“KABINET POLITIK IMBALAN JASA”
*Yoyarib Mau
Kekuasaan SBY mutlak dalam sistim pemerintahan presidensial pada kabinet yang di sebut SBY dengan sebutan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (KIB II), namun saat ini penulis lebih cenderung untuk memakai sebutan dalam tulisan ini dengan sebutan Kabinet Politik Imbalan Jasa, walaupun banyak sebutan lagi buat kabinet ini yakni kabinet politik balas budi, kabinet tukar-guling, dan juga kabinet barter, sebutan ini pasti ada sebab dan alasan yakni tiga kekuasaan dalam trias politika yakni eksekutif, legislatif, yudikatif ketiganya memiliki kekuasaan dan peran masing-masing namun kenyataan dalam kepemimpinan SBY saat ini hampir ketiganya di kuasai dan dikendalikan oleh SBY.
Sebutan Kabinet Politik SBY tidak menyertakan Boediono dalam sebutan ini karena tokoh sentral dalam kabinet ini hanyalah SBY, sedangkan Boediono tidak disebutkan. Hal ini tentu beralasan karena sejak penjaringan Calon Wakil President untuk mendampingi SBY, ada penekanan bahwa wapres adalah pembantu president, bukan memiliki kesejajaran yang sama. Wapres hanyalah membantu President dalam menyukseskan segala kebjakannya, dan tidak dapat memutuskan apalagi membuat kebijakan, bukan pada posisi penyeimbang seperti mengoreksi kebijakan. Posisi wapres dalam menjalankan tugas sepertinya hanyalah sebagai pemeran pengganti jika SBY berhalangan menghadiri atau melakukan aktifitasnya maka Boediono dapat menggantikannya. Guna menyelamatkan kekuasaan mungkinkah seorang SBY melakukan upaya politik dengan melakukan pembatasan secara massif dan sistematis terhadap peran legislatif, yudikatif dan eksekutif (eksekutif dalam hal ini lembaga pemerintahan, birokrasi dan BUMN serta sejumlah lembaga bentukan lainnya)?.
Pertanyaan diatas seyogianya telah dijawab oleh SBY dalam kebijakannya sejak kemenangannya namun pertanyaan ini penulis hadirkan kmbali guna memberikan arahan dalam memahami tulisan ini. tiga lembaga negara tersebut sebagai salah satu variabel penentu adanya demokrasi, bahwa demokrasi dapat terkelola dengan baik jika adanya peran yang optimal dari institusi elemen-elemen demokrasi. Samuel Huntington mengemukakan bahwa, sebuah negara demokrasi yang pelembagaan politiknya kacau dan lemah, maka akan berdampak buruk pada stabilitas (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Pendapat ini kembali ditegaskan oleh J. Mill bahwa, Semua sistem perlu dijalankan dengan ukuran yang besar oleh aturan-aturan yang pasti – oleh karena itu keberadaaan alat-alat pemerintah yang mandiri tersebut sangat dibutuhkan, untuk membentuk kemampuan tersebut dan melengkapinya dengan kesempatan serta pengalaman yang dibutuhkan bagi penilaian yang tepat bagi masalah-masalah praktis yang besar. (David Held – Models Of Democracy – 2006).
Polititisasi jabatan dan peran ketiga kekuasaan pun hampir dikooptasi oleh SBY sebagaimana Legislatif saat ini diikat dalam dokument kontrak koalisi pendukung SBY – Boediono dari beberapa partai Politik sejak SBY dan Boediono mencalonkan diri untuk mengikuti pemilu President pada pemilu 2009 yang lalu, partai politik itu terdiri dari Partai Demokrat, PKS, PPP, PKB, PAN dan pasca Munas Golkar yang dimenangkan oleh Aburizal Bakrie, Partai Golkar pun memilih untuk berkomitment dalam gerbong mendukung SBY – Boediono. Seluruh kursi DPR yang berjumlah 560 Kursi legislative sebagai wakil rakyat sudah seharusnya sebagai kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan untuk melakukan chek and balance, namun jumlah kursi koalisi sudah mayoritas yang berjumlah 423 Kursi sudah berpihak pada kekuasaan yakni mendukung seluruh kebijakan pemerintahan SBY – Boediono, sedangkan hanya sisa 137 Kursi dari PDIP 94 Kursi, Gerindra 26, dan Hanura 17 Kursi, dari jumlah kursi antara partai pendukung dan partai oposisi sebenarnya tidak imbang dan dalam sistem demokrasi hal ini tidak sehat.
Jumlah tersebut hampir mutlak dimana PDIP pun di dekati untuk bergabung dalam koalisi SBY yang nanti nya akan mendapat jatah dalam cabinet sebagai menteri, namun proses pendekatan ini tidak mempan hanya mampu saja mempengaruhi Taufik Kiemas dan cs –nya dan menempatkan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR , namun bagi Megawati beroposisi dengan memihak kepada rakyat adalah hal yang mutlak sehingga PDIP tetap sebagai oposisi.
Proses perekrutan kabinet yang di lakukan pun tidak sesuai dengan keinginan dan kebutuhan jabatan yang di emban para menteri yang dipilih, sebagian besar di tempatkan tidak pada tempatnya dimana tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan atau kemampuan yang dimiliki seperti Hatta Rajasa yang berlatar belakang pendidikan tekhnik di tempatkan untuk mengurus perekonomian mungkin karena kabar yang santer berkembang bahwa Hatta Rajasa memiliki hubungan baik dengan SBY karena akan menjadi calon besan, sehingga posisi kementrian hanyalah bagi-bagi kedudukan untuk kepentingan kekeluargaan
Seandainya Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, SH yang berlatar belakang pendidikanm hanya S1 Hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, apakah cukup matang dan memiliki kompetensi untuk menetapkan dan menyusun sebuah kebijakan hukum? Bagaimana hukum di Indonesia akan berkwalitas jika mereka yang ditempatkan pada posisi tersebut tidak berkompeten? Penempatan ini kelihatannya hanyalah pertimbangan politik semata seharusnya tanpa memperthatikan kemampuan dan kompetensi keilmuan yang di miliki. Pemilihan diri Patrialis Akbar mungkin karena alasan imbalan jasa atas kesediaan dirinya mewakili PAN untuk menandatangani surat keputusan KPU tentang partai-partai pengusung SBY-Boediono pada pemilu president yang lalu, yang saat itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir berhalangan hadir karena sedang berobat ke luar negeri.
Padahal Hukum adalah panglima tertinggi dalam penegakan demokrasi jika posisi ini di jabat oleh seorang politisi maka akan ada tendensi keberpihakan demi kepentingan partai politik, keputusan hukum nantinya hanya akan berpihak bagi mereka yang memiliki kedekatan, hubungan emosional dan kepentingan partainya tidak berkeadilan bagi semua rakyat.
Dasar pembagian kekuasaan dan jabatan dalam membangun negara ini tidak bisa dilakukan hanya dengan pertimbangan imbalan jasa sebab, berbicara Hukum berarti bagaimana seorang pejabat menangani masalah pada satuan kerja dalam bidang hukum sehingga menurut Prof. Arief Rachman seorang begawan pendidikan ”otak dan watak” sebagai kriteria pejabat atau eksekutif (Kompas, 31 Oktober 2009), pengetahuan profesional memang berkontribusi pada keberhasilan seseorang pengetahuan profesional dapat diperoleh dari pendidikan formal yang cukup dan berkompeten, dan tidak hanya itu saja tetapi pertimbangan track record juga harus menjadi bahan pertimbangan seperti; kemampuan mekanisme kerja, komunikasi, kerja tim, dan etos kerja yang baik.
Kematangan Otak atau IQ seharusnya menjadi salah satu pilar pertimbangan untuk dipilih sebagai pejabat, selain memiliki karakter mungkin saja memiliki karakter yang tepat yakni memiliki keberanian mengambil keputusan tetapi kolaborasi dari berbagai aspek sebagai modal yang sangat tepat untuk menentukan seorang pejabat.
Penekanan penulis lebih pada masalah hukum sebab hukum jika ditegakan dengan benar dan berkeadilan maka akan menciptakan aura demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan yang menyeluruh bagi rakyat. Karena masalah hukum yang tidak beres dalam negara ini salah satunya masalah korupsi, karena kegagalan Yudikatif menegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi sehingga terbentuk lah KPK yang dilengkapi dengan alat hukum atauUU KPK yang jelas, tetapi alat hukum yang dipakai oleh KPK di langgar oleh KPK sehingga menimbulkan ketidakstabilan dalam negara, tercipta ketidakharmonisan dalam penegakan hukum menyebabkan kekacauan dalam elemen-elemen negara.
Bahkan dengan masing-masing kewenangan dalam menafsirkan pasal-pasal hukum yang ada membuat mereka saling menjatuhkan sehingga peran pejabat hukum sangat dibutuhkan yang berkompeten sehingga tidak tumpang tindih dan memiliki kemandirian dalam melaksanakan tugasnya sehingga tecipta aturan hukum yang jelas, penegakan hukum yang tidak memihak serta memiliki kesamaan dan kesetaraan dalam hukum.
Seandainya benar SBY memiliki komitment seperti yang diungkapkan dalam prosesi inaugurasinya dengan menyebutkan akan mengusung tiga hal dalam pemerintahannya saat ini yakni kesejahteraan, demokrasi dan keadilan. Dengan demikian jika mereka yang terlibat atau memiliki keterkaitan dengan masalah hukum maka demi keadilan mereka tidak dilibatkan dulu dalam pemerintahan atau penundaan pelantikan hingga ada kepastian hukum. Seperti kasus Bank Century dimana jelas-jelas ada keterkaitan dan garis koordinasi dalam permasalahan keuangan maka mereka yang ada di Kabinet Indonesia Bersatu II turut terlibat dimana ada dugaan yakni Mantan Menteri Keuangan dan Mantan Gubernur Bank Indonesia.
Jika SBY memiliki komitment untuk menegakan demokrasi maka penentuan pejabat tidak berdasarkan asas imbalan jasa tetapi lebih pada kemandirian, kemampuan dan kompetensi, dengan demikian maka penegakan serta peran serta elemen-elemen pemerintahan yang optimal, akan tetapi elemen elemen ini kacau dan tak berperan dengan optimal maka tercipta kekacauan dalam negara bahkan antar lembaga negara sendiri.
*. Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI / 0806383314.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar