Sabtu, 25 Juli 2009

Pemilu President Cacat Hukum

“PEMILU PRESIDENT CACAT HUKUM”
*Yoyarib Mau
Hasil rekapitulasi suara Pemilu President yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini Sabtu, 25 Juli 2008, menetapkan hasil suara dari jumlah suara 127.983.655, Suara Sah 121.504, 481, dan Suara tidak sah 6.479. 179, Perolehan Suara Pasangan Calon President peserta Pemilu yakni, Nomor urut 1 : Megawati Soekarno Putra – Prabowo Subianto memperoleh Suara sebanyak 32.548.105 (26.79%), Nomor urut 2 : Susilo Bambang Yudoyono – Boediono memperoleh 73.874.562 (60.80%) sedangkan peserta dengan Nomor Urut 3 : Jusuf Kalla – Wiranto mampu memperoleh dukungan sebesar 15. 081. 814. (Kompas, 24 Juli 2009).
Dengan demikian KPU mengumumkan secara Nasional hasil keputusan rapat KPU secara sah pada 25 Juli 2008 ini, namun hasil keputusan ini belum menetapkan siapa pemenang pemilu president, karena masih menunggu gugatan yang akan dilayangkan oleh para pasangan kandidat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari proses yang dilakukan KPU memperlihatkan ke Publik atau masyarakat luas bahwa kinerja yang telah dilakukan sangat procedural dan sistematis, walaupun di lain sisi banyak menimbulkan polemic dan noda hitam, bahkan gugatan terhadap KPU yang diajukan ke MK mengenai DPT yang melanggar Undang – Undang (UU) karena diubah sebanyak tiga kali oleh KPU karena di nilai melanggar UU No. 24 Tahun 2008 tentang Pemilu President dan Wakil President. Dan yang tidak etis adalah Surat Keputusan (SK) KPU tentang DPT dilakukan dua hari menjelang pemungutan suara.
UU Pemilu President dan Wakil Presiden mensyaratkat bahwa partai politik yang dapat mengusung pasangan Capres-Cawapres yang akan turut serta sebagai peserta pemilu harus mencapai perolehan suara sebanyak 20% atau gabungan partai politik yang mencapai 20% perolehan suara. Partai Golkar berdasarkan keputusan KPU tanggal 09 Mei 2009 mencapai perolehan suara sebanyak 19,29% sedangkan Partai Hanura 2,68% sehingga jumlah suara sebanyak 21,91% sehingga Koalisi ini dapat mengusung JK-Wiranto, sedangkan PDIP memperoleh 16,61% sedangkan Partai Gerindra memperoleh 5,36% sehingga koalisi ini mencapai 21,97% dan mengusung Mega-Pro, sedangkan Partai Democrat sebagai pemenang pemilu dengan perolehan suara mencapai lebih dari 20% suara tanpa koalisi pun dengan sendirinya bisa mengajukan calon.
Syarat telah dipenuhi bahkan proses pemilu telah dilalui dan KPU telah mengumumkan hasil pemilu president, menjadi permasalahan baru adalah ketika KPU menyepakati untuk menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan Kursi Tahap II dan kembali mengacu pada Pasal 205 Ayat 4 UU No. 10 Tahun 2008 dengan demikian akan berpengaruh pada jumlah perolehan suara atau Kursi di DPR RI, Jumlah suara yang penulis rilis dari Kompas edisi Sabtu 25 Juli 2009; Golkar hanya memperoleh 14,45% sedangkan Hanura 3,77% sehingga suara koalisi pengusung JK-Wiranto adalah 18,22%, PDIP 14,03% sedangkan Gerindra 4,46% suara koalisi pengusung Mega-Pro sebesar 19,49%. Dengan demikian menimbulkan pertanyaan yang sangat menggemparkan publik benarkah bahwa pemilu presiden yang telah berlalu cacat hukum?
Dari hasil perolehan suara pasca menjalankan putusan MA atas pembatalan penetapan kursi tahap II oleh KPU maka pasangan JK-Wiranto dan Mega-Pro tidak memenuhi syarat pencalonan Capres-Cawapres sesuai dengan UU No 24 tahun 2008 yang mensyaratkan syarat 20%, dan bahwa peserta pemilu president sebenarnya calon tunggal yakni SBY-Boediono dan dua calon lain tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilu, namun apa mau dikata “Nasi telah menjadi Bubur” pemilu telah usai dan hasil rekapitulasi telah diumumkan, Jika telah diumumkan haruskah masyarakat Indonesia pasrah dan menerima kenyataan ini tanpa harus mengoreksi kesalahan yang sangat fatal dan mencoreng wajah hukum Indonesia, KPU membuat aturan hukum Indonesia bersifat fleksibel berdasarkan tuntutan dan tekanan kekuasaan , hal ini sesuai dengan pemikiran Maurice Duverger bahwa “kekuasaan politik seperti Dewa Janus yang bermuka dua, Penguasa politik dapat menimbulkan dua hal yakni konflik dan integrasi, dua wajah kekuasaan ini serentak penindas dan pelindung, penyalahguna dan pencipta ketertiban” (Maswardi Rauf – Konsesnsus dan Konflik Politik Dirjen Pendidikan Tinggi - 2001).
Melihat hasil putusan MA dan peran KPU dalam menjalankan putusan ini ini merupakan fenomenal, KPU telah memaksakan pelaksanaan pemilu president dalam kekosongan hukum karena KPU dalam UU No.24 tahun 2008 tidak mengatur tentang calon tunggal, dan seyogianyan pemilu president yang telah berlalu sebenarnya perlu menanti sehingga proses tahapan pemilu legislatife hingga proses hukum yakni sengketa pemilu diselesaikan terlebih dahulu kemudian baru melaksanakan pemilu president, KPU terkesan mengejar target pesanan sponsor sehingga tegesa-gesa tanpa ada pertimbangan yang matang terhadap akibat pelanggaran hukum di kemudian hari.
Kesalahan ini mau dilimpahkan kemana karena anggota DPR Panitia Khusus Rancangan UU Pemilu yang merancang UU ini tidak memiliki kepekaan untuk memikirkan jauh kedepan,demikian juga dengan KPU tidak juga memikirkan lebih jauh mengenai kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi kemudian sehingga wajarlah jika kecacatan hukum yang terjadi adalah kesalahan bersama pemerintah baik itu legislative, birokrasi dan eksekutif.
Pemikiran Duverger ini benar jika dilekatkan terhadap KPU, karena lembaga ini merupakan lembaga birokrasi non formal yang berperan sebagai penyelenggara pemilu seharusnya mampu menciptakan ketertiban malah menciptakan konflik bahkan menyalahgunakan kekuasaanya dalam penegakan hukum. Wajarlah jika adanya penolakan dari masyarakat yang mewakili pasangan capres-cawapres yang merasa bahwa kinerja dari KPU yang terkesan tidak demokratis dan akuntabel dalam melaksanankan proses pemilu ini.
KPU perlu mengakui akan kesalahan dan kelemahannya yang menyebabkan kecacatan hukum, kebohongan publik dalam pemilu president kepada rakyat, karena kesalahan penafsiran terhadap hukum yang ada menyeret seluruh rakyat Indonesia terutama pemilih terdaftar sebanyak 176.367.056 jiwa untuk turut serta melanggar hukum yang ditandai dengan jari tangan yang di celup ke dalam tinta hitam pertanda turut terlibat dalam pelanggaran hukum ini. Jika KPU mengakui akan kesalahan yang telah dilakukan maka rakyat dengan rendah hati pula memaafkan KPU atas kesalahannya sehingga hasil pemilu yang telah diumumkan dapat di terima secara mutlak oleh seluruh rakyat Indonesia dengan catatan pelanggaran hukum yang telah di lakukan.
*Mahasiswa Ilmu Politk – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar