“INVISIBLE HAND DALAM APBD NTT”
*Yoyarib Mau
Merujuk pada dua (2) aturan hukum
ini yakni Permendagri No. 37 Tahun 2014 dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, tentunya berbagai pihak terlibat
aktif dalam penyusunan bahkan adannya kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif hingga penetapan APBD Prov.
NTT 2015. Sehingga Fraksi Nasdem Prov. NTT mendorong perlunya dilakukan hak
angket agar memberikan penjelasan serta mempertanggung jawabkan uang rakyat.
Terkuaknnya anggaran Siluman dalam
APBD 2015, membuat masyarakat membedakan antara Prov. DKI Jakarta dan
Provinsi NTT. Jakarta diduga melakukan upaya siluman sebelum APBD
ditandatangani oleh Kemendagri sedangkan di NTT melakukan upaya APBD Siluman
setalah adanya, setelah hasil asistensi RAPBD NTT 2015 di Kementerian Dalam
Negeri. Informasi berkembang bahwa proyek siluman “diakomodir” atas kesepakatan
para pimpinan di DPRD NTT dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Fraksi
Nasdem memberikan apresiasi yang cukup bagi saudara Anggota DPRD NTT Veki Lerik dari Fraksi Gerindra
yang telah melakukan upaya hukum dengan melaporkan hal ini kepada penyidik
khusus Kajati NTT, akan tetapi Fraksi NasDem perlu
menegakan DPRD dalam kapasitas serta tugas dan fungsi legislatif, dalam
persoalan dugaan penyelewengan APBD 2015 melalui “hak angket” di lembaga
terhormat ini.
Dugaan
awal bahwa adanya 14 proyek "siluman" yang dimasukkan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) ke dalam anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD) setempat dengan total nilai mencapai Rp 147,2 miliar
lebih. Namun kemudian dugaan ini dibantah DPRD dan pemerintah setempat. Kepala
Dinas Pekerjaan Umum (PU) NTT Andre Koreh dalam sebuah kesempatan mengatakan
ada 14 proyek yang terdapat dalam APBD yang tidak masuk dalam perencanaan.
Sehingga Andre Koreh harus membuat perencanaan karena sudah termuat dalam APBD
NTT 2015 yang telah ditetapkan. Andre Koreh akan membuat perencanaan terhadap
14 proyek yang masuk dalam APBD itu. Walaupun belum ada perencanaan untuk
proyek-proyek ini, Akan tetapi Andre Koreh ketika memberikan keterangan pers
kepada wartawan, Senin, 13 April 2015.
Sedangkan
Sekretaris Daerah (Sekda) NTT Frans Salem mengatakan pihaknya mengalokasikan
anggaran ke DPRD untuk dibahas sebesar Rp 330 miliar lebih, belum termasuk Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam pembahasan dengan DPRD,
Komisi IV DPRD NTT mengajukan tambahan sebanyak 14 proyek dengan nilai Rp 147,2
miliar lebih, sehingga saat pembahasan di Badan Anggaran, Dinas PU mendapat
tambahan anggaran sebesar lebih dari Rp 21,7 miliar sehingga total APBD NTT
sebesar Rp 351,8 miliar lebih. Ini nilai yang kami konsultasikan ke Mendagri.
Sesuai arahan Mendagri, belanja kesehatan harus dinaikkan mencapai 10 persen
dan dana untuk peningkatan pelayanan publik, sehingga dinaikkan lagi sebesar Rp
47 miliar lebih. "Dana inilah yang ditetapkan dalam APBD.
Pernyataan Kepala Dinas PU yang menyatakan bahwa ada
14 paket proyek di Komisi IV yang tidak melalui perencanaan namun tiba-tiba
muncul di DPA, di tanggapi oleh Wakil Ketua DPRD Prov. NTT sudara Nelson Matara
mengatakan, untuk proyek jalan tidak perlu direncanakan. “Mana orang kerja
jalan pake perencanaan? Kan tidak mungkin,”Nelson yang mengatakan penggunaan
anggaran itu untuk tanggap bencana. Ini kan uang ini ada. Bagaimana dewan
(DPRD) ini urus hal-hal teknis. Kan tidak mungkin. Dewan itu, urusannya
menyangkut kebijakan anggaran. Setelah uang itu ada, kan urusannya pemerintah
dalam hal ini SKPD. Wakil Ketua DPRD NTT juga membantah jika ada bagi-bagi
jatah antara pimpinan DPRD dalam beberapa paket proyek tersebut. “Kalau
bagi-bagi pimpinan itu salah. Misalnya di Dapil II Kabupaten Kupang, di
Noelbaki ada bencana. Maka kita alokasikan anggaran Rp 2,8 miliar. Dan itu
salah satu contoh dari uang yang Rp 7 miliar itu. apakah ada perencanaan ?.
Pernyataan ini tanggapi oleh Sekretaris Daerah NTT
dilain kesempatan, Fransiskus Salem. Menurutnya, proses penetapan proyek-proyek
yang masuk dalam dana hasil saving atau rasionalisasi sudah sesuai prosedur.
Pasalnya, meski tidak dibahas di tingkat komisi, namun Banggar memiliki
kewenangan untuk mengakomodir proyek-proyek tersebut sepanjang sesuai dengan
saran Kemendagri. Ada usulan-usulan penambahan volume, jadi kita tidak bisa
tambah di luar KUA-PPAS. Tapi waktu itu betul ada satu tambahan untuk bencana
(Noelbaki, red). Kalau kita pakai tanggap darurat, itu tidak bisa menyelesaikan
masalah. Karena mereka ada usulan, maka kita sepakat untuk alokasikan dan tidak
di luar dari pembahasan,” jelas Frans Salem. Menyoal munculnya proyek-proyek
tersebut tanpa perencanaan, Frans Salem mengungkapkan, dalam setiap pembahasan
KUA-PPAS, setiap SKPD mengusulkan banyak sekali kegiatan. Sehingga
proyek-proyek tersebut menurut dia diakomodir dari usulan-usulan dari KUA-PPAS
yang belum disetujui saat dibahas di tingkat komisi.
Persoalan ini menghadirkan pertanyaan, tarik menarik
dalam APBD NTT ini, siapa yang
bertanggung jawab atas dugaan adanya APBD siluman ini ? serta, bagaiman penegak
hukum melakukan upaya penyelesaian persoalan ini ? Pemikiran Abdul Halim
dalam kajian Politik Lokalnya mengatakan bahwa untuk membaca permainan di
daerah cukuplah melihat teori modal, yang menggunakan bentuk-bentuk modal yang
digunakan oleh elite, aktor politik dan birokrasi. Menurutnya, melalui modal
material seorang elite ekonomi dapat menggendalikan jalannya pemerintahan
daerah, terlebih jika elite ekonomi dimodali oleh elite ekonomi dalam meraih
jabatan dan kekuasaan. Apalagi jika proses politik di daerah dibawah kendali “money politics” maka elite ekonomi sudah
pasti menjadi kekuatan yang menentukan dalam roda pemerintahan (Abdul
Halim, Politik Lokal, LP2B, Yogyakarta – 2014).
Demikian juga anggota DPRD terpilih, misalnya harus
memenuhi tuntutan pihak yang memodali dirinya, bahkan juga elite pemerintah
yang berhasil mengikat dan memperkuat aktor-aktor lokal, bahkan aktor-aktor
politik yang sebelumnya berseberangan dengan penguasa juga berhasil dijinakan
dengan strategi ini. Rekomendasi pemikiran diatas membantu kita untuk memahami
bahwa jika politik balas budi yang dijalankan hendaknya bukan APBD yang
dijadikan alat mainan untuk memenuhi politik balas budi tersebut. Pemikiran
diatas juga memberikan arah bagi cakrawala berpikir kita bahwa jika ada
penambahan agenda dan kebutuhan di luar kesepakatan maka ada terjadi
kesepakatan transaksional antara beberapa pihak, yang menyebabkan adanya
polemik APBD.
Dijalankannya hak angket dapat dijadikan “pisau bedah”
untuk melakuakan pembedahan terhadap persoalan dengan melibatkan semua pihak
yang berkompeten yakni aparat penegak hukum serta para para pakar ahli, pemanggilan saksi, dan analisa, untuk
menemukan titik persoalan dan siapa yang bertanggung jawab penuh secara
langsung tentang persoalan. Apabila tidak diwujudkan melalui hak angket akan
menjerumuskan lembaga DPRD bahwa seolah-olah lembaga terhormat ini melakukan
praktek siluman, padahal oknum yang melakukan, atau lembagan lain, atau pribadi
lain yang tidak tampak tetapi memiliki kekuasaan untuk mengendalikan APBD (invisible hand).
*Pemerhati Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar