manufer atau tetap di bawah kendali ketiak SBY, atau berani mengambil sikap radikal untuk beroposisi ? semuanya di kembalikan di tangan rakyat dan konstituen Golkar untuk menentukan nanti pilihan maju atau mundur pada pemilu 2014.....
*Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
Langganan:
Postingan (Atom)