“Jokowi Memilih Sapi
Timor Berarti Sangat Atoin Meto?”
*Yoyarib
Mau
Kunjungan
Jokowi Gubernur DKI Jakarta ke NTT pada
28 April 2014 yang lalu menuai banyak tanggapan pro-kontra, kapasitas kunjungan
Jokowi jelas sebagai Gubernur DKI Jakarta yang hendak melakukan hubungan
kerjasama di sektor peternakan dengan Pemerintah Provinsi NTT. Bentuk kerjasama
ini adalah sebuah arah kepastian ekonomis bagi Provinsi NTT dalam cita-cita
yang digaungkan selama ini sebagai lumbung ternak bagi Indonesia.
Provinsi
DKI Jakarta sebagai Provinsi dengan kebutuhan tertinggi akan daging sapi
rata-rata mencapai 150 ton per hari, kebutuhan konsumsi daging akan meningkat
jika bertepatan dengan hari raya keagamaan, dimana dapat mencapai hingga 2 kali
lipat, bahkan dalam setahun daging yang dibutuhkan sebesar 52.500 ton per
tahun. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga kebutuhan
ini harus dipenuhi dengan melakukan import.
Untuk
menekan import daging sapi, maka inisiatif Pemda DKI untuk mencari daerah-daerah
yang potensial. Berdasarkan data Dinas Peternakan Prov. NTT dengan lahan padang
yang cukup luas berkisar 1.5 juta ha, dengan populasi Sapi Bali di Timor
sekitar 600.000 ekor, di daratan Flores 155.195 ekor yang masih bisa
dikembangkan hingga 400.000 ekor, dan di Sumba ada sapi Ongole berkisar 60.000
ekor masih dapat dikembangkan hingga 300.000 ekor. ketika melihat peluang dengan prospek besar
ini maka Jokowi menaruh harapan besar akan ketersediaan sapi dari NTT untuk
menekan impor daging sapi baik di Jakarta maupun secara nasional.
Kondisi
ini kemudian mendorong Jokowi dan Frans Leburaya mewujudkannnya dalam
kesepakatan kerjasama dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU)
sebagai kekuatan hukum untuk segera diwujudkan, jika tidak maka hanya akan menjadi
wacana sepanjang masa. Peristiwa yang bersejarah dalam era otonomi daerah ini
kemudian menghadirkan polemik di tengah masyarakat NTT bahwa perjanjian
kerjasama ini lebih pada nuansa politis, karena menjelang pemilu presiden.
Polemik
ini kemudian menghadirkan pertanyaan yang sangat mendasar bahwa, Apakah dengan bertepatan momentum pemilu
presiden kerjasama untuk kesejahteraan masyarakat NTT tidak boleh dilakukan
?. Konsep pembangunan ekonomi khususnya
di wilayah pedesaan juga tidak terlepas dari “konsep resilince yang dikemukan
oleh W. N. Adger ” dimana masyarakat perdesaan dalam aktivitas sehari-hari
jamak ditemui tergantung dari sumber daya alam sehingga kesinambungan
keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan bagian terpenting untuk mendukung
keberlanjutan dari kehidupan masyarakat (Menuju Desa 2030 – PSP3-IPB).
Telah
digambarkan diatas bahwa alam dan potensi sumberdaya alam NTT sangat potensial
untuk pengembangan ternak padang yang luas, modal sapi yang tersedia sudah ada,
bahkan kehidupan masyarakat NTT khususnya daratan Timor pernah ada pada masa
keemasan, Timor sebagai gudang ternak sapi yang pada tahun 60-an, ada pusat
peternakan sapi di Besipae – Amanuban TTS, akan tetapi tinggal kenangan. Tidak dapat di pungkiri bahwa komoditas sapi
sebagai produk unggulan untuk menggerakan roda perekonomian di pulau Timor
khususnya untuk membiayai adat (mas kawin/belis dan kebutuhan pesta adat) dan
memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Untuk
memenuhi kebutuhan adat dan pendidikan, kepemilikan ternak bagi setiap rumah
tangga berkisar 3-4 ekor sapi, maka bagi tiap keluarga hanya mampu menjual 1
ekor ternak setiap 3 tahun sekali, rendahnya produktifitas inilah merupakan
faktor kunci, kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mensuplay
tingginya permintaan sapi lokal. Modal untuk mengembangkan sumberdaya alam yang
sudah ada, yang menjadi persoalan agar bisa meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Kondisi ini yang harus di lihat sebagai peluang yang sangat berarti
bagi pengembangan ekonomi masyarakat NTT. Jika produktifitas rendah sedangkan
permintaan tinggi tetapi tidak mampu dipenuhi dengan keadaan lokal yang ada
maka perlu strategi baru dengan melibatkan pihak ketiga.
Pihak
ketiga adalah kehadiran mereka yang ingin menginvestasikan dananya. Era otonomi
daerah dimana setiap daerah harus mampu mengembangkan pendapatan asli daerah
(PAD), jelas terlihat ada potensi SDA namun membutuhkan biaya untuk pengembangan lebih besar. Protes
dilakukan oleh kelompok tertentu atas kerjasama yang dilakukan Pemda DKI dan
Pemda NTT yakni mengapa harus mendatangkan (import) sapi dari Australia
kemudian hanya dilakukan penggemukan di NTT, setelah itu daging atau sapinya dikirim
ke DKI, melihat ketersediaan ternak lokal yang ada di NTT untuk saat ini belum
mampu menjawab kebutuhan di DKI, maka penting untuk melakukan strategi lain
dengan mendatangkan bibit sapi dari daerah yang surplus ternak sapinya seperti
Australia, untuk kemudian dikembangkan sebagai sapi produktif (dikawinkan
dengan sapi lokal) dan dilakukan penggemukan.
Keadaan
NTT ini membutuhkan stimulasi dana untuk pengembangan ternak sapi maka DKI
menyediakan dana investasi hingga Rp. 2 triliun, tidak semua daerah
berkesempatan untuk mendapatkan kesempatan kerjasama antar provinsi karena ego
sektoral, apalagi kesempatan emas ini
diberikan bagi NTT yang memiliki indeks pertumbuhan manusia (IPM) sebagai salah
satu indikator kesejahteraan masyarakat pada tahun 2011 menurut UNDP
dikategorikan sebagai daerah tertinggal bersama NTB dan Papua. Pertumbuhan
ekonomi (PDRB) NTT pada triwulan I 2014 masih dibawah normal sebesar 5,02 %
daerah lain berada di atas 6 %.
Dengan
kondisi demikian apakah dengan tawaran investasi dari sesama anak bangsa yang
hendak membangun negeri bersama, kemudian kita melakukan penolakan. Kesempatan
emas ini harus dilihat sebagai proses magis, proses magis sangat kita butuhkan
untuk berubah dan menghantarkan kita untuk mencari mimpi-mimpi besar. Bagaimana
orang Timor hendak menyekolahkan anaknya, agar sejalan dengan cita-cita yang
digaungkan untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit sedangkan dalam 3
tahun baru bisa menjual 1 ekor sapi itupun untuk memenuhi berbagai kebutuhan
hidup.
Jika
Jokowi jeli melihat peluang NTT khususnya orang Timor membutuhkan lebih dari 3
ekor sapi per- rumah tangga serta bagaimana dapat menjual per-tahun minimal 1
ekor, maka kehadiran Jokowi dalam menandatangani MoU di NTT, sebaiknya dilihat
sebagai ibadah politik untuk melakukan amal-soleh demi terwujudnya Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar.
Jika
saja ada ketakutan bahwa ini adalah bentuk kampanye, biarkan rakyat menilai dan
menentukan pilihan politiknya, lahan dan wilayah NTT tidak dikapling oleh
figure tertentu. NTT penuh dengan kompleks persoalan serta terbuka bagi siapa
saja untuk melakukan proses-proses magis sebagai bentuk ibadah politik dengan
tujuan mensejahterakan masyarakat. Tidak ada batasan dan bahkan membangun
ketakutan berlebihan dari pihak tertentu bahwa Jokowi telah menguasai NTT,
hanya karena membawa pengembangan sapi di Pulau Timor. Silahkan kandidat
lain menjalankan strategi dan pola
pendekatan yang tepat sesuai kebutuhan hakiki masyarakat.
*Pemerhati Sosial Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar