“SBY, PARTAI DEMOKRAT DAN KORUPSI”
*Yoyarib Mau
Tiga
variabel ini memiliki keterikatan yang sangat kuat, SBY menjadi ikon dari
Partai Demokrat hal ini terlihat dari kuatnnya dukungan yang meneguhkan dirinya
untuk menjadi Ketua umum pada Kongres IV Partai Demokrat yang digelar di
Surabaya, Jawa Timur, sosok SBY dianggap sebagai perekat bagi partai, ketika
konflik internal antara faksi dalam partai memuncak dan mengancam akan
keikutsertaan Partai Demokrat dalam pemilu 2014, karena Anas Urbaningrum
terlibat dalam kasus korupsi Hambalang dan ditetapkan sebagai tersangka oleh
KPK. Kondisi ini menuntut agar segera ada penetapan ketua umum pada temu kader
nasional pada 26-27 Oktober 2013 di Sentul International Convention Center,
Bogor – Jawa Barat.
Pembuktian bahwa SBY dan Partai Demokrat itu ada ikatan yang melekat kuat terlibat dari penetapan temu kader nasional sejumlah jabatan yang melekat dalam diri SBY yakni; sebagai Ketua Dewan Kehormatan, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Pembina, Ketua Umum, sekaligus Ketua Majelis Tinggi (sebelumnya juga merangkap sebagai Ketua Dewan Pembina dan Dewan Kehormatan) Partai Demokrat.
Pembuktian bahwa SBY dan Partai Demokrat itu ada ikatan yang melekat kuat terlibat dari penetapan temu kader nasional sejumlah jabatan yang melekat dalam diri SBY yakni; sebagai Ketua Dewan Kehormatan, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Pembina, Ketua Umum, sekaligus Ketua Majelis Tinggi (sebelumnya juga merangkap sebagai Ketua Dewan Pembina dan Dewan Kehormatan) Partai Demokrat.
Tak
terbantahkan bahwa SBY dan demokrat adalah dua kutub magnet yang bertemu sehingga
melengket kuat dimana pada Kongres IV Partai Demokrat secara
aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Pada paripurna 12 Mei 2015
memutuskan SBY menjadi pemimpin partai periode 2015-2021. Berbeda
dengan proses kongres partai politik lainnya, dimana agenda pemilihan ketua
umumnya menjadi agenda utama sebelum agenda lainnya. Normalnya agenda pemilihan
ketua umum menjadi agenda puncak dari seluruh agenda kongres.
Agenda
sidang pada malam setelah pembukaan yang dihadiri oleh Presiden Jokowi, sesuai
agenda hanya melakukan pembahasan tata tertib kongres, anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga, pembentukan komisi serta laporan pertanggung jawaban
Dewan Pengurus Partai pimpinan SBY. Namun kemudian dalam sela-sela agenda
penyampaian pandangan umum baru saja dua DPD menyampaikan pandangan umumnya, E.E.
Mangindaan sebagai pimpinan sidang menskors sidang selama sepuluh menit,
kemudian pimpinan sidang menanyakan kepada seluruh peserta kongres, apakah sepakat soal hasil
pandangan umum yang telah di sampaikan oleh dua DPD terdahulu yang mengajukan
SBY sebagai ketua umum ? Akhirnya semua peserta sepakat maka pimpinan sidang
mengeluarkan Surat Keputusan pengangkatan kembali SBY. Berdasarkan Keputusan
Kongres Nomor 10/4/PD/5/2015 memutuskan menetapkan Prof. Dr. SBY sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat. Surat tersebut ditandatangani oleh tujuh pimpinan sidang
yaitu Hasan Basri Agus, Amir Syamsudin, Syarief Hasan, Evert Erenst Mangindan,
Edhie Baskoro, Robi M. Nouw, Muhammad Zainul Majdi.
Jauh
sebelumnya SBY pada 30 Maret 2013, mengatakan bahwa janganlah
dirinya yang jadi Ketua Umum lagi, lebih tepat sebagai pembina atau ketua dewan
pembina. Politik tidak selamanya berjalan sesuai janji, Selasa, 12 Mei 2015
membuktikan bahwa pernyataan SBY dua tahun lalu itu, SBY mengatakan kader tanah
air meminta dia kembali memimpin Partai Demokrat dengan membulatkan sikap
melalui surat pernyataan dukungan yang digalang dari DPC se tanah air.
Variabel
lain yang cukup melekat kuat pada Partai Demokrat selain SBY, adalah korupsi,
Partai Demokrat ketika pada pemilu 2004 mampu menjadi partai baru yang
memperoleh suara yang cukup signifikan yakni memperoleh jumlah suara 8.455.225
suara, presentasi 7,45% dengan jumlah kursi 55 kursi, dan berhasil melakukan
koalisi yang mengusung SBY dalam pemilu presiden dan terpilih mengalahkan
Megawati. Berbeda dengan pemilu 2009, dimana sebelum pemilu jelang Hari Anti
Korupsi Sedunia sekaligus iklan kampanye menuju 2009 Partai Demokrat
menayangkan iklan di sejumlah TV dengan taqline “katakan tidak pada korupsi”,
ajakan kepada masyarakat bahwa Partai Demokrat bersama SBY terus melawan
korupsi dan bergabung bersama Partai Demokrat tanpa pandang bulu. Harapan dari
iklan ini diyakini akan membawa Demokrat masuk dalam
jajaran tiga besar partai peraih suara tertinggi dalam pemilu legislatif 9
April 2009.
Pemilu 2009 sepertinya Partai Demokrat mampu
mengasosiasikan anti korupsi pada diri partainya, sebagai komitment untuk
membasmi korupsi sehingga rakyat merasa Partai Demokrat sebagai partai
yang diharapkan untuk membasmi korupsi.
Alhasil Pemilu 2009 Partai Demokrat mampu menjadi partai pemenang jumlah suara
21.703,137 suara, presentasi 20,4% dengan jumlah kursi 150 kursi. Kenyataanya
bahwa mengidentikan Partai Demokrat dan Korupsi ini dengan dua kutub yakni;
positif dan negatif. Positif dimana komitment yang telah dilakukan oleh demokrat
melalui iklan yang mungkin dipahami sebagai janji kampanye. Kutub Negatif ternyata tidak kalah kuatnya mempertahankan
image Partai Demokrat dengan variabel korupsi.
Para
petinggi Demokrat dalam hal ini mereka yang berperan dalam iklan anti korupsi
yang ditayangkan pada tahun 2008 terlibat korupsi seperti; Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, dan Andi Mallarangeng,
Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II Jero Wacik di jerat terlibat korupsi,
petinggi pengurus partai terlibat korupsi Muhamad Nazarudin, pendiri partai
juga terlibat korupsi yakni Sutan Batoetagana. Dari persoalan identitas yang
melekat kuat pada Partai Demokrat hadir pertanyaan, apa yang harus dilakukan
oleh Partai Demokrat untuk menciptakan “brain
image” dipikiran masyarakat Indonesia tentang Partai Demokrat ?.
Partai Politik (parpol) menurut Miriam Budiardjo
merupakan organisasi politik yang menjadi sarana masyarakat untuk menyalurkan
aspirasi. Di negara-negara berkembang maupun negara-negara maju parpol menjadi
ikhtiar yang penting dalam sebuah sistem politik. Pendapat atau aspirasi
seseorang atau kelompok akan hilang tak berbekas, apabila tak ditampung dan
disalurkan sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat
menjadi lebih teratur. Pendapat dan sikap yang bermacam-macam tersebut perlu
diolah dan dirumuskan sehingga dapat disampaikan kepada pemerintah sebagai
pembuat keputusan dalam bentuk tuntutan atau usul kebijakan umum (Miriam
Budiardjo – Dasar-dasar Ilmu Politik –Gramedia).
Partai politik dalam sejarah bangsa Indonesia akan besar dan tetap bertahan jika ada dalam lingkaran kekuasaan atau terlibat dalam pemerintahan, karena keterbatasan dana pembinaan yang dimiliki oleh partai politik untuk membiayai kegiatan politik parpol yakni menampung dan merumuskan tuntutan masyarakat dalam bentuk kebijakan umum. Keuntungan bagi parpol yang ada dan terlibat dalam pemerintahan adalah sarana pemerintah, dalam hal ini peran dan fungsi menteri dapat dimanfaatkan untuk kepentingan parpol tertentu karena akan melekat kuat pada jabatan menteri. Program kementerian akan diklaim sebagai program parpol pengusung sehingga masyarakat akan menilai kerja menteri adalah kerja parpol.
Tidak adannya iuran anggota parpol untuk membangun parpol menjadi penyebab utama, parpol di Indonesia menjalankan tokoh central sebagai pendiri dan pembiayai operasional parpol, SBY tidak cukup kuat untuk membiayai Partai Demokrat dari kantong pribadinya, bisa saja untuk 5 – 10 tahun ke depan namun setelah itu Demokrat akan mengalami kesulitan, SBY tidak lagi harus menjadikan model manajemen partai dengan tokoh central lagi, Apabila Demokrat hendak menjadi partai besar maka pola yang bisa dilakukan adalah memilih berada dalam barisan pemerintah untuk bisa mendapatkan jatah kursi menteri apabila ada “reshuffle” kabinet, maka Ruhut Sitompul sebagai penghubung yang tepat untuk menghadirkan Presiden Jokowi untuk membuka kongres. Pilihan kedua adalah mampu menyiapkan penerus parpol yang mampu menciptakan fundraising untuk kemandirian parpol, jika tidak maka akan kembali menciptakan lingkaran tokoh central yang memiliki modal. Ibarat menjual saham perusahaan ke investor lain.
Partai politik dalam sejarah bangsa Indonesia akan besar dan tetap bertahan jika ada dalam lingkaran kekuasaan atau terlibat dalam pemerintahan, karena keterbatasan dana pembinaan yang dimiliki oleh partai politik untuk membiayai kegiatan politik parpol yakni menampung dan merumuskan tuntutan masyarakat dalam bentuk kebijakan umum. Keuntungan bagi parpol yang ada dan terlibat dalam pemerintahan adalah sarana pemerintah, dalam hal ini peran dan fungsi menteri dapat dimanfaatkan untuk kepentingan parpol tertentu karena akan melekat kuat pada jabatan menteri. Program kementerian akan diklaim sebagai program parpol pengusung sehingga masyarakat akan menilai kerja menteri adalah kerja parpol.
Tidak adannya iuran anggota parpol untuk membangun parpol menjadi penyebab utama, parpol di Indonesia menjalankan tokoh central sebagai pendiri dan pembiayai operasional parpol, SBY tidak cukup kuat untuk membiayai Partai Demokrat dari kantong pribadinya, bisa saja untuk 5 – 10 tahun ke depan namun setelah itu Demokrat akan mengalami kesulitan, SBY tidak lagi harus menjadikan model manajemen partai dengan tokoh central lagi, Apabila Demokrat hendak menjadi partai besar maka pola yang bisa dilakukan adalah memilih berada dalam barisan pemerintah untuk bisa mendapatkan jatah kursi menteri apabila ada “reshuffle” kabinet, maka Ruhut Sitompul sebagai penghubung yang tepat untuk menghadirkan Presiden Jokowi untuk membuka kongres. Pilihan kedua adalah mampu menyiapkan penerus parpol yang mampu menciptakan fundraising untuk kemandirian parpol, jika tidak maka akan kembali menciptakan lingkaran tokoh central yang memiliki modal. Ibarat menjual saham perusahaan ke investor lain.
*Pemerhati Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar