Selasa, 05 Oktober 2010

"NEGARA AGAMA ATAU AGAMA NEGARA"

“AGAMA NEGARA ATAU NEGARA AGAMA”

*Yoyarib Mau



Indonesia dalam sejarah menorehkan catatan penting bagi kehidupan beragama di tanah air, karena dari berbagai negara di dunia, Indonesia memiliki keberagaman agama dimana tidak adanya agama tunggal tetapi beragam agama di Indonesia, dan hampir agama-agama yang ada bukanlah agama asli dari Indonesia tetapi hampir semuanya di pengaruhi oleh peradaban dari negeri seberang.

Agama atau keyakinan asli dari masyarakat Indonesia tentang kekuasaan alam semesta dan pencipta ada tetapi tidak mendapatkan arti atau pengakuan sebagai agama, lebih diyakini sebagai keyakinan primitive atau kepercayaan leluhur dan lebih dikategorikan sebagai budaya dan bukanlah agama.

Pengakuan akan agama resmi menurut negara di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa orde baru hanya mengakui akan kebera daan dari lima agama yakni; Islam, Kriten (Kristen Katolik dan Kristen Protestan), Hindu dan Budha sedangkan tibalah masa Pemerintahan Gus Dur, setelah masa orde baru dan masuk pada fase reformasi barulah Gus Dur mengakui akan penambahan adanya agama yakni Konghucu. Kondisi ini secara angka menunjukan bahwa kehidupan keberagamana berjalan dengan baik karena saling mengakui akan eksistensi dan memberikan ruang bagi pelaksanaan ritual keagamaan atau tata cara beribadah.

Pelaksanaan kehidupan beragama tidak dibatasi tetapi diatur dalam konstitusi bernegara yakni UUD 1945 dalam pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.

Konstitusi mengatur tentang kehidupan beragama dimana setiap penganut kepercayaan dijamin haknya dalam UUD 1945 untuk beribadah, dengan demikian konstitusi mengamanatkan bagi seluruh warga negara untuk menjalankan kehidupan beragamanya.

Dalam implementasi konstitusi dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan pengertian bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan gambaran bahwa Negara Indonesia menyakini akan keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta, dimana termasuk manusia di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia “negara agama”. Kondisi ini mendaulat agama sebagai sarana bagi warga negara untuk melakukan pengakuan akan keberadaan Tuhan, kemudian jika agama sebagai sarana untuk melakukan pemujaan akan keberadaan Tuhan maka warga negara akan mewujudkannya dalam ritual keagamaan, ritual keagamaan sebagai suatu prosesi yang sakral yang membutuhkan kekhususan dan kekusukan.

Kekhususan dan kekusukan merupakan dua hal penting sebagai sakralitas dari ritual peribadatan untuk menjaga sakralitas dari sebuah peribadatan maka dibutuhkan tempat untuk beribadah maka dibutuhkanlah “rumah ibadah”. Agama Islam akan beribadah di Masjid, Kriten (Katolik dan Protestant) di Gereja, Hindu akan melakukanya di Pura, Budha melakukannya di Wihara, sedangkan Konghuchu melakukannya di Klenteng.

Seiring perjalanan kehidupan beragama di Indonesia sepertinya ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah, adapun kebebasan untuk beribadah yang di jamin oleh UUD 1945, tetapi kebebasan beribadah itu mengalami kesulitan karena adanya regulasi yang mengatur bagaimana mendirikan rumah ibadah seperti penolakan pendirian rumah Ibadah Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Bekasi yang berbuntut pada Pemukulan Pdt. Luspida Simanjuntak dan penusukan terhadap pengurus gereja Asian Lumbantoruan Sihombing (Majalah Tempo/20-26 September 2010), atau pembakaran masjid dan lima rumah anggota jemaat ahmadiyah di kampong Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Majalah Tempo/4-10 Oktober 2010), praktek kekerasan beragama yang sedang berlangsung ini menimbulkan pertanyaan bahwa, Indonesia menganut agama negara atau negara agama ?

Pertanyaan Indonesia menganut ”negara agama atau agama negara” sebenarnya aliena terdahulu telah diutarakan dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan gambaran bahwa Indonesia negara agama karena mengakui akan keberadaan agama dan meberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan kepercayaannya.

Harus di akui bahwa Indonesia adalah negara agama tetapi bukan berarti mendaulat agama tertentu sebagai agama negara, Agama dibutuhkan sebagaimana dicantumkan dalam sila kesatu yakni “ketuhanan yang maha esa” pengakuan ini dapat dilihat sebagaimana Thomas Aquinas mengatakan bahwa; “tugas negara juga mencakup usaha bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati, itu berarti negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang bersifat sakral, sehingga Ahmad Suhelmi menegaskan Pemikiran Thomas Aquinas bahwa Negara dengan demikian dituntut menyediakan saranah ibadah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya masyarakat spiritual di dunia ini (Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat- Gramedia – 2007).

Penjaminan kehidupan beragama oleh karena perilaku ”negara agama” guna manusia bertingkalaku sesuai dengan ajaran kebaikan yang ditawarkan agama, sehingga rakyat dapat menjadikan ini sebagai panutan moral dalam hidup bermasyarakat. Tetapi ketika negara memaksakan agar norma agama menjadi norma hukum positif negara dalam mengatur kehidupan beragama sebagaimana surat SKB dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) maka telah terjadi pergeseran makna karena akan masuk dalam ranah dogmatika.

Pertarungan dogmatika akan terjadi dimana akan masuk dalam keputusan politik, yang kemungkinan besar akan mendasarinya pada suara terbanyak, apabila dasarnya adalah suara terbanyak maka pertimbangan yang digunakan adalah suara mayoritas dan minoritas. Maka tidak akan memungkinkan bagi masyarakat yang minoritas berada dalam komunitas yang mayoritas untuk menjalankan ibadahnya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara.

Negara agama bukan berarti melegitimasi negara untuk menjalankan proses kenegaraan dengan regulasi yang dihasilkan untuk mengatur kehidupan beragama seyogianya tidak berdasarkan standar agama mayoritas tetapi lebih pada pendekatan sosiologis dimana negara yang mengakui akan keberadaan agama-agama harus dilihat sebagai sebuah rekonstruksi pengalaman hidup bersama, dengan demikian pengalaman hidup bersama tersebut yang membentuk negara berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian bahwa penentu Indonesia kedepan bukan pada pemeluk agama mayoritas dalam angka tetapi negara harus dibangun melalui kacamata kepentingan seluruh rakyat yang memeluk berbagai agama.

Sehingga semua komponen agama dapat menerima Indonesia sebagai “negara agama” (negara mengakui agama-agama) tetapi bukan “agama negara” (agama tertentu menjadi penentu dalam negara). Kondisi ini menjamin setiap agama ditampung dalam negara dan setiap rakyat yang yang masuk dalam negara tidak kehilangan hak nya untuk beribadah sesuai dengan keyakinanya bahkan negara memperkuatnya dengan menyediakan fasilitas atau menjamin agar hak beribadahnya terpenuhi sehingga dapat disimpulkan Indonesia adalah negara agama karena berperan menjalankan fungsi negara yang ideal karena berdasarkan kehendak umum atau kepentingan umum.



*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar