“NEGERI OPLOSAN”
*Yoyarib Mau
Pecinta
dangdut akan terhipnotis jika hits “Oplosan (House Koplo)” diperdengarkan
dimana-mana, lagu ciptaan Nur Bayan dan dipopulerkan oleh Penyanyi dangdut Wiwik
Sagita yang beberapa waktu lalu meraih penghargaan dalam program penghargaan
bagi insan Dangdut, MNCTV Dangdut award sebagai pemenang lagu Dangdut paling
populer di tahun 2014 mengalahkan Sakitnya Tuh Di Sini koleksi Cita Citata. Lirik
Oplosan berisi
ajakan untuk menghentikan konsumsi minuman keras. Tak puas hanya minuman keras
dari pabrik, warga mengoplos sendiri minuman tersebut dengan kandungan lain
hingga meningkatkan kadar alkoholnya di atas kemampuan tubuh. Kreasi kesenian
yang sarat pesan moral itu.
Kreasi
seni ini hendak menggambarkan kondisi carut marut kondisi bangsa saat ini, yang
gemar melakukan plagiat karya ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa hingga guru
besar, belum lagi penjualan ijasah palsu atau oplosan yang dilakukan oleh
beberapa perguruan tinggi kepada mahasiswa yang tanpa menikmati bangku kuliah,
Menteri Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Dikti) Mohamad Nasir segera
menutup sejumlah perguruan tinggi yang diduga melakukan jual-beli ijazah serta
mengeluarkan ijazah palsu.
Menteri
Nasir mengungkapkan hal itu menyikapi pengaduan masyarakat terkait praktik
ilegal itu. Berdasarkan pengaduan tersebut, ada sekitar 18 perguruan
tinggi yang melakukan praktik transaksi jual-beli ijazah dan mengeluarkan
ijazah palsu. Ke-18 PT tersebut terdapat di wilayah Jabodetabek dan di Kupang,
Nusa Tenggara Timur. Bahkan ijazah sarjana S1 para lulusan sebuah universitas
tidak diakui. Hal ini terjadi karena ijazah tersebut ditandatangani rektor yang
gelar doktornya dinilai tidak sah. Rektor salah satu universitas di Kupang
mengaku memperoleh gelar doktor (S3) dari Berkeley University di Jakarta, yang
merupakan cabang dari Amerika Serikat (AS). Sementara yang di AS dikenal dengan
nama University of California, Berkeley. Setelah diteliti, universitas tersebut
(Berkeley University cabang Jakarta) pun ternyata tidak pernah ada di Jakarta.(http://www.beritasatu.com/kesra/274714-18-pt-penjual-ijazah-palsu-segera-ditutup.html)tidak)
Kini
apa yang tidak menjadi oplosan, tidak saja ijasah yang di oplos, tetapi beras juga di oplos dari plastik menjadi
beras, minyak penggorengan juga di campur plastik untuk menghasilkan gorengan
yang gurih, wajah disuntik silicon untuk mendapatkan wajah yang seksi, tahu dan
tempe untuk awet dalam beberapa hari maka di rendam dengan formalin, minuman
juga di oplos dengan spritus dan campuran soft drink seperti kratigdaeng, M-150
dan dicampur dengan sejumlah tablet/obat kimia yang dijual di warung-warung kaki
lima untuk menambah dan mempercepat rasa mabuknya. Narkoba juga sudah dapat
dihasilkan di dalam penjara, di rumah-rumah warga dengan mudah mereka dapat
melakukan rekayasa kimiawi untuk menghasilkan tablet-tablet narkotika untuk
dipasarkan diclub-club malam.
Untuk
meningkatkan strata sosial menjadi orang kaya pun dapat di oplos dengan mudah
menjual diri dalam jaringan prostitusi artis dengan tarif yang menggiurkan,
atau dengan melakukan manipulasi data, atau melakukan tindakan korupsi untuk
mengupgrade status sosial. Munas/Kongres/Muktmar dapat juga dilakukan dengan
jalan oplosan yakni melakukan tandingan dengan berbagai upaya administratif
bodong.
Keadaan
ini merasuk tanya, apa yang sedang terjadi dengan negeri kita ? harapan besar
pasca beberapa dekade penting yang kita lalui yakni 20 Mei 1908 tonggak
kebangkitan nasional dimana pemuda digelorakan dalam perhimpunan Boedi Oetomo guna
memperjuangkan martabat negeri, dekade berikut 28 Oktober 1928 lahir Sumpah Pemuda, 1945 melahirkan
perjuangan kemerdekaan, tahun 1966 lahir angkatan 66 melahirkangerakan orde
baru, tahun 1974 Gerakan Malari bangkit untuk menentang modal asing, Gerakan
1998 tumbangkan rezim Soeharto yang lama berkuasa dengan jalan
represif-otoristik, dekade ini masyarakat Indonesia terjerumus dalam problematika
material untuk membiayai ongkos politik yang dihinggapi virus “money politic’ sehinga menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
Revolusi
Mental digadang menjadi sebagai “a new
hope for the a greater Indonesia ” dengan kata lain sebagai sebuah model
bagi kebangkitan nasional bagi bangsa Indonesia, dimana setiap ruang private
(baca: mental/perilaku) telah terdistorsi oleh virus oplosan, oplosan kalau
tidak keliru berasal dari “hopeless”
artinya tanpa harapan. Bila tidak ada ingredient utama apa saja dapat
ditambahkan sebagai campuran, peribahasa Indonesia menjelaskan dengan sangat
baik istilah oplosan: tak ada rotan akar pun jadi.
Revolusi
Mental gagasan revolusi mental Jokowi bertolak dari sebuah fenomena paradoksal yang dialami bangsa
Indonesia setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, yang dalam
pengamatannya telah membuat masyarakat menjadi resah. Jokowi mendasari
revolusi mental itu dari konsep Trisakti Soekarno yang belum terwujud secara
utuh dalam negara kita, yakni yang dimaksudkan Bung Karno adalah,
pertama, “Berdaulat dalam Politik”, Kedua, “Berdikari dalam Ekonomi”, Ketiga,
“Berkepribadian dalam Kebudayaan”. Keaslian wajah kita sepertinya jauh dari
harapan, selalu saja berpikir untuk mewujudkan nilai dan filosofis kebangsaan selalu saja mengedepankan uang atau bagaimana
membiayai program.
Dalam
pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P)
2015, sejumlah kementerian berlomba-lomba meminta tambahan anggaran. Tambahan
anggaran diajukan karena APBN 2015 yang disusun pemerintahan mantan Presiden
SBY, dianggap belum memasukkan program kerja kementerian sesuai visi-misi
Presiden Joko Widodo. Dengan alasan adanya tambahan program kerja sesuai visi
misi pemerintahan Jokowi-JK,
sejumlah menteri menggelar rapat dengan mitra kerjanya masing-masing di DPR.
Termasuk Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan
Maharani Seperti menteri lainnya, Menteri Puan mengajukan tambahan anggaran.
Nilainya Rp 149 miliar. Tambahan dana ini disebut-sebut akan digunakan untuk
program revolusi mental yang digagas Jokowi. Menteri Puan mengajukan tambahan
anggaran untuk program koordinasi pengembangan kebijakan sebesar Rp 19 miliar,
dari pagu dalam APBN 2015 sebesar Rp 153,3 miliar, menjadi Rp 172,3 miliar (http://www.merdeka.com/uang/akal-akalan-menteri-puan-minta-dana-rp-149-m-buat-revolusi-mental.html).
Apakah
memang benar setiap perwujudan nilai dan filosofis kebangsaan selalu harus
menggunakan anggaran yang fantastis, model bernegara dengan selalu orientasi
pembiayaan maka sulit untuk mewujudkan revolusi mental, sebab jika di hulunya
saja mengoplos anggaran untuk kepentingan pribadi dan kepentingan partai
politik, maka akan membangun budaya yang mengakar dan terekspresi dalam masyarakat sebagaimana
lagu dangdut oplosan, ketika dinyanyikan semua lapisan masyarakat akan
berdendang-ria karena lagu oplosan tersebut. Jika mental pejabatnya selalu saja
mengoplos dana tambahan, atau hari-hari terakhir kita di suguhi dengan
menambahkan dana siluman maka wajarlah semua rakyat ikut-ikutan melakukan
berbagai upaya oplosan dalam semua aspek dan dimensi kehidupan masyarakat, jika
sudah demikian maka hanyalah isapan jempol jika kita akan berdikari, berdaulat
dan berkepribadian dalam menyongsong MEA dan ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan kita akan tetap saja dihantui tutupen
botolmu..tutupen oplosanmu emanen nyawamu.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar