Minggu, 20 Juli 2014

“Jokowi Memilih Sapi Timor Berarti Sangat Atoin Meto?”

“Jokowi Memilih Sapi Timor Berarti Sangat Atoin Meto?”
*Yoyarib Mau

        Kunjungan Jokowi  Gubernur DKI Jakarta ke NTT pada 28 April 2014 yang lalu menuai banyak tanggapan pro-kontra, kapasitas kunjungan Jokowi jelas sebagai Gubernur DKI Jakarta yang hendak melakukan hubungan kerjasama di sektor peternakan dengan Pemerintah Provinsi NTT. Bentuk kerjasama ini adalah sebuah arah kepastian ekonomis bagi Provinsi NTT dalam cita-cita yang digaungkan selama ini sebagai lumbung ternak bagi Indonesia.

Provinsi DKI Jakarta sebagai Provinsi dengan kebutuhan tertinggi akan daging sapi rata-rata mencapai 150 ton per hari, kebutuhan konsumsi daging akan meningkat jika bertepatan dengan hari raya keagamaan, dimana dapat mencapai hingga 2 kali lipat, bahkan dalam setahun daging yang dibutuhkan sebesar 52.500 ton per tahun. Kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga kebutuhan ini harus dipenuhi dengan melakukan import.

Untuk menekan import daging sapi, maka inisiatif Pemda DKI untuk mencari daerah-daerah yang potensial. Berdasarkan data Dinas Peternakan Prov. NTT dengan lahan padang yang cukup luas berkisar 1.5 juta ha, dengan populasi Sapi Bali di Timor sekitar 600.000 ekor, di daratan Flores 155.195 ekor yang masih bisa dikembangkan hingga 400.000 ekor, dan di Sumba ada sapi Ongole berkisar 60.000 ekor masih dapat dikembangkan hingga 300.000 ekor.  ketika melihat peluang dengan prospek besar ini maka Jokowi menaruh harapan besar akan ketersediaan sapi dari NTT untuk menekan impor daging sapi baik di Jakarta maupun secara nasional.

Kondisi ini kemudian mendorong Jokowi dan Frans Leburaya mewujudkannnya dalam kesepakatan kerjasama dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) sebagai kekuatan hukum untuk segera diwujudkan, jika tidak maka hanya akan menjadi wacana sepanjang masa. Peristiwa yang bersejarah dalam era otonomi daerah ini kemudian menghadirkan polemik di tengah masyarakat NTT bahwa perjanjian kerjasama ini lebih pada nuansa politis, karena menjelang pemilu presiden.

Polemik ini kemudian menghadirkan pertanyaan yang sangat mendasar bahwa, Apakah dengan bertepatan momentum pemilu presiden kerjasama untuk kesejahteraan masyarakat NTT tidak boleh dilakukan ?.  Konsep pembangunan ekonomi khususnya di wilayah pedesaan juga tidak terlepas dari “konsep resilince yang dikemukan oleh W. N. Adger ” dimana masyarakat perdesaan dalam aktivitas sehari-hari jamak ditemui tergantung dari sumber daya alam sehingga kesinambungan keberadaan sumberdaya alam tersebut merupakan bagian terpenting untuk mendukung keberlanjutan dari kehidupan masyarakat (Menuju Desa 2030 – PSP3-IPB).

   Telah digambarkan diatas bahwa alam dan potensi sumberdaya alam NTT sangat potensial untuk pengembangan ternak padang yang luas, modal sapi yang tersedia sudah ada, bahkan kehidupan masyarakat NTT khususnya daratan Timor pernah ada pada masa keemasan, Timor sebagai gudang ternak sapi yang pada tahun 60-an, ada pusat peternakan sapi di Besipae – Amanuban TTS, akan tetapi tinggal kenangan.  Tidak dapat di pungkiri bahwa komoditas sapi sebagai produk unggulan untuk menggerakan roda perekonomian di pulau Timor khususnya untuk membiayai adat (mas kawin/belis dan kebutuhan pesta adat) dan memenuhi kebutuhan pendidikan anak.

Untuk memenuhi kebutuhan adat dan pendidikan, kepemilikan ternak bagi setiap rumah tangga berkisar 3-4 ekor sapi, maka bagi tiap keluarga hanya mampu menjual 1 ekor ternak setiap 3 tahun sekali, rendahnya produktifitas inilah merupakan faktor kunci, kondisi yang menyebabkan masyarakat tidak dapat mensuplay tingginya permintaan sapi lokal. Modal untuk mengembangkan sumberdaya alam yang sudah ada, yang menjadi persoalan agar bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kondisi ini yang harus di lihat sebagai peluang yang sangat berarti bagi pengembangan ekonomi masyarakat NTT. Jika produktifitas rendah sedangkan permintaan tinggi tetapi tidak mampu dipenuhi dengan keadaan lokal yang ada maka perlu strategi baru dengan melibatkan pihak ketiga.

Pihak ketiga adalah kehadiran mereka yang ingin menginvestasikan dananya. Era otonomi daerah dimana setiap daerah harus mampu mengembangkan pendapatan asli daerah (PAD), jelas terlihat ada potensi SDA namun membutuhkan biaya  untuk pengembangan lebih besar. Protes dilakukan oleh kelompok tertentu atas kerjasama yang dilakukan Pemda DKI dan Pemda NTT yakni mengapa harus mendatangkan (import) sapi dari Australia kemudian hanya dilakukan penggemukan di NTT, setelah itu daging atau sapinya dikirim ke DKI, melihat ketersediaan ternak lokal yang ada di NTT untuk saat ini belum mampu menjawab kebutuhan di DKI, maka penting untuk melakukan strategi lain dengan mendatangkan bibit sapi dari daerah yang surplus ternak sapinya seperti Australia, untuk kemudian dikembangkan sebagai sapi produktif (dikawinkan dengan sapi lokal) dan dilakukan penggemukan.

Keadaan NTT ini membutuhkan stimulasi dana untuk pengembangan ternak sapi maka DKI menyediakan dana investasi hingga Rp. 2 triliun, tidak semua daerah berkesempatan untuk mendapatkan kesempatan kerjasama antar provinsi karena ego sektoral, apalagi  kesempatan emas ini diberikan bagi NTT yang memiliki indeks pertumbuhan manusia (IPM) sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat pada tahun 2011 menurut UNDP dikategorikan sebagai daerah tertinggal bersama NTB dan Papua. Pertumbuhan ekonomi (PDRB) NTT pada triwulan I 2014 masih dibawah normal sebesar 5,02 % daerah lain berada di atas 6 %. 

Dengan kondisi demikian apakah dengan tawaran investasi dari sesama anak bangsa yang hendak membangun negeri bersama, kemudian kita melakukan penolakan. Kesempatan emas ini harus dilihat sebagai proses magis, proses magis sangat kita butuhkan untuk berubah dan menghantarkan kita untuk mencari mimpi-mimpi besar. Bagaimana orang Timor hendak menyekolahkan anaknya, agar sejalan dengan cita-cita yang digaungkan untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit sedangkan dalam 3 tahun baru bisa menjual 1 ekor sapi itupun untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup.

Jika Jokowi jeli melihat peluang NTT khususnya orang Timor membutuhkan lebih dari 3 ekor sapi per- rumah tangga serta bagaimana dapat menjual per-tahun minimal 1 ekor, maka kehadiran Jokowi dalam menandatangani MoU di NTT, sebaiknya dilihat sebagai ibadah politik untuk melakukan amal-soleh demi terwujudnya Amar Ma’ruf  Nahi Mungkar

Jika saja ada ketakutan bahwa ini adalah bentuk kampanye, biarkan rakyat menilai dan menentukan pilihan politiknya, lahan dan wilayah NTT tidak dikapling oleh figure tertentu. NTT penuh dengan kompleks persoalan serta terbuka bagi siapa saja untuk melakukan proses-proses magis sebagai bentuk ibadah politik dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Tidak ada batasan dan bahkan membangun ketakutan berlebihan dari pihak tertentu bahwa Jokowi telah menguasai NTT, hanya karena membawa pengembangan sapi di Pulau Timor. Silahkan kandidat lain  menjalankan strategi dan pola pendekatan yang tepat sesuai kebutuhan hakiki masyarakat.

*Pemerhati Sosial Politik     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar