“SBY MENGIDAP PARKINSON”
*Yoyarib Mau
Ungkapan diatas terkesan profokatif namun inilah realitas yang tak dapat di pungkiri, namun sebagaimana SBY sebagai pejabat publik yang dipilih publik (rakyat), maka dengan serta-merta berakhir sudah kekuasaan rakyat, bukan berarti rakyat hanya diam menuruti apa yang diperintahkan tanpa harus melakukan kritik atau kontrol atas pemerintahan yang dijalankan.
Kedaulatan ada dalam tangan rakyat, dan kedaulatan itu diwakilkan kepada president untuk mengatur kehidupan rakyat, namun bukan berarti sebebas-bebasnya tetapi bebas terbatas dan bertanggung jawab kepada rakyat. Untuk menjalankan pemerintahan maka president membentuk sejumlah Departemen yang di anggap penting untuk mengurus kehidupan rakyat, sehingga dipilihnya sejumlah Pembantu President ynag dikenal Menteri untuk mengepalai Departemen-departemen yang di bentuk dan kini ada sejumlah Departemen berganti nama menjadi Kementrian.
Kementerian tersebut tidak hanya di kepalai oleh seorang Menteri tetapi kali ini SBY menambahkan sejumlah Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, SBY berencana menetapkan 11 Menteri dalam beberapa, tahap I SBY menetapkan lima (5) Wakil Menteri dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (Kompas, 11/11/2009) yang terdiri dari Wakil Menteri Pertanian (Bayu Krisnamurti), Wakil Menteri Pekerjaan Umum (Hermanto Dardak), Wakil Menteri Perhubungan (Bambang Susantono), Wakil Menteri Perindustrian (Alex Retraubun), Wakil Menteri Perdagangan (Mahendra Siregar) dan Kepala BKPM (Gita Wiryawan).
Tentu setiap kebijakan ada landasan hukum, sehingga penetapan Wakil Menteri landasan hukumnya mengacu pada UU No.39 Tahun 2008 Pasal 10 tentang Kementrian Negara, dalam hal terdapt beban kerja yang yang membutuhkan penanganan secara khusus, president dapat mengangkat wakil menteri pada kementrian tertentu. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet. Jelang sebulan SBY kembali menetapkan wakil menteri dan satu sekertaris kabinet sebagai kelanjutan tahap sebelumnya, dalam tahap II ini ada Wakil Menteri Keuangan (Anggito Abimanyo), Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Lukita Dinarsyah Tuo), Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Fasli Djalal), Wakil Menteri Pertahanan (Sjafrie Sjamsoeddin) dan Sekertaris Kabinet (Dipo Alam) (sumber : Kompas 6/01/2010).
Tidak hanya sejumlah Wakil Menteri yang di bentuk tetapi di tetapkannya sejumlah Staf Ahli Kepresidenan, Staf Khusus Kepresidenan dan sejumlah unit bentukan seperti pada KIB I UKP3R yang di ketuai oleh Marsilam Simanjuntak yang kemudian berubah naman dan kini dibentuk lagi SATGAS (Satuan Tugas) Pemebrantasan Mafia Hukumyang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto.
Ketika menilik kepemimpinan SBY banyak hal yang mengalami penambahan bukan saja wakil menteri tetapi sejumlah Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang dikeluarkan melebihi Perppu yang dikeluarkan di masa orde lama dan orde baru di masa SBY sejak Kabinet Indonesia Bersatu I sejak tahun 2004- 2008 berjumlah 16 Perppu, dan Kabinet Indonesia Bersatu II sudah 4 Perppu, jika di bandingkan dengan masa Soeharto (Orba) hanya 4 Perppu, sedangkan Soekarno (Orla) hanya 9 Perppu (Kompas 24/09/2009) maka pemecah rekor penghasil Perppu terbanyak maka SBY menempati juara pertama.Kondisi diatas menimbulkan sejumlah pertanyaan diantaranya, apa kegentingan yang mendorong untuk membentuk sejumlah lembaga atau ada muatan lain dalam penambahan struktur pemerintahan ?
Dalam sejarah pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu mengadopsi pola yang dilakukan SBY ini dengan berbagai macam cara, struktur pemerintahan di buat tambun dengan berbagai lembaga dan penambahan sejumlah pejabat seperti peran wakil menteri sehingga taksalah jika SBY mengidap Parkinson. Penggunaan pola ini sering di kenal dengan teori parkinsonisasi, Istilah Parkinson yang dikemukkan Eep Saefulloh Fatah di Kompas, awalnya adalah sebuah nama penyakit, ini diambil dari C. Nortcote Parkinson, sang pencipta “Hukum Parkinson” Parkinson menggambarkan kecenderungan yang umum terjadi dalam kerja organisasi atau birokrasi, salah satunya yang terpokok adalah kecenderungan untuk memperbanyak orang yang terlibat di dalamnya, bukan karena kebutuhan fungsional melainkan karena hasrat untuk melipatgandakan jumlah bawahan” (Kompas, 12/02/2010).
Penambahan sejumlah wakil menteri terjadi karena berbagai pertimbangan kemungkinan karena yang menduduki kursi menteri kebanyakan berlatar belakang politisi, atau menduduki posisi menteri yang sebenarnya tidak pada tempatnya, sehingga memerlukan wakil menteri yang berlatar belakang profesional yang mengenal sistemnya, pembentukan atau penambahan pejabat mendapatkan pembenaran dengan mendasari dari Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan UU No 39 Tahun 2008 Pasal 10 tentang Kementrian yang menjelaskan Wakil Menteri adalah pejabat karier, bukan anggota kabinet.
Citra Rasa
Jika SBY mendasari pemilihan wakil menteri dari undang-undang dan Peraturan Presiden di atas maka timbul pertanyaan bagaimana dengan terpilihnya Alex Retraubun sebagai Wakil Menteri Perindustrian, padahal kita tahu bersama bahwa pemilihan wakil menteri karena pejabat karier professional maka seharusnya Alex Retraubun yang nota bene adalah mantan Dirjen wilayah pesisir dan daerah perbatasan di Departemen Perikanan dan Kelautan menjabat wakil menteri di Departemen tersebut bukan pada Departemen Perindustrian sehingga terkesan tidak memenuhi prasyarat UU No.39 Tahun 2008 tentang pejabat karier, pejabat karier adalah memiliki kompetensi di bidangnya. Namun kemungkinan pengangkatan Alex Retraubun mungkin sebagai obat penawar bagi masyarakat Maluku yang melakukan demontrasi penuntutan agar ada Orang Maluku ada dalam Kabinet.
Pembentukan Satgas Makelar Kasus sepertinya banyak muatan sebenarnya lembaga bentukan ini hadir karena kegentingan, atau krisis atau kemelut, sepertinya hadirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena gagalnya peran Kepolisian dan Kejaksaan sehingga hadirnya KPK untuk mewujudkan peran penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, namun berbeda dengan Satgas Makelar Kasus sepertinya hadir tanpa makna karena Departemen Hukum dan Ham dengan Menteri barunya Patrialis Akbar seharusnya sidik ke penjara adalah Hak dan Kewajiban Menteri Hukum dan Ham dalam melaksanakan tugas ini, peran Satgas seyogianya dapat dibenarkan jika Kementrian Hukum dan HAM gagal atau tidak mampu melakukan tugasnya, idealnya setelah 100 hari kerja SBY dan KIB II (Kabinet Indonesia Bersatu) apabila dilakukan evaluasi kinerja kerja dan kementrian Hukum dan HAM mengalami kegagalan atau tidak bekerja maskimal maka pantaslah jika membentuk Satgas Makelar Kasus.
Kehadiran Satgas Makelar Kasus lebih pada tendensi politik dimana karena kasus Bank Century yang melibatkan sejumlah pejabat KIB II dan Wapres sehingga terkesan Satgas Makelar Kasus dihadir untuk mengalihkan perhatian atau pembentuk citra atau pencitraan terhadap diri SBY. Kemungkinan pembentukan Satgas Makelar Kasus terinspirasi oleh apa yang di tuliskan dalam Kitab Injil Lukas tentang Yohanes Pembabtis, (meminjam isi kitab ini sebagai pengandaian) yang menggenapi nubuatan “setiap lembah akan di timbun, dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan dari Tuhan” kemungkinan ayat-ayat suci ini menginspirasinya untuk menghadirkan Satgas Makelar Kasus yang berperan sebagai Yohanes Pembaptis yang berperan untuk menunjukan kepada rakyat bahwa SBY memiliki komitment untuk mendatangkan kebaikan bagi rakyat Indonesia.
SBY lupa bahwa komitment untuk melakukan keselamatan bagi rakyat harus konsistent dan tidak sepenggal-penggal dimana SBY harus membuktikannya dengan menuntaskan kasus Bank Century sehingga dapat menyakinkan rakyat atas komitmentnya mendatangkan kebaikan (kesejahteraan) bagi rakyat, bukan menghadirkan Satgas Makelar kasus untuk mengalihkan perhatian rakyat atas penantian panjang akan kerja Pansus DPR RI yang belum juga usai.
Menyedot Darah Rakyat
Kehadiran Wakil Menteri, dan para Satgas dan sejumlah lembaga bentukan lainya sebenarnya bukan mendatangkan keuntungan bagi rakyat tetapi menambah beban bagi rakyat dan menghadirkan sinisme bagi para pejabat tersebut, hal ini tentu memiliki alsan logis yakni perlua ada anggran khusus untuk membayar gaji dan fasilitas kehidupan mereka, yakni rumah jabatan, mobil dinas apabila Menteri memakai mobil baru Toyota Crown Royal Salon harganya sekitar Rp. 1,3 Milyar dan penganggaran untuk pengadan mobil mewah dalam APBN sebesar Rp. 63,99 miliar, maka Wakil Menteri sudah barang tentu memakai mobil yang mewah juga dibawah Menteri yakni Toyota Camry. Dan tidak saja itu tetapi sejumlah staf dan pegawai harus di peruntukan untuk mendukung kerja wakil menteri dan sejumlah lembaga bentukan tersebut.
Sehingga pembentukan wajarlah jika dalam tulisan ini penulis memberi judul SBY mengidap Parkinson. Tentu beralasan karena terkesan pembengkakan birokrasi atau institusi pada pemerintahan, yang normalnya dibutuhkan untuk melakukan tugas fungsional dan peningkatan kinerja pelayanan terhadap rakyat, tetapi kenyataannya hanyalah sebagai bentuk upaya akomodatif untuk memberikan jabatan bagi tim sukses. Baik itu Pribadi atau institusi yang sebelumnya mereka pimpin atau berada pada departemen tertentu, yang karena peranan mereka atau kerja kerasnya memberikan kontribusi kemenangan bagi SBY.
Mengapa pilihan itu jatuh pada Anggito Abimanyu dan dan Fahmi Idris seharusnya ada tim ferifikasi yang dibentuk untuk melakukan perekrutan dengan tidak mengabaikan dasar hukum sebagai petunjuk, penentuan ini terkesan sebagai bentuk pemaksaan dan keterpaksaan bukan karena kegentingan dan kebutuhan funsional yang dibutuhkan. Jika memang karena kegentingan dan urgensi kebutuhan maka nama Fahmi Idris dan Anggito Abimanyu tidak seharusnya tersiar ke publik, na’asnya terjadi pembatalan pada hari pelantikan hanya karena keduanya tidak memenuhi syarat administraitf karena belum menduduki jabatan structural eselon I.
Semuanya dilakukan SBY hanya karena ingin memuaskan nafsu karena mengidap parkinson sehingga semua usul, saran untuk membentuk lembaga atau penambahan jabatan dilahap begitu saja tanpa memikirkan pertimbangan-pertimbangan atau resiko-resiko yang akan terjadi kemudian akhiryan berakibat fatal seperti yang terjadi dengan kasus Bank Century.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Jumat, 15 Januari 2010
Sabtu, 09 Januari 2010
MDG's TIDAKAH UNTUK NTT ???
MDG’s TIDAKAH UNTUK NTT ???
*Yoyarib Mau
“……..sekarang sumber air su dekat, kami tidak susah lagi untuk ambil air……..” kalimat ini merupakan sepenggal kalimat dari iklan produk air mineral Aqua yang terlihat menghiasi semua media elektronik dan cetak bertiras nasional sudah, barang tentu di tonton oleh orang NTT (Nusa Tenggara Timur) maupun seluruh masyarakat Indonesia yang dapat mengakses media. Iklan ini menghadirkan sedikitnya dua persepsi, kelompok potifisme menganggap bahwa ada langkah maju bagi NTT di mana orang lain dapat mengenal NTT, sedangkan bagi kelompok pesimisme mereka tidak menyetujui akan iklan ini karena menampilkan potret kehidupan NTT serta kegagalan pembangunan yang selama ini digalakan. Suka atau tidak iklan ini telah menjadi ikon Aqua dalam memasarkan produk air mineralnya.
Nusa Tenggara Timur adalah propinsi yang memiliki persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan selain Papua dan NTB (Nusa Tenggara Barat) mereka pun memiliki persoalan serupa. Indikator yang dapat di jadikan penilaian terhadap persoalan kemiskinan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia), pada tahun 2005 hanya 62,1 sementara IPM NTT 63,6 dan NTB 62,4 yang tergolong kategori menengah ke bawah, pada tahun 2007 IPM Papua meningkat 63,41 tetapi Papua masih menempati peringkat – 33 dari 33 provinsi di Indonesia (Kompas 16/12/2009) berarti IPM NTT kemungkinan meningkat tidak terlampau jauh dari Papua dan tetap menempati urutan peringkat di atas Papua.
Kondisi ini merupakan pergumulan NTT fakta yang menunjukan bahwa NTT memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah seperti data jajak pendapat yang dilakukan Kompas mencatat sejumlah data yang memberikan kontribusi terhadap penilaian IPM dari Maret 2005 krisis pangan akibat kekeringan melanda sepuluh Kabupaten NTT, warga di sejumlah desa di Lembata terpaksa mengkonsumsi buah bakau dan kacang hutan, Juni 2008 sebanyak 12.818 anak balita mengalami gizi buruk dan 72.067 menderita kurang gizi di NTT dari jumlah tersebut 23 anak balita meninggal dunia. Juli 2008 Seorang Ibu muda di Kelurahan Karang Sirih, Timor Tengah Selatan (TTS) - NTT gantung diri setelah sebelumnya meracuni anak semata wayangnya berusia 1,5 tahun karena Korban terhimpit utang jutaan rupiah untuk makan dan minumsementara suami tidak punya pekerjaaan sama sekali (Kompas 14 Desember 2009) , dan November 2009 di Desa Kuale’u, Kecamatan Molo Tengah, Kabupaten TTS - NTT 115 orang keracunan akibat makan daging sapi mati, hanya dengan alasan warga merasa rugi kalau sapinya yang mati dikuburkan begitu saja tanpa ada manfaatnya (Sinar Harapan 11/11/2009) fakta ini menunjukan bahwa masyarakat NTT mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang layak, pekerjaan yang layak, akses kepada air bersih dan bahan makanan, daya beli masyarakat yang rendah, serta pendidikan yang layak.
Kondisi yang dipaparkan diatas, tidak cukupkah dijadikan standar penilaian agar NTT mendapatkan program MDGs (Tujuan Pembangunan Millenium) atau ada penilaian lain? Millenium Development Goals (MDG’s adalah sebuah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitment untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua orang, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan Ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan (www.p3b.bappenas.go.id).
Di Indonesia hanya 5 propinsi dari 33 provinsi yang mendapatkan program MDG’s, dari 5 Provinsi itu ada 20 Kabupaten/kota yang merupakan program harmonisasi strategi nasional penanggulangan kemiskinan. dari 5 provinsi tersebut salah satu propvinsi yang mendapatkan kesempatan tersebut adalah Jawa Tengah yang pada tahun 2006 memiliki IPM sebesar 68,9 jauh diatas NTT.
Apakah NTT sudah bebas dari kemiskinan sehingga dari 21 Kabupaten di NTT tak satupun masuk dalam pilihan 20 kabupaten tersebut, ini merupakan pertanyaan besar kepada Pemerintah daerah NTT, mengapa sehingga tidak mendapatkan bantuan dunia untuk peningkatan IPM nya. Menurut teori modernisasi yang di dalamnya terdapat dua kelompok teori yang meneropong kemiskinan salah satunya adalah; Teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan itu terutama disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan ( Arif Budiman – Teori Pembangunan Dunia Ketiga – Gramedia) teori mendekati kebenaran bahwa penyebab kemiskinan karena faktor internal (Provinsi).
Jika NTT tidak mendapatkan kesempatan tersebut kemungkinan ada penilaian yang di jadikan standar kemungkian salah satu penilaiannya adalah; pertama; masalah structural Birokrasi NTT yang lemah dalam pengelolan dana, memiliki Dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran ( Dana Silpa) dari tahun 2004 – 2009 sebesar Rp. 200 Miliar (Kompas 18/11/2009) angka yang cukup fantastis sehingga dikembalikan kepada negara, Birokrasi pemerintah NTT sudah memiliki IPM yang cukup baik sehingga tidak perlu lagi memikirkan pemberdayan manusia sehingga mengembalikan dana silpa itu untuk negara, atau mabuk kepayangan dengan program Anggur Merah, sehingga tidak berdaya lagi mengelola program pembangunan. kedua: Masalah kepercayaan Lembaga Founding Asing terhadap akuntabilitas dan tranparansi program. Hal ini bisa saja di jadikan alasan, sebab apabila di lakukan pengamatan terhadap Lembaga Sosial Masyarakat yang beradadan bekerja di wilayah NTT terdiri dari jumlah yang cukup banyak namun kenyataannya tidak mampu meningkatkan IPM NTT.
Target Nasional untuk mengurangi angka kemiskinan rakyat hingga 7,5 persen pada tahun 2015 tidak akan mungkin di capai oleh pemerintah Provinsi NTT jika tidak ada komitment dari pemerintah daerah untuk serius dalam pembangunan kemanusiaan terutama penekanan pada peningkatan pendidikan dan kesehatan, sehingga manusia NTT dapat bangkit dari kemiskinan dan memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati sebagai deklarasi millennium seperti: Kemerdekaan dari kelaparan,ketakutan, ketidakadilan, Kesetaraan; antar bangsa, antar masyarakat, antar gender. Solidaritas dalam mengatasi kesenjangan. Toleransi dalam keanekaragaman menuju kedamaian, Penghargaan; pada alam dalam melestarikan lingkungan serta Berbagi tanggung jawab.
Jika nilai - nilai diatas tidak diupayakan untuk di perjuangkan pemerintah daerah dan segenap masyarakat NTT, dengan berbagai upaya yang tidak hanya bergantung pada lembaga asing, serta pengelolaan anggaran yang benar maka akan terjadi dehumanisasi terhadap manusia NTT sehingga keterbelakangan hanya akan menjadi nyanyian rindu atau nostalgia belaka.
Penulis : mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
“……..sekarang sumber air su dekat, kami tidak susah lagi untuk ambil air……..” kalimat ini merupakan sepenggal kalimat dari iklan produk air mineral Aqua yang terlihat menghiasi semua media elektronik dan cetak bertiras nasional sudah, barang tentu di tonton oleh orang NTT (Nusa Tenggara Timur) maupun seluruh masyarakat Indonesia yang dapat mengakses media. Iklan ini menghadirkan sedikitnya dua persepsi, kelompok potifisme menganggap bahwa ada langkah maju bagi NTT di mana orang lain dapat mengenal NTT, sedangkan bagi kelompok pesimisme mereka tidak menyetujui akan iklan ini karena menampilkan potret kehidupan NTT serta kegagalan pembangunan yang selama ini digalakan. Suka atau tidak iklan ini telah menjadi ikon Aqua dalam memasarkan produk air mineralnya.
Nusa Tenggara Timur adalah propinsi yang memiliki persoalan kemiskinan, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan selain Papua dan NTB (Nusa Tenggara Barat) mereka pun memiliki persoalan serupa. Indikator yang dapat di jadikan penilaian terhadap persoalan kemiskinan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia), pada tahun 2005 hanya 62,1 sementara IPM NTT 63,6 dan NTB 62,4 yang tergolong kategori menengah ke bawah, pada tahun 2007 IPM Papua meningkat 63,41 tetapi Papua masih menempati peringkat – 33 dari 33 provinsi di Indonesia (Kompas 16/12/2009) berarti IPM NTT kemungkinan meningkat tidak terlampau jauh dari Papua dan tetap menempati urutan peringkat di atas Papua.
Kondisi ini merupakan pergumulan NTT fakta yang menunjukan bahwa NTT memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah seperti data jajak pendapat yang dilakukan Kompas mencatat sejumlah data yang memberikan kontribusi terhadap penilaian IPM dari Maret 2005 krisis pangan akibat kekeringan melanda sepuluh Kabupaten NTT, warga di sejumlah desa di Lembata terpaksa mengkonsumsi buah bakau dan kacang hutan, Juni 2008 sebanyak 12.818 anak balita mengalami gizi buruk dan 72.067 menderita kurang gizi di NTT dari jumlah tersebut 23 anak balita meninggal dunia. Juli 2008 Seorang Ibu muda di Kelurahan Karang Sirih, Timor Tengah Selatan (TTS) - NTT gantung diri setelah sebelumnya meracuni anak semata wayangnya berusia 1,5 tahun karena Korban terhimpit utang jutaan rupiah untuk makan dan minumsementara suami tidak punya pekerjaaan sama sekali (Kompas 14 Desember 2009) , dan November 2009 di Desa Kuale’u, Kecamatan Molo Tengah, Kabupaten TTS - NTT 115 orang keracunan akibat makan daging sapi mati, hanya dengan alasan warga merasa rugi kalau sapinya yang mati dikuburkan begitu saja tanpa ada manfaatnya (Sinar Harapan 11/11/2009) fakta ini menunjukan bahwa masyarakat NTT mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan yang layak, pekerjaan yang layak, akses kepada air bersih dan bahan makanan, daya beli masyarakat yang rendah, serta pendidikan yang layak.
Kondisi yang dipaparkan diatas, tidak cukupkah dijadikan standar penilaian agar NTT mendapatkan program MDGs (Tujuan Pembangunan Millenium) atau ada penilaian lain? Millenium Development Goals (MDG’s adalah sebuah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitment untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua orang, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan Ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan (www.p3b.bappenas.go.id).
Di Indonesia hanya 5 propinsi dari 33 provinsi yang mendapatkan program MDG’s, dari 5 Provinsi itu ada 20 Kabupaten/kota yang merupakan program harmonisasi strategi nasional penanggulangan kemiskinan. dari 5 provinsi tersebut salah satu propvinsi yang mendapatkan kesempatan tersebut adalah Jawa Tengah yang pada tahun 2006 memiliki IPM sebesar 68,9 jauh diatas NTT.
Apakah NTT sudah bebas dari kemiskinan sehingga dari 21 Kabupaten di NTT tak satupun masuk dalam pilihan 20 kabupaten tersebut, ini merupakan pertanyaan besar kepada Pemerintah daerah NTT, mengapa sehingga tidak mendapatkan bantuan dunia untuk peningkatan IPM nya. Menurut teori modernisasi yang di dalamnya terdapat dua kelompok teori yang meneropong kemiskinan salah satunya adalah; Teori yang menjelaskan bahwa kemiskinan itu terutama disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan ( Arif Budiman – Teori Pembangunan Dunia Ketiga – Gramedia) teori mendekati kebenaran bahwa penyebab kemiskinan karena faktor internal (Provinsi).
Jika NTT tidak mendapatkan kesempatan tersebut kemungkinan ada penilaian yang di jadikan standar kemungkian salah satu penilaiannya adalah; pertama; masalah structural Birokrasi NTT yang lemah dalam pengelolan dana, memiliki Dana Sisa Lebih Perhitungan Anggaran ( Dana Silpa) dari tahun 2004 – 2009 sebesar Rp. 200 Miliar (Kompas 18/11/2009) angka yang cukup fantastis sehingga dikembalikan kepada negara, Birokrasi pemerintah NTT sudah memiliki IPM yang cukup baik sehingga tidak perlu lagi memikirkan pemberdayan manusia sehingga mengembalikan dana silpa itu untuk negara, atau mabuk kepayangan dengan program Anggur Merah, sehingga tidak berdaya lagi mengelola program pembangunan. kedua: Masalah kepercayaan Lembaga Founding Asing terhadap akuntabilitas dan tranparansi program. Hal ini bisa saja di jadikan alasan, sebab apabila di lakukan pengamatan terhadap Lembaga Sosial Masyarakat yang beradadan bekerja di wilayah NTT terdiri dari jumlah yang cukup banyak namun kenyataannya tidak mampu meningkatkan IPM NTT.
Target Nasional untuk mengurangi angka kemiskinan rakyat hingga 7,5 persen pada tahun 2015 tidak akan mungkin di capai oleh pemerintah Provinsi NTT jika tidak ada komitment dari pemerintah daerah untuk serius dalam pembangunan kemanusiaan terutama penekanan pada peningkatan pendidikan dan kesehatan, sehingga manusia NTT dapat bangkit dari kemiskinan dan memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang disepakati sebagai deklarasi millennium seperti: Kemerdekaan dari kelaparan,ketakutan, ketidakadilan, Kesetaraan; antar bangsa, antar masyarakat, antar gender. Solidaritas dalam mengatasi kesenjangan. Toleransi dalam keanekaragaman menuju kedamaian, Penghargaan; pada alam dalam melestarikan lingkungan serta Berbagi tanggung jawab.
Jika nilai - nilai diatas tidak diupayakan untuk di perjuangkan pemerintah daerah dan segenap masyarakat NTT, dengan berbagai upaya yang tidak hanya bergantung pada lembaga asing, serta pengelolaan anggaran yang benar maka akan terjadi dehumanisasi terhadap manusia NTT sehingga keterbelakangan hanya akan menjadi nyanyian rindu atau nostalgia belaka.
Penulis : mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Minggu, 03 Januari 2010
"Qua Vadis Lembaga Negara Informal"
“QUO VADIS LEMBAGA INFORMAL ”
*Yoyarib Mau
Reformasi Birokrasi menjadi salah satu semangat reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru, proses demokratisasi berjalan dengan baik salah satu bentuk dari penerapan demokratisasi adalah reformasi birokrasi, reformasi birokrasi dilakukan dengan sejumlah cara, salah satu bentuknya adalah membentuk lembaga-lembaga informal, lembaga-lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), sebagai kekuatan hukum untuk melakukan tugas-tugas teknis. Kemelut Bank Century yang belum juga tuntas, tetapi Pemerintah telah mengambil alih Bank ini dengan mengganti namanya menjadi Bank Mutiara, kemungkinan hal ini dilakukan dengan alasan yang sama yakni berdampak sistemik. Keterlibatan atau keterkaitan sejumlah lembaga negara informal dalam kasus Bank Century antara lain JPSK (Jaring Pengaman Sitem Keuangan), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), KSSK ( Komite Stabilitas Sistem Keuangan). PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), UKP3R (Unit Kerja President untuk Pengelolaan Program Reformasi).
Sejumlah lembaga-lembaga bentukan negara yang disebutkan diatas ada untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap institusi kenegaraan dalam melaksanakan administrasi negara. Tugas-tugas lembaga-lembaga bentukan negara (informal) ini, hadir untuk mengontrol institusi kenegaraan yang menjalankan fungsi administrative sebagai bagian dari peran eksekutif, yang bertujuan agar tidak terjadi penyalagunaan kekuasaan yang merugikan rakyat. Namun kenyataan yang terjadi mengapa peran lembaga informal yang dibentuk dengan dasar hukum yakni Perppu tidak berjalan dengan baik sehingga sepertinya tidak memiliki nyali tidak berdaya untuk melakukan tugas teknis yang di embannya. Sehingga ada pertanyaan terbesar Mungkinkah pejabat lembaga-lembaga informal yang dibentuk dengan Perppu hanyalah boneka demokrasi (kambing congek, atau kerbau yang ditusuk hidung) yang menuruti apa yang diinginkan oleh penguasa?
Kehadiran lembaga-lembaga informal ini sebagai bagian dari demokratisasi namun terkesan seperti dihadirkan hanya untuk memenuhi syarat administratife sabagai negara pengembang demokrasi guna menyenangkan dunia Internasional. Lembaga ini dihadirkan, namun sepertinya kedip mata antara penguasa dan pejabat lembaga tersebut, proses demokrasi seperti ini lebih dikenal sebagai Theory of Game yang dipakai para ahli ekonomi yakni John Von Neuman dan Oskar Morgenstern tetapi dalam perkembangannya model tersebut ada juga dalam Ilmu politik, teori tentang permainan ini dimana pembuatan keputusan dan kerja sama, yang dimainkan antara dua orang pemain atau lebih, dimana keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya, oleh karenanya titik sentralnya adalah saling ketergantungan di antara keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya. Lebih lanjut SP. Varma menuliksan bahwa dalam teori permainan hal ini seringkali digambarkan sebagai pemain yang “mengeroyok” pihak pendobrak – terdepan dalam rangka memperkecil peluangnya untuk mendapatkan kemenangan. Untuk mencapai kemenangan maka di butuhkan koalisi (menjalin kerja sama), Maka tercipta permainan di dalam permainan, di dalam mana para pemain melaksanakan peraturan-peraturan (mempergunakan sumber-sumber) (SP. Varma – Teori Politik Modern – Rajawali Pers).
Teori Permainan yang dihadirkan Neuman dan Morgenstern, apabila di jadikan pisau analisis untuk mengkaji permasalahan kemelut Bank Century yang melibatkan banyak lembaga negara informal dimana ada penyeragaman pemahaman tentang dampak sistemik dengan kesepakatan sistemik antara lembaga-lembaga dengan sumber-sumber kewenangan yang di miliki untuk menentukan keputusan penyelamatan Bank Century.
Permasalahan yang dijadikan alasan dampak sistemik bagi perekonomian Indonesia berawal dari bulan September – November 2008 merupakan puncak krisis global yang berpusat pada pasar keuangan Amerika Serikat (AS), hal ini melemahkan nilai tukar hingga Rp. 12.000/dollar AS. Menjadi pertanyaan kenapa muncul Bank Century muncul mendaadatk sebgai Bank yang patut mendapatkan fasilitas pendanaan, padahal bank ini berada dalam pengawasan intensif Bank Indonesia (BI) sejak 29 Desember 2005 karena masalah Surat Berharga dan Perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan.
Mendadak lembaga – lembaga formal maupun informal dalam kapasitas sebagai otoritas keuangan mendadak dalam rapat yang dijadwalkan 20 November 2008 rapat diawali oleh rapat internal (pukul 19:00 – 22:00 WIB) Dewan Gubernur BI dengan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal, BI lalu menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan tentang penetapan status bank gagal, di lain tempat pada tanggal yang sama (pukul 23:00 – selesai) Rapat Informal antara Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Tim BI, kemudian baru dilakukan rapat konsultasi dimana KSSK menggelarnya pada 21 November 2008 pukul 00:11 dimana dihadiri oleh sejumlah petinggi keuangan yang diundang yakni para pejabat eselon satu Departemen Keuangan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Mandiri dan kemudian juga hadir Marsilam Simanjuntak sebagai ketua UKP3R hadir dalam rapat tersebut. (Majalah Tempo Edisi 28 Desember 2009 – 03 Januari 2010).
Hasil rapat tersebut dengan suara bulat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Dari penjelasan diatas sepertinya keputusan ini di skenariokan dan berdasarkan pesanan sponsor guna mewujudkan apa yang diinginkan sehingga dari berbagai-tim tanpa ada sanggahan apapun tetapi langsung menelurkan keputusan bersama, hal ini memberikan indikasi bahwa ada koalisi permainan untuk mendapatkan kemenangan yang sistemik.
Ada lima alasan yang diungkapkan ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan mengapa Bank itu harus mendapatkan suntikan: petama; dikwatirkan akan merusak lembaga keuangan (perbankan). kedua; menimbulkan dampak sistemik pasar uang, ketiga; nilai tukar menggangu sistem pembayaran, keempat; mempengaruhi psikologi pasar, kelima; mempengaruhi sektor riil (A. Prasetyantoko – Kompas 14 - 12 - 2009)
Alasan ini sepertinya strategi pendobrak untuk dapat melakukan alasan untuk memenangkan skenario tertentu padahal di lain pihak salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia melihat bahwa tekanan atas rupiah memang tidak sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia, cadangan devisa pun masih berada di kisaran US$ 50 – 51 miliar, itu cukup untuk menjaga kestabilan kurs. Krisis keuangan global menjadi pemicu utama yang menekan rupiah. Sejak turbelensi mendera sektor keuangan di Amerika Serikat, Menurut Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya, Yudhi Sadewa, berkaca pada permintaan dolar riil di pasar uang Jakarta, sebetulnya rupiah berpeluang menguat tajam jika Bank Indonesia lebih all-out masuk pasar, dengan intervensi bank sentral yang memadai kata Yudhi seharusnya rupiah bisa kembali menguat tajam, hal ini mengindikasikan intervensi Bank Indonesia masih terbatas (Majalah Tempo edisi 2-8 Maret 2009).
Sebenarnya yang dilakukan lembaga-lembaga negara informal yang dibentuk untuk mengontrol dan memberikan pengawasan terhadp pejabat negara tidak berjalan efektif karena dijabat oleh pejabat negara sendiri sehingga seperti ketua KSSK adalah juga pejabat Menteri Keuangan, Sekertaris KSSK adalah salah satu tim sukses SBY, yang pernah diusulkan oleh SBY untuk menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia tetapi mengalami penolakan oleh sejumlah anggota DPR RI – Komisi Keuangan dan Perbankan, sehingga Raden Pardede dilabuhkan SBY sebagai Mitra di Sekertaris KSSK.
Ada nama lain yang hadir dalam rapat penentuan Bank Century harus mendapatkan penjaminan, yakni Marsilam Simanjuntak yang waktu itu berkapasitas sebagai ketua UKP3R yang seharusnya masa tugasnya telah berakhir pada bulan September 2008 (Majalah Tempo edsisi 19- 25 Oktober 2009). Tetapi hadir dalam rapat tersebut kapasitasnya dalam UKP3R yakni membantu President mengawasi kerja dan kinerja para Menteri, namun kehadirannya dalam rapat tersebut kembali di bantah oleh Raden Pardede bahwa kehadirannya bukan mendapatkan perintah khusus dari President tetapi hadir sebagai Penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo edisi 28 Des 2009 – 3 Januari 2010) kehadirannya untuk mengikuti rapat dimungkinkan karena kapasitas sebagai Ketua UKP3R dan bukan sebagai Penasihat Derpartemen Keuangan, bahkan pada transkip rapat konsultasi KSSK antara lain tertulis bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan Marsilam diminta Presiden untuk bekerja dengan KSSK (Kompas 27 Desember 2009), Namun di lain kesempatan Raden Pardede mengatakan bahwa, Marsilam hadir sebagai penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo, 28 Des 2009 – 3 Jan 2010), Apabila dia hadir sebagai Penasihat Dep. Keuangan sebenarnya hanya hadir dalam rapat Departemen Keuangan atau memberikan masukan-masukan bagi Departemen Keuangan apabila di minta masukan-masukan dan bukan hadir dalam rapat konsultasi antar lembaga yang memiliki otoritas dengan keuangan.
Sehingga secara psikologis kehadiran Marsilam Simanjuntak mendorong semua peserta rapat untuk menyepakati Bank Century sebagai bank gagal yang membutuhkan penanganan jika tidak maka dapat berdampak sistemik, sebetulnya ini bentuk permainan bola dimana saling melempar bola untuk satu tujuan menyelamatkan bailout Rp. 6,7 triliun dan memenangkan pertarungan permainan ini. Dari penyelidikan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dimana antara lain terdapat penyalagunaan wewenang terkait dengan kebijakan pengucuran dana (Kompas 10 Des 2009). Pelemparan bola untuk menyelamatkan kasus Bank Century merupakan sebuah strategi yang ampuh yang dilakukan oleh sejumlah pejabat negara berkoalisi dengan sejumlah lembaga informal yang memiliki otoritas di bidang keuangan.
Wapres Boediono waktu itu menjabat sebagai Gubernur Indonesia saat pengucuran dana talangan menyatakan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keluarnya Perppu No. 4 Thn 2008 tentang JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan), namun satu sisi ada penyangkalan terhadap kehadiran Marsilam dalam rapat KSSK. Lembaga lembaga informal dibentuk untuk membantu melaksanakan pengontrolan dan pengawasan bahkan kehadiran mereka di lengkapi dengan Perppu sebagai petunjuk teknis untuk melakukan sebuah kebijakan dalam kondisi darurat, demikian dengan kehadiran Perppu No. 4 thn 2008 tentang JPSK mendadak mengajukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pencabutan Perppu JPSK dan menarik adalah ada matri yang krusial menyangkut Bank Century pada Pasal 2, Ayat (2) Pasal itu menegaskan, kebijakan yang telah ditetapkan oleh KSSK tentang penanganan krisi berdasarkan Perppu JPSK tetap sah dan mengikat, kemudian pada bagian penjelasan ditegaskan, yang dimaksud dengan kebijakan KSSK itu adalah tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik (Kompas, 4 Januari 2009).
Dari permasalahan yang dilakukan sejumlah lembaga negara menyangkut Bank Century sebenarnya alasan dampak sistemik dijadikan alasan oleh lembaga lembaga informal dan pejabat negara untuk berkoalisi secara sistematis dengan segala kewenangan yang ada guna melakukan pelanggaran, kemudian saling melempar tanggung jawab dalam permasalahan yang merugikan negara dan rakyat terutama mereka yang mendepositkan uangnya di bank century yang hingga hari ini belum mendapatkan ganti rugi.
Keberadaan lembaga – lembaga informal yang telah berakhir masa tugasnya di gunakan untuk kepentingan penguasa, tidak saja pada tataran itu tetapi kekuasaan dapat digunakan secara sistematis, dimana Perppu yang di keluarkan untuk memberikan wewenangan teknis bagi lembaga informal seperti JPSK bisa saja dengan wewenang kekuasaan eksekutif membatalkannya dengan mengajukan RUU Pencabutan Perppu, pesta akhir tahun hampir saja membuat rakyat tertidur, lembaga negara informal yang dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol lembaga-lembaga negara atau departemen-departeman untuk menjalankan tugas administratif dengan transparan dan akuntabel, malah menggunakan lembaga – lembaga informal ini untuk kepentingan kekuasaanya, RUU Pencabutan Perppu ini sebagai contoh konkrit diman penguasa dengan segala kewenangan dapat membuat kasus bank century berakhir di persimpangan jalan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Reformasi Birokrasi menjadi salah satu semangat reformasi pasca jatuhnya rezim orde baru, proses demokratisasi berjalan dengan baik salah satu bentuk dari penerapan demokratisasi adalah reformasi birokrasi, reformasi birokrasi dilakukan dengan sejumlah cara, salah satu bentuknya adalah membentuk lembaga-lembaga informal, lembaga-lembaga ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), sebagai kekuatan hukum untuk melakukan tugas-tugas teknis. Kemelut Bank Century yang belum juga tuntas, tetapi Pemerintah telah mengambil alih Bank ini dengan mengganti namanya menjadi Bank Mutiara, kemungkinan hal ini dilakukan dengan alasan yang sama yakni berdampak sistemik. Keterlibatan atau keterkaitan sejumlah lembaga negara informal dalam kasus Bank Century antara lain JPSK (Jaring Pengaman Sitem Keuangan), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), KSSK ( Komite Stabilitas Sistem Keuangan). PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), UKP3R (Unit Kerja President untuk Pengelolaan Program Reformasi).
Sejumlah lembaga-lembaga bentukan negara yang disebutkan diatas ada untuk melakukan pengawasan dan kontrol terhadap institusi kenegaraan dalam melaksanakan administrasi negara. Tugas-tugas lembaga-lembaga bentukan negara (informal) ini, hadir untuk mengontrol institusi kenegaraan yang menjalankan fungsi administrative sebagai bagian dari peran eksekutif, yang bertujuan agar tidak terjadi penyalagunaan kekuasaan yang merugikan rakyat. Namun kenyataan yang terjadi mengapa peran lembaga informal yang dibentuk dengan dasar hukum yakni Perppu tidak berjalan dengan baik sehingga sepertinya tidak memiliki nyali tidak berdaya untuk melakukan tugas teknis yang di embannya. Sehingga ada pertanyaan terbesar Mungkinkah pejabat lembaga-lembaga informal yang dibentuk dengan Perppu hanyalah boneka demokrasi (kambing congek, atau kerbau yang ditusuk hidung) yang menuruti apa yang diinginkan oleh penguasa?
Kehadiran lembaga-lembaga informal ini sebagai bagian dari demokratisasi namun terkesan seperti dihadirkan hanya untuk memenuhi syarat administratife sabagai negara pengembang demokrasi guna menyenangkan dunia Internasional. Lembaga ini dihadirkan, namun sepertinya kedip mata antara penguasa dan pejabat lembaga tersebut, proses demokrasi seperti ini lebih dikenal sebagai Theory of Game yang dipakai para ahli ekonomi yakni John Von Neuman dan Oskar Morgenstern tetapi dalam perkembangannya model tersebut ada juga dalam Ilmu politik, teori tentang permainan ini dimana pembuatan keputusan dan kerja sama, yang dimainkan antara dua orang pemain atau lebih, dimana keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya, oleh karenanya titik sentralnya adalah saling ketergantungan di antara keputusan masing-masing pemain merupakan keputusan para pemain lainnya. Lebih lanjut SP. Varma menuliksan bahwa dalam teori permainan hal ini seringkali digambarkan sebagai pemain yang “mengeroyok” pihak pendobrak – terdepan dalam rangka memperkecil peluangnya untuk mendapatkan kemenangan. Untuk mencapai kemenangan maka di butuhkan koalisi (menjalin kerja sama), Maka tercipta permainan di dalam permainan, di dalam mana para pemain melaksanakan peraturan-peraturan (mempergunakan sumber-sumber) (SP. Varma – Teori Politik Modern – Rajawali Pers).
Teori Permainan yang dihadirkan Neuman dan Morgenstern, apabila di jadikan pisau analisis untuk mengkaji permasalahan kemelut Bank Century yang melibatkan banyak lembaga negara informal dimana ada penyeragaman pemahaman tentang dampak sistemik dengan kesepakatan sistemik antara lembaga-lembaga dengan sumber-sumber kewenangan yang di miliki untuk menentukan keputusan penyelamatan Bank Century.
Permasalahan yang dijadikan alasan dampak sistemik bagi perekonomian Indonesia berawal dari bulan September – November 2008 merupakan puncak krisis global yang berpusat pada pasar keuangan Amerika Serikat (AS), hal ini melemahkan nilai tukar hingga Rp. 12.000/dollar AS. Menjadi pertanyaan kenapa muncul Bank Century muncul mendaadatk sebgai Bank yang patut mendapatkan fasilitas pendanaan, padahal bank ini berada dalam pengawasan intensif Bank Indonesia (BI) sejak 29 Desember 2005 karena masalah Surat Berharga dan Perkreditan yang berpotensi menimbulkan kesulitan keuangan.
Mendadak lembaga – lembaga formal maupun informal dalam kapasitas sebagai otoritas keuangan mendadak dalam rapat yang dijadwalkan 20 November 2008 rapat diawali oleh rapat internal (pukul 19:00 – 22:00 WIB) Dewan Gubernur BI dengan menyatakan Bank Century sebagai bank gagal, BI lalu menyampaikan surat kepada Menteri Keuangan tentang penetapan status bank gagal, di lain tempat pada tanggal yang sama (pukul 23:00 – selesai) Rapat Informal antara Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Tim BI, kemudian baru dilakukan rapat konsultasi dimana KSSK menggelarnya pada 21 November 2008 pukul 00:11 dimana dihadiri oleh sejumlah petinggi keuangan yang diundang yakni para pejabat eselon satu Departemen Keuangan, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Mandiri dan kemudian juga hadir Marsilam Simanjuntak sebagai ketua UKP3R hadir dalam rapat tersebut. (Majalah Tempo Edisi 28 Desember 2009 – 03 Januari 2010).
Hasil rapat tersebut dengan suara bulat memutuskan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik dan menetapkan penanganan Bank Century kepada LPS. Dari penjelasan diatas sepertinya keputusan ini di skenariokan dan berdasarkan pesanan sponsor guna mewujudkan apa yang diinginkan sehingga dari berbagai-tim tanpa ada sanggahan apapun tetapi langsung menelurkan keputusan bersama, hal ini memberikan indikasi bahwa ada koalisi permainan untuk mendapatkan kemenangan yang sistemik.
Ada lima alasan yang diungkapkan ketua KSSK sekaligus Menteri Keuangan mengapa Bank itu harus mendapatkan suntikan: petama; dikwatirkan akan merusak lembaga keuangan (perbankan). kedua; menimbulkan dampak sistemik pasar uang, ketiga; nilai tukar menggangu sistem pembayaran, keempat; mempengaruhi psikologi pasar, kelima; mempengaruhi sektor riil (A. Prasetyantoko – Kompas 14 - 12 - 2009)
Alasan ini sepertinya strategi pendobrak untuk dapat melakukan alasan untuk memenangkan skenario tertentu padahal di lain pihak salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia melihat bahwa tekanan atas rupiah memang tidak sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia, cadangan devisa pun masih berada di kisaran US$ 50 – 51 miliar, itu cukup untuk menjaga kestabilan kurs. Krisis keuangan global menjadi pemicu utama yang menekan rupiah. Sejak turbelensi mendera sektor keuangan di Amerika Serikat, Menurut Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya, Yudhi Sadewa, berkaca pada permintaan dolar riil di pasar uang Jakarta, sebetulnya rupiah berpeluang menguat tajam jika Bank Indonesia lebih all-out masuk pasar, dengan intervensi bank sentral yang memadai kata Yudhi seharusnya rupiah bisa kembali menguat tajam, hal ini mengindikasikan intervensi Bank Indonesia masih terbatas (Majalah Tempo edisi 2-8 Maret 2009).
Sebenarnya yang dilakukan lembaga-lembaga negara informal yang dibentuk untuk mengontrol dan memberikan pengawasan terhadp pejabat negara tidak berjalan efektif karena dijabat oleh pejabat negara sendiri sehingga seperti ketua KSSK adalah juga pejabat Menteri Keuangan, Sekertaris KSSK adalah salah satu tim sukses SBY, yang pernah diusulkan oleh SBY untuk menduduki posisi Gubernur Bank Indonesia tetapi mengalami penolakan oleh sejumlah anggota DPR RI – Komisi Keuangan dan Perbankan, sehingga Raden Pardede dilabuhkan SBY sebagai Mitra di Sekertaris KSSK.
Ada nama lain yang hadir dalam rapat penentuan Bank Century harus mendapatkan penjaminan, yakni Marsilam Simanjuntak yang waktu itu berkapasitas sebagai ketua UKP3R yang seharusnya masa tugasnya telah berakhir pada bulan September 2008 (Majalah Tempo edsisi 19- 25 Oktober 2009). Tetapi hadir dalam rapat tersebut kapasitasnya dalam UKP3R yakni membantu President mengawasi kerja dan kinerja para Menteri, namun kehadirannya dalam rapat tersebut kembali di bantah oleh Raden Pardede bahwa kehadirannya bukan mendapatkan perintah khusus dari President tetapi hadir sebagai Penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo edisi 28 Des 2009 – 3 Januari 2010) kehadirannya untuk mengikuti rapat dimungkinkan karena kapasitas sebagai Ketua UKP3R dan bukan sebagai Penasihat Derpartemen Keuangan, bahkan pada transkip rapat konsultasi KSSK antara lain tertulis bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan Marsilam diminta Presiden untuk bekerja dengan KSSK (Kompas 27 Desember 2009), Namun di lain kesempatan Raden Pardede mengatakan bahwa, Marsilam hadir sebagai penasihat Departemen Keuangan (Majalah Tempo, 28 Des 2009 – 3 Jan 2010), Apabila dia hadir sebagai Penasihat Dep. Keuangan sebenarnya hanya hadir dalam rapat Departemen Keuangan atau memberikan masukan-masukan bagi Departemen Keuangan apabila di minta masukan-masukan dan bukan hadir dalam rapat konsultasi antar lembaga yang memiliki otoritas dengan keuangan.
Sehingga secara psikologis kehadiran Marsilam Simanjuntak mendorong semua peserta rapat untuk menyepakati Bank Century sebagai bank gagal yang membutuhkan penanganan jika tidak maka dapat berdampak sistemik, sebetulnya ini bentuk permainan bola dimana saling melempar bola untuk satu tujuan menyelamatkan bailout Rp. 6,7 triliun dan memenangkan pertarungan permainan ini. Dari penyelidikan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dimana antara lain terdapat penyalagunaan wewenang terkait dengan kebijakan pengucuran dana (Kompas 10 Des 2009). Pelemparan bola untuk menyelamatkan kasus Bank Century merupakan sebuah strategi yang ampuh yang dilakukan oleh sejumlah pejabat negara berkoalisi dengan sejumlah lembaga informal yang memiliki otoritas di bidang keuangan.
Wapres Boediono waktu itu menjabat sebagai Gubernur Indonesia saat pengucuran dana talangan menyatakan bahwa Presiden sebagai Kepala Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap keluarnya Perppu No. 4 Thn 2008 tentang JPSK (Jaring Pengaman Sistem Keuangan), namun satu sisi ada penyangkalan terhadap kehadiran Marsilam dalam rapat KSSK. Lembaga lembaga informal dibentuk untuk membantu melaksanakan pengontrolan dan pengawasan bahkan kehadiran mereka di lengkapi dengan Perppu sebagai petunjuk teknis untuk melakukan sebuah kebijakan dalam kondisi darurat, demikian dengan kehadiran Perppu No. 4 thn 2008 tentang JPSK mendadak mengajukan RUU (Rancangan Undang-Undang) Pencabutan Perppu JPSK dan menarik adalah ada matri yang krusial menyangkut Bank Century pada Pasal 2, Ayat (2) Pasal itu menegaskan, kebijakan yang telah ditetapkan oleh KSSK tentang penanganan krisi berdasarkan Perppu JPSK tetap sah dan mengikat, kemudian pada bagian penjelasan ditegaskan, yang dimaksud dengan kebijakan KSSK itu adalah tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik (Kompas, 4 Januari 2009).
Dari permasalahan yang dilakukan sejumlah lembaga negara menyangkut Bank Century sebenarnya alasan dampak sistemik dijadikan alasan oleh lembaga lembaga informal dan pejabat negara untuk berkoalisi secara sistematis dengan segala kewenangan yang ada guna melakukan pelanggaran, kemudian saling melempar tanggung jawab dalam permasalahan yang merugikan negara dan rakyat terutama mereka yang mendepositkan uangnya di bank century yang hingga hari ini belum mendapatkan ganti rugi.
Keberadaan lembaga – lembaga informal yang telah berakhir masa tugasnya di gunakan untuk kepentingan penguasa, tidak saja pada tataran itu tetapi kekuasaan dapat digunakan secara sistematis, dimana Perppu yang di keluarkan untuk memberikan wewenangan teknis bagi lembaga informal seperti JPSK bisa saja dengan wewenang kekuasaan eksekutif membatalkannya dengan mengajukan RUU Pencabutan Perppu, pesta akhir tahun hampir saja membuat rakyat tertidur, lembaga negara informal yang dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol lembaga-lembaga negara atau departemen-departeman untuk menjalankan tugas administratif dengan transparan dan akuntabel, malah menggunakan lembaga – lembaga informal ini untuk kepentingan kekuasaanya, RUU Pencabutan Perppu ini sebagai contoh konkrit diman penguasa dengan segala kewenangan dapat membuat kasus bank century berakhir di persimpangan jalan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Langganan:
Postingan (Atom)