Minggu, 13 Desember 2009

"Triangle Demokrasi (Rakyat- Penguasa-Pengusaha"

TRIANGLE DEMOKRASI
(PENGUSAHA-PENGUASA-RAKYAT)
*Yoyarib Mau

Pengusaha dan penguasa memiliki hubungan yang cukup dekat karena keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan dan menunjang hubungan ini ibarat mata uang dengan dua sisinya. Sehingga hubungan mereka harus mesra dan terjalin dengan baik dan saling melindungi. Seorang Penguasa yang berkuasa sangat membutuhkan pengusaha untuk memajukan ekonomi dengan menciptakan pasar atau market.

Pasar atau market dibutuhkan untuk menciptkan transaksi dan ruang pengembangan ekonomi rakyat, kemajuan suatu negara di tentukan oleh geliat perekonomian suatu negara. Pengusaha dibutuhkan untuk melakukan investasi dan pengelolaan sumber daya alam, memproduksi kebutuhan masyarakat, serta menciptakan pasar. Sebenarnya Pengusaha memiliki kecenderungan dan bergelut dalam bidang ekonomi sedangkan Penguasa selalu berhubungan dengan urusan kekuasaan yakni mengatur orang banyak dengan sejumlah aturan dan kebijakan. Sedangkan pengusaha hanya berpikir bagaimana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya selalu di pengaruhi oleh motif ekonomi.

Jika kita sepakat bahwa motif ekonomi adalah bagaimana mendapatkan keuntungan sebesarnya berarti Pengusaha yang melakukan kegiatan ekonomi tidak membutuhkan Penguasa? Tidaklah demikian karena yang mengatur kebijakan atau regulasi perekonomian mengenai pajak dan retribusi adalah Penguasa.

Proses untuk memperoleh kekuasaan-pun membutuhkan uang, Firmanzah mengungkapkan kembali pemikiran Machiaveli, dimana Machiaveli sebagai pemikir Politik yang sinis juga harus berhadapan dengan kenyataan begitu dekatnya kekuasaan dengan uang serta hak miliknya. Sedangkan Marx menyatakan bahwa ketika orang mulai memagari tanah miliknya dan menyimpan harta benda termasuk uang kapitalisme dimulai. Maka politik dan kapitalisme tampaknya tak bisa dipisahkan. Semangat kapitalisme telah bersinggungan dengan kepentingan-kepentingan politik. Entah politik digunakan sebagai media untuk mengakumulasi kapital ataukah akumulasi kapital digunakan untuk mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat (Firmanzah, Marketing Politik,Obor Indonesia – 2008). Pemikiran ini dapat disimpulkan bahwa hubungan antara penguasa dan penguasa sangat erat karena saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Karena dengan memiliki uang atau modal yang cukup dapat memperoleh kekuasaan tersebut, dan kekayaan sebagai salah satu sumber kekuasaan selain kedudukan dan kepercayaan (Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia – 2008)

Hubungan antara Penguasa dan Pengusaha selalu menguntungkan bagi mereka tetapi resiko akibat hubungan itu mengakibatkan keburukan atau bencana maka beban atau resiko tersebut di bebankan kepada rakyat, contoh kasus seperti Lapindo Brantas yang melakukan ekplorasi Gas di Sidoarjo, Usaha ini merupakan anak perusahaan dari Energi Mega Persada merupakan Kelompok Usaha Bakrie & Brothers. Akibat human eror maka adanya semburan lumpur panas yang menyembur keluar dari ladang ekplorasi, yang mengakibatkan kerugian yang melumpuhkan ekonomi masyarakat Jawa Timur, bahkan korban harta dan modal hidup yakni rumah dan sawah.

Keadaan ini memaksa negara harus merogoh kas negara untuk melakukan perbaikan infrastruktur sebesar Rp. 3,7 triliun, padahal yang harus bertangung jawab adalah Pemilik usaha yakni Aburizal Bakrie, namun kembali di bebankan kepada negara di mana otomatis uang atau kas negara berasal dari pajak dan retribusi yang di tarik dari rakyat. Padahal majalah Forbes Asia 2007 mennominasikan Keluarga Bakrie sebagai orang terkaya nomor wahid di Indonesia dengan total kekayaan US$ 5,4 miliar (setara hampir Rp. 50 triliun) sumber : Majalah Tempo Edisi 12 – 18 Mei 2008.

Hal ini menyakiti bahkan menusuk rasa keadilan rakyat, Kekayaannya sebesar Rp.50 triliun mengapa tidak di pakai untuk melakukan ganti rugi terhadap korban lumpur lapindo dan perbaikan infrastruktur tetapi malah negara yang dipaksa untuk mengeluarkan dana sebesar Rp. 3,7 triliun untuk penanganan infrastruktur dan kerusakan yang ada, bahkan proses ganti rugi pun berlarut-larut hingga saat ini belum terselesaikan.

Pertanyaan mendasar apa yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan uang negara untuk kepentingan pribadi pengusaha. Pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melakukan analisa terhadap hubungan penguasa dan pengusaha di Indonesia, mengapa penguasa selalu memberi perhatian dan fasilitas bagi pengusaha dari pada membela atau memihak kepada rakyat?.

Sudah tidak menjadi barang asing lagi bahwa hubungan penguasa dan pengusaha telah berjalan sekian lama di Indonesia sejak President Soekarno yang di kenal dengan konsep ekonomi benteng, dimana memberikan peluang bagi usahawan pribumi untuk ikut berperan dalam konstelasi kesimbangan (Miftah Thoha - Birokrasi dan Politik - Rajawali Pers – 2007). hingga saat ini hubungan ini terjalin mesra tak terpisahkan. Sudah tentu hubungan Pemerintah dan Pengusaha ini memiliki motif ideal yakni menciptakan kesimbangan, sehingga peran sektor swasta atau bussines sangat mendukung terciptanya kesimbangan, namun perlu ada batasan dan kontrol sehingga tidak tejadi pembiasan dari pemberian peran yang berlebihan.

Hubungan yang terjadi antara Penguasa dan Pengusaha dapat dikategorikan sebagai hubungan Patron – Klien seperti yang didefenisikan oleh James C. Scott bahwa ”patron - klien sebagai hubungan dyadio (dua orana) yang terdiri dari seorang dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber-sumber kebutuhan hidup (resources) yang dimilikinya untuk memberi perlindungan dan keuntungan bagi orang lain (klien) yang membalasnya dengan memberikan dukungan dan bantuan temasuk pelayanan pribadi” (Maswadi Rauf - Konflik dan Konsensus Politik - Dirjen Dikti – Diknas – 2001)

Status sosiol- ekonomi yang lebih tinggi akan memberikan peluang yang cukup mencipktakan hubungan patron – klien hal ini berhubungan dengan struktur sosial masyarakat. Patron adalah sebuah status yang di raih jika melihat posisi dan kapasitas dirinya dan berdasarkan pembagian status yang dipopulerkan Ralp Linton yakni status yang di peroleh (ascribed status) dan status yang di raih (achieved status), (Kamanto Sunarto - Pengantar Sosiologi - LP-FE UI – 2004) Penguasa adalah status yang di raih melalui persaingan dan penguasaan atas berbagai sumber untuk mendukung kekuasaannya. Pada jaman primitif yang menjadi Patron adalah mereka yang berperan sebagai tuan tanah dan kliennya adalah parah penggarap, namun dalam konteks saat ini patron adalah mereka yang menjabat sebagai pejabat pemerintah atau pejabat politik. Penguasa memiliki penguasaan atas berbagai sumber yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat sehingga Patron perlu menciptakan program – program pengembangan pembangunan bagi masyarakat (proyek pembangunan fisik – non fisik) sehingga untuk melaksanakannya Penguasa membutuhkan Pengusaha untuk mengeksekusi program tersebut mereka berperan sebagai Klien yang bertugas memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik yang dimiliki patron.

Hubungan Dalam Kepresidenan RI

Salah satu semangat demokrasi adalah terciptanya pemerintahan yang baik dimana menciptakan keterlibatan semua komponen masyarakat dalam mencapai tujuan demokrasi yakni menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Jika melihat tema pembahasan makalah ini yakni hubungan Penguasa dan Pengusaha maka tidak dapat melupakan Rakyat sebagai obyek atau implikasi dari hubungan patron – klien yang terbangun antara Pengusaha dan Penguasa. Hal ini sesuai dengan apa yang di katakana Max Regus bahwa sirkulasi social politik nasional dapat di lihat dalam kerangka hubungan tiga ruang ini yakni negara (penguasa), pasar (korporasi- pengusaha), warga (rakyat), (Boni Hargens - Trilogi Dosa Politik - Parrhesia Institute – 2008)

Idealnya pemerintahan yang dijalankan diharapkan membawa dampak yang berarti bagi rakyat yang telah memberikan lgitimasi bagi penguasa lewat pemilihan umum untuk menjalankan pemerintahan ini dengan baik namun kenyataan yang terjadi adalah rakyat pada posisi yang tidak menguntungkan akbiat perselingkuhan yang terjadi antara penguasa dan pengusaha.


Gambar 1. Keseimbangan Tiga Komponen (Miftah Thoha - Birokrasi Politik - Rajawali Pers – 2007)

Gambar di atas memberikan gambaran dimana ketiga komponen tidak saling mendominasi jika ada mendominasi dan melemahkan pihak lain maka akan tercipta kekacauan dan ketidakserasian. Hubungan ketiga komponen dalam sejarah ada pasang surutnya menurut Thoha ada hubungan yang beragam masa Soekarno, pemerintahan setelah merdeka hubungan antara rakyat dan negara sangat, sementara itu peranan sektor business swasta belum begitu nampak, hanyalah hubungan sebatas untuk sama-sama berjuang menegakan kemerdekaan saja, masa itu Bung Karno mulai memberikan angina bagi beberapa usahawan pribumi untuk ikut berperan dalam konstelasi keseimbangn. Namun pada masa Orde Barudi bawah kepemimpinan Soeharto konstelasi keseimbangan ketiga komponen tersebut beralih tekanannya. Peran pemerintah sangat dominant rakyat terpuruk pada posisi paling bawah, sementara usahawan yang dikenal dengan sebutan konglomerat memperoleh kelonggaran peran oleh pemerintah yang bisa menghimpit peran rakyat bahkan bisa dikatakan peran konglomerat berada di atas penguasa pemerintah. (Miftah Thoha - Birokrasi Politik - Rajawali Pers – 2007)

Pada masa B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati hubungan pemerintah dan usahawan tidak begitu panjang karena tenggang waktu kepemimpinan mereka yang tidak begitu lama namun tetap ada hubungan saling menguntungkan antara dua komponen hal ini disebabkan karena masa reformasi yang baru di raih dimana peran rakyat dalam melakukan control terhadap pemerintah sangat kuat.

Namun peluang untuk membangun hubungan dan melakukan pemburuan rente untuk menambahpundi-pundi keluarga tetap di lakukan oleh Habibie seperti yang di ungkapkan oleh George Junus Aditjondro, bahwa “hidup dengan bantuan Soeharto selama dua decade, Habibie mempraktekan nepotisme, yang bahkan lebih jelas dalam posisi resminya daripada Soeharto, Habibie adalah Kepala Otoritas Batam kemudian posisi itu di alihkan kepada Fanny Habibie setelah Soeharto memilih Habibie sebagai Wakil President, Otoritas batam di penuhi anggota kelompok Habibie, dan tidak hanya itu tetapi ada beberapa perusahaan milik pemerintah juga di kendalikan oleh Habibie seperti IPTN (pesawat), PT. PAL (perkapalan), PT. PINDAD (pabrik senjata dan amunisi) dan Pasar pemasaran bisnis keluarga Habibie telah terbangun dengan baik di Jerman sehingga sangat menguntungkan dengan mengggunakan asosiasi bisnis Indonesia – Jerman (EKONID) dan yang bertanggung jawab adalah Yayuk Habibie adik terkecil Habibie (George Junus Aditjondro - Korupsi Kepresidenan - LKIS – 2006) hasil keuntungan ini sangat besar sehingga dapat menjamin kehidupan dan masa tua Habibie yang di habiskan di negara ini.

Gaya hubungan penguasa dan pengusaha yang dilakukan Habibie yakni melibatkan keluarga sendiri terjun dalam bisnis, gaya ini menurut Yoshihara Kunio kapitalis keluarga president seperti yang dilakukan oleh President Marcos di Filipina (Yoshihara Kunio - Kapitalisme Semu Asia Tengara – LP3ES – 1990)

Habibie yang merupakan menurut anggapan umum kaum Reformis dianggab sebagai antek atau kaki tangan Soeharto yang diketahui paling banyak melakukan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sesuai dengan semangat demokrasi yakni memutuskan mata rantai kekuasaan orde baru maka Habibie tidak diajukan dalam bursa pencalolan President pada tahun 2000. kehadiran Gus Dur (Abdurahman Wahid) yang nyentrik diharapkan mewakili semangat reformasi Soeharto dan Habibie tetapi Gus Dur tidak secara langsung melakukan hubungan dengan para pengusaha tetapi dilakukan orang-orang dekat dari NU (Nadhatul Ulama) dan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) seperti Gus Dur mengintervensi cabinet untuk membebaskan tiga konglomerat yakni Marimutu Sinivasan (Texmaco Group), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific Group) karena keterlibatan mereka dalam urusan utang, yang merupakan bagian dari Bantuan Likuiditas Bank Indoensia (BLBI), Sinivasan terkenal sebagai konglomerat berdarah India yang bergerak dalam usaha tekstil dan truk, menurut Straits Time, 27 April 2000, konon telah memperkerjakan 150.000 anggota NU di Jawa Timur, serta memberikan insentif kepada sejumlah kiai NU untuk melobi President Gus Dur. (George Junus Aditjondro – Korupsi Kepresidenan – 2006) Kasus yang akhirnya menjungkalkannya dari kursi kepresidenan (impeachment) yakni kasus Bruno Gate dan Bulog Gate yang menarik President Gus Dur tidak melibatkan keluarga secara langsung dalam melakukan hubungan dengan pengusaha.

Hubungan pengusaha dan penguasa yang di bangun oleh Gus Dur lebih pada pemanfaatan organisasi keumatan (NU) dan partai politiknya (PKB) untuk melakukan hubungan dengan pengusaha perilaku ini menurut Yoshihara Kunio bahwa politisi yang beralih menjadi kapitalis, (Yoshihara Kunio – Kapitalisme Semu – 1990) namun tidak cukup seperti apa yang di ungkapkan Yoshihara tetapi lembaga keumatan keagamaan diseret untuk terlibat dalam hubungan ini dengan mendirikan yayasan- yayasan sosial keagamaan. Keuntungan yang di peroleh atau komisi-komisi yang diperoleh dari lobi-lobi politik ini dapat di salurkan lewat yayasan-yayasan, memang bertujuan untuk keslamatan umat tetapi hal ini telah merampas uang negara dengan cara yang tidak baik, dan hanya bagi komunitas terbatas.

Era megawati hal ini yang menyebabkan korupsi yang terlihat jelas pasca reformasi 1998, dn berbagai kasus menarik perhatian yakni penjualan aset negara kapal tanker pertamina yang melibatkan Laksamana Sukardi, dan privatisasi terhadap sejumlah perusahaan seperti INDOSAT dan lainnya. Tidak hanya itu tetapi gaya hubungn penguasa dan pengusaha hampir mirip apa yang di lakukan oleh President Soeharto namun peran ini dimainkan langsung oleh Taufik Kiemas dimana sejumlah mega proyek terutama di DKI dimenangkan olehnya yang berindikasi bahwa hal ini di berikan Sutiyoso kepada PDIP guna meredam pengusutan kasus 27 Juli 1996. (George Junus Aditjondro - Korupsi Kepresidenan – 2006)

Penguasaan proyek tidak hanya terbatas di situ tetapi penguasaan lain yang dilakukan yakni menempatkan keluarga seperti adik dari Taufik Kiemas yakni Santanaya dan Nazarudin untuk menjadi Komisaris di sejumlah perusahaan Bonafid seperti Gajah Tunggal guna menyelamatkan Syamsul Nursalim, pada Kekuasaan Megawati dan terbangun opini di masyarakat bahwa Megawati dikendalikan sepenuhnya oleh Taufik Kiemas. Peluang yang di berikan bagi pengusaha di luar lingkaran keluarga ada sejumlah nama yang berada dalam barisan Megawati seperti Arifin Panigoro, Murdaya Poo namun dia adalah anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan berada di lingkaran uatama PDIP karena berada di Struktur Partai. Yang pada tahun 2007 menurut majalah Forbes menempati peringkat ke – 13 dari 40 orang terkaya di Indonesia di bawah bendera usaha Group Central Cipta Murdaya dan Group Berca yang total kekayaan nya pada tahun 2006 sebesar US$ 900 juta. (George Junus Aditjondro – 2006) Yang kemudian di pecat dari parti karena sebagai kader PDIP tetapi melakukan bantuan atau memberikan dukungan politik bagi pencalonan SBY-Boediono pada pemilu 2009, padahal PDIP memiliki calon yang haru di dukung olehnya, sehingga PDIP harus mencopotnya dari kepengurusan partai dan melakukan PAW dari kursi DPR – RI dari wilayah pemilihan Banten.

Motif hubungan yang dilakukan oleh megawati mengadopsi apa yang di lakukan oleh Soeharto dan mengkolaborasi dengan melibatkan politisi yang berasal dari kalangan pengusaha dan biasa di kenal dengan istilah kapitalis yang beralih menjadi politisi. Mereka yang terlibat di sini karena dengan berada di legislative dengan mudah dapat melakukan perburuan rente karena akses yang di miliki mudah serta, biaya sogokan untuk mendaptkan proyek tidak terlalu besar namun kompensasinya di alihkan untuk partai.

Masa SBY pun hampir sama hubungan ini tetap mesra namun pada periode pertama tidak terlalu terlihat perilaku hubungan ini, karena membangun image dengan memberikan ruang penuh bagi Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan dan penangkapan bagi mereka yang melakukan korupsi. Akhir pada periode kepemimpinan pertama mulai bergeser dari semangat awal di mana ingin membasmi praktek korupsi. Namun ini hanya sebuah kamuflase untuk membentuk citra partainya.

Padahal jika mau melihat ke belakang saat pertarungan nya pada periode 2004-2009 dimana sejumlah pengusaha ada di barisan SBY-JK dimana memberikan dukungan politik guna melawan Incumbent waktu itu Megawati. Sehingga ketika Group Bakrie & Brothers saat mengalami masalah dengan muncratnya Lumpur Lapindo mulai 29 Mei 2006 maka pemerintah melakukan konspirasi dengan mudah mengatakan bahwa hal ini adalah bencana nasional sehingga pemerintah mengambil alih dengan memberikan bantuan perbaikan infrastruktur dan bantuan ganti rugi, apa lagi Aburizal Bakrie juga berada dalam cabinet yang di pimpin oleh SBY – JK, konspirasi ini kembali terulang saat krisis keuangan global sehingga harga saham longsor hebat termasuk harga saham Group Bakrie yang turun hingga 20% dari seluruh nilai saham sehingga di pemerintahan terbentuk faksi dalam cabinet antara pro dan kontra (29 November 2006 Sri Mulyani mengatakan bahwa tidak ada dana di APBN 2006 dan 2007 untuk menanggulangi semburan Lumpur), (Koran Tempo - 11 Desember - 2009) untuk membantu konglomerat Group Bakrie, bahkan wapres Jusuf Kalla ngotot dengan berkata, apa salahnya pemerintahan membantu, dengan pemahaman bahwa group bisnis ini merupakan aset nasional.( Majalah Tempo, Edisi 17 – 23 November 2008)

Pertimbangan yang di lakukan Jusuf Kalla karena dukungan financial beruntun yang di lakukan Aburizal Bakrie pada saat JK akan bertarung menjadi Ketua Umum Golkar di Kongres Bali, dan yang kedua ketika SBY - JK maju sebagai capres pada pemilu 2004. Sumber ini diungkapkan majalah Tempo bahwa jasa Aburizal dlam menopang kebutuhan dana kampanye Yudhoyono – Jusuf Kalla cukup besar, dan selalu memasok dana dalam jumlah yang besar (Majalah Tempo - Edisi 17 – 23 November 2008)

Hubungan pemerintahan SBY dengan pengusaha tidak hanya dalam bidang usaha umum tetapi melakukan hubungan dengan para pemilik bank seperti yang di lakukan pemerintahan SBY terhadap Bank Century dengan mengeluarkan “bailout century” sebesar Rp. 6,7 triliun untuk penyelamatan century dan kebijakan ini tidak mendapat restu sepenuhnya dari DPR – RI dan pengucuran dana ini hanya disepakati oleh Bank Indonesia (Boediono) dan Departemen Keuangan (Sri Mulyani) yang menjadi permasalahannya adalah penggelontoran dana ini bukan untuk menggantikan uang nasabah, kenyataan yang terjadi adalah uang itu hilang bagaikan kabut yang hilang dalam pandangan mata.

Kabar mengejutkan darang dari sebuah LSM – Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat) menyebutkan bahwa lembaga pemelihan umum dan sejumlah politikus pendukung SBY- Boediono menerima cipratan aliran dana Century, Bendera menyebutkan bahwa, KPU menerima Rp. 200 miliar, Lembaga Survei Indonesia Rp. 50 miliar, kemudian Fox Indonesia Rp. 200 miliar, dan Partai Demokrat Rp. 700 miliar, Politikus Edhie Baskoro – Ibas, anak bungsu Yudhoyono – di tuding menerima Rp. 500 miliar, Hatta Rajasa (kini Menteri Perekonomian) Rp. 10 miliar, Djoko Suyanto (sekarang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan) Rp. 10 miliar,mantan juru bicara kepresidenan Andi Malarangeng dan Choel Malarangeng pemilik Fox, masing-masing Rp. 10 miliar dan Pengusaha Hartati Murdaya Rp. 100 miliar.( Majalah Tempo - Edisi 7 – 13, 2009)

Terlepas hal ini benar atau tidak namun indikasi ini menunjukan Penguasa dapat berupaya dengan kekuasaan nya untuk memperoleh modal politik untuk mempertahankan kekuasaannya, dan membiarkan rakyat menjerit terutama para nasabah bank century yang tidak mendapatkan kepastian hukum atas dana yang mereka miliki, sedangkan para penguasa menggunakan uang rakyat untuk kepentingan memperpanjang kekuasaannya, kroni bahkan menyelamatkan aset kekayaan mereka. Dari perilaku hubungan penguasa dan pengusaha selama kepemimpinan kepresidenan di Indonesia dapat menghasilkan hubungan yang menghasilkan kolusi, korupsi dan nepotisme dan menempatkan rakyat di bawah hanya sebagai obyek yang dapat di ekloipatasi, hubungan ini gambarkan oleh Miftah Thoha sebagai berikut:
Gambar 2. Gambar hierarki hubungan ketiga komponen zaman pemerintahan Soeharto hingga saat ini masih menguat. (Miftah Thoha – Birokrasi & Politik – 2007)

Good Governance

Demokrasi yang di jalani bangsa Indonesia saat ini tidaklah menjawab esensi dari demokrasi itu sendiri, potret yang terlihat dari gambaran hubungan pengusaha dan pengusaha ini menunjukan bahwa yang mendapat keuntungan adalah pengusaha dan pengusaha sedangkan rakyat tetap dirugikan bahkan dieksploitasi dengan alasan demi kemajuan bangsa, padahal demokrasi memberi daulat sepenuhnya kepada rakyat.

Demokrasi di Indonesia memberikan pemahaman terbalik pejabat atau penguasa didaulat oleh rakyat guna memberikan pelayanan terhadap rakyat, sebaliknya terbalik pejabat publik menggunakan kesempatan itu untuk menanggung untung untuk kepentingan pribadi, kroni dan keluarga.

Tarik menarik antara tiga komponen ini tidak seimbang hanya menguntungkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan dan oleh mereka yang dapat memperdaya kekuasaan dengan modal yang mereka miliki. Menurut Thoha, hakikatnya keseimbangan peran dari ketiga komponen berat sebelah, peran pemerintah yang sentral memberikan kontribusi yang besar terhadap komponen sektor swasta tanpa diimbangkan peran rakyat untuk bisa mengontrolnya. Komponen rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini memberikan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah, dengan demikian kekuasaan pemerintah yang berasal dari rakyat tersebut, agarbisa dijalankan dengan baik harus diimbangi dengan pengawasan yang dilakukan rakyat. (Miftah Thoha – 2007)

Akibat Pejabat pemerintah (pengusa) telah di kuasai oleh swasta maka ketika pengusaha melakukan kesalahan atau melanggar hukum bahkan merugikan rakyat maka pemerintah secara otomatis memberikan perlindungan bagi pengusaha karena rasa utang budi. Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Boni Hargens, bahwa di berbagai tempat dapat ditemukan masalah konflik lokal antara perusahaan (swasta) dengan local comunity, terkait kerusakan lingkungan, kompensasi yang sangat minim, dari perusahaan terhadap pembangunan masyarakat setempat, atau maslah kekerasan yan di alami rakyat yang dilakukan oleh militer yang dibayar perusahaan. Beliau kembali menambahkan bahwa, masyarakat selalu berada pada posisi yang dirugikan ketika berhadapan dengan pasar yang terlalu profit-oriented, sebagian alasan ditemukan pada perilaku pejabat negara yang menjadi kompradoryang mengambil untung dari hubungan negara- pasar. (Boni Hargens - Trilogi Dosa Politik - 2008)

Peran pengusaha dilibatkan dalam membangun negara untuk memberikan dampak baik bagi kesejahteraan masyarakat, dengan membuka lapangan pekerjaan baru bagi rakyat, pengelolan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dengan mengembalikan sekian persen dari rofit yang di peroleh melalui pengelolaan CSR (Coorporate Social Responsibility). bukan berarti membatasi peran pengusaha dalam kerjasamanya dengan negara, namun kenyataan yang terjadi CSR masuk ke tangan Penguasa atau melalui Yayasan sosial yang di buat untuk kepentingan politik atau perpanjangan tangan guna mempertahankan kekuasaan pada periode berikutnya.

Peran rakyat harus dilibatkan dengan melakukan tranparansi dalam menjalankan pemerinthan serta akuntabilitas dibutuhkan agar dapat diketahui oleh rakyat sehingga dapat melakukan kontrol, tidak ada perlakuan istimewa atau khsusus terhadap pengusaha tertentu sehingga mereka pun benar-benar bertanggung jawab dalam melakukan tugasnya, dan tidak meras mendapatkan jaminan dari pemerintah sehingga tidak maksimal bahkan melakukan korupsi dalam setiap proyek yang dikerjakan. Penguasa tidak memanipulasi segala dana atau hak rakyat dari hasil atau bantuan CSR dengan yayasan yang di bentuk untuk menampung atau memarkirkan dana tersebut untuk biaya kampanye.

Kemudian lagi memakai kroni atau keluarga untuk terlibat dalam tender atau penguasaan proyek tertentu yang kemudian keuntungan tersebut di arahkan untuk mensukseskan partai politik tertentu, dan tidak lagi di laporkan sebagai sumber penghasilan rakyat, menjauhi gratifikasi atau bentuk pemberian-pemberian tertentu yang tidak jelas dan asal-usul uangnnya.

Kenyataan hubungan patron klien di Indonesia kelihatan dari pembahsan ini menunjukan bahwa patron tertinggi ada dalam tangan pengusaha karena bisa mengatur pengusaha seperti yang terjadi dalam rekaman percakapan Anggodo dan Yuliana Ong di sana nama president SBY disebut hal ini menunjukan bahwa pengusaha swasta bisa mengatur pengusaha, dalam era demokrasi seharusnya Patron adalah rakyat dimana meberikan kepercyaan kepada klien-nya yakni Penguasa, jika penguasa menjalankan kekuasaan dengan baik maka rakyat akan memberikan kepercayaan tetapi jika penguasa berkhianat maka rakyat berhak untuk memutuskan hubungan tersebut.

*Penulis : Mahasiswa Politik – Kekhususan Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar