Selasa, 26 Agustus 2014

"Titu Eki Tersandera Kubus Ongkos Politik"

“Titu Eki Tersandera Kubus Ongkos Politik”
*Yoyarib Mau

Mengawali kepemimpinan periode 2014-2019 ini, konflik berkelanjutan bahkan eskalasinya hingga permohonan uji materil ke Mahkamah Agung (MA) RI, terkait penolakan menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) akhir tahun anggaran 2013 dan LKPJ akhir masa jabatan Bupati Kupang periode 2009-2014 yang tidak dilakukan Bupati Ayub Titu  Eki. Alasan sejumlah anggota DPRD Kab. Kupang bahwa Ayub Titu Eki dinilai telah melanggar sumpah dan janjinya saat dilantik, bahkan dinilai telah melanggar konstitusi yang diatur dalam PP Nomor 3 Tahun 2007 dan Undang-undang 32 Tahun 2004 yang mewajibkan kepala daerah untuk menyampaikan LKPj akhir tahun dan LKPj akhir masa jabatan.  
.
Bupati Ayub Titu Eki bukan tidak mau melakukan LKPJ tetapi ia sudah menyerahkan secara formal dan materil dokumen LKPj akhir masa jabatan sekaligus dokumen LKPj akhir tahun anggaran pada tanggal 26 Februari 2014 melalui surat pengantar dengan Nomor BU.138/302/PEM/II/2014. Surat tersebut ditujukan kepada Pimpinan DPRD Kabupaten Kupang agar DPRD melakukan rapat Badan Musyawarah (Banmus). Namun, dalam rapat Banmus tanggal 4 Maret 2014, anggota Banmus gagal menetapkan agenda rapat paripurna DPRD Kabupaten Kupang untuk  penyerahan LKPj akhir masa jabatan bupati.

Rapat Banmus DPRD saat itu gagal karena  anggota DPRD Kabupaten Kupang, Yohanes Mase dan Anton Natun, 'memaksa' Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, untuk menandatangani SK tenaga kontrak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Bupati Ayub Titu Eki menolak menandatangani SK tenaga kontrak itu, dan rapat Banmus tersebut gagal menetapkan agenda paripurna DPRD sidang LKPJ.

Bupati Ayub Titu Eki tetap berkeras tidak mau melakukan laporan LKPJ, dirinya tidak akan melakukan penyerahan secara simbolis dokumen LKPj akhir masa jabatan. Karena menurutnya dapat menyalahi aturan karena tidak sesuai dengan etika penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Alasan Bupati tidak mau melakukan pertanggungjawaban kepada DPRD karena hal ini dapat dijadikan pintu masuk untuk menghakimi Bupati bahwa gagal pada periode 2009-2014, karena kenyataannya dirinya terpilih kembali dan telah menjalani jabatan sebagai Bupati Kupang periode 2014- 2019.

Persoalan lain yang menjadi keluhan Bupati atas perilaku pelaporan Bupati oleh DPRD ke MA yakni soal pemerasan terhadap sejumlah SKPD, Titu Eki mengungkapkan bahwa, para wakil rakyat Kabupaten Kupang tersebut kerap meminta uang kepada sejumlah pemimpin SKPD saat asistensi pembahasan anggaran di tingkat komisi. Keberadaan anggota DPRD sangat strategis dengan 3 fungsi yakni legislasi, pengawasan dan budgeting. 3 fungsi ini merupakan alat kekuasaan DPRD untuk melakukan tugas dan tanggung jawabnya, namun fungsi ini bisa di manfaatkan untuk melakukan manufer politik, sehingga wajarlah antara Bupati dan DPRD saling menikung.

 Dari uraian persoalan diatas hadir pertanyaan untuk menelaah opini, mengapa Bupati yang adalah eksekutif dan DPRD yang adalah legislatif seharusnya bersinergi untuk mewujudkan pembangunan daerah tetapi berperilaku seperti kucing dan tikus yang saling menerkam ?

John Gaventa mencetuskan teori Powercube (kubus kekuasaan) secara umum, kekuasaan dipahami sebagai kontrol seseorang atau kelompok terhadap orang atau kelompok lain, kerangka pemikiran dalam teori ini akan menganalisis tiga dimensi kekuasaan : level, ruang dan bentuk, dan hubungan internal antara tiga unsur tersebut. Kebutuhan akan teori ini untuk membukakan jalan bagi kita untuk mengeksplorasi beragam aspek dan bagaimana interaksi antara aspek-aspek tersebut, agar jernih dalam memetakan hal-hal yang berperan dalam kekuasaan, para aktor di dalamnnya, persoalan dan situasi yang melatar belakanginya bahkan memungkinkan kita untuk melakukan perubahan secara tepat dan evolusioner (Politik Lokal – LP2B – 2014).

Level persoalannya adalah level Kabupaten, dimensi ruangnya seharusnya tertutup dalam ruang rapat Banmus yang diagendakan 04 Maret 2014 antara Bupati dan DPRD, kemudian bergeser dalam ruang yang diperkenankan yakni saling toleransi dalam agenda lanjutan, akan tetapi tidak terwujud sehingga level persoalan dipaksakan yakni ruang yang diciptakan atau diklaim melalui pengaduan hukum serta aksi masa dukungan. Bentuk persoalannya terlihat dengan gamblang melalui konflik terbuka dan saling buka-bukaan, yang awalnya sebenarnya ada maksud terselubung yakni permintaan anggota DPRD sebagai bentuk deal-deal politik yang tidak disepakati oleh Bupati, padahal bentuk permintaan ini adalah maksud terselubung untuk mengakhiri persoalan masa lalu dan memulai babak baru.

Kubus Balas Dendam
Pada pemilu kepala daerah Kabupaten Kupang untuk periode 2014-2019 yang diikuti oleh pasangan Jerry Manafe-Vinsen Bureni (Sahabat) diusung Partai Golkar, Silvester Banfatin-Anton Natun (Selamat) diusung oleh PDIP dan Partai Hanura, Steven Manafe-Maher Ora (Manora) diusung Partai Demokrat dan PKPI, Melitus Ataupah-Sumin Kase diusung Partai Pakar Pangan,  Ir. Aleks Foenay-Ir. Benny Ndoenboey (Abdi) didukung 14 partai gurem, Victor Y. Tiran-Ny. Maria Nuban Saku (Victory) didukung 9 partai gurem, sedangkan Ayub Titu Eki- Korinus Masneno (Yuri) lewat jalur perseorangan (independen).  Pilkada ini dimenang oleh pasangan Ayub Titu Eki – Korinus Masneno yang maju dengan dukungan suara 36.450 dukungan KTP dan menang dengan perolehan suara 63.229 suara atau 44,10 persen.

Akibat kekalahan ini bisa menjadi alasan kuat untuk melakukan perlawanan terhadap Ayub Titu Eki, terlihat dari partai dan pribadi yang melakukan pelaporan ke MA yakni partai pengusung seperti PDIP, Golkar, Hanura serta sejumlah partai lainnya. Sehingga LKPJ sebagai momentum tepat untuk melakukan balas dendam atas kekalahan yang diderita, dan wewenang itu dimiliki oleh DPRD sangat untuk mewujudkan niat balas dendam. Padahal peran partai politik seharusnya sebagai wahana pendidikan dan alat perjuangan aspirasi rakyat daerah, kenyataannya partai politik sebagai tangga menggapai tujuan-tujuan pragmatis.

Kubus Ongkos Politik
            Permintaan sejumlah anggota DPRD saat LKPJ disampaikan, hal ini bersamaan  pada masa kampanye jelang pemilu legislatif 2014, permintaan itu wajar menurut politik praktis dimana deal-dealnya adalah LKPJ diterima dengan syarat menandatangani penerimaan tenaga kontrak, karena jika tenaga kontrak diterima maka keuntungan politik sangat signifikan untuk meraup perolehan suara. Model ini sejatinya ada dalam ruang tertutup, namun karena tidak menemukan titik temu dan Bupati Titu Eki tidak m au disandera oleh ongkos politik sang DPRD tersebut, maka jurus buka-bukaan tak terhindarkan dan diendus oleh publik dan menimbulkan instabilitas politik.

            Jurus maut DPRD yang memainkan dramatikalnya dengan melakukan klaim UU dan PP untuk menjerat dan memberhentikan Titu Eki tidaklah kuat alasannya sebab pendirian Titu Eki cukup berlogika karena konstestasi kekuasaan yang diperoleh didukung penuh oleh rakyat yang dibuktikan dengan perolehan suara satu putaran, bukti 700 orang masyarakat berdemonstrasi di Gedung DPRD Kabupaten Kupang, Rabu (20/8/2014), dimana massa mempertanyakan alasan dan dasar hukum Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, diadukan Dewan ke Mahkamah Agung RI, ini sebagai bentuk kepuasan masyarakat yang dipenuhi Titu Eki karena masyarakat sebagai subyek dan sekaligus obyek dalam menjalankan agenda pemerintahannya.


*Pemerhati Sosial dan Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar