“SBY MENGIDAP PARKINSON”
*Yoyarib Mau
Ungkapan diatas terkesan profokatif namun inilah realitas yang tak dapat di pungkiri, namun sebagaimana SBY sebagai pejabat publik yang dipilih publik (rakyat), maka dengan serta-merta berakhir sudah kekuasaan rakyat, bukan berarti rakyat hanya diam menuruti apa yang diperintahkan tanpa harus melakukan kritik atau kontrol atas pemerintahan yang dijalankan.
Kedaulatan ada dalam tangan rakyat, dan kedaulatan itu diwakilkan kepada president untuk mengatur kehidupan rakyat, namun bukan berarti sebebas-bebasnya tetapi bebas terbatas dan bertanggung jawab kepada rakyat. Untuk menjalankan pemerintahan maka president membentuk sejumlah Departemen yang di anggap penting untuk mengurus kehidupan rakyat, sehingga dipilihnya sejumlah Pembantu President ynag dikenal Menteri untuk mengepalai Departemen-departemen yang di bentuk dan kini ada sejumlah Departemen berganti nama menjadi Kementrian.
Kementerian tersebut tidak hanya di kepalai oleh seorang Menteri tetapi kali ini SBY menambahkan sejumlah Wakil Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II, SBY berencana menetapkan 11 Menteri dalam beberapa, tahap I SBY menetapkan lima (5) Wakil Menteri dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (Kompas, 11/11/2009) yang terdiri dari Wakil Menteri Pertanian (Bayu Krisnamurti), Wakil Menteri Pekerjaan Umum (Hermanto Dardak), Wakil Menteri Perhubungan (Bambang Susantono), Wakil Menteri Perindustrian (Alex Retraubun), Wakil Menteri Perdagangan (Mahendra Siregar) dan Kepala BKPM (Gita Wiryawan).
Tentu setiap kebijakan ada landasan hukum, sehingga penetapan Wakil Menteri landasan hukumnya mengacu pada UU No.39 Tahun 2008 Pasal 10 tentang Kementrian Negara, dalam hal terdapt beban kerja yang yang membutuhkan penanganan secara khusus, president dapat mengangkat wakil menteri pada kementrian tertentu. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet. Jelang sebulan SBY kembali menetapkan wakil menteri dan satu sekertaris kabinet sebagai kelanjutan tahap sebelumnya, dalam tahap II ini ada Wakil Menteri Keuangan (Anggito Abimanyo), Wakil Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (Lukita Dinarsyah Tuo), Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Fasli Djalal), Wakil Menteri Pertahanan (Sjafrie Sjamsoeddin) dan Sekertaris Kabinet (Dipo Alam) (sumber : Kompas 6/01/2010).
Tidak hanya sejumlah Wakil Menteri yang di bentuk tetapi di tetapkannya sejumlah Staf Ahli Kepresidenan, Staf Khusus Kepresidenan dan sejumlah unit bentukan seperti pada KIB I UKP3R yang di ketuai oleh Marsilam Simanjuntak yang kemudian berubah naman dan kini dibentuk lagi SATGAS (Satuan Tugas) Pemebrantasan Mafia Hukumyang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto.
Ketika menilik kepemimpinan SBY banyak hal yang mengalami penambahan bukan saja wakil menteri tetapi sejumlah Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) yang dikeluarkan melebihi Perppu yang dikeluarkan di masa orde lama dan orde baru di masa SBY sejak Kabinet Indonesia Bersatu I sejak tahun 2004- 2008 berjumlah 16 Perppu, dan Kabinet Indonesia Bersatu II sudah 4 Perppu, jika di bandingkan dengan masa Soeharto (Orba) hanya 4 Perppu, sedangkan Soekarno (Orla) hanya 9 Perppu (Kompas 24/09/2009) maka pemecah rekor penghasil Perppu terbanyak maka SBY menempati juara pertama.Kondisi diatas menimbulkan sejumlah pertanyaan diantaranya, apa kegentingan yang mendorong untuk membentuk sejumlah lembaga atau ada muatan lain dalam penambahan struktur pemerintahan ?
Dalam sejarah pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu mengadopsi pola yang dilakukan SBY ini dengan berbagai macam cara, struktur pemerintahan di buat tambun dengan berbagai lembaga dan penambahan sejumlah pejabat seperti peran wakil menteri sehingga taksalah jika SBY mengidap Parkinson. Penggunaan pola ini sering di kenal dengan teori parkinsonisasi, Istilah Parkinson yang dikemukkan Eep Saefulloh Fatah di Kompas, awalnya adalah sebuah nama penyakit, ini diambil dari C. Nortcote Parkinson, sang pencipta “Hukum Parkinson” Parkinson menggambarkan kecenderungan yang umum terjadi dalam kerja organisasi atau birokrasi, salah satunya yang terpokok adalah kecenderungan untuk memperbanyak orang yang terlibat di dalamnya, bukan karena kebutuhan fungsional melainkan karena hasrat untuk melipatgandakan jumlah bawahan” (Kompas, 12/02/2010).
Penambahan sejumlah wakil menteri terjadi karena berbagai pertimbangan kemungkinan karena yang menduduki kursi menteri kebanyakan berlatar belakang politisi, atau menduduki posisi menteri yang sebenarnya tidak pada tempatnya, sehingga memerlukan wakil menteri yang berlatar belakang profesional yang mengenal sistemnya, pembentukan atau penambahan pejabat mendapatkan pembenaran dengan mendasari dari Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, dan UU No 39 Tahun 2008 Pasal 10 tentang Kementrian yang menjelaskan Wakil Menteri adalah pejabat karier, bukan anggota kabinet.
Citra Rasa
Jika SBY mendasari pemilihan wakil menteri dari undang-undang dan Peraturan Presiden di atas maka timbul pertanyaan bagaimana dengan terpilihnya Alex Retraubun sebagai Wakil Menteri Perindustrian, padahal kita tahu bersama bahwa pemilihan wakil menteri karena pejabat karier professional maka seharusnya Alex Retraubun yang nota bene adalah mantan Dirjen wilayah pesisir dan daerah perbatasan di Departemen Perikanan dan Kelautan menjabat wakil menteri di Departemen tersebut bukan pada Departemen Perindustrian sehingga terkesan tidak memenuhi prasyarat UU No.39 Tahun 2008 tentang pejabat karier, pejabat karier adalah memiliki kompetensi di bidangnya. Namun kemungkinan pengangkatan Alex Retraubun mungkin sebagai obat penawar bagi masyarakat Maluku yang melakukan demontrasi penuntutan agar ada Orang Maluku ada dalam Kabinet.
Pembentukan Satgas Makelar Kasus sepertinya banyak muatan sebenarnya lembaga bentukan ini hadir karena kegentingan, atau krisis atau kemelut, sepertinya hadirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) karena gagalnya peran Kepolisian dan Kejaksaan sehingga hadirnya KPK untuk mewujudkan peran penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, namun berbeda dengan Satgas Makelar Kasus sepertinya hadir tanpa makna karena Departemen Hukum dan Ham dengan Menteri barunya Patrialis Akbar seharusnya sidik ke penjara adalah Hak dan Kewajiban Menteri Hukum dan Ham dalam melaksanakan tugas ini, peran Satgas seyogianya dapat dibenarkan jika Kementrian Hukum dan HAM gagal atau tidak mampu melakukan tugasnya, idealnya setelah 100 hari kerja SBY dan KIB II (Kabinet Indonesia Bersatu) apabila dilakukan evaluasi kinerja kerja dan kementrian Hukum dan HAM mengalami kegagalan atau tidak bekerja maskimal maka pantaslah jika membentuk Satgas Makelar Kasus.
Kehadiran Satgas Makelar Kasus lebih pada tendensi politik dimana karena kasus Bank Century yang melibatkan sejumlah pejabat KIB II dan Wapres sehingga terkesan Satgas Makelar Kasus dihadir untuk mengalihkan perhatian atau pembentuk citra atau pencitraan terhadap diri SBY. Kemungkinan pembentukan Satgas Makelar Kasus terinspirasi oleh apa yang di tuliskan dalam Kitab Injil Lukas tentang Yohanes Pembabtis, (meminjam isi kitab ini sebagai pengandaian) yang menggenapi nubuatan “setiap lembah akan di timbun, dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan, dan semua orang akan melihat keselamatan dari Tuhan” kemungkinan ayat-ayat suci ini menginspirasinya untuk menghadirkan Satgas Makelar Kasus yang berperan sebagai Yohanes Pembaptis yang berperan untuk menunjukan kepada rakyat bahwa SBY memiliki komitment untuk mendatangkan kebaikan bagi rakyat Indonesia.
SBY lupa bahwa komitment untuk melakukan keselamatan bagi rakyat harus konsistent dan tidak sepenggal-penggal dimana SBY harus membuktikannya dengan menuntaskan kasus Bank Century sehingga dapat menyakinkan rakyat atas komitmentnya mendatangkan kebaikan (kesejahteraan) bagi rakyat, bukan menghadirkan Satgas Makelar kasus untuk mengalihkan perhatian rakyat atas penantian panjang akan kerja Pansus DPR RI yang belum juga usai.
Menyedot Darah Rakyat
Kehadiran Wakil Menteri, dan para Satgas dan sejumlah lembaga bentukan lainya sebenarnya bukan mendatangkan keuntungan bagi rakyat tetapi menambah beban bagi rakyat dan menghadirkan sinisme bagi para pejabat tersebut, hal ini tentu memiliki alsan logis yakni perlua ada anggran khusus untuk membayar gaji dan fasilitas kehidupan mereka, yakni rumah jabatan, mobil dinas apabila Menteri memakai mobil baru Toyota Crown Royal Salon harganya sekitar Rp. 1,3 Milyar dan penganggaran untuk pengadan mobil mewah dalam APBN sebesar Rp. 63,99 miliar, maka Wakil Menteri sudah barang tentu memakai mobil yang mewah juga dibawah Menteri yakni Toyota Camry. Dan tidak saja itu tetapi sejumlah staf dan pegawai harus di peruntukan untuk mendukung kerja wakil menteri dan sejumlah lembaga bentukan tersebut.
Sehingga pembentukan wajarlah jika dalam tulisan ini penulis memberi judul SBY mengidap Parkinson. Tentu beralasan karena terkesan pembengkakan birokrasi atau institusi pada pemerintahan, yang normalnya dibutuhkan untuk melakukan tugas fungsional dan peningkatan kinerja pelayanan terhadap rakyat, tetapi kenyataannya hanyalah sebagai bentuk upaya akomodatif untuk memberikan jabatan bagi tim sukses. Baik itu Pribadi atau institusi yang sebelumnya mereka pimpin atau berada pada departemen tertentu, yang karena peranan mereka atau kerja kerasnya memberikan kontribusi kemenangan bagi SBY.
Mengapa pilihan itu jatuh pada Anggito Abimanyu dan dan Fahmi Idris seharusnya ada tim ferifikasi yang dibentuk untuk melakukan perekrutan dengan tidak mengabaikan dasar hukum sebagai petunjuk, penentuan ini terkesan sebagai bentuk pemaksaan dan keterpaksaan bukan karena kegentingan dan kebutuhan funsional yang dibutuhkan. Jika memang karena kegentingan dan urgensi kebutuhan maka nama Fahmi Idris dan Anggito Abimanyu tidak seharusnya tersiar ke publik, na’asnya terjadi pembatalan pada hari pelantikan hanya karena keduanya tidak memenuhi syarat administraitf karena belum menduduki jabatan structural eselon I.
Semuanya dilakukan SBY hanya karena ingin memuaskan nafsu karena mengidap parkinson sehingga semua usul, saran untuk membentuk lembaga atau penambahan jabatan dilahap begitu saja tanpa memikirkan pertimbangan-pertimbangan atau resiko-resiko yang akan terjadi kemudian akhiryan berakibat fatal seperti yang terjadi dengan kasus Bank Century.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar