Minggu, 14 November 2010

"PILKADA ITU BENCANA ATAU ANUGERAH"

“PILKADA ITU ANUGERAH ATAU BENCANA”
*Yoyarib Mau

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) atau Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) adalah sebutan yang kerap kali terdengar pada saat dilakukannya pergantian kepemimpinan didaerah, baik itu ditingkat Provinsi yakni pemilihan Gubernur maupun di Kota/Kabupaten dalam pemilihan Walikota/Bupati.

Transfers kekuasaan dimana salah satunya dilakukan melalui pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia merupakan implementasi dari demokrasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry B. Mayo mengenai nilai-nilai demokrasi tersebut salah satunya adalah penyelenggaraan pergantian pimpinan secara teratur (Miriam Budiardjo – Gramedia – 2008), yang kemudian pergantian kepemimpinan diatur secara berkala yakni jabatan kepemimpinan selama lima (5) tahunan.

Penyelenggaaan pergantian kepemimpinan secara demokratis di Indonesia dapat terwujud dengan baik yakni setelah reformasi dimana pemerintahan yang dulunya bersifat sentralistik telah berakhir, pemerintahan yang sentralistik dimana selalu berpusat di Ibukota Negara dan di kawasan barat Indonesia, pajak daerah, serta pendapat asli daerah pun sebagian besar harus dilakoasikan ke Pusat hal ini menyebabkan kesenjangan yang cukup tinggi di sebagaian daerah, terutama daerah kawasan timur Indonesia.

Keadaan demikian menyebabkan pembangunan hanya di lakukan di Ibu Kota Negara dan sekitarnya sehingga pasca reformasi politik tahun 1998 menghasilkan sebuah perubahan yang cukup signifikan yakni diwujudkannya pemerintahan yang bersifat desentralisasi, yang menurut HAW. Widjaja desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (HAW. Widjaja – Rajawali Pers – 2008).

Penyerahan sebagian wewenang dari pemerintah pusat yakni dalam bidang politik yakni menyelengarakan pergantian pemipin di tingkat daerah melalui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat dengan memberikan hak bagi rakyat untuk menentukan pilihannya tanpa harus mengalami penekanan bahkan hak tesebut tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, setiap individu yang memenuhi syarat mendapatkan kesempatan “one man one vote”.

Penyelenggaran Pilkada di Indonesia menghasilkan sebagai krisis politik baru menghasilkan perosoalan – persoalan baru yakni meningkatnya nafsu kekuasaan dari para elite lokal sehingga meningkatnya money politik (politik uang) yakni menjelang suksesi kepemimpinan di tingkat perebuatan pimpinan partai poltik di tingakt lokal maupun perebutan kendaraan politik untuk diajukan sebagai calon kepala daerah yang diusung oleh partai politik, tidak hanya itu tetapi di tingkap KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) tidak hanya mensyaratkan kelengkapan dokumen tetapi ada syarat tambahan yakni setoran “doku”.

Terciptanya kekerasan pasca pilkada diantara kelompok-kelompok pendukung para kandidat terjadi konflik horizontal, karena terbaginya dukungan politik terhadap kandidat peserta pilkada yang terbentuk melalui jaringan kekerabatan, marga, suku bahkan agama. Para kandidat peserta Pilkada mengalami putus asa karena seluruh harta benda dijual bahkan digadai dan berujung pada upaya bunuh diri karena kalah dalam suksesi pilkada

Bahkan kondisi ini diperparah dengan menguatnya ekloitasi partai politik dengan melakukan pendekatan- pendekatan dukungan secara feodal yakni menarik dukungan politik dari kesultanan-kesultanan lokal atau raja-raja kecil di daerah, atau para bangsawan sehingga dapat saja terjadi pertikain dalam masyarakat yang melibatkan identitas kesukuan atau kerajaan bahkan bisa saja menjurus ke pertikaian agama, dan mengancam akan keutuhan dan integritas bangsa seperti yang terjadi pada periode lalu seperti di Maluku Utara pertikaian antar pendukung Abdul Gafur – Abdul Rachim Fabanyo Vs pendukung Thaib Armain – Abdul Gani Kasuba, tidak hanya di Maluku Utara tetapi seperti Berebes, pembakaran Kantor KPUD dan sejumlah fasilitas negara karena kecewa atas putusan KPUD seperti yang terjadi di NTB. Apabila Penyanyi Pop Ebiet G. Ade dalam lirik lagunya berbunyi “…Anugerah dan Bencana adalah kehendak- Nya (TUHAN)”, Jika lagu ini ada yang bertanggungjawab atas suatu kondisi namun dalam topik pembahsan ini, Pilkada itu Anugerah atau Bencana itu kehendak siapa ?

Pelaksanaan Pilkada di Indonesia dianggap menelan biaya yang cukup tinggi baik itu yang dianggarkan dari APBN/D tetapi juga yang harus disiapkan oleh kandidat atau calon peserta pilkada tersebut, pasca pilkada pun banyak fasilitas harus di perbaiki karena dirusak oleh masa yang kecewa dengan putusan KPUD yang memenangkan pasangan tertentu karena dianggab adanya penggelembungan suara bagi calon tertentu.

Kondisi yang terjadi saat ini di Indonesia dapat dilakukan kajian dengan menerapkan konsep “collapse state”, Gregorius Sahdan menjelaskan bahwa, collapse state didefenisikan sebagai negara yang tidak lagi memiliki performa yang baik, ketika fungsi-fungsi negara diperlukan untuk membawa negara dari berbagai kebobrokan internal. Dengan kata lain negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, terutama ketika masyarakat membutuhkan negara dalam situasi dimana masyarakat sangat memerlukan kehadiran negara. kemudian Gregoirus Sahdan menambahkan dan memberikan pemetaan terhadap penyelenggaraan pilkada di Indonesia menjadi : Pertama, Strong state – negara kuat yang ditandai oleh peran pemerintah yang sangat dominan, masyarakat sipil yang lemah, control terhadap masyarakat yang berlebihan berorientasi pada penyediaan public goods semata-mata dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, munculnya gejala soft state – negara yang lembek. Soft state ditandai oleh ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan konflik, public goods yang kurang terjamin, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan tidak terarah, dan stabilitas keamanan yang kurang terjamin. Ketiga, pilkada juga menghadirkan weak state – negara yang lemah, ditandai oleh : kapasitas pemerintah yang lemah dalam menyediakan public goods, perekonomian yang tidak tertangani dengan baik, kepercayan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah dan sebagainya. Keempat, pilkada juga menghadirkan fenomena failed state – negara yang gagal seperti yang ditandai oleh : penurunan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, tatanan pemerintah yang sebelum pilkada dikelola dengan sangat baik, berubah menjadi bad governance, public goods yang merosot dan tidak berkualitas. Kelima, pilkada di sejumlah daerah yang menghadirkan collapsed state – negara yang roboh dan tidak kunjung hidup, ditunjukan adanya konflik berkepanjangan – perang suku yang terjadi terus menerus, perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang terus menerus menurun, tidak adanya jaminan kesehatan, akses terhadap pendidikan yang sulit (Analisis CSIS Vol. 37, No. 2 Juni 2008).

Dari kelima pemetaan tersebut semua hampir menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemerintahan saat ini sehingga tidak salah jika Gregorius Sahdan bahwa pelaksaanaan pilkada saat ini memetakan Indonesia ada pada tahapan collapse state, tentu pemetan ini beralasan berdasarkan realitas politik yang saat ini dialami dalam sejumlah pelaksanaan pilkada di tanah air.
Pilkada dilakukan untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis namun dalam kenyataannya jauh dari harapan mungkin benar apa yang dikatakan plato bahwa apabila ingin sebuah negara maju maka sebaiknya kekuasaan itu dikendalikan oleh orang pintar dimana pemerintahan dengan sistim aristokrasi sehingga bukan demokrasi yang berakhir dengan kekerasan.

Kekerasan selalu dilatarbelakangi oleh penyebab sebagaimana pemetaan yang di lakukan Gregorius Sahdan yakni kebebasan sipil yang tak terkontrol liar akibat kekuasaan dan tekanan oleh yang dilakukan oleh orde baru sehingga ketika kebebasan yang diperoleh sepertinya liar karena tanpa kemampuan serta pemahaman yang memadai untuk menjalankan kebebasan yang diperoleh, karena menganggap bahwa adanya kebebasan untuk menyampaikan pendapat tetapi tak memiliki kamampuan untuk menggunakan alat atau media yang tepat untuk menyampaikan pendapatnya. Contohnya ketidak kepuaasan karena calon yang diusung mengalami kekalahan maka jalur untuk menyampaikan gugutan dapat lakukan melalui mahkamah konstitusi, membangun opini untuk mendapatkan dukungan melalui diskusi atau seminar dan sebagainya.

Kekerasan dapat saja terjadi karena lemahnya perekonomian atau terbatsanya lapangan pekerjaan yang tersedia sehingga menyebabkan kekekacauan dapat terjadi, idealnya ketika orang yang memiliki kecukupan pangan maka ia akan diam, atau karena “masa bayaran” dalam pilkada sering terjadi para pendukung dalam memberikan dukungannya di beri sejumlah uang, sehingga disaat pendukung ini di beri uang yang cukup untuk melakukan protes maka sejumlah orang akan hadir dalam aksi tuntutan untuk mendapatkan uang, akibat masa yang terkonsentrasi banyak dan di profokasi maka akan timbul anarkis.

Birokrasi Barter istilah ini yang saat ini terjadi di daerah yang menggantungkan nasibnya hanya pada birokrasi pemerintahan, sehingga apabila calon yang didukung menjanjikan sejumlah kuota untuk menjadi pegawai negeri sipil PNS, demi tujuan tersebut maka mereka akan rela melakukan apa saja untuk membela sang calon dengan harapan tujuan untuk mendapatkan pekerjan itu dapat tercapai.

Penegakan hukum yang tidak mencerminkan rasa keadilan dan putusan hukum hanya berdasarkan transaksi keuangan, dimana sebuah perkara dapat diselesaikan, atau kemenangan hanya berpihak pada mereka yang berani membayar. Kenyataan ini menghadirkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah karena sia-sialah perjuangan mereka, jika yang berani membayar para penegak hukumlah yang akan memenangkan salah satu calon yang bersengketa. Kondisi inilah yang membuat rakyat tidak lagi mempercayai lembaga hukum untuk menyelesaikan perkara sehingga pilihan kekerasan merupakan jalan solusi. Rakyat mengangap jika hukum tidak dapat memberikan kepastian maka “hukum alam’ atau “hukum rimba” yang berlaku siapa kuat dia yang akan mendaptkan kekuasaan.

Kesulitan ekonomi dan rendahnya kepedulian negara bagi pemenuhan kebutuhan hidup, ketidak kepastian hokum menyebabkan penyebab timbulnya kekecewaan rakyat yang berujung pada tindak kekerasan. Permasalahan ini tidak dapat dilemparkan kepada mereka yang melakukan tindak kekerasan karena lalainya negara dalam memainkan perannya, pendidikan politik yang harus di jalankan oleh partai politik tidak berjalan dengan baik karena alasan pendanaan. Padahal dalam pemilu banyaknya biaya yang dikeluarkan baik perorangn maupun isntitusi partai di keluarkan untk mencetak atau menerbiktan atribut partai politik dan propaganda yang menghabiskan sejumlah dana. Mengenai sumber biaya yang di peroleh partai politik tidak pernah di ekspos atau dilakukan audit serta aturan yang mengatur tentang laporan keuangan dari partai politik itu sendiri untuk menunjukan transparansi, dan mempertangungjawabkan bantuan yang diberikan oleh negara.

Partai politik hanya akan beraktifitas dalam melakukan kegiatan maupun pendidkan politik yang dipahami sebatas bantuan sosial maupun kegiatan seremonial keagamaan hanya di lakukan jelang 1 atau 2 tahun menjelang pemilu atau pilkada. Kurikulum sekolah tentang demokrasi yang mengatur atau muatannya tentang demokratisasi melalui kegiatan sekolah atau kegiatan organisaasi ataupun kegiatan ekstra kurikuler sudah seharusnya diterapkan di sekolah di mana telah melatih siswa yang nantinya akan menjadi bagian dari pemilih, untuk sudah siap berkompetisi dan juga siap untuk menang, serta juga siap untuk menerima kekalahan.

Negara dala hal ini KPUD sebagai penyelengga pesta demokrasi bukan jabatan hasil kompromi politik incumbent atau mereka yang memiliki sejumlah uang untuk membeli partai politik untuk memilih dirinya menjadi anggota KPU dan KPUD atau anggotaKPU/D yang meruapak utusan atau kader partai yang di tempatkan di KPU/D sehingga dalam kinerjanya selalu untuk partai politik. Kinerja KPUD juga diharapkan untuk memiliki kemampuan dalam menerjemahkan hokum, serta memahami regulasi, karena akibat kekeliruan dan kesalahan dalam menerjemahkan dan memahami sebuah regulasi akan menimbulkan konflik.

Lembaga Konstitusi yang dapat dipercaya seperti Mahkamah Konstitusi sebagai tempat pengaduan perkara atau sengketa pilkada harus bebas dari suap dan dapat memberikan rasa keadilan sehingga konflik tidak akan terjadi karena adanya kepercayaan masyarakat terhadap negara yakni Mahkamah Konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi juga harus bebas dari intervensi kepentingan penguasa, namun apabila dalam perjalanan waktu Mahkamah Konstitusi juga mencederai hukum maka rakyat akan melakukan pengadilan rakyat jika MK saja tidak lagi menegakan keadilan.

Perubahan hanya akan di capai untuk mencegah negara mengalami collapse state dalam setiap konflik Pilkada, kondisi perlu ada ketegasan dalam proses perekrutan dan pemilihan KPU/D serta dalam pemberian bantuan bagi partai politik untuk melakukan pendidikan politik, Perhatian pemerintah dibutuhkan dalam ketegasan sikap yang tidak kompromistis, namun apabila ada pengabaian dan tidak diperhatikan maka yang bertangung jawab atas kekerasan dan rasa kekecewaaan masyarakat yang berujung dengan anarkis adalah negara. Negara tidak dapat melarikan diri dari kewajiban ini.

Proses perekrutan yang akuntabilitas serta transparansi dalam perekrutan KPU/D akan sangat menentukan kwalitas demokrasi. Kesejahteraan rakyat hanya akan tercapai dengan adanya kepemimpinan yang baik dan berkwalitas, proses menuju kesana hanya dicapai melalui pilkada yang diatus dalam konstitusi, namun jika proses pilkada yang dilakukan akan terancam gagal dan berujung dengan kekerasan jika negara tidak mampu menyiapkan infrastruktur demokratisasi dengan baik yakni pendidikan politik bagi rakyat serta institusi penyelenggara pilkada yang dapat di percayai maka niscaya anugerah kesejahteraan akan diperoleh dari Pilkada.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar