“Tim Transisi Inkubator Politik”
*Yoyarib Mau
Tim
Transisi sebuah kebijakan yang tidak biasanya dilakukan dalam catatan sejarah
presiden terpilih di Indonesia, Jokowi-JK yang telah ditetapkan sebagai
pemenang Pemilu 2014 oleh KPU. Bergerak cepat dengan membentuk Tim Transisi, Jokowi-JK
selalu hadir dengan gagasan yang menarik, sejak awal kampanye bahkan setelah
pemilu selalu hadir dengan gagasan yang tidak dapat diduga oleh siapapun.
Terlepas dari tim kerja dibelakang layar yang meramu setiap ide dan gagasan,
namun selalu saja ide itu ketika dipublikasikan selalu menuai kontroversi baik
dipihak Jokowi sendiri maupun dari lawan politik.
Pilihan
suka kata Tim Transisi yang sebenarnya adalah keberlanjutan dari tim sukses
atau tim pemenangan pemilu, semangat dari tim yakni kolektifitas dimana ada pihak
partai politik pendukung dan juga mewakili kelompok akademisi. Tim ini sangat
kurus karena tidak melibatkan semua elemen pendukung seperti; relawan dan
partai pendukung dalam tim inti. Tim ini digawangi oleh mantan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Presiden Megawati 2001-2004.
Pemberian
nama struktur bagi tim oleh Jokowi dengan pendekatan adminsitratif dengan
tujuan lebih pada fungsi kerja, dimana ada kepala staf dan empat deputi. Kepala
Staf yakni Rini M. Soemarno, empat
deputi yakni Hasto Kristiyanto (Wasekjend PDIP), Andi Widjajanto (Dosen FISIP-UI), Anies Baswedan (Rektor
Universitas Paramadina nonaktif), Akbar Faisal (Politisi Partai Nasdem). Empat deputi ini kemudian diberi mandat
membentuk kelompok kerja.
Dalam Tim Transisi tidak saja tim ini tetapi
juga dibentuk tim penasihat senior di tim transisi, diantaranya
mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono, mantan
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Jenderal TNI (Purn)
Luhut Binsar Pandjaitan mantan
Ketum Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, serta mantan Ketua Umum
Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif. Nama-nama lain
yang pada masa kampanye pemilu yang lalu, juga masuk dalam tim sukses pasangan
Jokowi-JK direkrut dalam kelompok kerja (pokja) tim transisi, Beberapa
pokja yang diprioritaskan adalah, pokja Nelayan dan Petani, pokja Perumahan
Rakyat, pokja Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar, Pokja Bahan
Bakar Minyak, dan pokja Transportasi Publik. .
Akan tetapi ada sejumlah pihak yang kecewa
karena tidak masuk dalam tim transisi, Karena komposisi tim transisi bentukan Jokowi-JK
dinilai tidak mampu merepresentasikan kelompok pendukungnya, maka sebaiknya
dibubarkan saja. Ini lantaran komposisi tim transisi hanya terdiri dari lima
orang, yakni tiga orang dari kalangan professional, dan dua orang lagi
masing-masing dari PDIP dan Partai Nasdem. Rasa kecewa ini tentu berdasar karena hubungan
emosional dari tim transisi yang terdiri dari 5 orang tersebut sepertinya di
dominasi oleh pihak PDIP.
Rini M.
Soemarno memiliki kedekatan emosional dengan mantan Presiden Megawati, Andi
Widjajanto adalah anak mantan politisi PDIP almarhum Theo Syafei, Hasto
Kristiyanto adalah Wasekjend PDIP, kemudian tersisa Akbar Faisal dari Partai
Nasdem, Partai Nasdem dan PDIP adalah partai politik yang pertama kali
mengusung Jokowi-JK sebagai Capres. Kemudian belakangan menyusul PKP, Hanura
dan PKPI. Ketakutan ini tentu berdasar karena dari 5 orang tim transisi ini
apabila dalam pengambilan keputusan strategis semisal penentuan nama menteri,
jika berakhir dengan voting maka akan lebih menguntungkan bagi PDIP dengan 3
orang yang memiliki hubungan yang kuat dengan PDIP.
Ketakutan diatas disanggah oleh Jokowi
bahwa tim transisi pemerintahan hanya bertugas
mempersiapkan penjabaran program dan janji kampanye di pemilu presiden menjadi
program kerja kabinet, serta tabuh membicarakan kursi menteri. Jokowi mengatakan, juga ditambahkan
bahwa pembentukan rumah transisi ini
untuk mempersiapkan peralihan pemerintahan dari Presiden SBY, agar setelah
dilantik Jokowi-JK langsung melaksanakan konsep pemerintahannya, utamanya
implementasi sembilan program nyata Jokowi-JK atau Nawacita.
Menjadi pertanyaan besar yakni mengapa tim transisi ini begitu penting bagi
Jokowi-JK sehingga perlu di bentuk ? tentu setiap aktivitas politik tidak
terlepas dari kebijakan politis. Seperti pameo bahwa “tidak ada makan siang gratis dalam politik” setiap dukungan politik baik yang diberikan melalui
partai politik, gerakan kerelawanan, maupun dukungan nama besar akademisi,
tokoh adat/masyarakat dan agama dalam masa kampanye pemilu 2014, tentu menjadi
utang politik bagi Jokowi-JK. Dilain pihak Jokowi diuji akan konsistensinya
yang sejak awal hendak membangun koalisi tanpa syarat.
Habermas merumuskan unsur normatif
dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap
warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait
dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat
terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama
untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Refleksi Habermas tentang
ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18,
ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat
berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik (Reza A.A Wattimena - http://rumahfilsafat.com).
Kanalisasi Politik
Jokowi berpikiran persis seperti apa
yang dikehendaki Jurgen Habermas bahwa memikirkan negara kedepan tidak sekedar
dirinya yang terpilih secara dalam Pemilu 2014 yang memikirkan bagaimana
baiknya Indonesia kedepan sehingga Jokowi membentntuk tim transisi. Keberadaan
tim ini tentu tidak seperti yang digambarkan Habermas dimana dilakukan
sebebas-bebasnya dan dilakukan dimana saja. Jokowi-JK membuatnya lebih apik dan
terarah melalui kanal yang namannya tim transisi. Cafe-cafe,
komunitas-komunitas diskusi, salon itu dalam pemilu 2014 mereka adalah partai
politik, relawan-relawan, tokoh masyarakat dan tokoh agama/adat yang telah
bekerja dan memberikan dukungan kemenangan bag Jokowi-JK yang kemudian mereka
disatukan dalam sebuah kanal ruang publik.
Kanal ini terlihat terbatas ukurannya
tetapi ini untuk memudahkan terjadinya koordinasi sehingga pemikiran-pemikiran
yang dihasilkan dapat terarah bagi terbentuknya ide dan gagasan bagi
pemerintahan Jokowi-JK, ini merupakan ruang publik representatif dari ruang-ruang
publik yang tersebar luas di berbagai pelosok, kelompok masyarakat yang kemudian diminta peran sertanya dengan
mewakilkan pribadi/tokoh untuk terlibat dalam tim transisi.
Inkubator Politik
Sikap politik Jokowi-JK dengan
membentuk tim transisi dianggap banyak orang sebagai upaya buang badan dari
tuntutan balas jasa, karena telah memenangkan Jokowi, tidak dapat disalahkan
karena memang sebagaimana pameo yang berkembang di masyarakat bahwa “tidak ada
makan siang gratis dalam politik”. Namun bukan berarti tuntutan itu harus
dipenuhi atau juga diabaikan keberadaan lembaga tim transisi diibaratkan
sebagai inkubator alat yang digunakan untuk menumbuhkan dan mempertahankan suhu
optimal, kelembaban dan kondisi lain seperti karbon dioksida (CO2) dan
kandungan oksigen dari atmosfer di dalam. Inkubator sangat di butuhkan oleh
bayi prematur yang baru lahir untuk bisa bertahan hidup maka membutuhkan
inkubator.
Jokowi membutuhkan inkubator ini
untuk menyeleksi kemampuan dan harapan perubahan dari semua pihak tidak harus mematikan pribadi atau figur yang hendak
menjadi menteri atau pejabat publik lainnya, tetapi pemikiran dan tujuan hendak
menjabat jabatan publik dapat dituangkan dalam ruang publik yang namanya tim
transisi.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar