Sabtu, 18 September 2010

"LUNTURNYA RASA KEWARGANEGARAAN"

“LUNTURNYA RASA KEWARGANEGARAAN”
*Yoyarib Mau


Membahas topik atau judul diatas merupakan pembahasan yang sudah dibahas kemaren, hari ini sedang dibahas dan besok atau lusa akan tetap dibahas sepanjang adanya kehendak untuk NKRI tetap kokoh berdiri, pembahasan topik ini tidak akan ada atau berakhir apabila adaanya kehendak agar NKRI runtuh atau sepakat untuk membubarkan atau melebur diri, tetapi apabila komitment dan integritas dari adanya tiga unsur yang membentuk negara yakni ; rakyat, wilayah dan pemerintahaan maka NKRI harga mati.

Tiga unsur adanya Negara menurut Johanes Leimena, Negara adalah Persekutuan (gemeenscahap) dari orang-orang yang hidup dalam satu daerah (territorium); Daerah ini mempunyai penduduk yang sebagaian terbesar hidup sebagai bangsa; Persekutuan orang-orang ini mempunyai pemerintah. Pemerintah ini mempunyai kekuasaan (macht) dan kewibawaan (gezag) dan mempunyai alat-alat kekuasaan (machtsorganen) (Dr. Johanes Leimena – BPK Gunung Mulia – 2007). Persekutuan orang-orang ada dalam komunitas - komunitas yang merasa senasib dan bersepakat untuk membentuk sebuah aliansi atau organisasi yang memiliki tujuan yang sama dan mendapatkan pengakuan dari orang lain maka dapat disebut sebagai sebuah negara.

Pemikiran lain yakni, Etienne Balibar menuliskan bahwa; setiap komunitas yang dihasilkan kembali (reproduksi) oleh berfungsinya suatu lembaga adalah komunitas imajiner, maksudnya komunitas tersebut didasarkan pada proyeksi eksistensi individu ke dalam jalinan narasi kolektif, atas pengakuan terhadap suatu nama atau sebutan, dan tradisi-tradisi yang dijalani sebagai jejak masa lalu (sekalipun tradisi-tradisi tersebut direkayasa dan ditanamkan pada masa yang baru lalu), dalam kasus pembentukan bangsa, komunitas imajiner yang mewujudkan diri dalam kenyataan adalah komunitas ‘rakyat’, yaitu komunitas yang merealisasikan diri sebelum pelembagaan negara, yang mengakui bahwa negara adalah milik dirinya sendiri (Diponegoro 74 – Jurnal Pemikiran Sosial Politik, Demokrasi dan HAM, Oktober-Desember 2004).

Pemikiran Etienne Balibar menunjukan bagaimana Indonesia menjadi NKRI itupun terbentuk dari komunitas-komunitas imajiner yang berproses dan mendeklarasikan diri menjadi sebuah negara, yang dalam pasang surut perjuangannya untuk membentuk diri menjadi sebuah negara kesatuan, komunitas yang membentuk diri berasal dari berbagai suku bangsa yang terbentang luas di Nusantara. Setiap mereka yang kala itu bersepakat dan terikat dalam negara yang terbentuk maka ada hak dan kewajiban yang harus di patuhi, maju mundurnya pembangunan negara tersebut bergantung pada perwujudan hak dan kewajiban orang atau individu yang merupakan bagian dari negara.

Maju mundurnya pembangunan negara jika menjadi beban rakyat maka dibutuhkan instrument yang mampu membentuk karakter rakyat guna turut bertanggung jawab membangun negaranya karena itu pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan sangat dibutuhkan sebagai doktrin bagi rakyat untuk pembentukan karakter kecintaan terhadap negara.

Kewiraan merupakan doktrin guna pembentukan karakter maka sebenarnya bukanlah sebuah pengetahuan karena jika mengkategorikan pendidikan kewiraan masuk dalam pengetahuan ilmiah maka harus memenuhi syarat-syarat keilmuan seperti memiliki sifat-sifat keilmuan, bersistem dan bermetode. Sedangkan kewiraan sebenarnaya sebuah pemahaman yang disusun berdasarkan pemahaman keilmuan yang setengah dipaksakan bagi rakyat atau anak bangsa untuk membangun pemahaman hak dan kewajiban sebagai bagian dari negara.

Kewiraan merupakan kebutuhan yang fundamental bagi setiap warga negara karena kewiraan atau kewarganegaraan tidak hanya menyangkut hak dan kewajiban tetapi lebih dari pada dua hal itu yakni bagaimana warga negara mengaktualisasikan diri tetapi bagaimana setiap warga negara mengejewantahkan diri dalam masyarakat atau negara dengan memberikan perhatian atau sumbangsih pemikiran sehingga semua warga negara yang ada dapat menikmati kesejahteraan tanpa ada kesenjangan kehidupan, atau hidup di bawah ancaman atau tekanan dari luar maupun dalan negara sendiri.

Pendidikan Kewiraan sebanarnya memiliki dua tema besar yakni ”ketahanan nasional dan wawasan nusantara” (necel.wordpress.com), dua hal ini menjadi penekanan yakni Ketahanan Nasional bertujuan untuk membentuk keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi dan mengatasi segala ancaman, tantangan dan hambatan dan gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam negeri demi menjamin kelangsungan hidup dan mengembangkan kehidupan nasional bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Wawasan Nusantara yakni cara pandang bangsa Indonesia tentang dirinya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dengan memperhatikan sejarah dan budaya serta dengan memanfaatkan kondisi serta konstelasi geografis dalam upaya mewujudkan aspirasi bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasional (Perilaku Politik Organisasi Keagamanan dan Pengaruhnya Terhadap Ketahanan Nasional – necel.wordpress.com)

Ketahanan Nasional lebih pada membangun kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman, tantangan dan hambatan yang dapat mengancam integrasi bangsa, ancaman tersebut bisa dari luar dan dari dalam negara sendiri, sedangkan Wawasan Nusantara yakni bagaimana melihat diri Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dengan melihat sejarah, budaya, dan letak geografis negara ini yang beragam dari Sabang sampai Merauke - dari Miangas sampai Rote disana beranekaragam budaya, agama, suku, bahasa namun menjadi satu dalam NKRI sehingga pendidikan kewiraan diharapkan mampu membentuk karakter manusia Indonesia sehingga dalam melakukan pembangunan dalam segala aspek selalu dilmahami oleh ketahanan nasional dan wawasan nusantara.

Pembangunan yang dilakukan insan Indonesia dalam profesi dan karya dan kehidupan kesehariannya diharapkan mencerminkan ketahanan nasional di mana tidak memecah belah kesatuan bangsa dan pembangunan itu juga harus berkontribusi dalam mempertahankan NKRI dari ancaman dari luar negara, dan berwawasan nasional yakni menghargai sejarah perjuangan bangsa ini, budaya yang beragama sehingga pembangunan itu memenuhi tujuan nasional yakni terciptanya kesejaheraan yang adil dan makmur.

Indonesia hari ini dalam konteks dan realitas menghadirkan pertanyaan besar bahwa, Apakah pembangunan nasional fisik dan non fisik masih di ilhami oleh pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan itu ? sepertinya kondisi dan realitas hari ini memberikan jawaban yang pesimis akan pengaruh dari pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan itu sendiri. Pembangunan fisik hanya berpusat di Ibu kota negara dan beberapa kota besar, dan mengabaikan daerah yang berbatasan sehingga di caplok oleh negara lain seperti Sipadan dan Ligitan di kuasai Malaysia, Pulau Pasir yang merupakan tempat persinggahan nelayan NTT dimana adanya bukti kuburan-kuburan nenek Moyang para nelayan NTT tetapi kini di kuasai Australia.

Tanggung jawab warga negara sangat besar demi keutuhan negara sehingga menurut Will Kymlicka dan Wayne Norman yang mengulas tentang Teori Kewarganegaraan menawarkan pemahaman bahwa kewarganegaraan merupakan bentuk turunan dari “demokrasi dan keadilan” artinya warga negara adalah seseorang yang memiliki hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan (Kewarganegaraan Demokratis – Ledalero – 2009).

Sesuatu dianggap sebagai Ancaman atau ganguan dari luar apabila melanggar atau mengabaikan hak-hak demokratis dan klaim atas keadilan dimana warga negara merasa kedua usnur tersebut tidak ada, kelihatannya nilai ketahanan nasional dalam diri warga negara Indonesia cukup kuat hal ini dapat dibuktikan dengan insiden tanggal 13 Agustus 2010 (penangkapan tiga petugas patroli laut Indonesia hampir seluruh komponen bangsa menyuarakan “ganyang Malaysia” atau melakukan konfrontasi fisik (senjata) dengan Malaysia. Namun masalah ini dapat diselesaikan karena masalah bilateral antara Indonesia dan Malaysia serta peran organisasi regional seperti ASEAN dan juga organisasi lainnya, ancaman terhadap negara tidak akan sampai meleburkan NKRI namun lebih pada pertimbangan harkat dan martabat bangsa.

Ganguan atau ancaman terbesar yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan hancur atau leburnya negara apabila ancaman atau ganguan itu datang dari dalam negara itu sendiri, apalagi latar belakang NKRI terbentuk dari keanekaragamaan atau kebhinekaan atau multikuluralisme dan ini merupakan budaya dan realitas yang tidak dapat di pungkiri, dan tidak ada budaya yang tunggal yang mendominasi karena NKRI terbentuk dari berbagai budaya yang bersepakat bersama untuk menyatukan diri. Sehingga pembangunan non- fisik yang diharapkan untuk mampu menjawab tujuan nasional yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud.
Pembangunan non – fisik yakni pembangunan sosial budaya yang membentuk akhlak dan moral yakni dilakukan melalu peran keagamaan dimana di jamin dalam UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara yang menjamin akan kehidupan keagamaan. Kenyataannya masih ada pembatasan kegiatan keagamaan bagi kelompok agama atau kegiatan keagamaan tertentu, seperti rencana pembubaran Ahmadiah oleh Menteri Agama Suryadarma Ali dengan salah satu alasan bahwa hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap pokok ajaran Islam (Majalah Tempo Edisi 13-19 September 2010). Pelarangan beribadah bagi Jemaat HKBP Pondok Indah Timur di Bekasi dan pencabutan IMB (Ijin Membangun Bangunan) rumah ibadah, dan masih banyak model dan cara pembatasan beribadah yang semakin hari semakin meluas baik yang dilakukan secara fisik (kekerasan) bahkan secara non-fisik (kebijakan) yang diramu dalam aturan hukum tertentu seperti PERDA (Peraturan Daerah), apakah karena era otonomi daerah sehingga mengesampingkan pendidikan kewiraan yang lebih menekankan ketahanan nasional dan wawasan nusantara saja.

Merosotnya nilai ketahanan nasional dan wawasan nusantara menyebabkan warga negara terfragmentasi dalam kelompok-kelompok yang membelah diri untuk membela dan mempertahankan keyakinan keagamaan masing-masing serta mengabaikan akan sejarah berdirinya bangsa ini yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama dari berbagai keberagaman, hal ini dapat menyebabkan ancaman dan ganguan bagi keutuhan NKRI.

Peranan Pendidikan Kewiraan sangat dibutuhkan karena dapat mewujudkan demokrasi yang substansial dimana keberadaaan negara yang dibentuk dari, oleh dan untuk rakyat oleh semua elemen yang multicultural, sejatinya diberi kesempatan dan kebebasan turut berpartisipasi dalam negara, serta mendapatkan keadilan yang seadiladilnya yakni kesempatan bersama untuk menikmati dan berperan aktif dalam membangun negara.

Pendidikan Kewiraan sangat dibutuhkan oleh para trias politik (ekskutif, legislative dan yudikatif) dimana dalam menjalankan semangat otonomi daerah sepertinya ada kebebasan yang seluasnya untuk menjalankannya sesuai corak dan budaya daerahnya sehingga produk-produk hukum sebagai instrument untuk menjalankan pemerintahan seperti-nya membatasi atau mengekang bahkan tidak mengakui akan keberagamaan yang ada.
Produk Hukum yang dihasilkan dari euphoria reformasi dan penerapan pemerintahan otonomi daerah yang berbasiskan desentralisasi, produk hukum seperti Perda bahkan SKB dua menteri yakni Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, SK Gub atau SK Walikota/Bupati sepertinya meniadakan demokrasi dan keadilan sebagi “ruh” dari kewarganegaraan menjadi punah. Padahal ada aturan tidak formal bagi pejabat publik untuk mengkuti pendidikan khusus LEMHANAS dimana pendidikan kewiraan atau kewarganegaraan menjadi syarat mutlak dalam pendidikan di lembaga ini.

Pendidikan Kewiraan bukan hanya bagi pejabat publik melalui Lemhanas tetapi lebih luas, hal ini diharuskan bagi setiap warga negara yang bertujuan untuk membentuk “caracter building” bagi warga negara sehingga berperan sebagai “civil society” untuk melakukan evaluasi control akan setiap kebijakan publik yang dihasilkan tidak mencerminkan ruh dari kewiraan yakni; ketahanan nasional yakni kebijakan itu menimbulkan ancaman atau ganguan bagi terpecahnya NKRI, serta wawasan nusantara dimana kebijakan tersebut tidak memperhatikan sejarah dan budaya dan konstelasi geografi nusantara yang membentuk NKRI yang beragam maka warga negara tersebut berhak melakukan protes bahkan “class action” karena kebijakan tersebut menimbulkan ancaman atau gangguan bagi keutuhan NKRI….

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar