Senin, 12 Oktober 2015

"DISOBEDIENCE MK"

“DISOBEDIENCE MK”
*Yoyarib Mau

Keberadaan Hukum harus selalu harus memberikan jawaban bagi kebutuhan terkini masyarakat, peran ini kemudian memberikan ruang bagi amandemen UUD 1945, perubahan itu dilakukan juga dalam kekuasaan kehakiman, sebelumnya kekuasaan kehakiman hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi kemudian kekuasaan kehakiman diperluas dengan adannya Mahkamah Konstitusi serta membentuk Komisi Yudisial.

Mahkamah Konstitusi dalam pasal 24C UUD 1945, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum {Pasal 24C (1)}, wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD {Pasal 24C (2)}.

Wewenang yang  dimiliki MK ini menjadi kekuatan hukum yang  final dan tidak bisa diganggu gugat. Hanya saja dalam beberapa waktu belakangan ini ada beberapa keputusan yang dilakukan oleh MK menghadirkan kontroversi, seperti pengajuan “judicial review” terhadap pelarangan politik dinasti dalam UU 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r; gugatan yang dikabulkan MK, menurut banyak pihak MK tidak mendukung cita-cita politik untuk meredam politik dinasti, justru MK membuka kemungkinan munculnya pemerintahan berbasis dinasti. Menurut MK aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.

Keputusan MK yang dianggap juga kontroversial ketika MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi soal calon tunggal dalam UU No 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, dimana MK setuju daerah dengan calon tunggal tetap menggelar pemilihan. Carannya dengan memberi kesempatan kepada pemilih di daerah itu untuk setuju atau tidak setuju terhadap satu pasangan calon tersebut. Dengan pertimbangan hakim konstitusi bahwa UU Pilkada yang mengharuskan adannya lebih dari satu pasangan calon berpotensi mengancam kedaulatan dan hak rakyat untuk memilih. Hakim menegaskan bahwa hak untuk dipilih dan memilih tidak boleh tersandera aturan. Tafsir hukum yang dilakukan oleh hakim konstitusi memenangkan sebagian permohonan pemohon dan menolak sebagian permohonan pemohon agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan.

Kondisi ini kemudian menghadirkan pertanyaan, apakah keputusan MK ini sejalan dengan nilai-nilai demokrasi atau justru sebaliknya MK melakukan pembangkangan terhadap demokrasi ?  Nuri Suseno mengatakan bahwa demokrasi dan representasi adalah dua hal yang berbeda, keduannya tidak lahir dari satu tradisi atau dalam satu periode yang sama. Demokrasi berasal dari tradisi politik negara kota di masa Yunani kuno, yang secara harfiah demokrasi diartikan sebagai bentuk pemerintahan (oleh, dari, dan untuk) rakyat. Representasi berasal dari tradisi monarki di Inggris dari akhir abad pertengahan yang mewajibkan wilayah-wilayah di bawah di bawah kekuasaan raja untuk memberikan upeti terhadap raja sebagai imbalan perlindungan militer yang diberikan. Para Pangeran yang ditempatkan sebagai penguasa di wilayah yang ditaklukan raja berperan sebagai wakil raja dan kerajaan di wilayah tersebut. Demokrasi Yunani adalah demokrasi partisipatori dan tidak berhubungan dengan representasi, sedangkan representasi berasal dari zaman pertengahan, ketika ia dipaksakan sebagai sebuah kewajiban oleh monarki ((Nuri Suseno – Puskapol – 2013).

Kehadiran dua pandangan ini sangatlah berbeda karena hadir dari latar belakang yang berbeda, namun kemudian dua pandangan ini menyatu dalam perkawinan menjadi demokrasi representasi, dimana bentuk pemerintahan yang memperkenankan rakyat untuk memerintah dirinya sendiri, rakyat yang menjalankan kekuasaan atau memerintah adalah hasil representasi dari rakyat melalui proses pemilihan (election). Melihat pada hasil keputusan MK agar pilkada dengan calon tunggal tetap dilakukan, sepertinya hanya menjalankan representasi dan mengabaikan demokrasi, dengan argumentasi bahwa kita menjalankn demokrasi tapi lebih pada “pseudo demokrasi’ dimana menjalankan prosedural berdemokrasi tetapi mengabaikan substansi berdemokrasi.

Hasil keputusan MK memang menjadi kekuatan hukum mutlak, namun harus disadari bahwa tanpa kajian ilmiah/akademik yang mendasar maka keputusan itu hambar karena hanya menggiring rakyat untuk melakukan “selection” yang dibungkus dengan pilkada sehingga terlihat demokratis, mengapa dikatakan seleksi karena memberikan ruang bagi kekuasaan yang berkuasa untuk hanya menghadirkan pilihan calon tunggal yang merupakan representasi tunggal sebagaimana yang dilakukan oleh monarki Inggris pada abad pertengahan. Mengabaikan akan esensi demokrasi dimana kekuasaan yang titik tumpunya ada pada rakyat, dimana ada repsentasi lain yang diakomodir dalam pemilu sehingga menjawab akan perkawinan antara demokrasi dan representatif menjadi demokrasi representatif.

Tafsiran Hakim Konstitusi bahwa tidak dilakukannya pilkada dengan calon tunggal akan mengancam akan kedaulatan rakyat dan hak rakyat untuk memilih, sebenarnya telah mengabaikan akan prinsip demokrasi yang kita jalankan yakni demokrasi perwakilan, dimana hak rakyat dan kedaulatan rakyat yang dimaksudkan Hakim Konstitusi ini telah diwakilkan melalui partai politik, sehingga proses demokrasi yang kita jalankan melalui pemilu guna mendapatkan representasi demokrasi, dalam menjalankan pemerintahan tidak harus mengabaikan representasi lain yang harus diusung oleh partai politik lainnya.

Keputusan MK lebih menghadirkan perilaku demokrasi manipulatif yang menggunakan UUD 1945 sebagai kekuatan hukum mutlak, untuk melakukan taksir dengan membunuh substansi demokrasi. Menjalankan representasi dengan mengabaikan demokrasi, karena yang terlihat hanya mengutamakan elitisme kekuatan hukum untuk melegalkan institusi politik demi menjalankan pemilihan yang diberi model baru yakni “referendum”. Hakim Konstitusi lupa akan kajian akademis bahwa keabsahan demokrasi representasi itu ada pada rakyat melalui pemilihan, dimana memilih mereka yang merupakan representasi rakyat yang berkompeten untuk berkompetisi dalam pemilu/pilkada.

Representasi demokrasi yang diwakilkan melaui partai politk, seyogiannya obyek yang dipilih dalam hal ini pasangan orang/pribadi, namun hakim konstitusi mengabaikan obyek pemilu yakni pasangan orang, dengan memberikan hanya opsi kalimat “ya atau tidak”. Untuk menghindari kelemahan keputusan MK yang bisa menyebabkan senjata makan tuan, maka hakim konstitusi mengabaikan sebagian permohonan pemohon yakni agar pasangan calon tunggal dilawankan dengan kotak kosong sehingga daerah tetap bisa menggelar pemilihan. Hakim konstitusi dalam tafsirannya yang kemudian memutuskan keputusan MK untuk dijalankannya pilkada calon tunggal, lebih pada melakukan mobilisasi politik dengan menjalankan model representasi monarki Inggris.

Demokrasi Representasi yang juga dijalankan Indonesia harus menjaga agar tidak kehilangan keanekaragaman representasi/pilihan, dimana harus menjaga adannya  perbedaan pilihan dalam hal ini obyek pilihan yakni orang/pasangan orang dan partai politik dan bukan opsi ya atau tidak. Pilkada/pemilu secara demokratis harus mampu menghubungkan konstituen (hak dan kedaulatan suaranya) yang menjadi dasar tafsiran hakim konstitusi untuk mengambil keputusan, namun mengabaikan representasi demokrasi (wakil rakyat) yang dibahasakan dalam topik ini yakni pembangkangan terhadap demokrasi, karena mengabaikan arena demokrasi yang terbuka dimana pemilu/pilkada tidak hanya sekedar rangkaian peristiwa berkala dimana kehendak berdaulat mendapatkan otoritas, tetapi bagaimana menciptakan suasana pengaruh kekuasaan yang tercipta untuk memilih dan menilai oran/pasangan orang atau partai politik yang merepresentasikan berbagai kepentingan.

*Pemerhati Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di media Timor Express - NTT)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar