Kamis, 30 Juli 2009

"Kisruh Politik Mutasi Pejabat di Pemda Kab. Kupang"

“POLEMIK MUTASI DAN PERGANTIAN JABATAN”
(Kasus Pemerintahan Kabupaten Kupang)
*Yoyarib Mau
Era Otonomi Baru yang dijalankan di seluruh wilayah Indonesia baik itu di tingkat Propinsi, Kotamadya, dan Kabupaten, otonomi daerah adalah pola lain dari sistem desenstralisasi. Penerapan sistem pemerintahan desentralisasi masa ini merupakan masa peralihan dari era sentralisasi sehingga saat ini Indonesia pada tahapan transisi sehingga tidak berjalan seideal mungkin namun memiliki sejumlah konsekuensi yang berdampak pada kehidupan politik, ekonomi dan social.
Konsekuensi ini akan berdampak negative maupun positif, dan dampak negative lebih mendomain karena otonomi daerah menjadi hal baru dan belum membudaya dalam masyarakat Indonesia, karena ketidakberdayaan masyarakat untuk menyambut Era baru ini. Dalam penerapan otonomi daerah para penguasa atau kepala daerah terpilih memiliki perspektif yang sempit terhadap konsep otonomi daerah, Para pejabat hanya berpikir untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai tolak ukur keberhasilannya, padahal ada banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai bagian penting dari otonomi daerah, yakni kondisi masyarakat local yang memiliki budaya, kehidupan sosial, bahkan kearifan local (hikmat lokal).
Kondisi demikian yang sedang di alami oleh Bupati Ayub Titu Eki dan Wakil Bupati Victor Tiran yang terpilih pada pilkada pertama kali yang dipilih langsung oleh rakyat (one man one vote). Pasangan ini diusung oleh PDIP dan memenangkan pemilu dalam dua putaran, hal ini membuktikan bahwa dukungan rakyat bagi kedua pasangan untuk memajukan kabupaten ini. Komitment untuk mewujudkan visi dan program kerja yang di sampaikan saat kampanye mulai direalisasikan dengan kebijakan-kebijakan, langkah pertama dilakukan adalah masalah strukturisasi jabatan dimana dilakukan mutasi dalam tubuh birokrasi Pemda Kab. Kupang.
Proses ini menuai protes dari berbagai kalangan baik itu dari internal birokrasi dimana para pejabat yang di mutasi tidak menerima kebijakan ini karena dianggab tidak rasional dan syarat dengan muatan politis, dari pihak legislative khususnya partai pengusung yakni PDIP juga menilai kebijakan ini tidak dapat diterima karena meresahkan masyarakat, bahkan masyarakat pun menolak kebijakan mutasi ini dengan melakukan aksi penolakan, yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Sabu- Raijua hasil pemekaran dari Kabupaten Kupang sebagai kabupaten induk, mereka menolak kebijakan mutasi pejabat ke daerah baru ini.
Mengapa penolakan terhadap kebijakan Ayub Titu Eki dan Viktor Tiran berlarut-larut tanpa menemui jalan keluar yang tepat? Perlu diakui bahwa permasalahan ini adalah permasalahan politik terutama dalam sistem demokrasi sebagai sebuah konsep pemerintahan dalam era otonomi daerah. Peran politik dalam permasalahan ini merupakan peran dalam struktur politik yang formal dimana berhubungan dengan penguasa menjalankan kekuasaannya, sehingga bupati sebagai penentu kebijakan dan birokrasi yang berada di bawahnya sebagai pelaku implementasi kebijakan perlu adanya sinergi yang tepat. Demikian juga dengan legislative dalam perannya berpartisipasi dalam melakukan fungsi legislasinya melakukan pengawasan terhadap kebijakan tersebut.
Kenyataaan yang terjadi ketika kebijakan bupati dalam melakukan mutasi tidak dapat bersinergi dengan baik karena terjadi polemik dalam proses mutasi ini, kebijakan yang dilakukan oleh bupati dan wakil bupati ini merupakan hak nya sebagai eksekutif. Menurut Ramlan Surbakti keputusan politik secara umum dibagi menjadi dua yaitu “program-program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat-negara (kebijakan umum) dan orang-orang yang akan menyelenggarakan kebijakan umum (penjabat pemerintah)” (Ramlan Surbakti – Ilmu Politik – 2007).
Kebijakan Umum dari kedua eksekutif ini tidak dapat diragukan lagi karena seandainya dengan latar belakang akademisi adanya kemungkinan program kerja/kebijakan umum sangat sistematik dan dapat terukur untuk kesejahteraan rakyat (welfare state), namun untuk mewujudkan kebijakan umum tersebut mereka perlu menemukan penjabat pemerintah yang tepat untuk melakukan implementasi kebijakan, sehingga bupati-wakil bupati melakukan mutasi di lingkungan pemerintahan kabupaten Kupang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam proses mutasi ada berbagai pertimbangan yang dilakukan dalam menetapkan keputusan ini, diantaranya: Pertama; menggeser para penjabat pemerintahan yang mendukung calon lain pada pilkada yang telah berlalu, Kedua; pengakomodir penjabat yang mendukung atau menjadi tim sukses saat Pilkada, Ketiga ; pembagian kekuasaan dengan pertimbangan primordial dimana pembagian penjabat pemerintah berdasarkan pertimbangan suku Tirosa (timor, rote, sabu), agama, keluarga, bahkan pertimbangan swapraja (kerajaan-kerajaan) yang pernah ada di Kabupaten Kupang yakni, Taebenu, Amabi, Sonbai, Fatuleu, Amarasi, dan lain-lain.
Kemungkinan besar sebagaimana latar belakang akademisi memiliki pertimbangan “ideal” dalam proses mutasi atas penjabat pemerintah kabupaten Kupang, penulis melihat bahwa proses ini Bupati terpilih memilih “sistem merit” yakni memilih penjabat pemerintah dengan lebih menenkankan kepada profesionalisme dimana kompetensi dan keahlian penjabat untuk menduduki jabatan tertentu yang menjadi bahan pertimbangan. Cara ini lazim dan yang dituntut dalam pemerintahan modern merupakan implikasi dari sistem demokrasi.
Bupati dan Wakil Bupati Kupang memiliki proses yang benar namun tidak menyadari bahwa ini proses politik di era transisi demokrasi dalam penerapan otonomi daerah ada aturan main (rule of the game) yang perlu diperhatikan khususnya politik lokal, dimana partisipasi local diikutsertakan dalam proses politik ini. Kultur local sangat kental dalam wilayah ini terutama masih menguatnya konsep “paternalistic” dimana orang yang lebih tua dan telah lama menjabat perlu diperlakukan dengan proporsional karena telah lama berjasa bagi wilayah ini serta telah di kenal luas dalam masyarakat.
Jika konsep kearifan local yang menguat di wilayah ini yakni “paternalistic” turut menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan mutasi maka tidak akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua hal yang ideal langsung diterapkan tetapi perlu ada perimbangan konsep local atau kerarifan local sehingga pemerintahan dan berjalan dengan baik.
Proses mutasi atau pergantian penjabat pemerintahan di sejumlah instansi perlu ada perimbangan rasio antara pola merit sitem dan kearifan local sebagai sumber legitimasi dalam melakukan mutasi atau pergantian jabatan jika hanya hanya menuruti merit sistem maka hanya menuruti doktrin demoikrasi secara utuh dan mengabaikan kearifan local sebagai sebagai salah satu sumber pembelajaran untuk menentukan plihan secara terbuka dan reflektif dimana pilihan keputusan ditetapkan dari hasil konfrontasi antara pemikiran individu yang ideal dengan konteks kehidupan masyarakat setempat sehingga kebijakan yang diputuskan populis dan tidak controversial.
*Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar