“DISOBEDIENCE MK”
*Yoyarib Mau
Keberadaan
Hukum harus selalu harus memberikan jawaban bagi kebutuhan terkini masyarakat,
peran ini kemudian memberikan ruang bagi amandemen UUD 1945, perubahan itu
dilakukan juga dalam kekuasaan kehakiman, sebelumnya kekuasaan kehakiman hanya
dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi kemudian kekuasaan kehakiman diperluas
dengan adannya Mahkamah Konstitusi serta membentuk Komisi Yudisial.
Mahkamah
Konstitusi dalam pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum {Pasal 24C (1)}, wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil
Presiden menurut UUD {Pasal 24C (2)}.
Wewenang
yang dimiliki MK ini menjadi kekuatan
hukum yang final dan tidak bisa diganggu
gugat. Hanya saja dalam beberapa waktu belakangan ini ada beberapa keputusan
yang dilakukan oleh MK menghadirkan kontroversi, seperti pengajuan “judicial review” terhadap pelarangan
politik dinasti dalam UU 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r; gugatan yang dikabulkan
MK, menurut banyak pihak MK tidak mendukung cita-cita politik untuk meredam
politik dinasti, justru MK membuka kemungkinan munculnya pemerintahan berbasis
dinasti. Menurut MK aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD
1945.
Keputusan
MK yang dianggap juga kontroversial ketika MK mengabulkan sebagian permohonan
uji materi soal calon tunggal dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dimana MK setuju daerah dengan calon tunggal
tetap menggelar pemilihan. Carannya dengan memberi kesempatan kepada pemilih di
daerah itu untuk setuju atau tidak setuju terhadap satu pasangan calon
tersebut. Dengan pertimbangan hakim konstitusi bahwa UU Pilkada yang
mengharuskan adannya lebih dari satu pasangan calon berpotensi mengancam
kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Hakim menegaskan bahwa hak untuk
dipilih dan memilih tidak boleh tersandera aturan. Tafsir hukum yang dilakukan
oleh hakim konstitusi memenangkan sebagian permohonan pemohon dan menolak
sebagian permohonan pemohon agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak
kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan.
Kondisi
ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apakah
keputusan MK ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi atau justru sebaliknya MK
melakukan pembangkangan terhadap demokrasi ? Nuri Suseno mengatakan bahwa demokrasi dan
representasi adalah dua hal yang berbeda, keduannya tidak lahir dari satu
tradisi atau dalam satu periode yang sama. Demokrasi berasal dari tradisi politik
negara kota di masa Yunani kuno, yang secara harfiah demokrasi diartikan
sebagai bentuk pemerintahan (oleh, dari, dan untuk) rakyat. Representasi berasal
dari tradisi monarki di Inggris dari akhir abad pertengahan yang mewajibkan
wilayah-wilayah di bawah di bawah kekuasaan raja untuk memberikan upeti
terhadap raja sebagai imbalan perlindungan militer yang diberikan. Para
Pangeran yang ditempatkan sebagai penguasa di wilayah yang ditaklukan raja
berperan sebagai wakil raja dan kerajaan di wilayah tersebut. Demokrasi Yunani
adalah demokrasi partisipatori dan tidak berhubungan dengan representasi,
sedangkan representasi berasal dari zaman pertengahan, ketika ia dipaksakan
sebagai sebuah kewajiban oleh monarki ((Nuri Suseno – Puskapol – 2013).
Kehadiran
dua pandangan ini sangatlah berbeda karena hadir dari latar belakang yang
berbeda, namun kemudian dua pandangan ini menyatu dalam perkawinan menjadi
demokrasi representasi, dimana bentuk pemerintahan yang memperkenankan rakyat
untuk memerintah dirinya sendiri, rakyat yang menjalankan kekuasaan atau
memerintah adalah hasil representasi dari rakyat melalui proses pemilihan
(election). Melihat pada hasil keputusan MK agar pilkada dengan calon tunggal
tetap dilakukan, sepertinya hanya menjalankan representasi dan mengabaikan
demokrasi, dengan argumentasi bahwa kita menjalankn demokrasi tapi lebih pada “pseudo demokrasi’ dimana menjalankan
prosedural berdemokrasi tetapi mengabaikan substansi berdemokrasi.
Hasil
keputusan MK memang menjadi kekuatan hukum mutlak, namun harus disadari bahwa
tanpa kajian ilmiah/akademik yang mendasar maka keputusan itu hambar karena
hanya menggiring rakyat untuk melakukan “selection” yang dibungkus dengan
pilkada sehingga terlihat demokratis, mengapa dikatakan seleksi karena memberikan
ruang bagi kekuasaan yang berkuasa untuk hanya menghadirkan pilihan calon tunggal
yang merupakan representasi tunggal sebagaimana yang dilakukan oleh monarki
Inggris pada abad pertengahan. Mengabaikan akan esensi demokrasi dimana
kekuasaan yang titik tumpunya ada pada rakyat, dimana ada repsentasi lain yang
diakomodir dalam pemilu sehingga menjawab akan perkawinan antara demokrasi dan representatif
menjadi demokrasi representatif.
Tafsiran
Hakim Konstitusi bahwa tidak dilakukannya pilkada dengan calon tunggal akan
mengancam akan kedaulatan rakyat dan hak rakyat untuk memilih, sebenarnya telah
mengabaikan akan prinsip demokrasi yang kita jalankan yakni demokrasi
perwakilan, dimana hak rakyat dan kedaulatan rakyat yang dimaksudkan Hakim
Konstitusi ini telah diwakilkan melalui partai politik, sehingga proses
demokrasi yang kita jalankan melalui pemilu guna mendapatkan representasi
demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan tidak harus mengabaikan representasi
lain yang harus diusung oleh partai politik lainnya.
Keputusan
MK lebih menghadirkan perilaku demokrasi manipulatif yang menggunakan UUD 1945 sebagai
kekuatan hukum mutlak, untuk melakukan taksir dengan membunuh substansi demokrasi.
Menjalankan representasi dengan mengabaikan demokrasi, karena yang terlihat hanya
mengutamakan elitisme kekuatan hukum untuk melegalkan institusi politik demi
menjalankan pemilihan yang diberi model baru yakni “referendum”. Hakim
Konstitusi lupa akan kajian akademis bahwa keabsahan demokrasi representasi itu
ada pada rakyat melalui pemilihan, dimana memilih mereka yang merupakan representasi
rakyat yang berkompeten untuk berkompetisi dalam pemilu/pilkada.
Representasi
demokrasi yang diwakilkan melaui partai politk, seyogiannya obyek yang dipilih
dalam hal ini pasangan orang/pribadi, namun hakim konstitusi mengabaikan obyek
pemilu yakni pasangan orang, dengan memberikan hanya opsi kalimat “ya atau
tidak”. Untuk menghindari kelemahan keputusan MK yang bisa menyebabkan senjata
makan tuan, maka hakim konstitusi mengabaikan sebagian permohonan pemohon yakni
agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah
tetap bisa menggelar pemilihan. Hakim konstitusi dalam tafsirannya yang
kemudian memutuskan keputusan MK untuk dijalankannya pilkada calon tunggal,
lebih pada melakukan mobilisasi politik dengan menjalankan model representasi monarki
Inggris.
Demokrasi
Representasi yang juga dijalankan Indonesia harus menjaga agar tidak kehilangan
keanekaragaman representasi/pilihan, dimana harus menjaga adannya perbedaan pilihan dalam hal ini obyek pilihan
yakni orang/pasangan orang dan partai politik dan bukan opsi ya atau tidak. Pilkada/pemilu secara demokratis harus mampu
menghubungkan konstituen (hak dan kedaulatan suaranya) yang menjadi dasar
tafsiran hakim konstitusi untuk mengambil keputusan, namun mengabaikan representasi
demokrasi (wakil rakyat) yang dibahasakan dalam topik ini yakni pembangkangan
terhadap demokrasi, karena mengabaikan arena demokrasi yang terbuka dimana pemilu/pilkada tidak hanya sekedar
rangkaian peristiwa berkala dimana kehendak berdaulat mendapatkan otoritas,
tetapi bagaimana menciptakan suasana pengaruh kekuasaan yang tercipta untuk
memilih dan menilai oran/pasangan orang atau partai politik yang
merepresentasikan berbagai kepentingan.
*Pemerhati Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di media Timor Express - NTT)
(tulisan ini telah dipublikasikan di media Timor Express - NTT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar