“Membatu Akikan
Tolikara”
*Yoyarib Mau
Judul ini terkesan bombastis dan pembaca akan
berpikir bahwa tidak ada korelasi, namun penulis hendak menempatkan judul ini
sebagai dua hal yang berbeda tetapi memberikan makna yang mendalam soal
kehidupan berkebangsaan Indonesia. Demam batu akik menggejala hampir di
seantero nusantara dimana masyarakat
diasikan dengan aktivitas mengumpulkan dan memoles batu akik menjadi hiasan
yang disematkan sebagai mata cincin, kalung atau liontin. Dilain kesempatan yang berbeda bertepatan
dengan hari raya Idul Fitri 1 syawal
1436 Hijriyah dimana umat Islam merayakan kemenangan setelah berpuasa selama
sebulan, Indoenesia dikagetkan dengan peristiwa Tolikara yang mencederai akan
keharmonisan kehidupan beragama di tanah air.
Berbagai spekulasi yang diutarakan berbagai pihak
bahwa pemicu konflik di Tolikara diakibatkan oleh surat edaran bersifat
pemberitahuan yang diduga dilayangkan
oleh pihak Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli,
yang konon isinya melarang umat Islam merayakan Idul Fitri dengan menggunakan
pengeras suara, karena pada waktu yang bersamaan pihak GIDI sedang melakukan
kegiatan nasional/internasional berupa seminar dan KKR yang menghadirkan pemuda
gereja GIDI dalam jumlah yang besar sehingga pengeras suara akan mengganggu
kegiatan tersebut karena hanya berjarak 250 km.
Surat tersebar melalui media sosial ditujukan kepada
Umat Islam Se-Kabupaten Tolikara namun tidak tertera secara jelas tanggal
pembuatan surat ini namun tercetak tembusan surat ini ke berbagai pihak
seperti; Bupati Kabupaten Tolikara, Ketua DPRD Kabupaten Tolikara, Polres
Tolikara, dan Dandramil Tolikara. Kemudian pihak GIDI memberikan pernyataan
bahwa adanya penyebaran surat kaleng atau palsu yang diduga dilakukan oleh aparat
kemanan. Pihak GIDI menegaskan bahwa memang ada surat yang dilayangkan
pemuda/gereja dua minggu sebelum kegiatan dilangsungkan dimana tidak
menggunakan pengeras suara (toa) karena jarak hanya 250 meter dengan tempat
dilaksanakannya seminar nasional tersebut.
Pada hari raya Idul Fitri terjadilah peristiwa yang
menelan korban jiwa dan harta dan bahkan mencoreng kehidupan beragama di tanah
air dengan dua informasi bahwa penyerangan dilakukan oleh pemuda/gereja GIDI
Tolikara terhadap umat yang sedang menjalankan sholat Idul Fitri sehingga aparat melakukan pelepasan tembakan
timah panas untuk menghalau massa. Sedangkan dilain pihak versi pemuda gereja
GIDI bahwa mereka menuju ke tempat dilaksanakannya sholat ied untuk berdiskusi
soal pengeras suara agar kegiatan yang mereka lakukan juga dapat berjalan dengan baik pula namun
mendadak aparat keamanan melepaskan tembakan timah panas sehingga menyebabkan
adanya 1 korban jiwa anak berusia 15 tahun bernama Endi Wanimbo, informasi yang
berkembang bahwa tembakan yang membabi buta tersebut juga melukai 11 orang
lainnya, hal ini yang memicu amukan dan kemarahan masyarakat dengan membakar
sejumlah kios yang kemudian merambat musholla yang berdekatan dengan kios-kios
tersebut turut terbakar (walau menurut versi ini musholla bukan target utama
tetapi ikut terbakar).
Pandangan diatas
hendak menghadikan informasi bahwa peristiwa Tolikara hadir berita dari
berbagai sumber dengan beragam versi yang masih membutuhkan verifikasi melalui
investigasi yang mendalam oleh pihak yang netral. Menarik dari peristiwa
Tolikara ini adalah adanya kelompok agama sebagai alasan atau isu yang menarik
dalam konflik keagaaman tetapi ada pihak ketiga yakni aparat kemanan yang juga
terlibat aktif. Sehingga tulisan ini menghadirkan pertanyaan, dimana peran dan
fungsi aparat keamanan (TNI/Polri) sebagai alat negara dalam menciptakan
keamanan dan memberikan perdamaian bagi semua pihak ? atau sudah menjadi khatam
budaya represif aparat keamanan sebagai alat penyelesaian persoalan bagi Papua
?
Riri Satria menuliskan bahwa ada 4 empat doktrin
militer yang ada di dunia yakni; 1. Doktrin
Pre-emptif yakni menghancurkan musuh di tanah musuh itu sendiri, sebelum
musuh itu menjadi kuat dan menyerang dan menyerang kita (menhancurkan potensi
ancaman sebelum ancaman itu sempat terjadi. 2. Doktrin Preventif yakni menghancurkan musuh dalam perjalanannya
menuju wilayah kita, doktrin preventif sifatnya menghancurkan gerakan agresi
musuh di perjalanan sebelum mencapai tanah wilayah kita. 3. Doktrin defensif
lebih pada menghancurkan musuh begitu memasuki wilayah kita. doktrin ini
melibatkan masyarakat sipil dalam peperangan jika diperlukan. Sifatnya lebih
pada mempertahankan diri dari serangan musuh dan tidak ada niat untuk melakukan tindakan
agresif ke wilayah orang lain. 4. Doktrin Gerilya lebih menarik karena
menghancurkan musuh setelah musuh berada di wilayah kita, doktrin ini lebih
pada kekuatan infantri, namun minim alutsista. (https://strategi4management.wordpress.com)
Bisnis Militer
Penulisan ini lebih menyoroti keberaadaan aparat
militer di Papua yang selang beberapa waktu lalu terjadi peristiwa di Kabupaten
Paniai dimana jatuhnya korban sipil dari warga Papua yang diakibatkan oleh timah panas yang
dihamburkan oleh aparat keamanan, tentunya adannya prosedural baku sebagai
protap bagi militer dalam menggunakan amunisi. Dalam kasus di Tolikara ini
sepertinya sikap militer lebih mengutamakan pendekatan militer dengan doktrin pre-emptif
dan preventif yakni menjadikan warga Papua sebagai warga yang hendak
dimusnahkan sehingga selalu saja pilihan timah panas yang dimuntahkan untuk
melumpuhkan mereka.
Papua dalam bingkai NKRI yang kompleks persoalan
dari persoalan hendak memerdekakan diri dari NKRI yang di pelopori oleh perjuangan OPM, persoalan keberadaan freeport
dan bagi hasil, persoalan HAM yang tidak pernah usai. tiga persoalan utama di
wilayah Papua ini mendorong aparat keamanan turut mengambil peran dimana
sebagai alat negara untuk menciptakan keamanan dan menjaga kedaulatan NKRI,
tetapi juga mirip paradigma Rally Paris Dakkar dimana ada peran ganda yakni ada
adu persaingan dalam pertandingan tetapi juga ada peran menolong pereli yang
lain yang mengalami kecelakaan. Dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak
bersalah terhadap keberadaan aparat keamanan kita di wilayah Papua adalah berperan menjaga
keamanan tetapi bisa juga menciptakan ketidakamanan di Papua, sehingga ada
kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) bagi Papua yang didukung dengan
kebijakan anggaran sehingga ada keuntungan ekonomis bagi petinggi aparat
kemanan. Teror keamananpun sangat berpeluang tercipta sehingga perusahaan
sekelas freeport dapat mengalokasikan anggaran yang cukup besar bagi aparat
keamanan yang bertugas di wilayah Papua.
Kebangsaan dan Nasionalisme melalui sosialisasi
kebangsaan soal Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sepertinya
hanyalah proyek pepesan kosong yang dilakukan oleh MPR-RI, karena isu konflik
agama masih terjadi sebagai bukti bahwa sosialisasi ini belum menghasilkan efek
postif, dalam pembukaan UUD 1945 yang didasari oleh Pancasila dengan tiga nilai
yang sangat mendasar yakni kemerdekaan, kemanusiaan dan keadilan. Papua
(Tolikara) bukan berarti hendak diberikan kemerdekaan dengan melepaskan diri
dari NKRI tetapi pendekatan kepada Papua (Tolikara) tidak harus dengan
penjajahan timah panas, tetapi bagaimana peran aparat kemananan menanamkan
nilai kemanusiaan dan keadilan bagi masyarakat dengan berada bersama dalam keseharian
masyarakat, dengan meniru euforio batu akik, selalu membicarakan batu akik,
memoles batu akik dalam kesehariannya.
Pemerhati Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar