“BANJIR ITU SEBUAH KEHENDAK”
*Yoyarib Mau
Judul
ini pasti menuai kontroversi, sebab
banjir selalu diidentikan dengan bencana, bencana selalu dihindari dan tidak
diinginkan oleh setiap manusia normal. Kenyataannya kekuasaan untuk menolak
banjir takluk dan tidak berdaya, dibuat lumpuh oleh banjir. Banjir melanda
Jakarta yang diakibatkan oleh hujan deras, dengan intensitas yang cukup tinggi
sejak Minggu 09-02-2015 hingga Senin 10-02-2015, menghadirkan air yang berlebihan karena tanah
di Jakarta sudah tidak lagi menyimpan bahkan menampung air yang berakibat meluap
memenuhi sejumlah ruang kosong seperti jalanan, rumah, dan gedung yang berada
di dataran rendah tidak luput dari genangan air dengan ketinggian yang
bervariasi.
Bencana
ini berdampak pada lumpuhnya aktivitas masyarakat, menggangu persoalan ekonomi,
kerusakan materil, serta dampak turunan lainnya yang diakibatkan oleh banjir. Kejadian
luar biasa ini tidak saja terjadi di Ibukota negara tetapi hampir menyeluruh di
sejumlah daerah di tanah air. Ibu kota Negara sebagai pusat pemerintahan dan
sebagai salah kota besar di Indonesia sebagai pusat sumbu kegiatan ekonomi dan
jasa apabila mengalami bencana maka dampaknya akan berpengaruh bagi daerah
lain. Jakarta sebagai barometer negara, hal ini membuat setiap orang akan memberikan perhatian,
bantuan kemanusiaan, komentar serta kritik bagi mereka yang bertanggung jawab
menjalankan pemerintahan di kota ini.
Gubernur
DKI Basuki Tjahaja Purnama yang biasannya di sapa Ahok, menjadi sasaran umpatan,
makian dari masyarakat Ibu kota baik secara langsung maupun melalui media
sosial, dasar pemikiran menyalahkan Ahok karena dianggap paling bertanggung
jawab soal banjir di DKI Jakarta, namun Ahok berargumentasi bahwa banjir
terjadi karena PLN mematikan listrik sehingga pompa air di sejumlah lokasi
tidak dapat berfungsi dengan baik, PLN beralasan bahwa gardu PLN terlalu rendah
sehingga terendam air, yang dapat menyebabkan arus pendek dan banyak orang
terkena setrum.
Ahok
menimpali alasan pihak PLN bahwa jika Gardu berada di tempat yang rendah maka seharusnya
segera di tinggikan sehingga pompa dapat berfungsi dengan normal. Perdebatan yang tak berujung dan saling
menyalahkan akan menguras energi dan tidak menyelesaikan akar persoalan,
melihat persoalan banjir yang telah berlangsung cukup lama sejak tahun 2002,
2007, 2012 dan 2015. Rutinitas banjir
menghadirkan pertanyaan apakah
banjir menjadi kehendak mutlak yang harus di terima ?
Dunia
filsafat memberikan pemahaman yang berbeda soal kehendak atau “will”, menurut Plato kehendak merupakan
fungsi menengah manusia, yakni diantara akal dan nalurinya, kehendak merupakan
suatu instansi kekuatan motivasional di dalam diri individu. Filsuf Jerman
Schopenhaeur memberikan pemahaman tentang kehendak sebagai bentuk metafisis
yakni suatu realitas yang meliputi segala sesuatu (segala sesuatu adalah
kehendak). Berbeda dengan pendalaman
filsuf Nietzche yang melukiskan kehendak itu sebagai kehendak untuk berkuasa
sebagai sikap hidup yang otentik (F. Budi Hardiman – Erlangga – 2011)
Dari
pemikiran para filsuf diatas menghadirkan korelasi antara kehendak dan banjir, Pertama; apabila dipahami menurut Plato maka
banjir adalah kehendak manusia, banjir terjadi karena kehendak atau kemauan manusia,
dimana manusia melakukan penebangan hutan tanpra memikirkan bagaimana fungsi
hutan untuk mencegah terjadi erosi. Penebangan hutan untuk pemukiman dan
perkebunan menambah beban persoalan terjadinya banjir, Jakarta yang sering
mengalami banjir kiriman dari hulu Bogor dan Puncak Ciawi memberikan ruang bagi
kita semua untuk menyimpulkan bahwa,
Banjir di Jakarta disebabkan oleh pembangunan pemukiman dan vila didaerah
Puncak Bogor.
Manusia
yang sering membuang sampah ke sungai, daerah resapan air yang dibangun mall,
supermarket dan bangunan lainnya menambah kehendak adanya banjir. Kedua; Schopenhaeur melihat kehendak itu
adalah sebuah bentuk metafisis dimana realitas yang berkembang dan menjadi
pengetahuan umum, tidak menjadi rahasia umum lagi menjelang hari raya imlek
(tahun baru china) selalu ditandai dengan hujan lebat yang menyebabkan banjir.
Masyarakat yang menyakini bahwa apabila pada perayaan imlek bersamaan dengan hujan yang lebat maka
pertanda banyak rezeki yang akan diperoleh pada tahun berjalan.
Pemahaman
metafisis ini dianggap mitos namun menjadi pemahaman umum yang dapat di terima
kebenarannya di tengah -tengah masyarakat. Untuk menghindari adanya banjir maka
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Bidang Pengkajian
Penerapan Teknologi (BPPT) berencana merekayasa turunnya hujan. Menggunakan
bantuan pesawat terbang untuk mempercepat awan menjadi hujan. Pesawat tersebut
terbang setiap hari dengan menjatuhkan hujan buatan sekaligus mendistribusikan
hujan tersebut ke luar area rawan banjir yakni laut. Upaya ini menurut ahli feng shui Xiang Yi, hujan
memang sering kali dipercaya membawa keberkahan. Namun, rekayasa hujan tidak
akan mengubah garis peruntungan seseorang. Rekayasa hujan hanya untuk
mengalihkan hujan, bukan sebuah alat ampuh untuk bisa menciptakan atau menghilangkan
hujan," (www.tempo.co)
Berbeda
dengan Ketiga; Nietzche yang melihat
kehendak sebagai sebuah keadaan untuk berkuasa, kehendak ini selalu diidentikan
dengan penguasa, banjir juga dapat disebabkan oleh penguasa yakni kebijakan
yang dihasilkan atau ditetapkan seperti; soal planologi, tata ruang serta
pemberian ijin membangun bangunan (IMB). Merujuk pada pemikiran Nietzche,
kehendak selalu memiliki dua dimensi dalam wujudnya yakni kebaikan yang
mensejahterahkan dan nafsu yang memusnahkan. Indikasi kebijakan pemerintah yang
merupakan bentuk nyata dari sebuah “kehendak” dari nafsu kekuasaan adalah
adanya banjir. Banjir yang sudah terjadi berulang-ulang tanpa menemukan solusi
terbaik untuk memberikan kenyamanan, hal ini merupakan warisan kehendak
penguasa yang membudaya.
Harapan
untuk mengatasi banjir selalu menjadi isu bahkan ide yang menarik dalam
kampanye, kenyamanan dari banjir menjadi kebutuhan dari seluruh rakyat namun menjadi persoalan ketika rakyat
diperhadapkan pada tiga pilihan pemikiran diatas. Pilihan pertama menolak
banjir adalah kehendak manusia, karena kesalahan manusia (human eror) yang
dalam kesehariannya melakukan kebiasaan buruk. Pilihan kedua ini menghadirkan
ambiguitas (mendua) karena keyakinan masyarakat yang membuat sebagian
masyarakat hendak menikmati suasana banjir karena hendak mendapatkan
peruntungan. Pilihan Ketiga yakni banjir dihadirkan karena kehendak berkuasa,
pilihan ini pastinya akan mendapatkan perlawanan dari masyarakat karena nafsu kekuasaan
yang mendatangkan kemudaratan.
Imlek
yang diidentikan dengan hujan lebat dapat dinikmati dalam suasana yang baik
untuk mendapatkan peruntungan, karena adanya hujan yang melimpah dan
mensejahterahkan apabila individu/manusia menjaga lingkungan dimana dirinya
tinggal, tidak melakukan kegiatan yang merusak alam. Kehendak kepemimpinan dari
penguasa yang menjalankan pemerintahan yang pro rakyat, dengan menetapkan
kebijakan-kebijakan dan pembangunan yang melestarikan alam, membangun
daerah-daerah resapan, menetapkan program pembangunan yang kreatif sehingga
bisa menjamin keyakinan atau mitos yang berkembang dalam masyarkat dapat
dinikmati dalam suasana yang bersahabat tanpa menimbulkan bencana dan kerugian
materil.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar