Minggu, 03 Januari 2010

"Qua Vadis Lembaga Negara Informal"

“QUO VADIS LEMBAGA INFORMAL ”
*Yoyarib Mau
Reformasi Birokrasi menjadi salah satu semangat reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru, proses demokratisasi berjalan dengan baik salah satu bentuk dari penerapan demokratisasi adalah reformasi birokrasi, reformasi birokrasi dilakukan dengan sejumlah cara, salah satu bentuknya adalah membentuk lembaga-lembaga informal, lembaga-lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), sebagai kekuatan hukum untuk melakukan tugas-tugas teknis. Kemelut Bank Century yang belum juga tuntas, tetapi Pemerintah telah mengambil alih Bank ini dengan mengganti namanya menjadi Bank Mutiara, kemungkinan hal ini dilakukan dengan alasan yang sama yakni berdampak sistemik. Keterlibatan atau keterkaitan sejumlah lembaga negara informal dalam kasus Bank Century antara lain JPSK (Jaring Pengaman Sitem Keuangan), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), KSSK ( Komite Stabilitas Sistem Keuangan). PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), UKP3R (Unit Kerja President untuk Pengelolaan Program Reformasi).

Sejumlah lembaga-lembaga bentukan negara yang disebutkan diatas ada untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap institusi kenegaraan dalam melaksanakan administrasi negara. Tugas-tugas lembaga-lembaga bentukan negara (informal) ini, hadir untuk mengontrol institusi kenegaraan yang menjalankan fungsi administrative sebagai bagian dari peran eksekutif, yang bertujuan agar tidak terjadi penyalagunaan kekuasaan yang merugikan rakyat. Namun kenyataan yang terjadi mengapa peran lembaga informal yang dibentuk dengan dasar hukum yakni Perppu tidak berjalan dengan baik sehingga sepertinya tidak memiliki nyali tidak berdaya untuk melakukan tugas teknis yang di embannya. Sehingga ada pertanyaan terbesar Mungkinkah pejabat lembaga-lembaga informal yang dibentuk dengan Perppu hanyalah boneka demokrasi (kambing congek, atau kerbau yang ditusuk hidung) yang menuruti apa yang diinginkan oleh penguasa?

Kehadiran lembaga-lembaga informal ini sebagai bagian dari demokratisasi namun terkesan seperti dihadirkan hanya untuk memenuhi syarat administratife sabagai negara pengembang demokrasi guna menyenangkan dunia Internasional. Lembaga ini dihadirkan, namun sepertinya kedip mata antara penguasa dan pejabat lembaga tersebut, proses demokrasi seperti ini lebih dikenal sebagai Theory of Game yang dipakai para ahli ekonomi yakni John Von Neuman dan Oskar Morgenstern tetapi dalam perkembangannya model tersebut ada juga dalam Ilmu politik, teori tentang permainan ini dimana pembuatan keputusan dan kerja sama, yang dimainkan antara dua orang pemain atau lebih, dimana keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya, oleh karenanya titik sentralnya adalah saling ketergantungan di antara keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya. Lebih lanjut SP. Varma menuliksan bahwa dalam teori permainan hal ini seringkali digambarkan sebagai pemain yang “mengeroyok” pihak pendobrak – terdepan dalam rangka memperkecil peluangnya untuk mendapatkan kemenangan. Untuk mencapai kemenangan maka di butuhkan koalisi (menjalin kerja sama), Maka tercipta permainan di dalam permainan, di dalam mana para pemain melaksanakan peraturan-peraturan (mempergunakan sumber-sumber) (SP. Varma – Teori Politik Modern – Rajawali Pers).

Teori Permainan yang dihadirkan Neuman dan Morgenstern, apabila di jadikan pisau analisis untuk mengkaji permasalahan kemelut Bank Century yang melibatkan banyak lembaga negara informal dimana ada penyeragaman pemahaman tentang dampak sistemik dengan kesepakatan sistemik antara lembaga-lembaga dengan sumber-sumber kewenangan yang di miliki untuk menentukan keputusan penyelamatan Bank Century.
Permasalahan yang dijadikan alasan dampak sistemik bagi perekonomian Indonesia berawal dari bulan September – November 2008 merupakan puncak krisis global yang berpusat pada pasar keuangan Amerika Serikat (AS), hal ini melemahkan nilai tukar hingga Rp. 12.000/dollar AS. Menjadi pertanyaan kenapa muncul Bank Century muncul mendaadatk sebgai Bank yang patut mendapatkan fasilitas pendanaan, padahal bank ini berada dalam pengawasan intensif Bank Indonesia (BI) sejak 29 Desember 2005 karena masalah Surat Berharga dan Perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan.

Mendadak lembaga – lembaga formal maupun informal dalam kapasitas sebagai otoritas keuangan mendadak dalam rapat yang dijadwalkan 20 November 2008 rapat diawali oleh rapat internal (pukul 19:00 – 22:00 WIB) Dewan Gubernur BI dengan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal, BI lalu menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan tentang penetapan status bank gagal, di lain tempat pada tanggal yang sama (pukul 23:00 – selesai) Rapat Informal antara Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Tim BI, kemudian baru dilakukan rapat konsultasi dimana KSSK menggelarnya pada 21 November 2008 pukul 00:11 dimana dihadiri oleh sejumlah petinggi keuangan yang diundang yakni para pejabat eselon satu Departemen Keuangan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Mandiri dan kemudian juga hadir Marsilam Simanjuntak sebagai ketua UKP3R hadir dalam rapat tersebut. (Majalah Tempo Edisi 28 Desember 2009 – 03 Januari 2010).

Hasil rapat tersebut dengan suara bulat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Dari penjelasan diatas sepertinya keputusan ini di skenariokan dan berdasarkan pesanan sponsor guna mewujudkan apa yang diinginkan sehingga dari berbagai-tim tanpa ada sanggahan apapun tetapi langsung menelurkan keputusan bersama, hal ini memberikan indikasi bahwa ada koalisi permainan untuk mendapatkan kemenangan yang sistemik.

Ada lima alasan yang diungkapkan ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan mengapa Bank itu harus mendapatkan suntikan: petama; dikwatirkan akan merusak lembaga keuangan (perbankan). kedua; menimbulkan dampak sistemik pasar uang, ketiga; nilai tukar menggangu sistem pembayaran, keempat; mempengaruhi psikologi pasar, kelima; mempengaruhi sektor riil (A. Prasetyantoko – Kompas 14 - 12 - 2009)

Alasan ini sepertinya strategi pendobrak untuk dapat melakukan alasan untuk memenangkan skenario tertentu padahal di lain pihak salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia melihat bahwa tekanan atas rupiah memang tidak sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia, cadangan devisa pun masih berada di kisaran US$ 50 – 51 miliar, itu cukup untuk menjaga kestabilan kurs. Krisis keuangan global menjadi pemicu utama yang menekan rupiah. Sejak turbelensi mendera sektor keuangan di Amerika Serikat, Menurut Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya, Yudhi Sadewa, berkaca pada permintaan dolar riil di pasar uang Jakarta, sebetulnya rupiah berpeluang menguat tajam jika Bank Indonesia lebih all-out masuk pasar, dengan intervensi bank sentral yang memadai kata Yudhi seharusnya rupiah bisa kembali menguat tajam, hal ini mengindikasikan intervensi Bank Indonesia masih terbatas (Majalah Tempo edisi 2-8 Maret 2009).

Sebenarnya yang dilakukan lembaga-lembaga negara informal yang dibentuk untuk mengontrol dan memberikan pengawasan terhadp pejabat negara tidak berjalan efektif karena dijabat oleh pejabat negara sendiri sehingga seperti ketua KSSK adalah juga pejabat Menteri Keuangan, Sekertaris KSSK adalah salah satu tim sukses SBY, yang pernah diusulkan oleh SBY untuk menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia tetapi mengalami penolakan oleh sejumlah anggota DPR RI – Komisi Keuangan dan Perbankan, sehingga Raden Pardede dilabuhkan SBY sebagai Mitra di Sekertaris KSSK.
Ada nama lain yang hadir dalam rapat penentuan Bank Century harus mendapatkan penjaminan, yakni Marsilam Simanjuntak yang waktu itu berkapasitas sebagai ketua UKP3R yang seharusnya masa tugasnya telah berakhir pada bulan September 2008 (Majalah Tempo edsisi 19- 25 Oktober 2009). Tetapi hadir dalam rapat tersebut kapasitasnya dalam UKP3R yakni membantu President mengawasi kerja dan kinerja para Menteri, namun kehadirannya dalam rapat tersebut kembali di bantah oleh Raden Pardede bahwa kehadirannya bukan mendapatkan perintah khusus dari President tetapi hadir sebagai Penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo edisi 28 Des 2009 – 3 Januari 2010) kehadirannya untuk mengikuti rapat dimungkinkan karena kapasitas sebagai Ketua UKP3R dan bukan sebagai Penasihat Derpartemen Keuangan, bahkan pada transkip rapat konsultasi KSSK antara lain tertulis bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan Marsilam diminta Presiden untuk bekerja dengan KSSK (Kompas 27 Desember 2009), Namun di lain kesempatan Raden Pardede mengatakan bahwa, Marsilam hadir sebagai penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo, 28 Des 2009 – 3 Jan 2010), Apabila dia hadir sebagai Penasihat Dep. Keuangan sebenarnya hanya hadir dalam rapat Departemen Keuangan atau memberikan masukan-masukan bagi Departemen Keuangan apabila di minta masukan-masukan dan bukan hadir dalam rapat konsultasi antar lembaga yang memiliki otoritas dengan keuangan.

Sehingga secara psikologis kehadiran Marsilam Simanjuntak mendorong semua peserta rapat untuk menyepakati Bank Century sebagai bank gagal yang membutuhkan penanganan jika tidak maka dapat berdampak sistemik, sebetulnya ini bentuk permainan bola dimana saling melempar bola untuk satu tujuan menyelamatkan bailout Rp. 6,7 triliun dan memenangkan pertarungan permainan ini. Dari penyelidikan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dimana antara lain terdapat penyalagunaan wewenang terkait dengan kebijakan pengucuran dana (Kompas 10 Des 2009). Pelemparan bola untuk menyelamatkan kasus Bank Century merupakan sebuah strategi yang ampuh yang dilakukan oleh sejumlah pejabat negara berkoalisi dengan sejumlah lembaga informal yang memiliki otoritas di bidang keuangan.
Wapres Boediono waktu itu menjabat sebagai Gubernur Indonesia saat pengucuran dana talangan menyatakan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keluarnya Perppu No. 4 Thn 2008 tentang JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan), namun satu sisi ada penyangkalan terhadap kehadiran Marsilam dalam rapat KSSK. Lembaga lembaga informal dibentuk untuk membantu melaksanakan pengontrolan dan pengawasan bahkan kehadiran mereka di lengkapi dengan Perppu sebagai petunjuk teknis untuk melakukan sebuah kebijakan dalam kondisi darurat, demikian dengan kehadiran Perppu No. 4 thn 2008 tentang JPSK mendadak mengajukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pencabutan Perppu JPSK dan menarik adalah ada matri yang krusial menyangkut Bank Century pada Pasal 2, Ayat (2) Pasal itu menegaskan, kebijakan yang telah ditetapkan oleh KSSK tentang penanganan krisi berdasarkan Perppu JPSK tetap sah dan mengikat, kemudian pada bagian penjelasan ditegaskan, yang dimaksud dengan kebijakan KSSK itu adalah tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik (Kompas, 4 Januari 2009).

Dari permasalahan yang dilakukan sejumlah lembaga negara menyangkut Bank Century sebenarnya alasan dampak sistemik dijadikan alasan oleh lembaga lembaga informal dan pejabat negara untuk berkoalisi secara sistematis dengan segala kewenangan yang ada guna melakukan pelanggaran, kemudian saling melempar tanggung jawab dalam permasalahan yang merugikan negara dan rakyat terutama mereka yang mendepositkan uangnya di bank century yang hingga hari ini belum mendapatkan ganti rugi.

Keberadaan lembaga – lembaga informal yang telah berakhir masa tugasnya di gunakan untuk kepentingan penguasa, tidak saja pada tataran itu tetapi kekuasaan dapat digunakan secara sistematis, dimana Perppu yang di keluarkan untuk memberikan wewenangan teknis bagi lembaga informal seperti JPSK bisa saja dengan wewenang kekuasaan eksekutif membatalkannya dengan mengajukan RUU Pencabutan Perppu, pesta akhir tahun hampir saja membuat rakyat tertidur, lembaga negara informal yang dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol lembaga-lembaga negara atau departemen-departeman untuk menjalankan tugas administratif dengan transparan dan akuntabel, malah menggunakan lembaga – lembaga informal ini untuk kepentingan kekuasaanya, RUU Pencabutan Perppu ini sebagai contoh konkrit diman penguasa dengan segala kewenangan dapat membuat kasus bank century berakhir di persimpangan jalan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar