Sabtu, 17 Oktober 2009

"Revivalisasi Vs Oikoumene"

“REVIVALISASI Vs OIKOUMENE”
*Yoyarib Mau
Kehidupan kaum muda pada era kontemporer, menjadi pergumulan manusia di seantero dunia, pergulatan ini ibaratnya seperti mata uang dengan dua sisi, salah satu sisi kehidupan tersebut yakni retorika akan perjalanan sejarah hadirnya Gereja dan para pendiri dengan seluruh simbol, ritual dan serta doktrin yang influensanya hingga ke Indonesia.
Menjadi kebanggaan bagi warga gereja atau manusia pada umumnya. Seandainya mereka dapat mengalami atau menikmati kembali pergumulan sejarah gereja yang telah berlalu dalam kehidupannya. Hal tersebut yang dinamakan revivalisasi namun apabila tak memungkinkan untuk menjalani, menikmati bahkan sekalipun melalui upaya untuk mewujudkan hal sama maka warga gereja bahkan kehidupan manusia yang kebetulan memilih atau terlahir dalam kondisi yang tidak memberikan ruang untuk memilih berbeda keyakinan, atau dengan sadar memilih untuk berkeyakinan lain maka lompatan yang dilakukan adalah melakukan pengulangan melalui media lain yakni sandiwara, drama atau film dan media visual lainya.
Proses mengenang kembali suatu budaya atau sejarah yang telah berlalu tidak terbatas hanya untuk mengenang kembali yang dilakukan melalui peran yang dimainkan dalam sesion tertentu saja. Manusia mengadopsinya menjadi jati dirinya melalui doktrin yang dipercayai atau diyakini sebagai sebuah kebenaran, Perilaku ini tak sebatas itu saja namun ada langkah manusia yang konkrit guna melakukan revivalisasi atas sejarah yang telah berlalu melalui euforia tertentu. Aksi euforia berupa simbol dan aksesories tertentu sebagai sebagai pengenangan akan sebuah peradaban yang telah berlalu dan berkeinginan untuk menjelma kembali dalam kehidupan saat ini.
Pemuda Kristen akan melakukan revivalisasi dengan menggunakan aksesoris sebagai salah satu ekspresi diri, salah satu bentuk ekspresi tersebut yakni rantai salib dengan ukuran yang cukup besar dan dikenakan di leher dengan menempatkannya diluar baju di bagian depan dada. Indonesia saat ini sangat familiar dengan rantai salib yang dikenal dengan sebutan ”besi putih” dan aksesories ini menunjukan pada gereja mula-mula dimana para imam gereja atau para birawati sering menggenakannya kemanapun mereka berada sebagai tanda bahwa mereka adalah orang yang dikhususkan.
Makna ini bergeser dimana pemuda atau warga gereja mengenakan aksesories ini sebagai simbol, pertanda pemakainya adalah seorang penganut agama Kristen. Namun ada ciri-ciri yang lebih mengkhususkan lagi yakni ”rosario” yang kebanyakan dikenakan oleh penganut Katolik. Rantai salib yang terbuat dari besi putih ada ciri-ciri khusus yang lebih spesifik guna membedakan si pemakainya, apabila di rantai tersebut tergantung aksesories salib dan di salib tersbut tidak terdapat lukisan tertentu ini menunjukan bahwa ia seorang Protestant, apabila di salib tersebut ada lukisan atau relief Yesus yang tergantung di palang salib tersebut maka kemungkinan besar si pemakai adalah seorang Katolik.
Proses pembedahan dan pembelahan diri kelompok, penganut kepercayaan akan membelah diri menjadi kelompok-kelompok kecil dengan menjadikan simbol atau aksesories sebagai identitas kelompok. Dengan adanya simbol atau aksesories tersebut mereka dapat diketahui bahkan diakui sebagai bagian dari komunitas atau kelompok tertentu.
Bangunan gereja dengan bentuk, relief, simbol atau aksesories yang tampak dalam sebuah bangunan akan membedakan dan sebagai petunjuk akan keberadaan gereja serta aliran dari gereja tersebut. Apabila di bubungan Gereja ada aksesories Seekor Ayam Jantan maka ada kemungkinan pemakai Bangunan tersebut adalah kelompok penganut Protestant Presbiterian (Calvinis – Luteran), namun jika ada gambar Salib dan burung merpati dan daun Zaitun maka ada kemungkinan pemakai Gedung tersebut adalah mereka adalah kelompok Kristen Pantekosta atau aliran Injili (Armenian).
Ada simbol-simbol yang banyak dengan berbagai vairannya dan di jadikan sebagai cirri dari aliran kepercayaan tertentu dalam Gereja, bahkan simbul tersebut tanpa sadar telah di maknai bahkan di domain sebagai milik atau penunjuk bagi komunitas tertentu. Bahkan di kemudian hari simbol, relief dan ciri-ciri yang berkembang sebagai bentuk dan identitas kelompok di jadikan sebagai sebuah kepemilikan yang tidak boleh di tiru atau di kenakan oleh kelompok lain jika mereka bukan menjadi bagian dari kelompok yang memiliki rumah tersebut.
Tidak terbatas pada identitas yang dikenakan tetapi pembenaran bahkan pengkultusan terhadap pribadi, simbol, aksesories terkadang menjadi sumber pembenaran yang dimiliki oleh kelompok tertentu, seketika ada orang lain yang salah menggunakan, memberikan aksen atau memperlakukan simbol atau aksesories tersebut tidak seturut dengan makna dan simbol asalinya maka dapat menyulut kesalahpahaman dan konflik horisontal.
Penggunaan simbol sebagai identitas kelompok pada awalnya sebagai proses pengenangan kembali akan sebuah peradaban yang telah berlalu, akan tetapi dalam perkembangannya simbol, relief, aksesories telah mengalami pergeseran makna atau bias makna sebagai jati diri dan bahkan disakralkan sebagai ruh dari kelompok tersebut.
Hadir sebuah pertanyaan mendasar yang patut di diskusikan bersama yakni, adanya simbol atau aksesories dalam kelompok – kelompok gerejawi perlu dikaji bersama penggunaannya, apakah menguntungkan atau menghadirkan bencana bagi kehidupan bergereja? Kemudian bagaimana kita memahami serta menggunakan simbol, aksesories serta reliefnya dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat dan bernegara.
Permasalahan diatas kini menjadi budaya dan mengakar dalam setiap komunitas gereja, namun perlu ada pemahaman yang total dan menyeluruh terhadap budaya simbol atau aksesories yang berkembang. Francis Fukuyama mengungkapkan budaya adalah konsep pilihan, dalam menimbang-nimbang pilihan budaya yang saling bersaing ini tidak dapat satu pun dianggab lebih baik dari yang lain, dengan demikian memerlukan kelompok norma tertentu yang membentuk modal sosial, dimana modal sosial tersebut sebagai seperangkat nilai atau norma informal yang dimiliki bersama oleh anggota suatu kelompok yang memungkinkan kerja sama di antara mereka, kemudian Dia menambahkan bahwa modal sosial memberikan manfaat yang lebih luas, modal sosial penting sekali untuk mewujudkan masyarakat sipil yang sehat, dalama arti, kelompok dan himpunan yang terwujud diantara keluarga dan negara. (Guncangan Besar – Gramedia – 2005).
Revivalisasi lebih memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah budaya baru dalam kehidupan masyarakat dan juga kehidupan agama yang masing-masing tidak dapat disalahkan dan juga membenarkan yang lain, budaya tersebut yakni dalam bentuk simbol dan aksesories yang dikenakan dapat membentuk diri menjadi kelompok tertentu kuat, hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Sebagai Identitas yang menjadi alat pembenaran bagi kelompok untuk saling mempertahankan diri serta membela kelompoknya jika simbol dan aksesories kelompoknya direndahkan atau di lecehkan sehingga menimbulkan rapuhnya kehidupan kebersamaan seperti yang diharapkan dalam konsep Oikoumene yakni membangun hubungan baik dengan semua institusi gereja, lembaga –lembaga Kristen yang menyakini keanekaragaman budaya dari simbol dan aksesoirs yang dimiliki dari masing-masing kelompok diharapkan tidak mempertajam hal tersebut sebagai perbedaan yang mendasar.
Tak disangkal konflik dan perbedaan dalam kehidupan bergereja terjadi karena perbedaan – perbedaan yang ada yang tidak mungkin di satukan terutama doktrin maupun tafsiran-tafsiran yang dimiliki, sehingga tawaran Fukuyamaa mengenai modal sosial menurut penulis dapat dijadikan sebagai sebuah sarana untuk membangun kerjasama, antara kelompok gerejawi yang memiliki pelbagai perbedaan budaya.
Perbedaan merupakan hasil rekonstruksi manusia sehingga tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk menghadirkan konsep baru seperti modal sosial, namun untuk konteks Indonesia saat ini modal sosial seperti apa yang dapat digunakan dengan tepat untuk membangun kebersamaan? Modal sosial dapat di bangun oleh berbagai kelompok dari berbagai berbgai denominasi untuk besama-sama mewujudkan kebersamaan. Gereja sudah saatnya memahami diri secara baru dimana tidak lagi hanya membanggakan diri sebagai institusi keselamatan dan mengumandangkan pengampunan dosa tetapi Gereja sudah saatnya menghadirkan diri secara baru dengan modal sosial guna meningkatkan pelayanan sosial dan peningkatan kapasitas dan kapabilitas sosial.
Modal sosial dapat berevolusi dalam berbagai bentuk yakni komunitas-komunitas sosial yang memfokuskan diri dalam penanganan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, kerusakan lingkungan dan lain-lainya. Komunitas sosial yang terbentuk diharapkan dapat menyelaraskan berbagai denominasi dengan berbagai simbol yang dimiliki karena ada obyek bersama yang dapat di namakan ”musuh bersama” untuk dibasmi.
Timbul keyakinan yang dapat membakar emosi para pemuda atau warga gereja bahwa ada musuh bersama yang dapat dijadikan alasan untuk menyatukan diri dan diharapkan mampu meminimalisir semangat revivalisasi pada kelompok, dengan adanya musuh bersama yakni permasalahan sosial kemasyarakatan para kelompok ini dapat membangun model oikoumene baru dalam komunitas-komunitas tertentu seperti komunitas pencinta alam yang musuhnya adalah kerusakan alam, atau kelompok melek huruf, atau melek angka yang musuhnya adalah kebodohan, dan kelompok lainya yang memiliki spirit dan emosi yang sama untuk membangun kehidupan bersama tanpa kesenjangan. Muara dari modal sosial ini yang kemudian hari dapat dikategorikan menjadi NGO (Non Governon Oraginazation), civil society, LSM. Semuanya hadir dan diperankan oleh pemuda atau warga gereja sebagai modal social yang dapat membangun kebersamaan dan saling bekerja sama tanpa membedakan simbol aksesories, dan doktrin yang melekat pada diri, tetapi ada tujuan bersama yang mulia yang dapat menyatukan pelbagai perbedaan.
Semangat revivalisasi dapat diubah bentuknya melalui modal sosial dan tidak dengan membanggakan simbol atau aksesories lama untuk membentengi diri sebagai kekuatan tertentu tetapi dihadirkan kembali dalam bentuk modal social guna menciptakan kehidupan Oikoumenis.

*Penulis adalah Mahasiswa ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI dan Wakil Sekertaris Pada Badan Pengurus Perwakilan Gereja Masehi Injili di Timor Jakarta masa bhakti 2008 – 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar