"KETUHANAN YANG MAHA ESA SEBUAH ENTITAS”
*Yoyarib Mau
Terbentuknya Pancasila sejak permulaan sudah melalu perdebatan dan pencarian nama, bentuk dan penggunaan kata yang cocok dan tepat berdasarkan kepentingan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai agama,suku dan bahasa. Perumusan dasar negara yang tepat untuk dapat mengakomodir berbagai elemen yang ada dalam negaraa ini.
Dari kelima sila pancasila ini mengalami perdebatan menyangkut redaksional kata dan pengakomodasian kepentingan serta prinsip keyakinan, hidup dan budaya yang berbeda untuk dapat difasilitasi dalam dasar negara. Perjuangan memasukan atau menerapkan redaksional kalimat sebagai bentuk heemoni budaya atau agama tersebut diharapkan untuk tidak mengabaikan kebangsaan yang berkekeluargaan.
Kebangsaan yang terangkum dalam Indonesia sangat beragam sehingga proses menetapkan sebuah idelogi bangsa harus mempertimbangkan keberagaman yang dimiliki negara ini. Pancasila dalam penetapannya sebagai dasar negara di warnai dengan proses yang panjang dalam sejarah bangsa khususnya pada sila kesatu.
Penetapan Pancasila sebagai ideologi bangsa berangkat dari kesepakatan para pendiri bangsa waktu itu yakni pasca kemerdekaan Republik Indonesia yang menginginkan asas negara ini, tim yang bekerja menyusun dasar negara ini kitakenal sebagai tim-9 (tim sembilan) yang terdiri dari; Ir. Soekarno, Mohamad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejono, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achamad Souardjo, Wahid Hasyim dan Mohammad Yamin (id.wikipedia.org)
Kesembilam orang in sebagai team yang menyusun dasar negara Indonesia mereka juga di kenal dengan sebutan BPUPKI (Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sebelum kemerdekaan Indonesia tahun 1945. hasil kerja panitia ini menghasilkan lima butir kesepakatan yang kita kenal dengan sebutan “Piagam Jakarta” sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun dalam perjalanan penyusunan konstitusi UUD, maka ”piagam jakarta” ini hendak di masukan dalam konstitusi tertinggi negara ini, yakni UUD 1945 hal inilah yang menimbulkan perdebatan karena konstitusi seyogianyanya mengayomi semua pihak yang ada dalam negara ini sehingga PPKI menjelang pengesahan UUD 1945 dilakukan perubahan atas redaksi kalimat yang pada piagam jakarta tertulis; ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di revisi menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dilakukan oleh Drs. Muhamad Hatta atas usul dari A.A. Maramis dengan berkonsultasi dengan Teuku Muhamad Hassan, Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo (id.wikipedia.org).
Kesepakatan untuk meniadakan kalimat dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dengan Kalimat ”Ketuhanan Yang Maha Esa” sepertinya tidak terlepas dari peristiwa bersejarah yang dilakukan oleh para pemuda dari seluruh daerah di tanah air yang bersepakat bersama mengucapkan ”Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928, jauh sebelum perumusan piagam jakarta sudah ada kesepakatan para pemuda untuk terbentuknya negara bangsa. Menurut Harry Tjan Silalahi; negara bangsa Indonesia ini merupakan hasil karya anak bangsa bersama yang kala itu (1928) bersepakat untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu: Indonesia. Pada waktu itu ”Indonesia” belum ada dan sangat disadari adanya pluralisme di antara kelompok-kelompok yang bersepakat (bersumpah) (Johanes Leimena – BPK. Gunung Mulia – 2007).
Sehingga wajar jika ada permintaan dari A.A. Maramis agar perlu kalimat yang harus ditiadakan dengan mengingat semangat sumpah pemuda yang disepakati oleh berbagai komponen kelompok dari berbagai pulau, suku, ras, agama dan berbagai corak kebudayaan, untuk mengusir penjajah yang menjajah bangsa ini. Kemudian hari ketika kemerdekaan telah berhasil diraih, maka keanekaragaman itu harus di pelihara bukan karena kemerdekan sudah di raih maka melupakan sejarah yang telah di lukiskan oleh para pemuda.
Dalam perjalanan kebangsaan riak untuk mengembalikan Pancasila terutama sila ke satu kembali sesuai dengan redaksi piagam jakarta tetap di perjuangkan seperti perjuangan Masyumi dan juga partai Islam lainya seperti PBB (Partai Bulan Bintang) yang memperjuangkan piagam jakarta secara demokratis dan konstitusional untuk di masukannya pasal 29 ayat (1) UUD 1945 sehingga bunyinya menjadi negara berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dengan kewajiban melaksanakan Syarat Islam bagi pemeluknya” namun kenyataannya komitment keindonesiaan yang berbhineka tunggal ika masih menguat. Hal ini dibuktikan dengan hasil pemilu dimana partai politik ini tidak mendapatkan suara yang mayoritas atau tidak signifikan sehingga dengan demikian sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam masa kekinian masih tetap relevan dan abadi untuk keutuhan NKRI.
Timbul pertanyaan tentang terminologi kata ”esa” memberikan pengertian seperti apa ? karena dalam sila ke satu pancasila yang sepertinya memaksa dan monoteis sepertinya menaifkan keberagaman agama dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia
Pertanyaan ini cukup kritis namun pemahamana keesaan bukan pada pemahaman angka tunggal, tetapi lebih pada makna namun perlu diberikan penghargaan bahwa keberhasilan konsep redaksional kata pada sila pertama pancasila sudah memberikan solusi terbaik bagi keindonesiaan.
Audifax berpendapat bahwa; kata ”Tuhan” adalah sebuah konsep mengenai entitas yang tak terjelaskan. Pengertian konsep itu sendiri tak pernah hanya terdiri dari satu komponen, sebuah konsep selalu merupakan bangunan dari sejumlah komponen. Konsep Tuhan pun demikian, ia tak terdiri dari satu komponen tunggal yang menjelaskan Tuhan sebagai defenisi tunggal namun justru tersusun dari beberapa defenisi yang mungkin bertentangan satu sama lain. Pada awalnya, pluralitas komponen yang menyusun konsep Tuhan inilah mencerminkan kebesaran Tuhan (Spritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer – Jalasutra – 2007).
Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila juga tidak di pahami dalam angka tetapi hadir sebagai sebuah konsep untuk mengakomodir berbagai keyakinan yang ada dalam Indonesia dimana setiap masyarakat beragama dapat menyaksikan atau mengekspresikan keimanannya, dan pemaknaan dari sila ini tidak dengan serta merta membatasi pengakuan kepercayaan dari agama lain, tetapi sila ke satu dalam Pancasila lebih mengarahkan pada sebuah pemahaman akan entitas yang sama dalam pemahaman tiap-tiap agama bahwa kebesaran, kemahakuasaan yang di yakini sebagai komponen yang dapat di tafsir sebagai yang kekal atau abadi.
Sehingga bunyi sila ke satu hadir sebagai bentuk meredusir berbagai keberagaman keyakinan dalam teks untuk di tafsir dan ditelah berdasarkan berbagai keyakinan keagamaan karena Tuhan tidak dapat dibatasi dalam teks karena sebenarnya Tuhan adalah entitas yang tak dapat terjelaskan. Pemikiran tekstual yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa kita di dalam ketebatasannya menghadirkan redaksional kata dalam sila pertama Panascila untuk menghargai dan mengakui akan keberagamaan yang ada di tanah air.
Kemudian jika ada pemaksaan untuk memaksaan redaksional kata dalam bentuk pemahaman Tuhan oleh sebahagian atau kelompok tertentu sebenarnya telah meniadakan akan keberadaan Tuhan dan membatasi akan pemahaman Tuhan yang beragam di Indonesia yang telah bersepakat bersama dalam ”sumpah pemuda” untuk membentuk satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa : Indonesia.
* Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI / 0806383314
Tidak ada komentar:
Posting Komentar