Jumat, 28 Agustus 2009

"Comunal Interest Vs Individual Interest"

“Comunal Interest Vs Individual Interest”
*Yoyarib Mau

Produk Politik dihasilkan melalui proses yang panjang dalam pengambilan keputusan, proses ini tidak dapat di sangkal bahwa syarat dengan pertarungan kepentingan, yang idealnya kepentingan itu untuk kesejahteraan rakyat, prasyarat pengambilan keputusan dilakukan oleh mereka yang di mandatkan oleh rakyat melalui proses pemilu yakni para legislatif.
Para legislatif merupakan representasi dari rakyat, untuk menyuarakan kepentingan rakyat, namun realitas yang terjadi dalam masyarakat ego dan kepentingan pribadilah yang dipaksakan dalam menjalankan fungsi sebagai lagislatif. Hal inilah yang terjadi dalam Sidang Perdana Parlemen Kota Kupang, Rapat biasa yang bukan agenda resmi namun menghasilkan permasalahan yang luar biasa karena mengegerkan semua orang dengan perilaku yang tidak terhormat.
Agenda yang di bicarakan dalam rapat tak resmi adalah membahas tentang rencana pembahasan tata tertib (Tatib), pengisian berbagai alat kelengkapan dewan, termasuk di dalamnya pengisian jabatan Ketua dan Wakil Ketua DPRD dan Komisi-Komisi. Agenda-agenda ini sebenarnya harus di lakukan dalam rapat resmi, apalagi menggunakan Palu sidang sebagai mekanisme formal dalam sebuah rapat dewan.
Kisruh yang sempat terjadi karena perbedaan pendapat antara pihak yang menginginkan pembentukan fraksi dan pihak yang menginginkan pembentukan tim kecil terlebih dahulu, perdebatan ini ibarat memperdebatkan “telur dan ayam” mana yang terlebih dahulu ada. Perbedaan pendapat ini akhirnya tidak dapat di moderatori dengan baik oleh Pimpinan Sidang untuk mencari kesepakatan bersama guna menemukan solusi terbaik yang mengakomodir semua pihak.
Pertanyaan yang patut diajukan adalah mengapa pimpinan sidang sementara tidak mampu mengarahkan rapat yang di gelar tidak resmi tersebut dengan baik sehingga menimbulkan konflik? Perdebatan yang berakhir dengan kekisruhan ini apabila dianalisa dari kronologis perdebatan hal ini di picu oleh pemaksaan kehendak. Menurut John Dewey tokoh yang memelopori teori demokrasi partisipasi (participatory democracy) pemikirannya hadir karena menguatnya utilitarianisme subyektif self – interest yang subyektif (SP. Varma – 2007) Padahal konteks Indonesia saat ini memilih demokrasi sebagai salah satu konsep bernegara yang baik jika dibandingkan dengan konsep bernegara yang di terapkan dibelahan dunia lain atau warisan budaya seperti bentuk kerajaan dan warisan orde baru yang menjalankan proses bernegara dengan pola otoritarianisme.
Pemikiran “interest yang subyektif” adalah pemahaman yang mengutamakan kehendak individu dan melakukan penolakan terhadap nilai-nilai kekuasaan yang bersifat total. Kekuasaan selalu diidentikan dengan politik karena berhubungan siapa mendapat apa, sehingga tak pelak menimbulkan kesan yang buruk di tengah masyarakat bahwa politik hanyalah basa basi yang dilakukan melalui proses demokrasi yakni pemilu namun justru hanya menguntungan serta memeperkaya segelintir orang.
Persoalan ini tidak hanya terjadi di NTT khususnya pada DPRD Kota Kupang tetapi hampir disemua tempat yang menjalankan sistem demokrasi, dengan demikian yang perlu di lakkukan adalah pemahaman yang matang akan “kekuasaan yang bersifat total” yakni pemahaman akan kekuasaan yang menyeluruh dimana kekuasaan dikelola dengan baik guna mendatangkan tatanan sosial yang baik dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat.
Tentunya pemahaman terhadap yang baik dan adil semestinya dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi yang berkembang pada zaman tersebut, demokrasi merupakan ideologi yang saat ini dianggap cukup tepat dalam menjalankan kekuasaan saat ini. Berikut ada beberapa tawaran nilai-nilai demokrasi yang dirumuskan oleh Henry B. Mayo (Miriam Budiarjo – 2008) seperti: Pertama; Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga (jika ada perselisihan maka harus diselesaikan melalui perundingan serta dialog terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus atau mufakat). Kedua; menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah. Ketiga; menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur. Keempat; membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum. Kelima; mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman. Keenam; menjamin tegaknya keadilan.
Pemaparan di atas menunjukan bahwa ada sejumlah nilai yang perlu dimiliki oleh masyarakat demokrasi apalagi mereka yang diberikan mandat bahkan peran sebagai representasi rakyat atau pemegang mandat rakyat seyogianya nilai-nilai ini terpatri dalam diri para anggota dewan, mengacu pada kasus DPRD Kota Kupang dua nilai yang belum matang bahkan tidak terpatri yakni nilai pertama dan keempat.
Bagaimana pun juga mereka adalah representasi rakyat karena rakyatlah yang berdaulat memilih mereka untuk mewakili rakyat melalui proses demokrasi yakni pemilu, namun yang perlu di kaji sebagai bahan pertimbangan guna menganalisa penyebab terjadinya konflik ini yakni proses perekrutan politik yang dilakukan partai politik mengalami distorsi, seharusnya perekrutan dan penentuan caleg yang dilakukan partai politik sebaiknya melalui mekanisme tertentu yang ditentukan oleh partai politik sebagai syarat mutlak bagi seorang calon legislatif.
Syarat-syarat itu diantaranya memiliki pemahaman organisasi yang matang, memiliki kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, memiliki track record yang dapat di pertanggung-jawabkan, mencerminkan nilai-nilai agama dan adat (pertimbang etis-moral), memiliki kesehatan psikis dan fisik yang normal,dan pertimbangan lainya. Partai politik sebaiknya memakai dan menyewa profesional yang telah melalui sumpah jabatan guna melakukan penyeleksian atau ujian formal sebagai syarat mutlak untuk menjadi calon legislatif.
Kenyataan yang terjadi saat ini Partai Politik tidak memiliki standar perekrutan caleg yang dapat dijadikan tolak ukur bagi partainya. Partai Politik hanya menentukan dan memilih calon legislatif hanya berdasarkan berapa sumbangsi real bagi partai politik berupa “value” (uang), atau pertimbangan merupakan anak pejabat atau turunan raja, keartisan, popularitas sebagai olahragawan, atau pengusaha kaya yang dapat mendompleng Partai dari nama besar yang dimiliki. Pemikiran ini bukan berarti membatasi dan memasung hak politik mereka tetapi popularitas atau identitas pribadi saja tidak cukup menjadi ukuran. Sebab kondisi demikian akhirnya menghasilkan legislatif yang memiliki kwalitas yang rendah dan tidak memiliki kemampuan yang mampu menghasilkan kebijakan yang dapat mendatangkan “Comunal Bonum” atau “Comunal Interest” bagi semua element.
Apabila standart yang perekrutan yang tidak jelas semua orang yang memiliki “Kepentingan Pribadi” atau “Individual Interset” dapat membeli partai politik (kekuasaan) untuk melakukan balas dendam atau melampiaskan hasrat busuknya yang dapat mengarah ke politik machiavelian, sehingga rumah rakyat yang seharusnya menjadi tempat merumuskan kepentingan rakyat hanya menjadi ajang pemenuhan kepentingan pribadi dan kroninya. Politk (kekuasaan) yang sebenarnya mulia di cederai menjadi politik yang kotor dan dan tak bermartabat.
Produk Politik saat ini di DPRD Kota Kupang merupakan hasil kontribusi masyarakat Kota Kupang yang telah memilih wakilnya sehingga rakyatlah yang bertanggung jawab selama lima tahun kedepan dan produk politik saat ini menjadi pembelajaran penting bagi rakyat Kota Kupang untuk memilih dan menentukan wakilnya pada pemilu yang akan datang.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar