Jangan
Politisasi Gereja !
*Yoyarib
Mau
Kisruh
pernyataan Setya Novanto (SN) saat tampil sebagai keynote speaker dalam seminar
nasional bertema "Apakah NTT Jadi Gerbang Selatan Indonesia" yang
dilakukan untuk memperingati perayaan Ulang Tahun Gereja Protestan di Indonesia
(GPI) tahun 2015 ke-410, pada tanggal 26 Februari 2015 yang bertempat di GMIT
Jemaat Koinonia. Dalam kesempatan tersebut SN diduga menyampaikan statement bahwa, Gereja di NTT menjadi penghambat pembangunan karena menghadang
masuknya investor tambang. Pernyataan yang disampaikan oleh SN, “Daerah
ini kaya mangan, marmer, emas dan pasir besi.
Namun,
saat investor hendak mengelola potensi sumber daya alam selalu ada penolakan
dari LSM yang berlindung di bawah Gereja”, begitu pernyataannya di Kupang, pada seminar tersebut. Lebih lanjut dalam
kesempatan yang sama SN, kembali menegaskan bahwa, “Karena itu, Gereja sebagai
elemen penting dalam pembangunan di NTT, harus memberi pencerahan kepada
masyarakat termasuk LSM, agar menerima investor yang memiliki niat baik membangun
daerah ini. Ungkapkan-ungkapan ini dari luar
konteks makalah yang sudah disiapkan sebelumnya. Pernyataan ini kemudian
berkembang dikalangan masyarakat luas maupun di NTT, sepertinya SN melukai
gereja-gereja di NTT.
Menelisik
pernyataan SN ini dapat diinterpretasikan
seolah-olah gereja sedang terlibat dalam politik praktis, karena gereja
dikatakan memanfaatkan LSM untuk menolak investor. Dilain
kesempatan sekelompok orang yang
menamakan dirinya Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tambang NTT (Koalisi), yang
berjibaku menentang pernyataan SN, Koalisi menuntut agar SN meminta maaf kepada
Gereja-gereja di NTT dan masyarakat NTT
serta mencabut pernyataannya sebagai bentuk permohonan maaf.
Melihat gerakan masyarakat yang tergabung dalam koalisi yang melakukan
tuntutan, menghadirkan pertanyaan, apa efek
pernyataan dan permintaan maaf SN terhadap gereja-gereja di NTT ? Meminjam
kalimat Romo Y.B. Mangunwijaya, beliau mengatakan bahwa, Keterlibatan gereja
dalam politik itu mengarah kepada tindakan universal. Point pentingnya adalah
tindakan gereja yang partisipatif dalam persoalan universal, (Y.B. Priyanahadi,
dkk (ed). Y.B. Mangunwijaya
Pejuang Kemanusiaan, Yogyakarta: kanisisus, 1999). Hal ini hendak
menjelaskan bahwa Jika politik hanya dipagari pada politik praktis, yaitu arena
politik yang selama ini hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu (partai
dan kelompok) dan menggunakan kekuasaan yang diperoleh sebagai alat untuk itu, maka yang ditakutkan adalah adanya pemahaman bahwa,
benar bahwa politik itu kotor dan kejam.
Tulisan
ini sekedar kajian logis dari persoalan di atas. Intensinya adalah untuk
menempatkan dengan baik penekatan-pendekatan yang dipakai dalam melihat masalah
ini. SN diperhadapkan dengan Institusi gereja, sedangkan dua pendekatan yang
dipakai oleh SN dan juga oleh Koalisi masyarakat ini berbeda dengan penekatan
dan fungsi gereja. Pendekatan gereja seyogiannya adalah pendekatan moral-etis,
sedangkan antara SN dan Koalisi
Masyarakat lebih pada pendekatan politis. Mengapa dikatakan politis, jelas
karena SN menyampaikannya dalam di forum seminar yang dihadiri publik dalam
tugas sebagai wakil rakyat yang bersamaan dengan jadwal reses.
Gerakan
sipil dalam gabungan koalisi, yang menuntut permintaan maaf SN kepada Gereja
dan masyarakat NTT di sejumlah media ini
juga jelas sangat politis. Sementara institusi gereja selalu memilih untuk
tidak terlibat dalam politik praktis. Setiap tindakan gereja selalu didasari
oleh tiga tugas mendasar gereja yakni; Gereja sebagai Nabi, Gereja sebagai Raja
dan Gereja sebagai Imam. Tudingan SN kepada gereja yang memanfaatkan LSM, untuk
menolak investor dapat diartikan SN menunjuk gereja sedang melakukan politik praktis.
Sedangkan peran gereja dalam konteks persoalan ini, setiap tindakan dan usaha
yang tidak memikirkan keselamatan manusia dan kelestarian alam, tentu akan
gereja tolak. Ini adalah tugas kenabian gereja murni penilaiannya sekali lagi
dengan moral-etis Kristiania.
Salah
seorang tokoh Nusa Tenggara Timur (NTT) Petrus Selestinus yang juga Ketua Tim Pembela Demokrasi
Indonesia (TPDI) mendesak masyarakat, gereja, dan Pemerintah Daerah NTT
memberikan sanksi sosial terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto atas pernyataannya
yang menghujat Gereja di sana. Sanksi sosial tersebut, katanya dapat dilakukan
dalam bentuk ekskomunikasi atau pengucilan dalam segala bentuk hubungan sosial.
(http://www.beritasatu.com/nasional/254730-hujat-gereja-tokoh-ntt-minta-setya-novanto-diberi-sanksi-sosial.html).
Koalisi
Masyarakat Sipil Tolak Tambang dan Petrus Selestinus bertindak sekali lagi
dalam pernyataan mereka dapat dilihat bahwa mereka memperhadapkan SN dengan
Institusi gereja, padahal siapa SN sehingga dirinya harus diperhadapkan dengan Institusi gereja ? Jika SN diperhadapkan
dengan konstituennya maka wajar bagi
Koalisi Masyarakat untuk meminta SN untuk meminta maaf, karena tudingan yang
disampaikan SN dianggap pemilihnya tindakan yang tidak bijak. Penempatan posisi
Koalisi Masyarakat yang benar adalah menyampaikan tuntutan dan ketidakpuasannya
atas nama dan untuk rakyat NTT dan bukan atas nama gereja.
Apabila
Institusi gereja “dipaksa” untuk menekan SN, agar meminta maaf atau melakukan
tekanan secara politis, agar diganti
atau dicopot dari Ketua DPR RI, maka Institusi gereja sedang digiring untuk
terlibat dalam pertarungan politik praktis, dan tidak secara langsung gereja didorong
untuk tercebur dan berenang secara nyaman di dalamnya, ketika Institusi gereja dipaksa
melakukan tekanan maka tidak secara langsung hierarki Gereja terlibat dalam
politik praktis.
Hakikat
Gereja harus terhindarkan dari Politik praktis, karena politik praktis pada
dirinya hanya bergerak sesuai dengan tuntutan politik untuk kekuasaan (politik
kekuasaan). Politik kekuasaan berurusan dengan teknik dan organisasi untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Posisi Gereja dalam mengambil bagian dalam
polemik ini sejatinya tanpa rasa takut bahkan bukan dibawah tekanan sedikitpun.
Gereja harus berperan tegas dalam perang terhadap kemiskinan, pelecehan hak
asasi manusia, ketidakadilan social, penindasan terhadap mereka yang lemah. Sehingga
dalam konteks persoalan ini, Institusi gereja dalam melakukan sikap kritisnya, harus
dapat dipastikan bahwa bukan semata-mata atas tekanan atau tuntutan koalisi
masyarakat atau pribadi tertentu.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar