Kamis, 13 Agustus 2009

"Mengurai Benang Kusut di Kab. Kupang - NTT

“MENGURAI BENANG KUSUT DI KAB. KUPANG”
*Yoyarib Mau

Kisruh yang tak kunjung usai di Kab. Kupang, melibatkan Bupati, yang berseteru dengan Sekda Kab. Kupang Barnabas B. nDjurumana yang hingga kini dalam tahapan proses banding di PTUN Surabaya dan penggantian sejumlah Penjabat Pemerintahan di Kab. Kupang, Pembangkangan sejumlah Pegawai yang menolak di mutasi ke Kab. Sabu – Raijua karena Surat Keputusan (SK) tersebut terkesan sepihak, seteru ini diperparah saat Bupati di minta pendapat oleh DPRD Kab. Kupang.
Polemik yang terjadi di Kabupaten ini telah menguras tenaga dan energi bahkan pemikiran dari seluruh tingkatan masyarakat (stakeholder) kabupaten, dan polemik di Kab. Kupang merupakan salah satu permasalahan dalam pelaksanaan sistem desentralisasi atau era otonomi daerah di Indonesia, kemungkinan riak politik di kabupaten ini merupakan riak euphoria otonomi daerah yang menarik untuk diikuti. Permasalahan ini menarik untuk di simak karena dapat memberikan pelajaran penting bagi para penguasa di daerah lain dalam menjalankan kepemimpinan, bahkan menetapkan sebuah kebijakan yang tatkala diputuskan tidak menjadi “boomerang” bagi diri dan roda pemerintahan yang dijalankan.
Persoalan di Kab. Kupang sudah berlangsung cukup lama sehingga roda pemerintahan tidak berjalan efektif di suatu sisi Bupati sudah harus menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sesuai dengan PP (Peraturan Pemerintah) No. 8 Tahun 2008 pasal 15 ayat 2 bahwa “Peraturan Daerah (Perda) tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 bulan setelah Kepala Daerah dilantik”. Namun kenyataan yang terjadi sudah hampir melewati batas waktu penetapan RPJMD belum terlaksana, hal ini akan di perrumit saat di ajukan ke legislative untuk disepakati.
Babak ini akan semakin menegangkan karena akan menuai protes bahkan penolakan dari pihak legislative akan rancangan RPJMD yang akan diajukan nanti, hal ini disebabkan oleh ketidaksepahaman yang telah tejadi antara legislative dan eksekutif mengenai kisruh mutasi pejabat, ditambah dengan bekas goresan pilkada yang telah berlalu dapat memperparah kondisi ini.
RPJMD yang terlambat diselesaikan akan berdmpak pada pembangunan karena anggaran yang tidak dapat dialokasikan untuk membiaya pembangunan dan anggaran rutin lainya. Kondisi demikian mungkinkah konflik ini dibiarkan tanpa mencari solusi untuk memecahkan buntunya komunikasi politik di Kabupaten Kupang?. Jika tidak diselesaikan semua persolan ini maka yang mengalami kerugian adalah masyarakat sendiri, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Jalan yang harus ditempuh guna mengurai kebuntuan ini adalah mencari jalan tengah guna menemukan jawaban akan permasalahan ini sebab soal pemerintahan tidak dapat dijalankan oleh individu tetapi membutuhkan kolektifitas (kerjasama) sehingga ada pihak ketiga yang dilibatkan guna menengahi permasalahan ini, sebagai bentuk partisipasi politik.
Partisipasi politik merupakan sebuah peran penting masyarakat dalam proses politk dan hal ini sangat dibutuhkan dalam masa transisi demokrasi, peran partisipasi ini berasal dari masyarakat untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang di hadapi, guna mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah. Sebab partisipasi rakyat tidak hanya terbatas pada memebrikan suara pada pemilu kepala daerah (pilkada) yakni memberikan suara di TPS (Tempat Pemungutan Suara), terlibat dalam partai politik tetapi tetapi memiliki peran lebih yakni melakukan hubungan (contancting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah.
Menurut Herbert McClosky berpendapat bahwa “partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum” (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008) partisipasi politik ini berangkat dari pemikiran bahwa kedaulatan di tangan rakyat, memang benar kedaulatan rakyat telah di wakilkan pada para legislative namun apabila para wakil rakyat dengan berbagai kepentingan yang lebih dominant sehingga menyebabkan kemandekan roda pemerintahan maka rakyat dapat berpartisipasi langsung guna mencari solusi terbaik.
Mengacu pada kasus yang terjadi di Kabupaten Kupang peran “lobbying” tidak berjalan dengan baik masyarakat terseret dan terkooptasi dalam berbagai kepentingan baik itu berada dalam pihak Eksekutif (Bupati Ayub Titu Eki), Legislatif keberpihakan terhadap partai pilihannya, dan bahkan di kalangan birokrasi mampu membangun sentiment primordial guna mengakomodir kepentingan kepentingan para pejabat yang di mutasi.
Sehingga masyarakat dapat berperan sebagai penengah yang dibutuhkan, mereka memiliki independensi hanyalah satu kepentingan untuk mencari solusi bagi kemandekan roda pemerintahan di Kab. Kupang akibat kisruh jabatan dan mutasi pegawai agar proses pembangunan dapat berjalan dengan baik. Peran politik masyarakat sangat penting sehingga membatasi kekuasaan absolute dari legislative maupun eksekutif, pendekatan kelompok lobbying sangat di butuhkan jika menemui kebuntuan komunikasi hanyalah siapa yang diharapkan agar dapat mendorong terbentuknya kelompok lobbying ini, apabila melihat kondisi Kab. Kupang dimana masyarakat mengalami keterbatasan dalam mengakses informasi, sebagaian besar masyarakat bekerja di sawah dan ladang.
Lobbying dapat terbentuk jika peran serta para akademisi, wartawan, intelektual, mahasiswa, aktivis, LSM (Civil Society) yang memiliki komitment yang sama guna mengakhiri konflik ini dengan mendorong serta menggerakan masyarakat untuk membentuk kelompok lobbying karena idealisme yang dimiliki, sebab kenyataan yang terlihat hingga saat ini adalah kelompok pro bupati dan kontra bupati yang melakukan mobilisasi massa untuk melakukan demo, sedangkan lobbying yang di maksud disini adalah kelompok masyarakat yang di tuakan (tua-tua adat) dari berbagai kecamatan atau tokoh – tokoh adat dari swapraja-swapraja yang ada dalam lingkup kabupaten Kupang, tokoh agama, guna berdialog bersama menyelesaikan konflik ini.
Keterlibatan masyarakat diharapkan tidak ditafsir sebagai ketidakpercayaan masyarakat terhadap wakil-wakil rakyat dan bupati terpilih tetapi sebagai bentuk keterlibatan politik masyarakat untuk menjembatani persoalan yang mungkin dilakukan berdasarkan tafsir dan ego masing-masing pihak terkait. Sehingga roda pemerintahan dapat bergulir dengan baik serta menghadirkan kemaslahatan bagi masyrakat.



Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar