“Dimensi Moral Kontestan Pilkada”
*Yoyarib Mau
Moral
bukan tidak relevan jika didahulukan sebagai panglima dalam jati diri konstentan
yang akan bertarung dalam pilkada, pilkada serentak yang hendak dilakukan dalam
tahun ini sebanyak 272 pilkada serentak di tanah air Indonesia, kontestasi
Pilkada ini membuat figur yang akan bertarung dalam Pilkada memoles diri dengan
baik untuk dapat memenuhi syarat sebagai bakal calon serta mempengaruhi hati
rakyat untuk menjatuhkan pilihannya dalam pilkada nanti. Segala bentuk
perilaku, kata-kata dijaga untuk mencerminkan kebaikan, bahkan jika
dimungkinkan dapat mengucapkan selamat ulang tahun bagi mereka yang berulang
tahun, mengirimkan krans bunga ucapan berdukacita saat warga sedang berduka.
Mendadak menjadi orang baik jelang
Pilkada tidak dapat disalahkan, karena media sosial dan alat komunikasi
dimanfaatkan dengan kebaikan sebagai perbuatan moral. Perilaku kebaikan dilakukan
seperti setiap hari minggu masyarakat disuguhi dengan ucapan selamat beribadah
dengan dibubuhi ayat-ayat suci. Saat hari raya keagaamaan banyak ucapan selamat
bagi mereka yang merayakan, atau bahkan di stasiun tv atau radio dengan memanfaatkan
jam siaran tertentu (air time), untuk berkhobah menyampaikan perilaku etika
atau moral bagi masyarakat.
Fenomena ini akan kita jumpai jelasng pilkada modal moral, berbicara moral (baik atau tidak baik, sedangkan etika (menyangkut soal sistem kerja, atau efisiensi). Sehingga moral itu selalu diedentikan sebagai modal kepemimpinan, dasar kepemimpinan ini membuat para konstestan menciptakan sebuah harapan bahwa perubahan hanya akan dicapai oleh orang baik. Masyarakat kemudian tergiring dalam pemahaman bahwa pemimpin itu harus orang baik yang ditunjukan dengan hidup jujur, taat beribadah, suka memberikan sumbangan bagi setiap proposal kegiatan masyarakat, dan mulut penuh dengan ucapanayat-ayat suci. Kenyataan diatas menghadirkan pertanyaan yang mengusik bathin, apakah moral hanya dipahami sebatas berlaku baik dengan kata dan perbuatan yang bersentral pada sang kontestan pilkada ?
Teori etika menurut Aristoteles, etika menurutnya adalah ilmu tentang tindakan tepat dalam bidang khas manusia. Objek etika adalah alam yang berubah terutama alam manusia, oleh karena itu etika bukan merupakan episteme atau bukan ilmu pengetahuan. Tujuan etika bukanlah dispisisifikan kepada pengetahuan, melainkan praxis, bukan mengetahui apa itu hidup yang baik, melainkan membuat orang untuk hidup yang lebih baik. Pendapat ini berbeda dengan Franz Magnis yang melihat etika dibedakan antara; etika deontologis dan teleologis. Etika deontologis menekankan kualitas etis suatu tindakan bukan tergantung pada akibat tindakan itu melainkan tindakan itu sendiri betul atau salah dalam arti moral, tanpa melihat pada akibatnya. Sebaliknya, menurut etika teleologis tindakan itu sendiri bersifat netral. Tindakan menjadi betul dalam arti moral apabila akibatnya baik, salah apabila akibatnya salah (Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad XIX - Kanisius, 1998).
Aristoteles hendak menganjurkan bahwa kepemimpinan bukan hanya sekedar ada pada pertimbangan moral, yakni berbuat baik atau menjadi orang baik akan tetapi membuat manusianya berubah dan berada dalam lingkaran sejahtera, moral hanya sekedar himbauan kepada orang lain tetapi harus mampu ditegaskan dalam bentuk etika yakni sistem kerja yang memanusiakan manusia atau konstituen. Moral bukan hanya sekedar himbauan serupa dengan pengetahuan tetapi dalam bentuk praksis kenyataan hidup rakyat. Frans Magnis Suseno juga lebih menekankan dalam bentuk etika teleologis yakni adanya akibat baik bagi orang lain.
Dampak dari kepemimpinan adalah
kesejahteraan dalam konteks pemerintahan adalah kesejahteraan yakni ekonomi
(terpenuhinya sandang, pangan, dan papan), menikmati pelayanan kemasyarakatan
yang manusiawi, menikmati fasilitas umum dan sosial yang memadai. Kebaikan yang
dilihat dalam perilaku moral-etis tidak sekedar dalam berbicara dan berperilaku
menyenangkan diri serta mendapatkan pengakuan sebagai orang baik, akan tetapi
kebaikan moral itu harus dinikmati oleh orang lain.
Kemanusiaan itu memiliki implikasi
positif yakni karya nyata yang dihasilkan atau diperjuangkan dalam sejarah
hidup sang konstestan pilkada yang terlihat dari ”track record” selama
perjalanan menuju perebutan kursi kekuasaan. Kepemimpinan selalu saja berjalan lurus
dengan pembangunan yang direalisasiskan dengan program-program kerja yang
selama ini digalang di tengah-tengah masyarakat yang menjawab kebutuhan dasar
mayarakat. Indikator sejahtera sebagai hasil kepemimpinan sebagaiman yang
diungkapkan oleh tokoh besar pendiri negara Singapura Lee Kuan Yew bahwa
berbicara demokrasi di Singapura selalu mengerucut pada pemenuhan kebutuhan
pendidikan, pelayanan kesehatan yang memadai, kepemilikan rumah, serta cukup
makan.
Moral
bukan hanya sekedar modal pencitraan yang dapat di lakukan oleh tim kampanye
untuk mengelabui rakyat dengan design bahasa audio dan visual yang menarik. Bahkan
moral tidak cukup dengan hanya menjalankan fungsi administratif yakni berlaku
jujur tidak melakukan korupsi, menanti untuk menjalankan jatah APBN yang
dialokasikan oleh pusat. Kontestan sebagai pemimpin apabila berperilaku kreatif
dengan menciptakan karya-karya nyata. Kontestan harus mampu membangun keyakinan
pemilih dengan menjalankan daya kreatifitas dalam membangun ke arah mana daerah
ini akan di bangun, bagaimana membiayai pembangunan yang direncanakan, siapa
dan darimana sumber dana yang akan
membiayai pembangunan tersebut.