Rabu, 11 Februari 2015

BANJIR ADALAH SEBUAH KEHENDAK



“BANJIR ITU SEBUAH KEHENDAK”
*Yoyarib Mau

Judul ini pasti menuai kontroversi,  sebab banjir selalu diidentikan dengan bencana, bencana selalu dihindari dan tidak diinginkan oleh setiap manusia normal. Kenyataannya kekuasaan untuk menolak banjir takluk dan tidak berdaya, dibuat lumpuh oleh banjir. Banjir melanda Jakarta yang diakibatkan oleh hujan deras, dengan intensitas yang cukup tinggi sejak Minggu 09-02-2015 hingga Senin 10-02-2015,  menghadirkan air yang berlebihan karena tanah di Jakarta sudah tidak lagi menyimpan bahkan menampung air yang berakibat meluap memenuhi sejumlah ruang kosong seperti jalanan, rumah, dan gedung yang berada di dataran rendah tidak luput dari genangan air dengan ketinggian yang bervariasi.

Bencana ini berdampak pada lumpuhnya aktivitas masyarakat, menggangu persoalan ekonomi, kerusakan materil, serta dampak turunan lainnya yang diakibatkan oleh banjir. Kejadian luar biasa ini tidak saja terjadi di Ibukota negara tetapi hampir menyeluruh di sejumlah daerah di tanah air. Ibu kota Negara sebagai pusat pemerintahan dan sebagai salah kota besar di Indonesia sebagai pusat sumbu kegiatan ekonomi dan jasa apabila mengalami bencana maka dampaknya akan berpengaruh bagi daerah lain. Jakarta sebagai barometer negara, hal ini membuat  setiap orang akan memberikan perhatian, bantuan kemanusiaan, komentar serta kritik bagi mereka yang bertanggung jawab menjalankan pemerintahan di kota ini.

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang biasannya di sapa Ahok, menjadi sasaran umpatan, makian dari masyarakat Ibu kota baik secara langsung maupun melalui media sosial, dasar pemikiran menyalahkan Ahok karena dianggap paling bertanggung jawab soal banjir di DKI Jakarta, namun Ahok berargumentasi bahwa banjir terjadi karena PLN mematikan listrik sehingga pompa air di sejumlah lokasi tidak dapat berfungsi dengan baik, PLN beralasan bahwa gardu PLN terlalu rendah sehingga terendam air, yang dapat menyebabkan arus pendek dan banyak orang terkena setrum. 

Ahok menimpali alasan pihak PLN bahwa jika Gardu berada di tempat yang rendah maka seharusnya segera di tinggikan sehingga pompa dapat berfungsi dengan normal.  Perdebatan yang tak berujung dan saling menyalahkan akan menguras energi dan tidak menyelesaikan akar persoalan, melihat persoalan banjir yang telah berlangsung cukup lama sejak tahun 2002, 2007, 2012 dan 2015. Rutinitas banjir  menghadirkan pertanyaan apakah banjir menjadi kehendak mutlak yang harus di terima

Dunia filsafat memberikan pemahaman yang berbeda soal kehendak atau “will”, menurut Plato kehendak merupakan fungsi menengah manusia, yakni diantara akal dan nalurinya, kehendak merupakan suatu instansi kekuatan motivasional di dalam diri individu. Filsuf Jerman Schopenhaeur memberikan pemahaman tentang kehendak sebagai bentuk metafisis yakni suatu realitas yang meliputi segala sesuatu (segala sesuatu adalah kehendak).  Berbeda dengan pendalaman filsuf Nietzche yang melukiskan kehendak itu sebagai kehendak untuk berkuasa sebagai sikap hidup yang otentik (F. Budi Hardiman – Erlangga – 2011) 

Dari pemikiran para filsuf diatas menghadirkan korelasi antara kehendak dan banjir, Pertama; apabila dipahami menurut Plato maka banjir adalah kehendak manusia, banjir terjadi karena kehendak atau kemauan manusia, dimana manusia melakukan penebangan hutan tanpra memikirkan bagaimana fungsi hutan untuk mencegah terjadi erosi. Penebangan hutan untuk pemukiman dan perkebunan menambah beban persoalan terjadinya banjir, Jakarta yang sering mengalami banjir kiriman dari hulu Bogor dan Puncak Ciawi memberikan ruang bagi kita semua untuk  menyimpulkan bahwa, Banjir di Jakarta disebabkan oleh pembangunan pemukiman dan vila didaerah Puncak Bogor. 

Manusia yang sering membuang sampah ke sungai, daerah resapan air yang dibangun mall, supermarket dan bangunan lainnya menambah kehendak adanya banjir. Kedua; Schopenhaeur melihat kehendak itu adalah sebuah bentuk metafisis dimana realitas yang berkembang dan menjadi pengetahuan umum, tidak menjadi rahasia umum lagi menjelang hari raya imlek (tahun baru china) selalu ditandai dengan hujan lebat yang menyebabkan banjir. Masyarakat yang menyakini bahwa apabila pada perayaan imlek  bersamaan dengan hujan yang lebat maka pertanda banyak rezeki yang akan diperoleh pada tahun berjalan. 

Pemahaman metafisis ini dianggap mitos namun menjadi pemahaman umum yang dapat di terima kebenarannya di tengah -tengah masyarakat. Untuk menghindari adanya banjir maka Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Bidang Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) berencana merekayasa turunnya hujan. Menggunakan bantuan pesawat terbang untuk mempercepat awan menjadi hujan. Pesawat tersebut terbang setiap hari dengan menjatuhkan hujan buatan sekaligus mendistribusikan hujan tersebut ke luar area rawan banjir yakni laut. Upaya ini menurut ahli feng shui Xiang Yi, hujan memang sering kali dipercaya membawa keberkahan. Namun, rekayasa hujan tidak akan mengubah garis peruntungan seseorang. Rekayasa hujan hanya untuk mengalihkan hujan, bukan sebuah alat ampuh untuk  bisa menciptakan atau menghilangkan hujan," (www.tempo.co)

Berbeda dengan Ketiga; Nietzche yang melihat kehendak sebagai sebuah keadaan untuk berkuasa, kehendak ini selalu diidentikan dengan penguasa, banjir juga dapat disebabkan oleh penguasa yakni kebijakan yang dihasilkan atau ditetapkan seperti; soal planologi, tata ruang serta pemberian ijin membangun bangunan (IMB). Merujuk pada pemikiran Nietzche, kehendak selalu memiliki dua dimensi dalam wujudnya yakni kebaikan yang mensejahterahkan dan nafsu yang memusnahkan. Indikasi kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk nyata dari sebuah “kehendak” dari nafsu kekuasaan adalah adanya banjir. Banjir yang sudah terjadi berulang-ulang tanpa menemukan solusi terbaik untuk memberikan kenyamanan, hal ini merupakan warisan kehendak penguasa yang membudaya. 

Harapan untuk mengatasi banjir selalu menjadi isu bahkan ide yang menarik dalam kampanye, kenyamanan dari banjir menjadi kebutuhan dari seluruh rakyat  namun menjadi persoalan ketika rakyat diperhadapkan pada tiga pilihan pemikiran diatas. Pilihan pertama menolak banjir adalah kehendak manusia, karena kesalahan manusia (human eror) yang dalam kesehariannya melakukan kebiasaan buruk. Pilihan kedua ini menghadirkan ambiguitas (mendua) karena keyakinan masyarakat yang membuat sebagian masyarakat hendak menikmati suasana banjir karena hendak mendapatkan peruntungan. Pilihan Ketiga yakni banjir dihadirkan karena kehendak berkuasa, pilihan ini pastinya akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat karena nafsu kekuasaan yang mendatangkan kemudaratan.

Imlek yang diidentikan dengan hujan lebat dapat dinikmati dalam suasana yang baik untuk mendapatkan peruntungan, karena adanya hujan yang melimpah dan mensejahterahkan apabila individu/manusia menjaga lingkungan dimana dirinya tinggal, tidak melakukan kegiatan yang merusak alam. Kehendak kepemimpinan dari penguasa yang menjalankan pemerintahan yang pro rakyat, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan dan pembangunan yang melestarikan alam, membangun daerah-daerah resapan, menetapkan program pembangunan yang kreatif sehingga bisa menjamin keyakinan atau mitos yang berkembang dalam masyarkat dapat dinikmati dalam suasana yang bersahabat tanpa menimbulkan bencana dan kerugian materil.

*Pemerhati Sosial-Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar