Selasa, 16 November 2010

"GELAR PAHLAWAN BUKAN SEKEDAR NAMA BESAR"

“GELAR PAHLAWAN BUKAN SEKEDAR NAMA BESAR”
*Yoyarib Mau

Jangan sekali-kali melupakan Sejarah, ungkapan ini merupakan penggalan kata yang sering di utarakan oleh Soekarno, Presiden Republik Indonesia I dalam kesempatan-kesempatan orasinya, yang kemudian di frasekan dengan kependekan kata “Jasmerah” ungkapan inilah yang membuat perjalanan bangsa selalu menghargai para pendahulu bangsa dengan memberikan gelar sebagai pahlwan, Indonesia tercatat sebagai negara yang mampu dan memiliki perbedaan dengan sebagain negara di dunia dalam pemberian gelar kepahlawanan.

Pemberian gelar sebagai pahlawan merupakan hak pemerintahan yang berkuasa untuk memberikan gelar kepahlawanan bagi tokoh nasional yang telah berjasa bagi bangsa dan negara, untuk memenuhi syarat berjasa atau tidak, bukanlah hal mudah untuk mensahkan seseorang yang telah berjasa mendapatkan anugerah sebagai pahlawan.

Melalui tahapan-tahapan yang disyaratkan untuk dapat diajukan sebagai seorang pahlwanan yang kemudian di seleksi oleh kementrian sosial dan kemudian di gelar itu dikukuhkan oleh President sebagai kepala negara. Pemberian gelar kepahlawanan datang dari masyarakat atau komunitas yang merasa ada sesuatu yang dikorbankan dan diwariskan oleh sang tokoh yang pernah hadir dalam sejarah bahkan bagian dari pelaku sejarah.

Penganugerahkan gelar berdasarkan bukti dan fakta yang dibuktikan dengan penggalian sejarah, pengumpulan data serta informasi-informasi yang akurat dan dapat di percayai yang diajukan oleh kelompok atau masyarakat, karena telah melihat dan bahkan membuktikan secara actual bahwa sang tokoh memiliki kelayakan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan.

Gelar itu akan diumumkan pada hari pahlawan setiap tanggal (10) sepuluh Novemver pada setiap tahun, sebagaimana pada 10 November 2010 yang lalu pemerin tah memberikan penganugerahan gelar kepahlawanan kepada 2 tokoh utama yang diaanggap memiliki sumbangsi real dalam perjuangnnya bagi bangsa Indonesia yakni Dr. Johanes Leimena (1905-1977) yang Abraham Dimara (1916-2000) kedua tokoh ini berasal dari wilayah Timur Indonesia.

Pemberian gelar kepada dua tokoh ini telah melalui sejumlah seleksi yang cukup ketat dan persaingan dari 10 tokoh yang didominasikan untuk mendapatkan gelar kepahlawanan, dari sepuluh nama yang diajukan untuk menerima gelar kepahlawanannya termasuk didalamnya dua mantan presiden Indonesia yakni Soeharto dan Gus Dur. Penentuan dua nama yang dianggap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional ini menghadirkan pertanyaan yang sangat mengherankan bagi sebagian masyarakat, apa yang menjadi dasar bagi penentuan dua nama tersebut sebagai pahlawan ? atau timbul dalam benak kebanyakan orang kedua nama tersebut tidak terkenal ? bukan pula pejuang yang mati di medan perang atau medan laga ? tidak lah dicatatkan dalam kurikulum buku sejarah pendidikan Indonesia ?

Sejumlah pertanyaan diatas menunjukan bahwa gelar pahlawan nasional bukanlah tafsir tunggal, dimana memiliki nama besar, mati dimedan laga, pernah menjabat sebagai pejabat negara, atau namanya tercatat dalam buku sejarah, namun pemberian gelar nama ini jauh dari tafsir tersebut.

Menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas tidaklah salah jika petanyaan-pertanyaan itu hadir karena sudah menjadi pemahaman umum bahwa mereka yang telah berjuang di medan perang dan pernah menjabat sebagai pejabat negaralah yang memiliki hak untuk mendapatkan gelar tersebut, masyarakat bertanya mengapa harus Leimena yang biasa di sapa Om Jo, nama ini mungkin familiar bagi komunitas mahasiswa Kristen, karena beliau berjasa bagi pendirian organisasi ekstra kampus yakni Gerakan Mahasiswa Kriten Indonesia (GMKI) pada tahun 1950, yang kemudian hari mendirikan Parkindo (Partai Kristen Indonesia) dan menjadi salah satu tokoh muda dari Ambon - Maluku yang berperan dalam deklarasi Kongres Sumpah Pemuda tahun 1928.

Dalam pemerintahan NKRI beliau pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan menjabat sebagai Penjabat President jika Bung Karno berkunjung ke luar negeri. Namun bagi masyarakat luas tidak mengenal begitu jauh tentang tokoh ini karena terbatsanya literature yang menuliskan tentang tokoh ini, namun bagi komunitas Kristen dan masyarakat Maluku mengenal Leimena sebagai tokoh yang gigih membela Pancasila, Leimena menganggap Pancasila memberikan ketenangan untuk berbakti dan berdedikasi.

Kekristenan dianggab sebagai warisan penjajah sehingga nasionalismenya diragukan, tetapi premis ini digugurkan oleh Leimena dengan partisipasinya dalam politik, bagi Leimena peran umat Kristen sangat penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia, sehingga menurut beliau Politik sebagai etika untuk melayani. Sedangkan Abraham Dimara merupakan tokoh Papua gigih memperjuangakan Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia, sehingga akibat perjuangan untuk menegaskan kepada pihak Belanda bahwa Papua adalah bagian dari Republik Indonesia.

Penetapan dua nama ini menyebabkan dua mantan presiden yakni Soeharto dan Abdurahman Wahid belum mendapatkan kesempatan untuk dikenang sebagai Pahlawan Nasional, dari nilai perjuangan yang diwariskan oleh kedua tokoh diatas memberikan indikasi bahwa ada nilai dan semangat nasionalisme yang dimiliki oleh kedua tokoh tersebut untuk nusa dan bangsa, Johanes Leimena merepresentasikan bahwa penganut Kristen di Indonesia juga turut berperan dalam kemerdekaan dan kedaulatan NKRI dan bukan antek-antek Belanda serta memiliki sumbangsi nyata bagi kemajuan negara ini dan kemudian Johanes Abraham Dimara merepresentasikan bahwa perjuangan untuk menjaga dan menegakan NKRI bukan hanya didominasi atau hanya mereka yang berada di Ibu kota negara, tetapi kelompok masyarakat Papua pun memiliki sumbangsi real bagi keutuhan NKRI.

Dengan demikian semangat dan spirit nasionalisme harus dilihat secara utuh bukan berdasarkan tafsir tunggal saja, tetapi ada nilai yang diwariskan dan bukan hanya nama besar yang sempat direkam dan dicatat dalam otobiografi ataupun bibliografi. Soeharto memiliki nama besar sebagai mantan president Republik Indonesia, dikenal sebagai Bapak Pembangunan Nasional karena perannya dalam membangun swasembada pangan, namun penetapan gelar pahlawan Soeharto ditangguhkan karena Soeharto tidak memenuhi syarat nilai karena dianggab sebagai sosok yang kontroversial dalam pelanggaran HAM dan tindak kekerasan, serta korupsi.

Nama besar yang disandang karena jabatan tidak menjadi ukuran untuk digelari pahlawan nasional tetapi ada semangat dan nilai yang diwariskan bagi orang lain yang dianggab memenuhi semangat nasionalisme. Peran tokoh tidak dipandang bahwa dirinya datang dari masyarakat yang tersisih karena perdaban dan juga keberadaannya dari segi jumlah atau kuota dan stigma miring tetapi keterlibatan dan semangat kerja dan kejujuran hati yang didedikasikan bagi keberadaan Republik Indonesia menjadi dasar untuk mewujudkan pepatah kuno “gajah mati meninggalkan gading – manusia mati meninggalkan nama” nama bukanlah sekedar nama tetapi nama dikenang karena nilai dan spirit nasionalisme yang di dedikasikan secara tulus.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Politik Indonesia – FISIP – UI (Tulisan ini sebagai reflektif atas penganugerah gelar pahlawan bagi Dr. Johanes Leimena sebagai pendiri GMKI dan menuju Kongres GMKI di Makasar pada tanggal 25 - 29 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar