Senin, 04 Agustus 2014

"ISIS Indonesia Bukti Negara Gagal"



”ISIS Indonesia Bukti Negara Gagal”
*Yoyarib Mau

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan Islam Irak dan Syam Raya, ISIS menjadi jaringan global hal ini ditandai dengan kehadirannya yang dengan terang-terangan menggunakan simbol berupa bendera, melakukan long march di area public sphere serta seruan bagi masyarakat Indonesia untuk bergabung bersama ISIS. ISIS hendak menunjukan bahwa de facto keberadaan ISIS sah secara organisatoris, walau de jure belum mendapatkan pengakuan. Namun Pihak Kepolisian mengatakan bahwa ISIS di Indonesia sah-sah saja karena mereka juga dijamin oleh UUD 1945 soal kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Penafsiran atas dasar hukum diatas membuat ISIS Indonesia merasa diri legal untuk ada serta berkembang mengkonsolidasi kekuatan dan memobilisasi diri untuk bergabung dengan ISIS di negara lain terutama Siria dan Irak. Faktanya organisasi ini menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ISIS telah berkembang pesat disejumlah daerah seperti NTB, Sulawesi, Ambon, Banjarmasin, dan Bengkulu. ISIS semakin mencuat ke permukaan dunia selain organisasi-organisasi radikal sejenis yang sudah sejak lama berjuang untuk mendirikan negara sendiri dengan ideologi dan mazhab yang khas. 

Keberadaan ISIS ditelurkan oleh Al-Qaeda di Irak, pimpinan Al-qaeda di Irak yaitu Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi yang kemudian digantikan oleh Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir, dalam perjalanan waktu terjadi persoalan internal khususnya di wilayah Diyala, Anbar dan Mosul memilih membelot dan mengingkari kepemimpinan Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir, namun persoalan ditengahi dengan memberikan otonomi kepemimpinan di wilayah Diyala kepada Syaikh Abu Umar Al-Baghdadi.

Pepatah kepemimpinan yang diperoleh karena ada kekerasan, selalu akan menghadirkan kekerasan baru, dan kekerasan baru itu hadir dari faksi-faksi yang yang berkembang. Sehingga faksi-faksi ini memohon kepada Syaikh Abu Hamzah Al-Muhajir agar dilakukan penegakan daulah, yang mana anggota majelis syura itu sendiri terdiri dari beberapa jamaah jihad: Al-Qaeda, Bribage Al-Jihad, Anshar Tauhid, Thaifah Manshurah, Kataib Al-Ahwal, Al-Ghuraba dan Jais Ahlus Sunnah wal Jamaah. 

Tujuan dari bersatunya organisasi-organisasi dalam sebuah pembentukan daulah tentu bertujuan untuk mengantisipasi tejadinya perpecahan atau perang saudara antara sesama mujahidin. Kelompok-kelompok ini kemudian bersepakat untuk memilih seorang amir dari mereka dan terpilihlah Syaikh Abu Umar Al-Baghdadi sebagai pemimpin yang dibantu oleh wakil dari perwakilan dari 6 jamaah lainnya yang tergabung dalam majelis syura. Penggabungan ini jelas merupakan kepemimpinan Al-qaeda dan pada hakekatnnya  ini adalah skenario Al-qaedah Irak menjadi skenario Daulah Islam. 

Keberadaan daulah islam pimpinan Al-Baghdadi dalam perjalan waktu membentuk ISIS dengan tujuan untuk mendirikan sebuah kekhalifaan di daerah di mana umat Sunni merupakan mayoritas di Irak (Distrik Fallujah). Menurut para tafkiri organisasi-organisasi yang tergabung dalam daulah islam perlu mendeklarasikan diri menjadi negara karena ada wilayah yang mereka kuasai yakni  Fallujah. Otomatis Al-Baghdadi memiliki emirat (wilayah kekuasaan), sehingga levelnya tidak lagi emir (penguasa) kelompok tetapi bergeser menjadi emir negara. 

Pola pengembangan kekuasaan Al-Baghdadi mengikuti apa yang dilakukan oleh Pemimpin Taliban Mullah Omar yang mendeklarasikan Emirat Negara Islam di Afghanistan kemudian berkembang menjadi emir global bagi pengikutnya yang mengembangkan Taliban disejumlah negara. sebagaimana juga yang dilakukan oleh Al-Zawahiri yang mengawali kepemimpinannya dari emir kelompok, kemudian emir negara dan kemudian emir global jaringan terorisme. Bukti adanya WNI yang telah menjadi bagian ISIS dan dengan berani tanpa ada ketakutan mengajak WNI lainnya untuk bergabung ke medan perang di emirat ISIS bukan lagi wacana tetapi kenyataan yang tak terbantahkan.

Kehadiran ISIS di Indonesia menghadirkan sejumlah pertanyaan apakah mungkin bagi NKRI mengijinkan adanya tatanan ISIS berkembang dan mendirikan ISIS di dalam NKRI ? Mengapa tidak ada langkah tegas dari Pemerintahan SBY  terhadap mereka yang terlibat dalam ISIS ?

Keberadaan ISIS dengan struktur pemerintahan yang mendunia,  adanya wilayah yang dikuasai, memiliki militer, memungut pajak. Indikator-indikator ini menunjukan bahwa mereka tidak sekedar gerakan, atau sektarian radikal, tetapi negara dengan kekuasaan membangun jaringan global dan mengancam akan NKRI. Kehadiran WNI dengan menampilkan diri melalui sarana media sosial “you tube” bahwa mereka bergabung dalam ISIS atau gerakan radikalisme dunia, dengan melakukan pembantaian dan aksi terorisme diberbagai negara, memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia tidak secara langsung berkontribusi dengan membiarkan WNI terlibat untuk mensukseskan cita-cita ISIS. 

Ray Takeyh dan Nikolas Grosdev menuliskan bahwa negara yang telah gagal dalam mengelola stabilitas politik dan sosial, merupakan lahan subur bagi berkembangnya aktivitas terorisme karena empat alasan: Pertama, menyediakan lahan yang sangat memungkinkan bagi terorisme untuk mengontrol dan mengendalikan berbagai wilayah di negara tersebut. Kedua, kemudahan bagi jaringan terorisme bergerak di negara yang terjangkit kondisi failed state, karena negara tersebut tidak mampu menyediakan perangkat legalitas dan memiliki kapasitas untuk menerapkan supremasi hukum yang dapat menjerat aktifitas jaringan terorisme. Ketiga, Fenomena kegagalan pengelolaan negara, memberi keleluasaan bagi kekuatan terorisme global merekrut anggota menyerap simpati sebagian warga dan negara tersebut. Keempat, failed state  menguntungkan aktivitas jaringan terorisme, karena negara-negara tersebut menjadi tempat perlindungan terbaik bagi aktivitas dan keselamatan kelompok terorisme (Terorisme dan TNI – CMB Press – 2013).

Embrio ISIS jelas adalah bagian yang tak terpisahkan dari organisasi global terorisme yakni Al-Qaeda yang memiliki mahzab dan ideologi yang sama, sehingga apapun alasannya ISIS adalah negara ataupun organisasi terlarang yang seyogiannya tidak mendapatkan tempat di NKRI, kenyataannya ISIS dengan bebasnya bergerak bahkan tampil ke publik bahkan negara terkesan diam dan memberi keleluasaan bagi ISIS untuk menunjukan keberadan mereka bahwa mereka legal, alasan kepolisian dalam hal ini Kapolri Sutarman mengatakan mereka dijamin UUD 1945 dengan menggunakan pasal 28, kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan.   

Padahal dalam Pembukaan UUD 1945 para pendiri bangsa telah bersepakat untuk  mewujudkan perdamaian dunia, jika negara membiarkan WNI terlibat dalam ISIS untuk melakukan pembantaian atau peperangan, maka NKRI tidak menciptakan perdamaian dunia, keprihatinan dan perwujudan keadilan dunia tidak sekedar rasa empati tetapi harus dibuktikan sebagai bentuk cita rasa kewarganegaraan dunia dalam satu napas untuk mengutuk segala bentuk tindakan represif dan diskriminasi.

Kepedulian Indonesia terhadap Palestina yang diserang oleh Israel merupakan bukti mulia untuk mewujudkan cita rasa keadilan dunia, namun seyogiannya kita melakukan itu bukan karena atas dasar pertimbangan sentimen agama atau ras, kita harus sepakat bahwa cita rasa keadilan untuk membangun perdamian dunia sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945. Aspek kepekaan sebagai negara harus berlaku mutlak tehadap seluruh warga dunia tanpa pertimbangan atau sentimen tertentu. Apa yang dilakukan oleh ISIS dengan melakukan sejumlah pelanggaran HAM terhadap minoritas dan sub etnies tertentu, maka negara tidak boleh diam, apalagi yang melakukan itu turut serta WNI, jika negara Indonesia diam maka NKRI memenuhi syarat negara gagal. 

*Pemerhati Sosial – Politik   
        


    

2 komentar: