Jumat, 20 Maret 2015

"DEVOSI INDONESIA DALAM NYEPI"



“DEVOSI INDONESIA DALAM NYEPI”
*Yoyarib Mau

Semua agama yang dianut oleh penghuni Nusantara dapat bertemu dalam momentum tertentu, bukan karena tekanan atau dengan kekerasan yang dilakukan oleh para militer (lembaga/organisasi yang dibentuk untuk membela agama), guna mengancam individu atau komunitas tertentu untuk dapat bertemu dalam momentum bersama. Pertemuan tercipta dan tersirat dalam ayat-ayat suci keagaamaan dan doktrin, padahal dilain pihak doktrin agama-agama nusantara tidak dapat dipersatukan karena prinsipil yang tidak dapat diganggu gugat. Namun tidak dapat dipungkiri dalam kekayaan doktrin keagamaan kita justru tersirat pesan yang dapat menyatukan dan mempertemukan agama-agama di Nusantara bahkan dunia.

Nyepi merupakan sebuah momentum keagaaman yang dalam Agama Hindu adalah doktrin terpenting yang wajib dirayakan oleh umat Hindu. Umat Hindu berkewajiban melaksanakan “Catur Brata”. Catur Brata atau empat pantangan selama sehari, amati geni (tak menyalakan api atau penerangan), amati karya (tak melakukan aktivitas atau rutinitas kerja), amati lelungan (tak bepergian) dan amati lelangguan (tak bersenang-senang atau menikmati hiburan).

Pelaksanaan Catur Brata dimana manusia diberi kesempatan untuk melakukan kontemplasi atau perenungan dalam suasana sepi, tanpa aktifitas yang mengundang keramaian.  Hal ini berbeda dengan perayaan hari raya lainnya yang sering kita rayakan dalam umat beragama, yang selalu diwarnai dengan perayaan, kemegahan, bunyi-bunyian dan bentuk aktifitas lainnya yang dilakukan dengan membentuk kepanitiaan dan menghabiskan sejumlah uang untuk menciptakan kemeriahaan acara perayaan, bahkan harus mengorbankan alam dalam hal ini tumbuhan-tumbuhan untuk menghiasi perayaan tersebut. 

Nyepi mendapatkan tempat yang berbeda dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya, dimana hadir perdebatan soal halal atau haram jika kita mengucapkan selamat kepada saudara kita yang merayakan, atau berdepat soal penentuan waktu atau tanggal yang tepat untuk menetapkan perayaan hari raya. Perayaan Nyepi berbeda dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya karena  dilakukan dalam nuansa sepi. Perayaan Nyepi mendorong pertanyaan bagi kita semua bahwa, mengapa hari raya Nyepi bisa menyatukan kebersamaan agama-agama di nusantara bahkan dunia

Sejarah keagamaan dunia dengan para tokoh agama dunia dengan kisah dan perilaku keimanan dan kerohaniannnya selalu diwarnai dengan Nyepi atau dalam keadaan sepi. Husein Ja’far Al Hadar dalam opini di Tempo 20 Maret 2015, mengutip apa yang dikatakan oleh  Mother Theresa bahwa, Tuhan bersemayam dalam sepi. Bahkan Husein Ja’far Al Hadar juga melukiskan tentang Nabi Musa dalam sejarah perjalanan bangsa Israel (Alkitab),  dalam perjumpaan dengan Tuhan untuk kemudian membawa 10 perintah (the Ten Commandments) dilakukan di tempat sepi dimana Musa harus berjumpa dengan Sang Pencipta Semesta di tempat sepi yakni di Gunung Torsina.  Bahkan  Yesus pun dalam catatan-catatan Injil menyebutkan bahwa Yesus juga memilih tempat sepi untuk menyepi, Di Taman Getsemani sebelum Yesus diperhadapkan dengan Tiang Salib di Golgota, Yesus memilih Taman Getsemani untuk melakukan aktifitas perenungan dalam keadaan sepi. Selanjutnya Husein juga mengatakan bahwa begitupula dengan Nabi Muhamad saat menerima wahyu pertama dalam keadaan sepi di Gua Hira. (Koran Tempo Jumat 20 Maret 2015).

Gambaran soal para tokoh agung yang melakukan aktivitas dalam keadaan sepi, bukanlah soal doktrin tetapi sebagai bentuk aktivitas keimanan yang diharapkan dalam keadaan demikian ada peristiwa iman yang menolong para tokoh agung untuk mendapatkan kekuatan spiritual dalam perjumpaan keimanannya. Kebutuhan akan keadaaan sepi adalah suasana penting untuk menjalankan ritual keagamaan, guna mendapatkan kekuatan spritual dalam mengambil keputusan untuk menghadapi keadaan genting. Dalam ritual keagamaan hampir seluruh agama dunia menjalankannya dalam keadaan tenang, hening untuk dapat berkonsentrasi menjalankan ritual. Seniman kadang dalam menghasilkan karya lukisan atau narasi dapat dicapai melalui keadaan tenang melalui kotemplasi, perenungan dalam suasana sepi atau tenang. Keadaan ini adalah faktor pendorong untuk menciptakan hasil karya yang memenuhi kebutuhan keindahan, dan kedamaian bathin.

 Hari Raya Nyepi dapat menjadi rekomendasi kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mengambil kesempatan untuk melakukan devosi, devosi bukan sebuah doktrin baku dalam bentuk liturgi/tata cara yang baku bahkan tidak perlu dilegalkan dalam bentuk UU, Perppu,  bahkan Perda syariah. Pemahaman devosi Nyepi dapat dijadikan budaya yang mengakar dalam keindonesiaan, yang dibangun bagi kebersamaan bernegara , sikap bakti bagi negeri, alam, dan hubungan sosial dengan sesama manusia. Devosi dilakukan dalam keadaan sepi (kontemplasi) yang dapat dilakukan dalam kesadaran keimanan dalam ritual doa/sholat, keadaan sepi ini dilakukan sebagi bentuk penyerahan diri, bagaimana pribadi/diri berperan untuk perwujudan cinta kasih dan kemaslahatan bangsa. Kemaslahatan umat dapat dilakukan dengan melakukan penghematan energi dengan tidak melakukan aktivitas yang menghabiskan bahan bakar ataupun arus listrik. Seandainya perayaan Nyepi dapat dilakukan di seluruh nusantara maka dampaknya dapat memberikan penghematan bagi negara.   

Apabila Nyepi menjadi bermakna dalam insan persada, maka tentunya menjadi lazim momentum Nyepi dapat dilihat sebagai devosi sepi dalam bentuk kebaktian khusus warga negara (perenungan/kontemplasi) untuk mendapatkan misteri iman, dengan melakukan ibadah kebaikan guna menyelesaikan soal kisruh kenegaraan. Jika dikaitkan dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agung keagamaan dengan melakukan devosi nyepi untuk mendapatkan misteri keimanan seperti yang dilakukan Musa di Gunung Torsina, Yesus di Taman Getsemani dan Muhamad di Gua Hira. 

Hiruk-pikuk persoalan kebangsaan kita, seperti korupsi dan jegal menjegal dalam perebutan pimpinan partai politik, yang pada akhirnya membuat masyarakat merasa bukan tanggung jawabnya, tetapi kekisruhan hanya menjadi tanggung jawab mereka yang terlibat. Dengan demikian warga negara telah lari dari kenyataan, maka perlu memilih jalan untuk melakukan devosi nyepi. Umat Hindu di Bali merayakan Nyepi dan keadaan sepi terasa, namun banyak warga negara yang tidak melihat perayaan Nyepi dalam perspektif agama, merasa bahwa hari Nyepi adalah hari untuk lari dari kenyataan untuk mencari keramian dan hiburan. Justru melarikan diri dari Nyepi adalah bentuk pengkhianatan terhadap devosi nyepi yang menjadi wajah keagamaan Indonesia.

*Pemerhati Sosial – Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar