“PERAYAAN NATAL DAN AUDIT POLITIK PEMERINTAHAN SBY”
*Yoyarib Mau
Pemilu Presiden yang demokratis sudah dijalankan oleh Indonesia sejak kepemimpinan Megawati Soekarno Putri ini menjadi pengakuan dunia Internasional, sehingga layaklah Indonesia di sebut negara demokratis. Peran serta rakyat dalam pesta demokratis menujukan bahwa rakyat menginginkan akan perubahan kepemimpinan yang mampu menjamin akan kehidupan rakyat mencapai kehidupan yang aman dan sejahtera.
President SBY saat ini adalah president pilihan rakyat karena memenangi pemilu president pada pemilu 2009 dengan jumlah suara hasil rekapitulasi KPU sebesar 73.874.562 suara atau 60,80 %. Jumlah daftar pemilih tetap yang di keluarkan KPU sebanyak 177.195.786 orang, dari jumlah daftar pemilih ini suara yang sah sebanyak 121.504.481 suara sah sedangkan yang golput sebanyak 49.212.158 suara (27.77 %) (www.bogor.net).
Terlepas dari proses yang “jurdil” (jujur dan adil) atau tidak dalam proses pemilu yang lalu tetapi de facto dan de jure, KPU menetapkan jumlah suara yang di peroleh SBY-Boediono adalah 60,80 %. Suara ini menunjukan bahwa SBY-Boediono memenangi pertarungan dan sah bahwa kedaulatan rakyat sudah di serahkan kepada SBY untuk menjalankan pemerintahan.
SBY di beri Amanah atau didaulat melalui pemilu untuk menjalankan pemerintahan selama lima tahun, sehingga SBY memiliki kesempatan untuk mewujudkan imaginasi para pendiri bangsa yakni menekankan sistem sosial ekonomi yang adil dan beradab dan bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak yang dijalankan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Sehingga timbul pertanyaan, apakah SBY bersama pemerintahannya (partai koalisi) sudah menjalankan mandate atau amanah yang di daulatkan oleh rakyat untuk terciptanya sistem sosial-ekonomi yang adil dan beradab serta bermanfat bagi hajat hidup orang banyak ?
Penyalahgunaan Kekuasaan
Realitas yang berkembang dalam masyarakat berdasarkan pengamatan bahkan sejumlah survey serta melihat kohesi kehidupan sosial-politik masyarakat saat ini seperti; korupsi yang terus menerus merambah dari level pemerintahan pusat hingga pemerintahan daerah, penegakan hukum yang terkesan “tumpul keatas dan tajam kebawah” dalam artian para pejabat yang terlibat hukum di vonis bebas, walaupun di penjara tetapi nilai uang yang dikorupsi tidak sebanding dengan hukuman yang ditimpakan, malah sebaliknya pencuri sandal dan bunga di tuntut dengan hukuman yang sebaliknya nilai barang yang dicuri tidak sebanding dengan angka vonis hukuman. maka jawaban yang di berikan selalu minus atau menurun nilai dan angkanya bagi kepemimpinan SBY.
Kondisi demikian membuat kita diam, berserah atau mungkin kalimat mantra yang mengandung spiritual yakni berdoa saja agar ada perubahan, menjadi pilihan rakyat karena kedaulatan rakyat sudah di berikan kepada SBY untuk menjalankan pemerintahan sehingga kita tidak perlu bertindak atau menentang.
Kedaulatan rakyat sepertinya menjadi senjata ampuh yang mematikan tuntutan hati nurani untuk bangkit melawan mengembalikan “jalan kebenaran dan jalan keadilan” guna terciptanya masyarakat yang adil dan beradab sepertinya bergelora namun alih-alih kedaulatan sudah di serahkan lewat pemilu.
Asal-usul kedaulatan rakyat Thomas Hobbes menekankan bahwa kedaulatan diserahkan oleh individu-individu pada pemegang kedaulatan untuk menghindari anarki karena sifat egoistic manusia (homo-homoni lupus), John Locke mengoreksi Hobbes dengan mengatakan bahwa kedaulatan tersebut tidak diserahkan melainkan hanya dititipkan. Sehingga Hobbes dan Locke, Individu-individu menyerahkan kedaulatan untuk membuat suatu masyarakat yang teratur guna terjadinya pertukaran kepentingan (utility) antar individu (Masyarakat Jurnal Sosiologi Edisi: Vol. XIII. No 1 Juni – 2006).
Pemikiran diatas seolah-olah memasung akan hati nurani rakyat yang melihat kedaulatan yang sudah di wakilkan kepada pemimpin yang di setujui melalui pemberian suara dalam pemilu lalai bahkan lalim dalam menjalankan pemerintahan tidak dapat di lawan. Penyerahan kedaulatan rakyat tidak serta merta hak rakyat sudah tidak ada lagi sehingga keberadaan demokrasi yang menurut Schumpeter bahwa; demokrasi hanya berarti bahwa rakyat memiliki kesempatan untuk menerima atau menolak orang-orang yang akan memimpin mereka, demokrasi dapat menjadi satu komunitas yang mengatur sendiri dengan tuntutan “kebaikan bersama” sementar sejak dahulu bahwa satu rangkaian kepentingan akan dilayani melebihi kepentingan lain: yaitu kepentingan mereka yang memerintah. Sehingga demokrasi tidah hanya memberikan perlindungan atas kepura-puraan itu tapi juga memberikan persyaratan minimum yang dibutuhkan agar mereka yang memerintah dapat terus diawasi (David Held Model Of Democracy – Akbar Institue – 2006 hlm 164).
Pemikiran Scumpeter diatas menunjukan bahwa kedaulatan rakyat yang telah di berikan sudah selesai saat pemilu dan ketika pemimpin terpilih tidak serta merta hak rakyat sudah tidak ada lagi untuk mengontrol pemerintahan yang di jalankan sehingga sebagaimana juga yang ditegaskan oleh J.S. Mill bahwa semua warga negara dapat dilibatkan dalam diskusi yang berhadap-hadapan setiap waktu ketika sebuah isu public muncul, sebagai bentuk demokrasi partisipatif membantu mengembangkan pembangunan umat manusia, mempertinggi perasaan kemujaraban politik, mengurangi perasaan pemisahan dari pusat kekuasaan, memelihara sebuah uruasan pada masalah-masalah kolektif untuk menyumbangkan formasi kewarganegaraan yang berpengetahuan dan aktif yang mampu membawa kepentingan dalam urusan-urusan pemerintahan dengan lebih teliti (David Held Model Of Democracy – Akbar Institue – 2006 hlm 247).
Demokrasi tidak hanya berakhir dengan pemberian suara dalam pemilu tetapi diharapkan peran serta masyarakat untuk mewujudkan demokrasi yang baik dan benar sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat dengan demokrasi partisipatif. Penulisan buku ini sebagai bentuk partisipatif warga negara untuk melihat persoalan-persoalan public, sehingga penguasa yang di beri mandate tidak mengambil jarak dengan rakyat, persoalan-persoalan yang diutarakan dalam buku ini merupakan jarak yang di ciptakan oleh pemerintah menjadi jurang pemisah antara rakyat dan SBY.
Politisasi Natal
Kupang sebagai wilayah geografis yang penduduknya hampir seluruhnya menganut agama Kristen (Protestan dan Katolik) tentunya merayakan Natal, sehingga partai-partai politik melakukan perayaan nasional partainya di kota Kupang, ada pertimbangan tertentu dari partai-partai politik untuk memilih perayaannya di kota Kupang terlepas dari pesta pemilihan kepala daerah di kota Kupang yang akan dilakukan pada bulan Mei nanti.
Natal Partai Gerindra pada awal bulan januari yang lalu di hadiri oleh Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga salah satu candidat calon presiden pada pemilu 2014 nanti, sedangkan Natal Nasional DPP. Partai Golkar yang akan didadakan pada tanggal 17 Januari 2012 yang akan dihadiri oleh seluruh petinggi Partai Golkar termasuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang juga desus-desus yang berkembang akan diusung sebagai calon presiden. Dan juga DPP. Partai Demokrat akan merayakan Natal Nasionalnya di Kota yang sama pada tanggal 19 Januari 2012 yang akan dihadiri oleh Presiden SBY dan sejumlah petinggi Partai Demokrat.
Memaknai perayaan Natal oleh partai politik tentunya tidak akan terlepas dari tujuan politik partai yakni mau menunjukan bahwa partai-partai ini adalah partai nasionalis-religius (berperilaku agamais) juga melalui perayaan natal ini partai politik mendapatkan dukungan suara dari komunitas yang beragama Kristen baik dari wilayah NTT dan juga dukungan dari warga Kristen yang tersebar di Tanah air.
Perayaan Natal yang diawali dengan sejumlah kegiatan sosial yakni operasi katarak, pembagian bantuan kepada kelompok tani dan nelayan, pembagian santunan ke sejumlah panti asuhan, serta bantuan ke sejumlah gereja-gereja merupakan kegiatan yang baik, namun apakah sejatinya Natal yang diyakini adalah sebatas pemberian bantuan kemanusiaan model yang dilakukan oleh partai-partai politik adalah meniru apa yang diwariskan oleh “Santa Claus” yang datang membagi permen atau bingkisan Natal.
Sesuai tema Nasional yang keluarkan oleh PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA INDONESIA (PGI) dan KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA (KWI) dengan thema : Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a) pergumulan gereja-gereja terekspresi dari thema besar perayaan natal tahun ini, menggambarkan kondisi bangsa yang ada dalam kegelapan, bagaimana tidak penegakan hukum yang tumpul keatas tetapi tajam dan merajang ke bawah, pembiaran yang dilakukan negara terhadap kelompok yang melakukan tindakan anarkis terhadap kelompok tertentu yang menjalankan ibadah keagamannnya contoh kasus GKI Yasmin Bogor yang terus-menerus dilarang untuk beribadah, namun pemerintahan ini sepertinya pongah dan tidak perduli terhadap mereka yang mengalami tekanan secara structural.
Kegelapan lain yang dilakukan pemerintahan ini yakni korupsi yang melibatkan petinggi partai namun tidak mendapatkan vonis hukum, sprit natal yakni “terang” yang hadir untuk menerangi kegelapan bangsa bukan dengan sekedar memberikan permen untuk menghibur dalam sekejap, tetapi peran terang diharapkan oleh rakyat Indonesia yakni kebijakan yang diatur dalam sistem negara yang jelas, kebijakan APBN untuk pembangunan yang merata bagi semua rakyat sehingga terang itu tidak hadir sekejap dalam rasa permen yang dikecap, tetapi terang itu progresif dan berkesianmbungan terus menyala dan mengusir kegelapan yakni kemiskinan, dan ketidakharmonisan antar umat beragama.
Warga gereja yang ada di NTT yang akan di mobilisasi untuk hadir dalam perayaan Natal serta warga gereja yang tersebar di tanah air yang juga akan menyaksikan semua perayaan ini lewat media massa, perlu melihat ini dalam kerangka kehidupan bernegara sebagaimana yang diungkapkan oleh Schumpeter bahwa demokrasi tidah hanya memberikan perlindungan atas kepura-puraan itu tapi juga memberikan persyaratan minimum yang dibutuhkan agar mereka yang memerintah dapat terus diawasi.
Gereja dalam dogma Kekristenan dilarang berpolitik praktis tetapi sebagai pribadi warga gereja yang adalah juga warga negara harus berani melakukan tugas yakni mengawasi perilaku partai politik dan pemerintahan yang berkuasa terus diawasi dengan sikap kritis kita, agar perwujudan dari Natal serta sprit demokrasi yang sama-sama membebeaskan manusia dari kegelapan (kemiskinan dan ketidakadilan) dapat terwujud.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI (Sekretaris Fusngsional Bidang Aksi dan Pelayanan Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 2010-2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar