“Titu Eki Tersandera Kubus Ongkos Politik”
*Yoyarib Mau
Mengawali kepemimpinan
periode 2014-2019 ini, konflik berkelanjutan bahkan eskalasinya hingga permohonan
uji materil ke Mahkamah Agung (MA) RI,
terkait penolakan menyampaikan Laporan
Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) akhir tahun anggaran 2013 dan LKPJ akhir
masa jabatan Bupati Kupang periode 2009-2014 yang tidak dilakukan Bupati Ayub Titu
Eki.
Alasan sejumlah anggota DPRD Kab. Kupang bahwa Ayub Titu Eki dinilai telah melanggar sumpah dan janjinya
saat dilantik, bahkan dinilai telah melanggar konstitusi yang diatur dalam PP
Nomor 3 Tahun 2007 dan Undang-undang
32 Tahun 2004 yang mewajibkan kepala daerah untuk menyampaikan LKPj akhir tahun
dan LKPj akhir masa jabatan.
.
Bupati Ayub
Titu Eki bukan tidak mau melakukan LKPJ tetapi ia sudah menyerahkan secara formal dan materil dokumen LKPj akhir masa
jabatan sekaligus dokumen LKPj akhir tahun anggaran pada tanggal 26 Februari
2014 melalui surat pengantar dengan Nomor BU.138/302/PEM/II/2014. Surat
tersebut ditujukan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Kupang agar DPRD melakukan
rapat Badan Musyawarah (Banmus). Namun, dalam rapat Banmus tanggal 4 Maret
2014, anggota Banmus gagal menetapkan agenda rapat paripurna DPRD Kabupaten
Kupang untuk penyerahan LKPj akhir masa jabatan bupati.
Rapat Banmus DPRD saat itu gagal karena anggota DPRD
Kabupaten Kupang, Yohanes Mase dan Anton Natun, 'memaksa' Bupati Kupang, Ayub
Titu Eki, untuk menandatangani SK tenaga kontrak yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang- undangan yang berlaku. Bupati Ayub Titu Eki menolak
menandatangani SK tenaga kontrak itu, dan rapat Banmus tersebut gagal
menetapkan agenda paripurna DPRD sidang LKPJ.
Bupati
Ayub Titu Eki tetap berkeras tidak mau melakukan laporan LKPJ, dirinya tidak akan melakukan penyerahan secara
simbolis dokumen LKPj akhir masa jabatan. Karena menurutnya dapat menyalahi
aturan karena tidak sesuai dengan etika penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Alasan Bupati tidak mau melakukan pertanggungjawaban kepada DPRD karena hal ini
dapat dijadikan pintu masuk untuk menghakimi Bupati bahwa gagal pada periode
2009-2014, karena kenyataannya dirinya terpilih kembali dan telah menjalani jabatan
sebagai Bupati Kupang periode 2014- 2019.
Persoalan lain yang menjadi keluhan Bupati atas perilaku
pelaporan Bupati oleh DPRD ke MA yakni soal pemerasan terhadap sejumlah SKPD,
Titu Eki
mengungkapkan bahwa, para wakil rakyat Kabupaten Kupang tersebut kerap meminta
uang kepada sejumlah pemimpin SKPD saat asistensi pembahasan anggaran di
tingkat komisi. Keberadaan anggota DPRD sangat strategis dengan 3 fungsi yakni
legislasi, pengawasan dan budgeting. 3 fungsi ini merupakan alat kekuasaan DPRD
untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya, namun fungsi ini bisa di
manfaatkan untuk melakukan manufer politik, sehingga wajarlah antara Bupati dan
DPRD saling menikung.
Dari uraian persoalan diatas hadir pertanyaan
untuk menelaah opini, mengapa Bupati yang
adalah eksekutif dan DPRD yang adalah legislatif seharusnya bersinergi untuk mewujudkan
pembangunan daerah tetapi berperilaku seperti kucing dan tikus yang saling
menerkam ?
John Gaventa
mencetuskan teori Powercube (kubus kekuasaan) secara umum, kekuasaan dipahami
sebagai kontrol seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain,
kerangka pemikiran dalam teori ini akan menganalisis tiga dimensi kekuasaan : level, ruang dan bentuk, dan hubungan
internal antara tiga unsur tersebut. Kebutuhan akan teori ini untuk membukakan
jalan bagi kita untuk mengeksplorasi beragam aspek dan bagaimana interaksi
antara aspek-aspek tersebut, agar jernih dalam memetakan hal-hal yang berperan
dalam kekuasaan, para aktor di dalamnnya, persoalan dan situasi yang melatar belakanginya
bahkan memungkinkan kita untuk melakukan perubahan secara tepat dan evolusioner
(Politik Lokal – LP2B – 2014).
Level persoalannya
adalah level Kabupaten, dimensi ruangnya seharusnya tertutup dalam ruang rapat Banmus
yang diagendakan 04 Maret 2014 antara Bupati dan DPRD, kemudian bergeser dalam
ruang yang diperkenankan yakni saling toleransi dalam agenda lanjutan, akan
tetapi tidak terwujud sehingga level persoalan dipaksakan yakni ruang yang
diciptakan atau diklaim melalui pengaduan hukum serta aksi masa dukungan. Bentuk
persoalannya terlihat dengan gamblang melalui konflik terbuka dan saling
buka-bukaan, yang awalnya sebenarnya ada maksud terselubung yakni permintaan
anggota DPRD sebagai bentuk deal-deal politik yang tidak disepakati oleh Bupati,
padahal bentuk permintaan ini adalah maksud terselubung untuk mengakhiri persoalan masa lalu dan
memulai babak baru.
Kubus Balas Dendam
Pada
pemilu kepala daerah Kabupaten Kupang untuk periode 2014-2019 yang diikuti oleh
pasangan Jerry Manafe-Vinsen Bureni (Sahabat) diusung Partai Golkar, Silvester
Banfatin-Anton Natun (Selamat) diusung oleh PDIP dan Partai Hanura, Steven
Manafe-Maher Ora (Manora) diusung Partai Demokrat dan PKPI, Melitus Ataupah-Sumin
Kase diusung Partai Pakar Pangan, Ir.
Aleks Foenay-Ir. Benny Ndoenboey (Abdi) didukung 14 partai gurem, Victor Y.
Tiran-Ny. Maria Nuban Saku (Victory) didukung 9 partai gurem, sedangkan Ayub
Titu Eki- Korinus Masneno (Yuri) lewat jalur perseorangan (independen). Pilkada ini dimenang oleh pasangan Ayub Titu
Eki – Korinus Masneno yang maju dengan dukungan suara 36.450 dukungan KTP dan menang dengan perolehan suara 63.229 suara atau 44,10 persen.
Akibat kekalahan ini bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan
perlawanan terhadap Ayub Titu Eki, terlihat dari partai dan pribadi yang
melakukan pelaporan ke MA yakni partai pengusung seperti PDIP, Golkar, Hanura
serta sejumlah partai lainnya. Sehingga LKPJ sebagai momentum tepat untuk
melakukan balas dendam atas kekalahan yang diderita, dan wewenang itu dimiliki
oleh DPRD sangat untuk mewujudkan niat balas dendam. Padahal peran partai
politik seharusnya sebagai wahana pendidikan dan alat perjuangan aspirasi rakyat
daerah, kenyataannya partai politik sebagai tangga menggapai tujuan-tujuan
pragmatis.
Kubus Ongkos Politik
Permintaan sejumlah anggota DPRD saat
LKPJ disampaikan, hal ini bersamaan pada
masa kampanye jelang pemilu legislatif 2014, permintaan itu wajar menurut
politik praktis dimana deal-dealnya adalah LKPJ diterima dengan syarat
menandatangani penerimaan tenaga kontrak, karena jika tenaga kontrak diterima
maka keuntungan politik sangat signifikan untuk meraup perolehan suara. Model
ini sejatinya ada dalam ruang tertutup, namun karena tidak menemukan titik temu
dan Bupati Titu Eki tidak m au disandera oleh ongkos politik sang DPRD tersebut,
maka jurus buka-bukaan tak terhindarkan dan diendus oleh publik dan menimbulkan
instabilitas politik.
Jurus maut DPRD yang memainkan
dramatikalnya dengan melakukan klaim UU dan PP untuk menjerat dan
memberhentikan Titu Eki tidaklah kuat alasannya sebab pendirian Titu Eki cukup
berlogika karena konstestasi kekuasaan yang diperoleh didukung penuh oleh
rakyat yang dibuktikan dengan perolehan suara satu putaran, bukti 700 orang masyarakat
berdemonstrasi di Gedung DPRD Kabupaten Kupang, Rabu (20/8/2014), dimana massa
mempertanyakan alasan dan dasar hukum Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, diadukan
Dewan ke Mahkamah Agung RI, ini sebagai bentuk kepuasan masyarakat yang dipenuhi
Titu Eki karena masyarakat sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam menjalankan
agenda pemerintahannya.
*Pemerhati Sosial dan
Politik