Senin, 12 Oktober 2009

"Kemanakah Arah Golkar?"

“KEMANAKAH ARAH GOLKAR”
*Yoyarib Mau

Aslinya wajah Golkar adalah hadir dari ketidakpastian, tentu ada alasan mengapa hadir dari ketidak pastian sebab sejak berdirinya Golkar sudah menunjukan jati diri bukan sebagai partai politik tetapi menggolongkan diri sebagai golongan kekaryaan, penggolongan ini mencakup tiga kelompok; kelompok nasionalis, kelompok agama, dan Golkar mengelompokan diri sebagai kelompok kekaryaan. Golkar menggolongkan diri bukan sebagai partai politik tetapi turut serta sebagai konstentan dalam pemilihan umum pada pemilu pertama pada masa orde baru 1971.
Dan selama beberapa periode pemilihan umum orde baru 1977 – 1997 Golkar sebagai pemenang mayoritas di legislatife yang walaupun proses pemenangannya melalui sikap yang represif dan dipaksaan. Menurut Daniel Daki Dae, “kemenangan yang dicapai pada pemilihan 1971 dengan seluruh kekerasan negara untuk mencapai kemenangan tersebut – teror politik terhadap para pemimpin politik, pembekuan partai-partai seperti PNI pelarangan dan terhadap didirikannya Masjumi yang disponsori Hatta, dan teror terhadap partai-partai lainny, mewajibakan pegawai negeri memilih Golkar dengan resiko akan dipecat dari pekerjaannya” (Cendikiawan dan Kekuasaan – Gramedia – 2003).
Masa reformasi runtuhnya rezim Orde baru karena Soeharto dipaksa mundur oleh kekuatan mahasiswa dan civil society lainnya, Golkar saat itu di ketuai oleh Harmoko dan juga Akbar Tanjung sebagai salah satu Menteri kabinet Orde Baru turut melakukan penolakan dengan meminta Soeharto untuk mengundurkan diri. Dikemudian hari ketika Golkar telah merias diri menjadi partai politik Akbar Tanjung membangun Golkar dengan slogan “Golkar Baru” sepertinya Golkar hadir setelah mereformasi diri dan tampil dengan semangat baru.
Alhasil pada pemilu 2004 Golkar mampu meracuni pikiran rakyat sehingga mampu meraup perolehan suara sebesar 21,58%, menempati urutan pertama, namun dalam perkembangan hingga kini hampir kader-kader partai Golkar yang pernah berada di parlement sebut saja seperti, Nurdin Halid, dan para kepala daerah seperti seperti Mantan Bupati Kutai Kartanegara Syukani, Gubernur Riau Rusli Zaenal yang diduga korupsi Rp. 439 miliar dana proyek multiyear dari APBD tahun 2001 – 2009, dan juga terlibat korupsi pemanfaatan hasil hutan (Kompas 06 Oktober 2009) dan sejumlah elit Golkar lainya tersandung masalah korupsi. Kondisi ini mengakibatkan Golkar mengalami keterpurukan dalam perolehan suara pada pemilu 2009 dimana kantong-kantong Golkar digembosi dan mengalami kehilangan konstituen yang cukup signifikan.
Permasalahan ini membuat elit Golkar yang terbagi dalam beberapa faksi dimana masing-masing membuat hipotesa bahwa kekalahan disebabkan oleh kepemimpinan partai Golkar yang rangkap jabatan sebagai Wakil President sehingga tidak memiliki waktu guna menyapa kader, sedangakan faksi yang lain mengatakan karena ketidakpastian posisi Golkar sebagai partai pemerintah, Golkar hanya sebagai bampers partai demokrat dan perilaku kader partai yang melakukan tindakan a-moral yakni korupsi dan lainnya sehingga citra buruk terbangun bagi Golkar.
Sehingga pada Munas partai Golkar yang berlangsung 05 Oktober – 08 Oktober 2009 di Pekan Baru – Riau yang telah berlalu para kandidat calon Ketua Umum Golkar seperti Aburizal Bakrie, Surya Palloh, Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, semuanya memiliki komitment untuk memajukan Golkar sebagaimana mana masa jayanya di rezim Orde Baru dengan memenangi pemilu pada tahun 2014.
Golkar sepertinya terbentuk guna berperan sebagai promotor bagi profesi kekaryaan untuk pembangunan negara seandainya ini menjadi ideology Golkar, mungkinkah Golka berperan sebagai agen pembangunan, maka masikah Golkar sebagai partai politik yang turut serta sebagai konstentan pemilihan umum?
Partai politik merupakan sarana atau alat penting dalam melakukan konsolidasi masa atau kelompok dalam sebuah negara dimana mereka dapat mengorganisir diri, berbentuk, terpola serta memiliki tujuan yang jelas. Sehingga di setiap negara idealnya ada partai politik baik itu di negara demokratis ataupun negara otoriter. Menurut Budi Winarnoyang mengulang kembali apa yang telah di tuliskan Miriam Budiardjo bahwa peranan partai politik yakni melakukan empat fungsi yakni, fungsi komunikasi, sebagai sarana sosialisasi politik, sebagai sarana rekruitment politik, dan yang terkahir sebagai sarana pengatur konflik. (Sistem Politik Indonesia – Media Pressindo – 2008) Jika partai politik memiliki sejumlah peranan maka dalam tulisan ini penulis hanya mengutip salah satu peranan yakni, partai politik sebagai sarana sosialisasi.
Guna menjawab salah satu pertanyaan pendahuluan di atas yakni mungkinkah Golkar berperan sebagai agen pembangunan, apabila dilihat Golkar dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi maka apa program kerja Aburizal Bakrie sebagai pemenang dalam kompetisi Ketua Umum Golkar. Apa yang akan di sosialisasikan oleh Aburizal atau yang sering di sapa dengan sapaan simpel ”Ical”. Pada sambutan perdana kemenangan Ical sebagai ketua partai Golkar terpilih, beliau mengatakan bahwa ”Golkar mempersilahkan pengurusnya bergabung dengan kabinet mendatang jika diundang president terpilih” (Dodi Ambardi – Majalah Tempo Edisi 12 – 18 Oktober 2009.

Misorientasi Peran
Sambutan ini merupakan apa yang ingin disosialisakan oleh Golkar 5 tahun kedepan sehingga dapat disimpulkan dari Sambutan Ical adalah bahwa orientasi, nilai dan cita-cita Partai Golkar pada kepemimpinannya saat ini adalah begabung dalam gerbong President terpilih yang berasal dari Partai Demokrat. Dari pernyataan diatas dapat darik benang merah bahwa pidato kemenangan Ical merupakan ideologi partai Golkar saat ini, yakni mendukung pembangunan bangsa dibawah kepemimpinan.
Golkar selalu tidak pasti tidak memiliki pendirian dan ideologi yang tetap selalu berganti fleksibel sesuai kebutuhan dan kepentingan siapa yang memimpin partai, sudah barang tentu apabila Aburizal memiliki kepentingan yang sangat besar sehingga mati-matian melakukan konsolidasi di tingkat elit partai dan mampu menyatukan para elit Golkar dalam Munas sebelumnya di Bali, Agung Laksono menilikung Akbar Tanjung yang bertarung dengan Jusuf Kalla waktu itu, padahal Akbar Tanjung sebagai Guru Politik yang membesarkannya dirinya, namun Munas Pekanbaru dengan majunya Ical, pil pahit itu terasa hilang tanpa bekas. Melakukan konsolidasi dan mempengaruhi para pemilik suara dengan suatu sumber kekuatan yang mampu menundukan idealisme.

Politik Impas
Aburizal sudah barang tentu membawa Golkar untuk memberikan dukungan bagi kepemimpinan SBY yakni tidak menjadi oposisi, demikian juga SBY dapat mengamankan Ical dengan sejumlah catatan raport hitam Ical sehingga terkesan adanya politik ”impas”, dimana kasus lapindo yang merupakan tanggung jawab pemilik untuk melakukan ganti rugi bagi warga tetapi sampai hari ini belum juga terselesaikan, Bakrie Life yang mengalami krisis keuangan sehingga membutuhkan ”bilout” atau kucuran dari pemerintah untuk menyelematkan lembaga keuangan ini.
Kemungkinan perjuangan memenangkan kepemimpinan Golkar adalah untuk memberikan rasa trimakasih kepada SBY karena telah memberikan jabatan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat kepada Ical sehingga sebagai rasa terimakasih adalah berjuang memimpin Golkar sehingga tidak ada oposisi, karena Golkar sebagai salah satu kekuatan dalam parlement karena memiliki SDM yang cukup.
Sehingga tercipta sebuah pemahaman pembangunan yang di pahami adalah bukan pembangunan yang mensejahterakan keseluruhan rakyat tetapi hanya mensejahterahkan segelintir elit partai saja.
Dengan melihat realitas ini sudahkah partai Golkar melakukan peran nya sebagi partai politik, dan siap sebagai salah satu konstestan peserta pemilu yang diidolakan rakyat? Mungkinkah dengan keterpilihan Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum hendak mencurahkan sebagian hartanya untuk mengentertaiment partai ini untuk memenangi pemilu pada periode yang akan atau sebaliknya rakyat berpaling muka.
Bola itu sudah di tangan Aburizal, kemanakah Golkar hendak dibawah apakah menunggu deal-deal penentuan kabinet, baru melakukan manufer atau tetap di bawah kendali ketiak SBY, atau berani mengambil sikap radikal untuk beroposisi ? semuanya di kembalikan di tangan rakyat dan konstituen Golkar untuk menentukan nanti pilihan maju atau mundur pada pemilu 2014.....

*Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar