“GILIRAN SINGKIL JOKOWI JUGA IJIN”
*Yoyarib
Mau
Konflik
kekerasan antar umat beragama di tanah air selalu terulang dengan motif dan
pola yang sama, dilakukan secara masif dan terencana, penyelesaian persoalannya
tidak hanya temporal yakni saat terjadi pengungsian, akan tetapi pasca terjadi
kerusuhan harus dilakukan penanganan hingga kemudian korban kekerasan yang distigma
dengan sebutan pengungsi kembali hidup normal ditengah-tengah masyarakat.
Kenyataannya para korban ditelantarkan untuk mencari jalan selamat sendiri
untuk kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Warisan
kelam yang tinggalkan sebagai catatan buruk hidup berbangsa dan bernegara pasca
kekerasan atas nama agama, hal ini tanpa penanganan yang tuntas hingga mengembalikan
korban dalam kehidupan kesehariannya seperti; beberapa tahun lalu tragedi
berdarah yang terjadi atas Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik – Banten yang menelan 4
orang korban pada 06 Februari 2011, hal lain yang menghadirkan kekecewaan bahwa
ada korban jiwa yang tewas tetapi vonis hukuman bagi korban kekerasan yang
sangat ringan yakni 3 – 6 bulan, dibandingkan dengan jeratan hukuman bagi
korban Ahmadiya yakni hanya 6 bulan penjara.
Persoalan
lain yang tidak dituntaskan bagi korban Jemaah Ahmadiyah yang mengungsi
meninggalkan Cikeusik, hingga 4 tahun berlalu tidak difasilitasi bahkan dijamin
untuk kembali hidup di rumah dan lahan tanah garapan mereka. Bahkan tanah hak
milik mereka telah digarap oleh jawara dan orang Cikeusik dengan alibi bahwa
bukan hak milik mereka lagi, bahkan
untuk mendapatkan kartu identitas baru di tempat baru saja sulit, jika hendak
mengurus kartu identitas baru, harus memiliki surat rekomendasi atau surat
keterangan dari daerah asal Cikeusik (http://pindai.org/2015/02/06/berkisalah/).
Pada
tempat yang berbeda dengan konten yang sama yakni korban kekerasan atas nama
agama, juga dialami oleh Komunitas Syiah di Kab. Sampang – Jawa Timur, diserang
dan digusur paksa dari rumah mereka oleh kelompok massa anti-Syiah, Korban
kekerasan Komunitas Syiah yang berjumlah 168 orang dewasa dan 51 anak-anak ini
kemudian diungsikan dari area konflik ke GOR Sampang selama 10 bulan, kemudian
jemaah Syiah dipindahkan ke ke Rusun Jemundo
Sidoarjo, sempat melakukan aksi
dan perwakilan mereka di terima oleh SBY serta menjanjikan angin surga
bahwa mereka akan dipulangkan sebelum lebaran 2013 atau sebelum akhir masa
jabatannya. Kemudian pada tahun 2014 Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin
berdialog dengan komunitas ini, tapi tidak menjanjikan apa-apa, beliau hanya
optimis bahwa bisa menyelesaikan persoalan ini karena keinginan komunitas Syiah
untuk kembali ke kampung (http://daerah.sindonews.com/read/1037242/23/3-tahun-komunitas-syiah-sampang-terusir-dari-kampung-halaman-1440567114).
Korban
kekerasan atas nama agama, tidak saja dialami oleh komunitas jemaah tetapi juga
dialami warga gereja yang beragama Kristen yang mana gedung ibadah ditutup
secara paksa di beberapa tempat seperti
GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi oleh warga masyarakat yang berbeda agama,
hingga sampai saat ini belum mendapatkan tempat ibadah yang defenitif untuk
beribadah sehingga pilihan beribadah dilakukan di Taman Monas persis depan
Istana Presiden. Keadaan demikian jika tidak dilakukan penanganan dan
penyelesaaian akan berdampak bagi warga gereja yang menjadi korban kekerasan
atas nama agama di Singkil – Aceh, yang menewaskan 1 orang, korban luka dan pengungsi
yang mengung ke wilayah Sumatera Utara.
Denyut
hati yang terus menghantui dengan pertanyaan, apakah proses penyelesaian konflik kekerasan antar umat beragama,
dimana pemerintah selalu mengambil posisi penyelesaian persoalan dengan
pertimbangan komposisi berapa jumlah korban dan berapa jumlah pelaku ? UUD
1945 mengamanatkan dalam Pasal 27 ayat 1 dan 2; (ayat 1, segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinnya), (ayat 2, tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan). Pasal 29 (ayat 2, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamannya dan
kepercayaannya itu). Hak Asasi Manusia juga diatur dalam UUD 1945 Pasal
28A,28B,28E, 28J, 28I,28H dan 28G. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (ICCPR) dalam Pasal 18, Pasal 20, Pasal 26-27.
Kenyataan yang dialami oleh sejumlah
peristiwa yang telah diuraikan diatas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
dengan tema besar kekerasan atas nama agama menjadi hal dianggap sederhana
bahkan pemerintah menganggap hal biasa,
bisa dengan mudah memohon ijin tidak hadir. Padahal keberadaan Jokowi-JK adalah
memberikan jaminan dan perwujudan dari konstitusi tertinggi sebagai hukum dasar
tertulis dan tertinggi dari seluruh aktivitas bernegara. Persoalan pengungsi
yang terbaikan dan tidak terselesaikan akibat dari kekerasan atas nama agama,
seharusnya menjadi pelajaran penting bagi aparat keamanan yang harus tegas
dalam memberikan jaminan hukum kepada setiap warga negara. Menjadi persoalan
bagi bangsa kita selalu saja akan mencurahkan perhatian dan penanganan akan
persoalan keagamaan melihat pada berapa besar jumlah orang yang menjadi korban
atau akan menjadi korban di wilayah tersebut.
Pemerintah melakukan standar ganda
dalam menegakan konstitusi bangsa, lemah dalam menegakan konstitusi negara
apalagi dituntut untuk mewujudkan HAM yang merupakan kovenan internasional. Hal
ini terlihat dari pernyataan Kapolri bahwa tragedi Singkil terjadi karena
aparat keamanan kalah jumlah dari para pelaku kekerasan. Alasan yang menunjukan
aparat pemerintah kita sebagai aparatus negara selalu menyederhanakan persoalan
karena yang menjadi korban adalah kelompok dengan jumlah yang dapat dihitung
dengan jari. Negara selalu hadir mengakui setiap warga negara itu sebagai
penduduk, apabila warga negara mampu memberikan garansi kepada aparat, untuk
mendapatkan jaminan hukum dengan sejumlah imbalan dalam bentuk keuntungan
ekonomis dalam angka rupiah.
Imbalan juga dapat berupa ongkos pencitraan,
aparat penegak hukum sebagai kaki tangan Jokowi-JK hanya akan melakukan
penegakan konstitusi dengan melihat momentum, jika institusi mereka dalam
keadaan terpuruk atau terpojok maka mereka akan hadir dengan kekuatan penuh
untuk memanfaatkan momentum dalam rangka “ongkos service” mengembalikan
kepercayaan rakyat. Perilaku ini juga berbanding lurus dengan kebijakan
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota yang bertanggungjawab
atas wilayah konflik, korban hanya akan dibantu untuk mendapatkan hak-haknya dengan
sebuah kesepakatan “komoditas politik”,
dimana komunitas yang terancam hak konstitusinya harus berpihak atau
memberikan dukungan suarannya. Menjadi malapetaka bagi konstitusi negara
apabila para pelaku adalah komunitas terbesar dalam komposisi jumlah, sekaligus
menjadi pendulang suara dari penguasa maka anggaplah korban kekerasan atas nama
agama harus rela menerima hak konstitusinya dibajak dengan menerima pil pahit bahwa ini adalah
takdir.
*Pemerhati
Sosial - Politik
(tulisan ini telah dipublikasikan di Media Victory News NTT)
(tulisan ini telah dipublikasikan di Media Victory News NTT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar