Sabtu, 13 Agustus 2011

“PENJAJAH BARU ITU BERNAMA PARTAI POLITIK”

“PENJAJAH BARU ITU BERNAMA PARTAI POLITIK”
*Yoyarib Mau

Partai Politik merupakan salah satu pilar penegak kuatnya demokrasi, namun jika partai politik itu rapuh maka negara yang menjalankan demokrasi akan ambruk. sejak tahun 1936 cikal bakal partai politik di Indonesia sudah ada walau tidak begitu kuat dalam pemerintahan colonial, walau mendapatkan perwakilan untuk berada di lembaga dewan rakyat (volksraad) bentukan Kolonial. Namun karena pemikiran masyarakat Indonesia yang menganggap volksraad adalah lembaga bentukan kolonial sehingga dipastikan tidak akan dapat menjadi lembaga perwakilan rakyat Indonesia dan tidak akan dapat menjadi penyalur dan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Berdirinya Partai politik pada awalnya di semangati oleh semangat kolonialisme untuk menghadirkan model pemerintahan yang baik, namun spirit yang ada adalah mendukung kepentingan colonial. Kaum pribumi yang waktu itu menyadari bahwa kepentingan rakyat tidak akan terwujud sehingga mulai hadirlah perjuangan rakyat yang terkonsolidasi dalam paguyuban atau kelompok berdasarkan golongan dan aliran seperti Serikat Islam, Persatuan Minahasa, Persatuan Perhimpunan Katoliek Jawa, Persatuan Kaum Kristen, selain kelompok aliran dan golongan ada juga kelompok Parindra dan Gerindo dan PSII.

Kelompok ini sepakat untuk kemudian menentukan nasib sendiri dengan berparlemen, dengan tujuan mencapai Indonesia berparlemen, kemudan membentuk pemerintahan, lembaga-lembaga yang kemudian bertujuan untuk melepaskan diri dari jajahan Belanda.

Pasca kemerdekaan dari kolonialisme partai politik dalam kerja dan perjuangannya adalah mempertahankan Negara Republik Indonesia yang berdaulat adil dan makmur berdasarkan kedaulatan rakyat, tujuan utama ini diperkuat dengan usaha – usaha diantaranya memperkuat persatuan bangsa dan negara, memperbesar rasa cinta, setia dan bakti kepada tanah air, serta mengusahakan program ekonomi kerakyatan.

Dalam perjalanannya hingga pasca reformasi 1998 keberadaan partai politik mengalami distrorsi atau arah perjuangan asali dari makna partai politik, mereka lupa diri mengapa harus ada atau didirikan. Partai politik kini didirikan bukan berdasarkan ideologi perjuangan yang ada tetapi lebih pada nafsu kekuasaan. Sewaktu Partai Demokrat didirikan oleh SBY sebagai kendaraan politik, dengan perhitungan apabila memperoleh suara yang cukup maka dapat berperan sebagai partai pengusung dirinya sebagai Presiden.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Wiranto ketika gagal berpasangan dengan Solahudin Wahid yang diusung Golkar pada pemilu presiden 2004 karena mesin partai yang tidak bekerja secara optimal, sehingga Wiranto menyatakan diri keluar dari partai politik dan membentuk Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), kemudian juga disusul oleh Prabowo Subianto dengan mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya.

Surya Paloh pasca munas partai Golkar di Pekanbaru kalah dalam pertarungan merebut Ketua Umum Partai Golkar kemudian membentuk Ormas Nasional Demokrat yang kemudian berkembang wacana bahwa dirinya berada di belakang terbentuknya Partai NasDem, namun tak kalah pamornya para kelompok intelektual seperti Rocky Gerung, Arbi Sanit menengahi terbentuknya Partai Serikat Rakyat Independent (SRI) yang mengusung Sri Mulyani Indrawati sebagai calon President.

Melihat fenomena keberadaan partai-partai politik ini yang hampir semuanya memiliki kecenderungan sebagai kendaraan politik untuk menjadi penguasa, padahal hasil jajak pendapat yang dilakukan litbang Kompas pada 22-22 Juli 2011 memaparkan dari 819 responden yang menyatakan tidak mempercayai lagi lembaga-lembaga yang memperjuangkan kepentingan rakyat, lembaga yang paling tingi angka ketidak pecayaan masyarakat adalah partai politik yakni 80%, disusul oleh lembaga DPR dengan skor 76,6%, kemudian lembaga penegak hukum 70,8 % (Kompas 25/07/2011)

Dari angka ketidakpecayaan ini sebenarnya mewakili keadaan yang terjadi dalam masyarakat dan yang mensangsikan adalah ketidakpercayaan masyarakat pada bidang politik, karena peranan politik sebagai pembuat kebijakan, pembuat produk hukum agar mengatur proses hidup orang banyak, namun diperparah lagi dengan tingkat ketidakpercayaan terhadap penegak hukum pun lemah.

Keadaan ini menghasilkan pertanyaan, mengapa proses politik dalam negara ini menjadi kehilangan arah ? dan kemana tujuan politik dari negara ini akan diarahkan ? ketika keadaan politik dimana menyangkut kebijakan yang salah dalam sebuah negara, maka akan berdampak pada kekacauan ekonomi dan bidang – bidang yang lain. Ketika lembaga pemberi peringkat ternama standard & poor’s menurunkan peringkat ekonomi Amerika dari AAA menjadi AA+, membuat semua masyarakat dunia panik dan Presiden Barack Obama dicerca oleh para lawan polik namun Obama membela cercaan itu dengan mengatakan bahwa “tidak ada yang salah dengan negeri kita ini. Yang sebenarnya terjadi adalah, ada yang salah dengan politik kita (Kompas 13/08/2011).

Pernyataan Obama ada benarnya karena pergolakan antara partai republik dan partai demokrat yang tidak mendukung menaikan pagu utang, padahal kebijakan anggaran pemerintahan Obama adalah untuk menangani krisis keuangan dalam negeri, kisruh ini memiliki kecenderungan mengarah pada suksesi pemilu presiden yang akan dilakukan tahun depan, partai politik republik tidak memperdulikan keaadaan negara tetapi malah mempertahankan kebijakan partai republik sebagai pukulan politik bagi partai democrat agar Obama yang berupaya melakukan pengurangan dan pemotongan anggaran guna membayar utang, namun momentum ini digunakan oleh partai republik untuk menjegal Obama tidak terpilih lagi pada periode berikutnya.

Kondisi di Amerika serikat berbeda dengan di Indonesia, Amerika Serikat sebagai salah satu negara tertua yang menjalankan demokrasi melakukan politik yang santun serta argumentasi yang dapat di percaya. Strategi politik untuk memenangi kekuasaan hampir memiliki kesamaan yakni menyangkut persoalan anggaran, namun dalam konteks Indonesia adalah partai politik mendominasi bahkan berperan penting dalam mengatur anggaran APBN hingga proyek-proyek di sejumlah kementrian. Pola yang dilakukan oleh partai politik adalah melalui wakil rakyatnya di DPR, bagaimana memburu rente proyek-proyek yang di danai oleh APBN.

Penjajahan Secara Sistemik

Partai Politik tidak memiliki sumber dana yang jelas karena keberadaan parpol yang awalnya didanai oleh pendiri partai, namun seiring waktu ketika sudah mendapatkan kursi di DPR maka pendiri menyerahkan upaya pencarian keuangan partai diserahkan sepenuhnya kepada pengurus partai, sebagaimana keberadaan Partai Demokrat ketika masih dibiayai oleh pendiri maka Ketua Umum partai politik ditunjuk saja dari lingkaran dalam, Hadi Utomo yang juga adik Ipar SBY menggantikan Ketua Umum pertama Subur Budi Santoso hal ini dilakukan dengan tujuan kontrol keuangan dapat dilakukan dengan baik.

Ketika partai demokrat sudah memiliki kekuasaan yang kuat di parlement maka pemilihan ketua umum partai dilakukan melalui kongres, Kongres dilakukan sebagai pola partai modern serta partai yang terkesan demokratis. Padahal dalam proses ini inilah titik awal penjajahan terhadap bangsa dilakukan dimana terjadi mafia proyek, melalui dukungan swasta yang dibutuhkan oleh para kandidat yang akan bertarung, yakni menyerahkan sejumlah uang dengan janji setelah tepilih akan mengupayakan sejumlah proyek APBN untuk dikerjakan. Anas dan Ibas pernah disebut Nazarudin turut menerima uang dari proyek Wisma Atlet SEA Games, di samping uang sebesar Rp 50 miliar dari proyek Hambalang yang digunakan untuk pemenangan Anas dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu (http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=284975).

Kekuasaan partai politik dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat melalui APBN melibatkan legislatif maupun eksekutif, partai politik menempatkan Menteri dari partai politik tertentu di Kementrian tertentu. Hal ini untuk mengarahkan sejumlah proyek APBN ataupun proyek pengadaan barang kepada rekanan perusahaan yang sudah memiliki hubungan emosional dengan partai politik, atau perusahaan tersebut sudah menyerahkan sejumlah uang dalam sebuah perhelatan politik baik itu munas maupun dalam kegiatan partai sehingga janji akan diberikan proyek menjadi hak perusahaan tersebut.

Mengerat Bersama

Saat Anas Urbaningrum terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dengan berbesar hati demi membangun Partai Demokrat, maka rela melepaskan diri sebagai anggota DPR karena berkomitment untuk konsen mengurus partai. Partai Politik di Indonesia hampir tidak memiliki sumber dana tetap yang berasal dari iuran anggota sehingga hadir pertanyaan bagaimana menghidupi dan menjalankan roda organisasi ini, Jawabannya adalah menjadi tugas pengurus partai terpilih untuk mengusahakan sumber-sumber keuangan.

Partai politik yang telah memperoleh kursi di DPR menjadi salah satu sumber keuangan bagi keuangan partai, yang berasal dari gaji anggota DPR dipotong untuk partai politik, namun hal ini jika di lakukanpun tidak akan cukup untuk membiayai operasional parpol, sehingga hal lain yang akan di lakukan adalah melakukan lobi proyek.

Lobi proyek melibatkan sejumlah pihak baik itu legislatif yakni badan anggaran dewan (banggar), Kementrian terkait dan legislatif dari partai politik terkait. Skema kerja mereka memiliki keterkaitan dengan badan anggaran, dalam melakukan fungsi mengalokasikan APBN untuk proyek kementrian dan proyek nasional, anggota DPR dari partai bersangkutan bertanggung jawab untuk melakukan lobi dengan Bagian anggaran serta kementrian yang bersangkutan agar segera disepakati, pengurus parpol bertanggung jawab mencari dan menemukan pengusaha atau swasta yang akan mengikuti tender proyek.

Jaringan inilah yang terjadi pada kasus korupsi wisma atlet, mereka yang terlibat dalam lobi dan pemulusan proyek bahkan penitia tender yang dilakukan secara formalitas dimana sudah ada perusahaan/kontraktor pemenang tender, semuanya mendapatkan komisi dari anggaran ini. Nilai proyek yang cukup besar yang telah di tetapkan dalam APBN kemungkinan terealisasi hanya 40 – 60 % anggaranya sedangkan hampir 20% nilai anggaran itu di bagi kepada anggota legislatif, pejabat eksekutif, pengusaha, dan pelaksana lapangan (yang melakukan tender dan melakukan pengawasan proyek dari kementrian atau lembaga terkait ).

Contoh proyek wisma atlet yang senilai Rp. 191 milyar diduga pemotongan anggaran sebesar 13% untuk Nazarudin,, Daerah (Gubernur Sumsel) 2.5%, Komite Pembangunan Wisma Atlet 2,5%, Panitia pengadaan 0,5%, Sekretaris Kemenpora 2%`(Kompas14/07/2011). Pembagian ini belum termasuk sejumlah anggota DPR yang diduga turut menerima komisi atau succees fee dalam melobi anggran seperti yang santer disebutkan yakni Anggelina Sondak, Mirwan Amir, I wayan Koster dan Menpora sendiri, nilai poryek dan dikorupsi sebesar 20%, apabila korupsi 20% diberlakukan kepada dana APBN yang dialokasikan kepada sejumlah kementrian berapa kerugian negara. Hasil survey Indonesia Procurement Watch (IPW) terhadap 792 penyedia barang, jasa pengusaha rekanan pemerintah sebanyak 89 % menyatakan melakukan suap untuk memenangi tender sudah menjadi hal lumrah dan telah berjalan berpuluh –puluh tahun (Kompas 16/07/2011) perilaku suap inilah yang kemudian membuat para pengusaha mengerjakan proyek hanya asal- asalan tanpa memikirkan kwalitas dan kemaslahatan rakyat yang kemudian berdampak merugikan negara dan rakyat.

Praktek ini menunjukan bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia sudah berakhir dari penindasan penjajah, namun realitanya tidak berakhir seperti pekikan kemerdekan tahun 1945, ada pergeseran penjajahan yang sebelumnya di lakukan melalui konfrontasi fisik namun kini dialihkan kepada partai politik yang menjalankan sistem politik Indonesai. Kondisi ini kemudian membuat rakyat tidak lagi mempercayai pemerintah dan lembaga – lembaga polotik yang ada. Tentunya rakyat memiliki alasan apabila ditanya sudahkah menikmati kemerdekaan? jawaban yang mungkin di berikan adalah belum merdeka dari penindasan sistim politik yang koruptif.

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI

1 komentar: