“Ressentiment Atas KPK Vs POLRI”
By Yoyarib Mau
Berawal sejak penetapan calon Kapolri Budi Gunawan (BG) menuai kontroversi
ketika selang waktu KPK menetapkan BG sebagai tersangka karena kepemilikan
rekening gendut. Komjen BG tersangka kasus Tipikor saat menduduki Kepala
Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006, Ketua
KPK Abraham Samad dalam jumpa pers di kantor KPK pada 13-Januari-2015.
Penetapan ini tidak di menjadi penghalang bagi jalan Budi Gunawan menjadi
calon Kapolri karena dinyatakan lulus uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi
III DPR. Menariknya Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan
Komisaris Jenderal Komjen Budi Gunawan sebagai calon kapolri menggantikan
Jenderal Sutarman, pada Kamis (15/01) siang. Keputusan sidang paripurna itu
didukung oleh delapan fraksi yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra, PKS,PKB, Nasdem,
Hanura, dan PPP. Sementara Fraksi Demokrat dan PAN meminta DPR menunda
persetujuan dengan sejumlah pertimbangan, antara lain adanya penetapan
tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pada situasi ini, beredar foto-foto mesra yang diduga sebagai sebagai Ketua
KPK Abraham Samad dan Putri Indonesia 2014 Elvira Devinamira. Jelang 2 hari
kemudian pada 22-1-2015, PLT Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memberikan
pernyataan publik bahwa Abraham Samad pernah mengutarakan ambisi menjadi calon
wakil presiden dan bahwa Samad menuduh Budi Gunawan menggagalkan ambisinya.
Kemudian Bareskrim Polri menangkap wakil ketua KPK Bambang Widjojanto dengan
tuduhan memerintahkan saksi sengketa pilkada Kotawaringin Barat untuk bersumpah
palsu.
Penangkapan dilakukan petugas bersenjata di hadapan anak Bambang. Ratusan
orang berdatangan ke gedung KPK untuk memberikan dukungan kepada KPK. Pada
malam harinya, serta sejumlah tokoh masyarakat mendatangi Bareskrim Mabes Polri
menuntut pembebasan Bambang Widjojanto.
Publik membelah diri dan berpihak baik kepada Polisi maupun KPK,
masing-masing menuntut Presiden untuk bersikap tegas untuk bersuara dalam
konflik ini, yang memihak ke KPK dengan simbol #SaveKPK walaupun menuntut
untuk Presiden bersikap tetapi dengan syarat Budi Gunawan tidak di lantik
menjadi Kapolri, bahkan kelompok ini menganggap Polri hendak mengkriminalisasi
KPK dengan melakukan penangkapan terhadap Bambang Widjoyanto serta melaporkan
pimpinan KPK lainnya. Sedangkan pihak yang mendukung kepolisian memilih simbol
#SavePolri sebagai bagian dari dukungan kepada Polri, sedangkan kelompok ketiga
memilih untuk tidak berpihak pada KPK maupun Polisi tetapi lebih memilih untuk
mendukung penegakan hukum di Indodnesia dengan simbol #SaveIndonesia.
Puncak dukungan publik jelang putusan pra-peradilan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 16-02-2015 terlihat dengan jelas dukungan kepada dua
institusi ini, namun di media sosial banyak pihak yang mencerca Polisi yang
melakukan sujud syukur ketika putusan Pra Peradilan Budi Gunawan diterima,
Polisi sepertinya terbawa dalam perasaan dukungan terhadap korps, padahal
persoalan ini lebih pada persoalan pribadi (private) dan bukan persoalan
institusi. kekecewaaan menyaksikan pra-peradilan BG menang , publik kecewa
serta antipati akan pemberantasan korupsi kedepan, disuatu sisi partai politik
begitu mendesak partai agar BG tetap jadi Kapolri.
Perilaku ini membuat rasa simpati terhadap Polisi oleh publik menjadi
menurun,seolah-olah Polisi hendak membenarkan akan gratifikasi atau kepemilikan
rekening gendut. Situasi ini menghadirkan pertanyaan apakah harus melakukan
kebencian kolektif terhadap institusi Polri sebagai penegak hukum ?
Nietzsche dalam bukunya Genealogie der Moral memperkenalkan “Ressentiment”,
yaitu sentimen kebencian terpendam yang dipelihara oleh kaum budak,
ressentiment menjadi kekuatan yang luar biasa untuk meledakan pemberontakan di
kalangan kaum budak terhadap kasta para tuan, perilaku ini terjadi karena
moralitas (balas dendam imajiner) dan bukan pada kenyataan politik.
Nietzsche menyimpulkan perilaku ini sebagaimana yang di kenal dalam kekristenan
sebagai “suara hati” (F. Budi Hardiman – Erlangga – 2011).
Suara hati publik ibarat mengalami kekangan akibat kekuasaan institusi yang
selama ini melakukan tekanan represif, menerima suap, apalagi menjalankan tugas
penilangan STNK/SIM, dan melakukan razia kelengkapan aksesories kendaraan
sekedar untuk mendapatkan uang melalui penyelesaian di tempat, dan terlibat
dalam human traffiking. Sekelumit kasus-kasus in menjadi alasan yang kuat untuk
rakyat menjalankan sikap ressentiment. Persoalan yang melibatkan KPK Vs Polri
sudah terulang yang keduakalinya, pertama; konflik pertaman anatara
Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto (KPK) Vs Susno Duadji (Polri) saat
menjabat sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal, konflik ini lebih kental
dengan sebutan Cicak Vs Buaya. Menjadi alasan yang kuat bagi publlik untuk menjalanklan
ressentiment karena menumpuknya perilaku buruk penegak hukum yang dijalankan
Polisi.
Ressentiment adalah sebuah bentuk kekecewaan yang menggunung namun
ressentiment bukanlah jalan hukum untuk kemudian menggiring publik untuk berada
dan melakukan mobilisasi ressentiment sebagai perjuangan moral atau suara hati,
perjuangan ressentiment harus mampu ditundukan dalam proses hukum yang berlaku,
bukan pada kekuatan membangun sentiment kebencian yang mendalam untuk
mematahkan proses dan keputusan hukum. Persoalan konflik KPK dan Polri ini
merupakan persoalan private (pribadi) yang menggiring institusi, karena pribadi
melekat kuat pada institusi. Runtutan persoalan ini memberikan indikasi bagi
interpretasi personal dan subyektif serta terkesan balas dendam.
Persoalan sikap Polisi yang kemudian mendapatkan hukuman sosial dari
masyarakat bukan sebuah kebenaran absolut yang menggiring publik untuk
mengabaikan keterlibatan oknum KPK dalam penyalahgunaan wewenang jabatan,
ressentiment bukanlah alat legitimasi untuk dibenarkan dalam mempengaruhi
bahkan menekan keputusan hukum, tetapi sebagai pesan moril untuk membangun
rasional berpikir kita bahwa ada kontrol masyarakat terhadap penegak
hukum bahwa ada kebutuhan terbatas dari sikap ressentiment.
Ressentiment dibangun bukan dengan tujuan mengggeneralisir persoalan dan
hendak menggulung kekuatan yang diserang tersebut, ressentiment hanyalah alat
atau jembatan untuk mengamati proses hukum ditegakan dan menggiring opini
publik, tetapi bukan kekuatan hukum, kekuatan hukum adalah penegakan konstitusi
dengan segala pasal dan ayat yang dijalankan. Terkesan bahwa resentiment
sebagai alat induksi karena mengaitkan kasus-kasus yang dilakukan polisi
sebelumnya yang diabstraksi publik menjadi opini hukum yang harus dilegalkan, induksi
ini kemudian hendak menghadirkan deduksi untuk menyimpulkan bahwa seolah-olah
keseluruhan persoalan yang melibatkan polisi bejat, dan terbangun stigma
menyeluruh bahwa setiap persoalan yang melibatkan polisi selalu berada pada
pesimistis miring yakni dari sana sudah begitu sehingga tidak bisa dipercaya
(black list).
Negara hukum seyogiannya menjunjung tinggi keputusan hukum, keputusan
pra-peradilan terhadap gugatan BG diterima harus dihargai, jika ada celah
hukum maka dapat dilakukan gugatan hukum, ressentiment yang di bangun dapat
digunakan untuk melakukan perlawanan hukum secara kolektif melalui prosedural
adminsitratif dan standard hukum yang berlaku bukan melakukan bulling di
media sosial.
* Yoyarib Mau (Pemerhati Sosial - Politik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar