Minggu, 14 November 2010

BIAYA TAK TERDUGA UNTUK BENCANA DALAM APBN/D

“BIAYA TAK TERDUGA KHUSUS BENCANA ALAM DALAM APBN/D”
*Yoyarib Mau


Bencana alam serasa sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, sejak bencana tsunami aceh yang menelan korban jiwa dan harta yang tak terkira, bahkan menyisahkan kenangan traumatis yang berkepanjangan. Bencana alam yang tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi hampir menyeluruh di berbagai belahan bumi, seperti badai katharina yang menerpa negara bagian Florida di Amerika Serikat pada beberapa tahun lalu, Banjir di Pakistan, Gempa Bumi yag menghancurkan berbagai gedung dan pusat Ibukota di negara kepulauan Fiji dan bencan alam lainnya di berbagai negara.

Kondisi Indonesia sangat beragam bencananya baik itu tsunami akibat gempa gumi dengan skala yang cukup besar di kedalaman laut, meletusnya gunung merapi, banjir bandang, tanah longsor, dan bencana kekeringan yang menyebabkan gagal panen, serta bentuk bencana yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan materi.

Akibat bencana yang selalu menghadirkan kerugian harta benda, kematian dan kehilangan jiwa manusia, serta kerusakan infrastruktur, membuat manusia mencoba melakukan berbagai kesimpulan ada yang menafsirkan secara “teologis” dimana bencana merupakan bentuk amarah “sang kuasa” (pencipta) atas ketidaksetiaan manusia (dosa), atau bentuk teguran dan berbagai pengertian lainya, namun yang lain memahami bahwa bencana alam ini dalam tradisi kuno yakni marahnya para dewa/dewi karena pemimpin yang tidak becus pemerintahan yang bobrok sehingga para dewa marah, pemahaman kuno bahwa pemimpin negara atau masyarakat adalah titisan dewa yang ada di bumi.

Namun akibat hadirnya ilmu pengetahuan maka pemahaman akan penyebab adanya bencana pun berbeda, yang memahami bencana terjadi karena “human eror” kesalahan manusia. Menurut Mubarig Ahmad dalam teori fisika, perubahan iklim terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi, Konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat karena bertambahnya kegiatan ekonomi dunia yang menimbulkan emisi GRK, emisi GRK berasal dari dekomposisi biomassa tak terpakai (misalnya, sisa penebangan hutan dan sampah organik), asap pabrik, dan kendaraan bermotor yang mengandung CO2, pertanian lahan basah yang mengeluarkan gas metana, dan berbagai emisi gas lainnya. Penumpukan dan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menimbulkan efek rumah kaca, yaitu menigkatnya suhu udara permukaan bumi karena terkurungnya pantulan energi, sinar matahari (Prisma – Vol. 29 No. 2 April 2010 – LP3ES).

Permasahalan diatas yang kemudian menghadirkan trend global yakni adanya istilah Warming Global (pemanasan global). Sehingga dapat di simpulkan bahwa alam bergejolak akibat keserakahan dan konsumsi yang berlebihan menyebabkan ketidakseimbangan alam yang menyebabkan adanya bencana. Kondisi merupakan akumulasi dari perilaku berbagai pihak yakni industri, manusia, negara bahkan negara – negara luar pun turut berkontribusi bagi meningkatnya emisi gas rumah kaca. Kondisi ini menyebabkan bencana yang harus di terima atau dialami oleh manusia sebagai kodrat atau suratan takdir yang tak dapat ditolak, kemudian bagaimana cara untuk manusia berperan yang bertujuan mengimbanginya dengan berbagai upaya untuk menyelematkan bumi dan manusia yang ada didalam bumi ? atau membiarkan dan menerima bencana sebagai bagian dari proses “eskatologis” dimana tanda-tanda alam ini dipahami sebgai berakhirnya keberadaan bumi ?

Sejumlah pertanyaan diatas merupakan tugas negara yang didaulat oleh sekelompok manusia di suatu teritorial untuk mengatur kehidupan bersama, karena bagaimanapun negara turut berkontribusi terhadap keadaan ini dan ini terjadi secara global karena merupakan akumulasi dari perilaku pasar dunia, sehingga apa yang dihasilkan gas rumah kaca merupakan akibat perbuatan bersama secara global. Sehingga dibutuhkan sejumlah pembiayaan atau pendanaan untuk menciptakan keseimbangan alam sehingga sejumlah negara bersepakat bersama dalam lembaga global yakni UNFCCC untuk menangani isu perubahan iklim.

UNFCC dalam upaya penanganan isu perubahan iklim bersepakat untuk menangani perubahan iklim duni yakni menyepakati Porotokol Kyoto yang mewajibkan negara-negara maju mengurangi emisi kolektif gas rumah kaca, namun kesepakatan ini ada cheks and balance antara negara maju sebagai penghasil karbon terbesar karena dalam industry skala besar sudah tentu menggunakana teknologi yang menghasilkan karbon yang cukup tinggi jika di bandingkan dengan negara berkembang. Karena negara maju sebagai penghasil karbon terbesar maka mereka perlu memberikan kompensasi bagi negara berkembang, dengan memberi sejumlah dana sebagai upaya menciptkan kembali hutan (reforestation).

Namun dana kompensasi ini untuk penanganan perbaikan alam untuk jangka panjang namun bagaimana dengan keberadaan korban akibat perubahan iklim yang hadir melalui bencana, karena menimbulkan resiko ekonomi sehingga proses penyelesaianpun harus dalam kerangka kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi untuk penanganan bencana, sehingga ada kebijakan ekonomi negara dalam APBN/D sudah seharusnya memikirkan akan pengalokasian anggaran atau dalam pembukuan sederhana biasanya ada pos biaya tak terduga, karena bencana merupakan suatu keadaan yang sulit untuk diduga kapan tejadinya sehingga alokasi biaya tak terduga dikhususkan untuk proses penanganan.

Biaya tak terduga bagi negara haruslah di anggarkan khusus setiap tahun, untuk proses penanganan bencana alam, sehingga ketika bencana terjadi pemerintah tidak perlu melakukan utang luar negeri, atau mengharapkan bantuan dari negara-negara anggota UNFCC untuk memberikan bagi proses penanganan bencana, karena hal ini dapat berakibat buruk yakni sejumlah tuntunan bahkan intervensi negara lain karena telah memberikan bantuan terus mengajukan sejumlah tuntutan yang harus dipenuhi.

Penyediaan anggaran ini perlu diperhatikan bahwa dana ini tidak harus dihabiskan dalam tahun anggaran berjalan sehingga harus dihabiskan, apabila tidak ada bencana maka dana itu dikembalikan kepada negara, untuk diakumulasikan ke dalam biaya tak terduga untuk tahun yang akan datang. Karena bencana merupakan peristiwa yang tak dapat di duga sebelumnya atau melalui rancangan pembiayaan sehingga tidak bisa dilakukan penghabisan biaya tak terduga bagi bencana dalam setahun, karena bencana bisa saja dalam setahun beruntun, korban serta jumlah kerugian pun berbeda-beda tidak dapat diprediksi sehingga dana atau biaya yang tidak terpakai pada tahun sebelumnya dapat diakumulasikan untuk tahun berikutnya.

Manajemen pengelolaan dana penanganan bencana sudah harus diwujudkan jika tidak maka negara akan kebingungan ketika bencana tiba atau datang menghampiri negara tidak kebingungan serta lambat dalam melakukan penangganan, jangan hanya karena alasan menunggu perintah dan koordinasi dari berbagai instansi untuk proses penanganan, sering terjadi tarik menarik untuk mengkategorikan bencana ini penanganannnya oleh kementrian sosial atau kementrian kesejahteraan social atau kementrian lainnya. Tarik – menarik antar kementrian menyebabkan banyaknya jatuh korban akibat saling melempar tanggung jawab penanganan.

Seandainya ketersediaan biaya atau anggaran yang dapat di beri nama “biaya tak terduga” sebagaimana lazimnya dalam pembukuan akuntansi biaya ini untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang tidak diduga sebelumnya, biaya tak terduga sudah tersedia dengan harapan tidak ada kesulitan dalam proses penanganan, serta dapat meminimalisir bertambahnya korban akibat lambatnya pertolongan. Contoh kasus ketika bencana tsunami di Mentawai akibat medan bencana yang sulit terjangkau karena gelombang laut yang tinggi, tidak harus menjalani alasan untuk mengirim relawan dan tim medis dalam melakukan pertolongan terhadap jiwa manusia yang dapat terselamatkan nyawanya lewat penyediaan atau penyewaan transportasi udara seperti helicopter dan pesawat kecillainnya.

Kemungkianan hadir pertanyaan bagaimana mendapatkan sumber dana yang cukup untuk dialokasikan bagi pos “biaya tak terduga”, bahasa standar yang selalu dilontarkan oleh pemerintah karena keterbatasan kreatifitas. Membangun solidaritas kesetikawanan sosial dapat dibangun jauh sebelum bencana terjadi, dan bukan tercipta saat bencana terjadi dengan melakukan proses pegumpulan bantuan disejumlah perempatan atau pertigaan lampu merah atau melakukan pembukaan posko peduli atau mendadak membuka rekening / dompet bencana. Apabila kesetikawanan social di lakukan seperti srimultan maka akan menimbulkan anggapan buruk yakni adanya penyalagunaan untuk kepentingan pribaadi dengan mengeksploitasi akan keberadaan korban bencana.

Bencana alam yang terjadi karena kondisi ketidakseimbangan alam akibat gas rumah kaca sudah tidak menentu ini, seyogiannya negara sudah seharusnya memikirkan upaya – upaya pencarian dana atau kepeduliaan masyarakat melalui berbagai upaya yakni menghimbau sejumlah korporasi untuk menyisihkan sejumlah dana bagi perbaikan alam, atau melakukan kerjasama dengan sejumlah bank dengan meminta persetujuan nasabah untuk setiap bulannya dapat mendonasikan sebagian rupiah uang dari tabungannya, pihak bank dapat memotong sejumlah nilai rupiah bagi konservasi alam dan bantuan bagi korban bencana sebagai bentuk investasi kepedulian bencana.

Pemotongan yang dilakukan mungkin saja dalam angka yang sangat kecil tetapi dari sejumlah nasabah ataupun korporasi maka setiap tahun nya sudah ada alokasi dana yang cukup untuk proses penanganan bencana, bukan ketika bencana terjadi masyarakat sepertinya baru tegugah dan sejumlah propaganda dimainkan melalui bahasa puitis dan melankolis untuk menggugah perasaan masyarakat untuk peduli, padahal kesetiakawanan sosial sudah terpatri di lubuk manusia sebagai makhluk social sejak manusia lahir.


Tantangan pendanaan tidak menjadi alasan yang menyebabkan banyaknya korban jiwa harus berjatuhan dan proses penanggulangan yang lamban serta proses rekonstruksi habitat yang yang berkepanjangan bagi para pengungsi, tetapi jika ketersediaan biaya tak terduga yang tersedia maka tidaklah membuat kita takut dengan bencana tetapi siap menghadapi bencana akibat ulah manusia atau konsekwensi dari pemanfaatan alam yang tidak terkontrol.

*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar