“Magic ala Susno Duadji”
* Yoyarib Mau
Magic di Indonesia main popular tatkala salah satu magician Indonesia Limbad melakukan atraksi-atraksi yang menghebohkan, pada puncak perayaan HUT RCTI beberapa bulan yang telah berlalu, magic yang di tampilkan oleh para magician atau pesulap sangat bervariasi ada yang melakukan berdasarkan kecermatan, kelihaiannya mengecoh para penonton, magic atau sulap juga dilakukan dengan kekuatan insting, ada juga yang menggunakan kekuatan gaib dimana kekuatan itu melebihi kekuatan asali yang dimiliki sang magician. Deretan nama para magician Indonesia antara lain Dedy Corbuzer, Romy Rafael, Limbad dan kini betambah satu lagi magician kita Susno Duadji.
Susno Duadji di kategorikan masuk sebagai seorang pesulap pendatang baru yang menghebohkan Indonesia dengan statement atau pernyataan-pernyataannya yang mempengaruhi bahkan meracuni pemikiran dan memicu pro dan kontra hampir seluruh rakyat Indonesia di pelosok nusantara. Statement yang menggelinding seperti bola liar namun kemudian berubah menjadi senjata makan tuan yakni kata Buaya Vs Cicak, Buaya diidentikan dengan Institusi Kepolisian (Polri) sedangkan Cicak dilabelkan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pernyataan sang Pesulap yang kedua yang menambah keruh suasana tatkala rapat dengan pendapat atau rapat kerja antara Kepolisian RI dan Komisi III DPR RI pada kamis 05 November 2009 yang di mulai pukul 19:30 WIB hingga Sabtu 06 November 2009 Pukul 03:00 WIB.
Dalam kesempatan rapat kerja tesebut Susno Duadji berkesempatan berbicara dan mengawalinya dengan “bersumpah” atas nama Allah bahwa dia tidak merekayasa terjadinya penahanan terhadap dua pejabat KPK, tetapi berdasarkan pernyataan polisi bahwa; “ada sejumlah bukti terjadi proses penyelagunaan wewenang dalam keluarnya surat cekal untuk Anggoro Widjojo, Direktur PT. Masaro Radiokom dan pencabutan pencekalan Joko Tjandra, Direktur PT Era Giat Prima. Menurut Polisi, keputusan seharusnya diambil oleh semua pemimpin KPK. Bibit dan Chandra menyanggah. Pencekalan atau pencabutan pencekalan, menurut mereka tidak membutuhkan keputusan seluruh pemimpin KPK. Polisi kemudian menuduh Bibit dan Chandra menerima suap dan memeras. Tuduhan ini didasarkan atas pengakuan Ary Muladi, Pengusaha yang diminta Anggogo Widjojo adik Anggoro untuk membereskan urusan sang Kakak yang sedang disidik KPK. Kepada Polisi, Ary Muladi mengaku menyerahkan duit dari Anggoro Rp. 5.1 miliar kepada Bibit dan Chandra. Belakangan Ary Muladi mencabut pengakuannya. Ia mengakui bahwa sebenarnya tidk pernah memberikan uang sepeser pun kepada Bibit dan Chandra. Menurut pengakuan Ary, pengakuan yang dibuatnya semata-mata hasil rekayasa Anggodo” (Majalah Tempo 2- 8 November 2009).
Aksi yang dilakukan Susno Duadji cukup memukau di sela-sela rapat kerja yang berlangsung kurang lebih 7 jam tersebut, di saat rehat Susno Duadji berkesempatan mendekati hampir keseluruhan Komisi III DPR RI dan memberikan salam dan mengajak berdialog, aksi ini sepertinya sebagai jurus pemungkas yang ampuh untuk menghipnotis sejumlah wakil rakyat yang ada di Komisi III. Dalam awal rapat kerja tersebut Polri mendapatkan banyak cercaan dari sejumlah politisi, namun akhir dari rapat tersebut tidak seperti kondisi semula dimana suasana panas malah berubah 180 derajat, Polri mendapatkan hadiah dari Komisi III yang membidangi masalah Hukun dengan pujian dan tepukan tangan atas penjelasan dan sikap Polri terkait dengan kasus Bibit dan Chandra.
Perilaku Susno Duadji merupakan sebuah fenomena baru mungkinkah hukum di Indonesia telah dikendalikan oleh para magician atau para pesulap, Benarkah Nalar Wakil Rakyat yang ada di Komisi III ditundukan oleh aksi Susno Duadji? Pertanyaan tersebut mendasari pembahasan penulisan ini dimana kebenaran yang seyogianya dipahami dengan rasionalitas berpikir yang matang tetapi runtuh oleh aksi panggung seorang pesulap pendatang baru yang berbakat.
Permasalahan yang menyeret berbagai institutusi negara ini merupakan berbagai permasalahan yang mencoreng keabsahan dan berbagai sendi kehidupan bernegara baik itu di bidang politik, hukum, ekonomi bahkan menghadirksn krisis kepercayaan rakyat terhadap negara (alat negara). Benturan antara Buaya Vs Cicak adalah konflik antar alat negara dan lebih pada dimensi politik, “Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik, dipertegas oleh Harold Laswell yang merumuskan politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana” (Ramlan Surbakti - Memahami Ilmu Politik – Grasindo – 1992).
Konflik ini menyeret berbgai institusi ditambah aksi Susno Duadji menyeret Komisi III DPR RI terlibat dalam konflik ini, Aksi Susno mampu menghidupkan luka lama dimana institusi para wakil rakyat pernah di jebloskan oleh KPK karena kasus korupsi suap dan pemerasan termasuk masih memiliki keterkaitan dengan PT. Masaro Radikom yang menyeret sejumlah nama seperti Al Amin Nasution dari Fraksi PPP.
Luka lama yang belum hilang ingatan bagi Institusi DPR RI, membuat Komisi III berani melawan arus besar kekuatan rakyat, yang di buktikan dengan dukungan kuat masyarakat melalui dukungan akademisi yang dimotori oleh Forum Rektor Indonesia, Komunitas Cicak, Para Facebookers yang tergabung dalam Gerakan 1.000.000 Facebokeers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Riyanto, oposisi jalanan yang terbentuk dari para aktivis, mahasiswa dan seniman yang menggelar berbagai aksi di Ibukota Negara dan sejumlah kota di Indonesia menunjukan bahwa rasionalitas berpikir rakyat lebih matang dari pada para politisi kita. Mereka memiliki pemikiran yang sehat dimana memiliki keinginan agar Indonesia sehat dari Korupsi.
Arus dukungan buak KPK sebenarnya menunjukan kedaulatan ada di tangan rakyat kemana rakyat yang cerdas akan berpihak pada kebenaran, berangkat dari pemikiran ”Vox Populi Vox Dei” yang memiliki pengertian suara rakyat adalah suara Tuhan, karena berangkat dari hati nurani yang tulus dalam melihat persoalan tanpa di pengaruhi oleh pemahaman siapa dan mendapat apa? atau keinginan mempertahankan kekuasaan namun hanya dengan satu tujuan demi kebenaran. Wakil rakyat yakni Anggota DPR RI yang mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu legislatif, idealnya di harapkan untuk mewakili rakyat di parlement dalam melakukan fungsi kontrol dan pengawasan (cheks and balances) terhadap pemerintah ternyata gagal. Kegagalan wakil rakyat ini kemungkinan dipengaruhi oleh kepiawaian seorang Susno Duadji dengan aksi panggungnya yang mampu membutakan wibawa dan nalar berpikir wakil rakyat kita menjadi seperti ”Kerbau yang ditusuk Hidungnya”.
DPR RI dalam hal ini Komisi III sebenarnya memiliki kepekaan sosial serta rasional dalam berpkiri sebagai bahan pertimbangan berdasarkan berbagai fakta keterlibatan kepolisian dalam hal ini Komjen Susno Duadji yang terlibat dalam rekaman dialog yang diperdengarkan di mahkamah konstitusi, tidak hanya itu saja tetapi Susno juga terlibat dalam rekaman pembicaran dengan Budi Sampoerna dalam kasus Bank Century namun senyuman Susno mampu mematahkan rasionalitas atau nalar berpikir para pemikir yang bertugas dalam komisi hukum orang-orang yang sering ngotot di media seperti Ruhut Sitompul sebagai pengacara kondang yang sekarang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Demokrat sehari sebelumnya meminta agar rekaman tersebut segera di buka di komisi III dengan berkata ”jelas-jelas disebutkan dalam rekaman soal Rp. 10 miliar terkait Bank Century. Memangnya siapa Susno itu, dia kebal hukum sekali” (Media Indonesia 05 November 2009).
Realitas politik ini sepertinya memberikan pembenaran bagi jurus sulap yang di diperagakan oleh Susno yang mampu mematahkan rasio berpikir dari para wakil rakyat, Susno seharusnya memberikan penjelasan secara profesional dan berdasarkan kajian ilmiah berdasarkan latar belakang profesi yang di emban namun itu tidak dilakukan olehnya ia lebih memilih memakai konsep magic fundamentalis-agamais yang diyakini sebagai jurus ampuh untuk menggugurkan nalar para wakil rakyat, dengan mengawalinya dengan melakukan sumpah atas nama Allah.... alakadabra............mampu menghipnotis wakil rakyat dengan cenderung memihak ke pihak kepolisisan dari pada memihak kepada KPK yang lebih banyak mendapatkan dukungan rakyat.
Kelihatannya Susno lebih lihai berpolitik dari pada para wakil rakyat yang membidangi hukum, dimana menerapkan kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang diinginkannya. Memakai kata-kata yang agamais untuk membenarkan diri atau mempengaruhi orang lain bukan lah aspek politik tetapi aspek agamais dimana para kiai atau pendeta menggunakan kata-kata tersebut dalam melakukan pembimbingan kepada umat, mempengaruhi umat untuk melaksanakan ajaran agamanya.
Susno telah menghalalkan cara untuk memperdaya hukum bahkan membelokan hukum demi mempertahankan kekuasaan, apa yang telah didapatkan dari proses mafia hukum yang telah dilakukannya dan mengamankan persekongkolan elit yang bersembunyi di balik baju institusi negara, sebagai alat negara seharusnya berperan menegakan dan memberikan kepastian hukum bagi warga negara dan tidak menyalahgunakan kepercayaan yang telah di berikan rakyat, saat menjabat pejabat di sumpah untuk melakukan tugas dengan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai keagamaan dan bukan ketika telah bersalah memakai nilai-nilai keagamaan untuk membenarkan diri.
*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik - Kekhususan Politik Indonesia - FISIP - UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar