Selasa, 21 September 2010

"PANCASILA KEMAREN, HARI INI DAN ESOK"

”PANCASILA KEMAREN, HARI INI DAN BESOK”
*Yoyarib Mau

Pancasila hadir dari pergumulan yang panjang ditengah- tengah masyarakat Indonesia yang beragam suku, budaya, bahasa dan agama, keberagamana ini menjadi keunikan tersendiri karena tidak semua negara di muka bumi ini yang mampu menkonsolidasikan keberagaman yang di miliki oleh negara sebagai aset atau kekuatan untuk membangun bangsanya. Indonesia telah mampu dan membuktikan diri sebagai negara kepulauan yang mampu mempersatukan berbagai perbedaan itu sebagai satu identitas bangsa yakni Indonesia.

Indonesia menjadi nation karena mampu menghadirkan Pancasila sebagai dasar negara yang memiliki ”lima sila” dan kelima sila tersebut menjadi dasar dan pedoman dalam berpikir, berkehendak dan bersikap (ideologi). Bahkan Pancasila menjadi ideologi yang cukup tua karena sudah 65 tahun Indonesia merdeka dan sudah terbukti Pancasila mempu membagun keharmonisan hidup bersama di segala aras. Pamcasila tidak hanya sebagai simbol tetapai simbol yang representatif.

Kehadiran Pancasila sejak awal sudah melalui proses perdebatan yang cukup panjang karena ingin menawarkan konsep atau ideologi lain, atau menghendaki adanya penekanan tertentu pada sila tertentu sesuai dengan pertimbangan dan ajaran agama tertentu juga tidak mendapatkan tempat karen sudah melalui pertimbagan – pertimbangan kebragamanan yang ada maka proses panjang oleh ”the founding fathers” menghasilkan ideologi yang cocok dan mengakomodir ciri masyarakat Indonesia yang majemuk atau multikultural hanyalah Pancasila.

Pancasila yang terdiri dari lima sila tersebut sudah merangkumkan berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga President RI I Ir. Soekarno menyadari bahwa untuk memecahkan persoalan karena perdebatan yang terjadi karena dasar dari republik ini apakah berdasarkan agama tertentu atau harus berdasarkan religiositas pada penduduknya yang beragam. Atas dasar pertimbangan bahwa rakyat Indonesia yang beragam dan banyak corak budaya yang dimiliki maka asas negara yakni pancasila seyogianya ideologi tersebut dapat menjamin semua warga masyarakat sama kedudukannya, sama kewajibannya, dan sama haknya sehingga Ir Soekarno mencetuskan pancasila pada tanggal 01 Juni 1945 ( Franz Magnis Suseno – Berebut Jiwa bangsa – Kompas – 2007)

Proses mengideologisasikan Pancasila tidak berhenti sampai disitu pada era Orde Baru President Soeharto perlu juga Pancasila di tuangkan dalam bentuk yang mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat maka pada tahun 1983 Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) menjadikan Pancasila sebagai asas bagi seluruh organasisai sosial dan Politik, keputusan MPR ini di tuangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) (NU dan Pancasila – LKIS – 2010).

Perjuangan panjang untuk menjadi negara yang pancasilais dilakukan berbagai upaya salah satunya adalah seperti yang dilakukan oleh MPR namun dalam perjalanannya proses menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas di gunakan oleh rezim Soeharto sebagai alat politik karena melakukan pembatasan dan pemahaman akan makna pancasila hanya sebatas Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) padahal proses dunia dalam mencari bentuk pemerintahan yang baik setiap saat mengalami perubahan.

Perubahan yang mendesak dan mendunia yakni pasca runtuhnya rezim-rezim komunis dan sosialis yang walaupun di suatu sisi masih relevan dalam kancah ekonomi tetapi hadirnya gelombang demokrasi membuat pemahaman masyarakat untuk berpikir dan bertindak secara bebas mengalami penekanan dan hambatan dari isi P4 yang di doktrinisasi oleh Soeharto, sehingga tuntutan demokrasi dan akibat krisis ekonomi yang menyebabkan tumbangnya rezim Soeharto menyebabkan P4 dianggap sebagai lawan atau hambatan bagi gelombang demokrasi.

Pasca reformasi 1998 dan kekuasaan di serahkan kepada President BJ Habibie ada kebijakan yang menyambut gelombang demokrasi dengan membukan kran politik bagi setiap organisasi dan partai politik untuk bebas menggunakan asas dn penghapusan pancasila sebagai satu-satunya asas menyebabkan distorsi ideology bernegara bagi Indonesia. Azyumardi Azra dalam menanggapi kondisi penghapusan satu-satunya asas, menurutnya penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khusunya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila tidak lagi menjadi “common platform” dalam kehidupan masyarakat (Analisis CSIS – Maret 2005).

Akibat kebijakan ini maka perjuangan dan manufer untuk menerapkan ideologi yang berbasiskan agama kembali hidup dan menggangu akan keberadaan pancasila, dengan demikian, bagaimana upaya yang harus dilakukan agar mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa ?

Pengalihan kekuasaan dari rezim orde baru ke rezim reformasi harus diakui tidak melalui persiapan konsep dan arah yang jelas tanpa memikirkan sejarah, mungkin saja kaum reformis waktu itu sangat kehilangan arah pemikiran dan menantikan sesuatu yang baru atau saja di racuni oleh pemikiran Francis Fukuyama “the end of history” bahwa semua idologi yang lama telah berakhir dan kaum reformis menginginkan gelombang demokrasi sebagai sesuatu yang baru langsung menjadi bahan santapan rakyat Indonesia.

Model pelahapan kaum reformis tidak memikirkan bagaimana sejarah bangsa ini berdiri, bukan berarti menolak gelombang demokrasi tetapi bukan membiarkan gelombang demokrasi itu menghilangkan sejarah dan identitas bangsa ini.

Dauglas Ramage pernah menuliskan dua pernyataan Gus Dur atau Abdurahman Wahid yaitu; Pertama; Tanpa Pancasila, negara RI tidak akan pernah ada. Kedua; Pancasila adalah serangkaian prinsip-prinsip yang bersifat lestari (Einar Martahan Sitompul – Nu & Pancasila – LKIS) Pernyataan ini membuat Gus Dur menaruh komitment akan kebaragaman bangsa ini sehingga perjuangan gerakan sektarian dan fundamentalis di era globalisasi yang semakin kuat dan mengental sering menganggu akan ideologi Pancasila yang sejatinya memberikan makna religiositas bagi semua umat dan tidak memihak pada umat atau sekolompok orang.

Pancasila memberikan penafsiran atau interpretasi lebih jauh bagi Agama untuk melakukan tanggung jawab keagamaan dalam doktrin agama masing-masing, tanpa melakukan pembatasan terhadap agama tertentu. Pancasila menjadi tidak pancasilais apabila dipahami secara tunggal saja berdasarkan agama tertentu. Republik Indonesia ini ada karena ideolog Pancasila, jika meniadakan Pancasila maka bukan lagi Republik Indonesia.

Menjadi Republik Indonesia merupakan hasil perjuangan yang cukup berat dari berbagai komunitas yang beragam sehingga para pendiri bangsa melakukan perundingan menegangkan namun mampu menghasilkan kompromi yang disepakati bersama demi keindonesiaan yang utuh. Franz Magnis menegaskan bahwa Kompromis justru tercapai dalam perumusan berupa Formelkompromis yang dalam filsafat politik sebagai salah satu sarana terpenting agar pihak-pihak dengan pandangan berbeda dan dapat bekerjasama dengan menyepakati sebuah rumusan dan pihak-pihak yang bersangkutan merasa bahwa keyakinan hakiki mereka masing-masing terjamin (Berebut Jiwa Bangsa – Kompas – 2007)

Pancasila sebagai asas negara yang menjamin seluruh komponen bangsa, dan merupakan warisan sejarah yang perlu dilestarikan maka jika ada kekuatan ideologi lain yang merong-rong Pancasila seperti “religious-based ideology” tertentu. Dimana tidak mengakui akan keberadaan komunitas atau agama lain dengan melakukan kekerasan terhadap agama lain yang sedang melakukan interpretasi dari salah satu sila dari Pancasila yakni sila kesatu, tetapi mengalami hambatan bahkan pelarangan maka setidaknya hasil kesepakatan yang “formelkompromistis” disangkal dan dikhianati.

Pancasila harus dipertahankan sebagai perekat dan pemersatu bangsa dalam era globalisasi yang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu sehingga mewacanakan Pancasila sebagai bukti sejarah yang perlu dilestarikan, Pancasila tidak boleh berakhir harus terus-menerus didengungkan bukan hanya dalam bentuk seremonial pembacaan teks proklamasi dalam setiap upacara bendera, tetapi harus dijadikan asas yang kokoh dalam setiap aspek kehidupan, setiap kebijakan konstitusi setiap hasil kesepakatan harus melalui diskursus atau pertimbangan apakah kebijakan atau keputusan tersebut mencerminkan prinsip-prinsip pancasila atau tidak, jadikan sebagai habitus untuk mengukur sejauhmana nilai-nilai pancasila menjadi karakter dari anak bangsa yang mencintai dan memiliki komitment keindonesiaan.

*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar