“DEVOSI
INDONESIA DALAM NYEPI”
*Yoyarib
Mau
Semua
agama yang dianut oleh penghuni Nusantara dapat bertemu dalam momentum
tertentu, bukan karena tekanan atau dengan kekerasan yang dilakukan oleh para
militer (lembaga/organisasi yang dibentuk untuk membela agama), guna mengancam individu
atau komunitas tertentu untuk dapat bertemu dalam momentum bersama. Pertemuan
tercipta dan tersirat dalam ayat-ayat suci keagaamaan dan doktrin, padahal
dilain pihak doktrin agama-agama nusantara tidak dapat dipersatukan karena
prinsipil yang tidak dapat diganggu gugat. Namun tidak dapat dipungkiri dalam
kekayaan doktrin keagamaan kita justru tersirat pesan yang dapat menyatukan dan
mempertemukan agama-agama di Nusantara bahkan dunia.
Nyepi
merupakan sebuah momentum keagaaman yang dalam Agama Hindu adalah doktrin
terpenting yang wajib dirayakan oleh umat Hindu. Umat Hindu berkewajiban
melaksanakan “Catur Brata”. Catur Brata atau empat pantangan selama sehari,
amati geni (tak menyalakan api atau penerangan), amati karya (tak melakukan
aktivitas atau rutinitas kerja), amati lelungan (tak bepergian) dan amati
lelangguan (tak bersenang-senang atau menikmati hiburan).
Pelaksanaan
Catur Brata dimana manusia diberi kesempatan untuk melakukan kontemplasi atau
perenungan dalam suasana sepi, tanpa aktifitas yang mengundang keramaian. Hal ini berbeda dengan perayaan hari raya
lainnya yang sering kita rayakan dalam umat beragama, yang selalu diwarnai
dengan perayaan, kemegahan, bunyi-bunyian dan bentuk aktifitas lainnya yang
dilakukan dengan membentuk kepanitiaan dan menghabiskan sejumlah uang untuk
menciptakan kemeriahaan acara perayaan, bahkan harus mengorbankan alam dalam
hal ini tumbuhan-tumbuhan untuk menghiasi perayaan tersebut.
Nyepi
mendapatkan tempat yang berbeda dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya,
dimana hadir perdebatan soal halal atau haram jika kita mengucapkan selamat
kepada saudara kita yang merayakan, atau berdepat soal penentuan waktu atau
tanggal yang tepat untuk menetapkan perayaan hari raya. Perayaan Nyepi berbeda
dengan perayaan hari raya keagamaan lainnya karena dilakukan dalam nuansa sepi. Perayaan Nyepi
mendorong pertanyaan bagi kita semua bahwa, mengapa
hari raya Nyepi bisa menyatukan kebersamaan agama-agama di nusantara bahkan
dunia ?
Sejarah
keagamaan dunia dengan para tokoh agama dunia dengan kisah dan perilaku
keimanan dan kerohaniannnya selalu diwarnai dengan Nyepi atau dalam keadaan
sepi. Husein Ja’far Al Hadar dalam opini di Tempo 20 Maret 2015, mengutip apa
yang dikatakan oleh Mother Theresa
bahwa, Tuhan bersemayam dalam sepi. Bahkan Husein Ja’far Al Hadar juga
melukiskan tentang Nabi Musa dalam sejarah perjalanan bangsa Israel (Alkitab), dalam perjumpaan dengan Tuhan untuk kemudian
membawa 10 perintah (the Ten Commandments) dilakukan di tempat sepi dimana Musa
harus berjumpa dengan Sang Pencipta Semesta di tempat sepi yakni di Gunung
Torsina. Bahkan Yesus pun dalam catatan-catatan Injil
menyebutkan bahwa Yesus juga memilih tempat sepi untuk menyepi, Di Taman
Getsemani sebelum Yesus diperhadapkan dengan Tiang Salib di Golgota, Yesus
memilih Taman Getsemani untuk melakukan aktifitas perenungan dalam keadaan
sepi. Selanjutnya Husein juga mengatakan bahwa begitupula dengan Nabi Muhamad
saat menerima wahyu pertama dalam keadaan sepi di Gua Hira. (Koran Tempo Jumat
20 Maret 2015).
Gambaran
soal para tokoh agung yang melakukan aktivitas dalam keadaan sepi, bukanlah
soal doktrin tetapi sebagai bentuk aktivitas keimanan yang diharapkan dalam
keadaan demikian ada peristiwa iman yang menolong para tokoh agung untuk
mendapatkan kekuatan spiritual dalam perjumpaan keimanannya. Kebutuhan akan
keadaaan sepi adalah suasana penting untuk menjalankan ritual keagamaan, guna
mendapatkan kekuatan spritual dalam mengambil keputusan untuk menghadapi
keadaan genting. Dalam ritual keagamaan hampir seluruh agama dunia
menjalankannya dalam keadaan tenang, hening untuk dapat berkonsentrasi
menjalankan ritual. Seniman kadang dalam menghasilkan karya lukisan atau narasi
dapat dicapai melalui keadaan tenang melalui kotemplasi, perenungan dalam
suasana sepi atau tenang. Keadaan ini adalah faktor pendorong untuk menciptakan
hasil karya yang memenuhi kebutuhan keindahan, dan kedamaian bathin.
Hari Raya Nyepi dapat menjadi rekomendasi
kebangsaan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mengambil kesempatan untuk
melakukan devosi, devosi bukan sebuah doktrin baku dalam bentuk liturgi/tata
cara yang baku bahkan tidak perlu dilegalkan dalam bentuk UU, Perppu, bahkan Perda syariah. Pemahaman devosi Nyepi
dapat dijadikan budaya yang mengakar dalam keindonesiaan, yang dibangun bagi
kebersamaan bernegara , sikap bakti bagi negeri, alam, dan hubungan sosial
dengan sesama manusia. Devosi dilakukan dalam keadaan sepi (kontemplasi) yang dapat
dilakukan dalam kesadaran keimanan dalam ritual doa/sholat, keadaan sepi ini
dilakukan sebagi bentuk penyerahan diri, bagaimana pribadi/diri berperan untuk perwujudan
cinta kasih dan kemaslahatan bangsa. Kemaslahatan umat dapat dilakukan dengan
melakukan penghematan energi dengan tidak melakukan aktivitas yang menghabiskan
bahan bakar ataupun arus listrik. Seandainya perayaan Nyepi dapat dilakukan di
seluruh nusantara maka dampaknya dapat memberikan penghematan bagi negara.
Apabila
Nyepi menjadi bermakna dalam insan persada, maka tentunya menjadi lazim
momentum Nyepi dapat dilihat sebagai devosi sepi dalam bentuk kebaktian khusus
warga negara (perenungan/kontemplasi) untuk mendapatkan misteri iman, dengan
melakukan ibadah kebaikan guna menyelesaikan soal kisruh kenegaraan. Jika dikaitkan
dengan apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agung keagamaan dengan melakukan
devosi nyepi untuk mendapatkan misteri keimanan seperti yang dilakukan Musa di
Gunung Torsina, Yesus di Taman Getsemani dan Muhamad di Gua Hira.
Hiruk-pikuk
persoalan kebangsaan kita, seperti korupsi dan jegal menjegal dalam perebutan
pimpinan partai politik, yang pada akhirnya membuat masyarakat merasa bukan
tanggung jawabnya, tetapi kekisruhan hanya menjadi tanggung jawab mereka yang
terlibat. Dengan demikian warga negara telah lari dari kenyataan, maka perlu
memilih jalan untuk melakukan devosi nyepi. Umat Hindu di Bali merayakan Nyepi dan
keadaan sepi terasa, namun banyak warga negara yang tidak melihat perayaan
Nyepi dalam perspektif agama, merasa bahwa hari Nyepi adalah hari untuk lari
dari kenyataan untuk mencari keramian dan hiburan. Justru melarikan diri dari
Nyepi adalah bentuk pengkhianatan terhadap devosi nyepi yang menjadi wajah
keagamaan Indonesia.
*Pemerhati
Sosial – Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar