Kamis, 09 Juli 2009

Politik Rasa Iba

“POLITIK RASA IBA”
*Yoyarib Mau

Pasangan kandidat SBY – Boediono yang memperoleh suara pemilih berkisar 50% lebih dalam pemilu President RI pada rabu, 08 Juli 2009 , hasil yang diperoleh terpaut jauh dari dua pasangan kandidat lainnya. Walaupun ada banyak kelemahan dalam pemilu President tahun terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap), namun proses pemilihan dapat berjalan lancar tanpa ada kekacauan.
Indonesia memilih President yang kedua kalinya secara langsung pasca reformasi 1998, kali ke dua ini mampu menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara Asia yang telah memajukan demokrasi. Demokrasi hingga saat ini diyakini oleh sebagian negara sebagai salah satu konsep terbaik untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam proses menuju kekuasaan ada tahapan-tahapan yang dilalui oleh para pasangan untuk bisa menarik simpati masyarakat. Tahapan awal melalui pemilu legislative bagi partai politik untuk mencapai 20% sebagai syarat untuk mencalonkan President, dan tahapan yang menarik dan menyita banyak energi yakni pendeknya masa kampanye yang hanya berlangsung sebulan, menarik adalah dalam kampanye pemilu president tahun ini model kampanye dilakukan dengan debat terbuka yang di pandu oleh para akademisi dan professional yang berkompeten serta disiarkan langsung melalui media massa.
Para kandidat capres atau cawapres dapat memaparkan visi, misi, serta program kerja apabila terpilih nanti, dan para kandidat bisa saling menyanggah dan memperdebatkan pemaparan yang di sampaikan kandidat lain yang dipandu oleh moderator semuanya sangat demokratis, dalam perdebatan tersebut ada kandidat yang saling menuding dan menyudutkan namun mengakhirinya dengan jabatan tangan seraya memaafkan.
Rakyat dapat menyaksikan secara langsung dan memberikan dukungan bagi kandidat yang didukungnya bahkan menaru rasa simpati dan rasa iba bagi kandidat yang didukungnya, pasangan kandidat yang paling banyak di pojokan adalah incumbent Susilo Bambang Yudoyono, kedua pasangan kandidat yang menyerang SBY-Boediono yakni Megawati-Prabowo dan M. Jusuf Kalla-Wiranto, bahkan sejak Pemilu legislative Megawati sudah menyerang SBY dengan program BLT-nya sedangkan JK mengkritisi SBY yang terkadang lamban dalam memutuskan sebuah keputusan harus melalui rapat berkali-kali dengan cabinet.
Pemojokan tidak hanya dilakukan terhadap SBY tetapi cawapres Boediono juga mendapatkan bagiannya dengan menstigmanya sebagai kaki tangan asing yang akan menerapkan mashab ekonomi neoliberal, dan yang tak luput adalah Istri-istri pasangan kandidat, istri SBY diberitakan tidak berkerudung jadi tidak pantas menjadi Ibu negara sedangkan Istri Boediono diisukan sebagai seorang penganut Katolik, dan Boediono sendiri adalah penganut Kejawen, isu-isu ini ditujukan bagi pasangan ini tetapi isu-isu ini dilabelkan bagi pasangan ini.
Menjelang dua hari sebelum pemilu president kedua kandidat pasangan dengan nomor urut satu (1) dan tiga (3) melakukan konferensi pers dan mengancam akan melakukan boikot dengan tidak menyertakan diri dalam pemilu president jika tidak ada pengumuman dari KPU mengenai Daftar Pemilu Tetap (DPT) secara transparan, tindakan ini membuat resah kandidat incumbent.
Pemojokan dan isu-isu yang menyudutkan, menyalahkan kandidat lain menjadi keuntungan bagi kandidat yang mengalami hal tesebut, bagi rakyat hal ini mengurangi rasa simpati bagi incumbent tetapi bagi kelompok masyarakat tertentu yang tidak setuju dengan memojokan atau sering dibahasakan menzalimi orang lain, rakyat melihat hal ini tidak baik karena membangun permusuhan dan tidak sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Kemampuan untuk membangun citra dengan kondisi ini membuat keuntungan tersendiri bagi para petarung.
Menjadi pertanyaan yang menarik adalah “apakah budaya politik rasa iba menjadi pola yang tepat dalam perpolitikan Indonesia?, jawaban yang dapat diberikan sangat paradoksal karena dalam konteks tertentu hal ini dapat dibenarkan, tetapi pada kontkes tertentu pertanyaan ini tidak relevan. Sejarah memberikan referensi bahwa kemenangan PDI-P dalam pemilu 1999 pasca orde baru karena figure Megawati sebagai putri proklamator Bung Karno. President I yang saat berkuasa di puja masyarakat tetapi kemudian dimusihi bahkan disingkirkan, dikucilkan oleh rezim orde Baru, puncaknya pada tragedy 27 Juli 1996 dimana intervensi penguasa saat itu sangat kental.
rinisiatif Peristiwa dan perilaku ini memupuk rasa simpati terhadap Megawati, hal ini membuat rakyat menaruh rasa prihatin dan rasa ibanya pada pemilu 26 Juli 1999 PDI-P memenangi Pemilu legislatif dengan perolehan suara mencapai 35.689.073 suara atau 33,76 % (Kompas, 29 Juni 2009).
SBY dalam perjalanan karier politiknya hampir memiliki kemiripan yakni mengalami kemelut politik karena merasa tidak dipercaya lagi pada masa kepemimpinan Megawati, sehingga membuatnya mengundurkan diri dari Menko Polkam, keputusan ini membuat rakyat merasa kasihan dan menaruh rasa iba terhadap SBY. Momentum ini membuat SBY berinisiatif bersama-sama teman-temannya membidani lahirnya Partai Demokrat, dan Pengunduran diri SBY dan maju bersama JK sebagai Cawapres membuat Megawati geram dn menyindir mereka sebagai “bajing loncat” membuat rasa simpati rakyat terhadap dirinya kemudian pasangan ini memiliki suara terbanyak pertama pada putaran pertama dan pada putaran kedua menang dengan perolehan suara 78,22 % mengungguli pasangan Mega-Hasyim.
Budaya politik dapat diambil dari fakta-fakta yang dialami bahkan tanpa sadar dilakoni oleh politisi, hal ini dianalisa dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan dapat di terapkan dalam perilaku politik (political behavioral) James Bryce mengungkapkan bahwa; ”terdapat ketetapan dan keseragaman pada berbagai kecenderungan dalam sifat manusia, yang memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang pada suatu saat selalu dikarenakan oleh sebab-sebab yang sama, yang telah pula menentukan tindakan-tindakan mereka pada waktu sebelumnya” (SP. Varma 2007) pemikiran ini jika di kaitkan dengan fakta-fakta yang dialami oleh para President terpilih maka ada kecenderungan yang dapat dijadikan salah satu alasan keterpilihan president ditentukan oleh rasa iba atau rasa simpati rakyat karena diri salah satu kandidat dizalimi atau di pojokan.
Sifat ini dapat dijadikan salah satu dalil politik bahwa menempatkan diri sebagai korban yang dizalimi atau dikucilkan oleh lawan politik dapat menguntungkan bagi diri yakni menarik rasa simpati atau rasa iba dari rakyat. Dan ini menjadi selera atau keinginan rakyat, pasca pemilu president 2009, Andrinof Chaniago menuturkan bahwa “dalam memilih rakyat menempatkan porsi kepribadian calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon, dengan 80 % pemilih berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan oleh factor selera” (Kompas 9 Juli 2009). Jika dikaitkan dengan proses menuju pemilihan president yang kita lalui saat ini maka dapat di benarkan bahwa perolehan suara yang di peroleh SBY- Boediono, pemojokan terhadap kepribadian yang dimiliki oleh pasangan kandidat nomor urut 2 (dua) yang selalu disudutkan, hal ini pulalah yang mampu dicitrakan pada diri pasangan kandidat yang memperoleh suara terbanyak.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat manusia Indonesia, memiliki salah satu kecenderungan politik untuk memilih adalah memilih karena rasa iba atau simpati terhadap kandidat tertentu yang mengalami pemojokan atau disudutkan dan bukan karena memilih berdasarkan kemampuan calon, fakta yang dapat ditarik pasca pemilu president yakni salah satu factor penentu perolehan suara terbanyak yang dicapai SBY – Boediono adalah politik rasa iba yang membudaya dalam masyarakat, dan juga tidak mengesampinkgan factor lain yang turut menentukan.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Nomor Pokok Mahasiswa : 0806383314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar