Sabtu, 03 Januari 2015

"LEGALITAS NATAL"




“LEGALITAS NATAL”
*Yoyarib Mau

Hari Raya Natal merupakan salah satu hari raya penting dalam kehidupan Kekristenan, Kekristenan adalah sebuah identitas keimanan  yang tumbuh dan berkembang menjadi sebuah peradaban, dikatakan sebagai sebuah peradaban karena Kekristenan mampu mempengaruhi pola pikir manusia tentang bagaimana manusia hidup. Sehingga keberadaan Hari Raya Natal merupakan sebuah hari bersejarah bagi Kekristenan, karena hari dimana Sang Pembawa Damai Sejahtera yakni Yesus sebagai tokoh yang menjadi dasar keyakinan Kekristenan lahir.

Natal yang ditetapkan dalam kalender Masehi yakni setiap 25 Desember merupakan tanggalan penting dalam peradaban dunia untuk merayakan kelahiran Yesus. Perayaan ini kemudian menjadi selebrasi tahunan yang melibatkan semua penganut Kekristenan dan bahkan mereka yang merasa berkepentingan dengan perayaan Natal. Mereka yang berkepentingan dengan perayaan Natal antara lain pelaku ekonomi, pelaku politik, pelaku media, dan bahkan para penikmat hiburan (pelancong). 

Pelaku ekonomi berkepentingan dengan Natal karena menjadikan perayaan Natal sebagai momentum untuk meningkatkan omzet penjualan atau keuntungan ekonomis dengan menjual aksesoris yang berhubungan dengan perayaan Natal fenomena ini melahirkan masyarakat yang konsumtif dan komersil . Para pelaku politik menjadikan momentum Natal sebagai alat propaganda diri, dengan berbagai ucapan selamat merayakan Natal melalui berbagai media seperti Radio, TV, iklan Koran, media sosial, spanduk/baliho yang bertebaran di man-mana. Pelaku media juga menjadikan ajang ini untuk melakukan pemberitaan perayaan untuk mendapatkan rating pemberitaan yang dapat menarik minat para penayang iklan promosi produk. Para pelancong menjadikan tempat-tempat penting di berbagai belahan dunia dan daerah yang merayakan hari raya Natal, untuk menikmati suasana perayaan Natal sekaligus alam di musim Natalan.

Kelompok-kelompok kepentingan ini kemudian menggeser keberadaan Natal dengan sebuah paradigma bahwa Natal dianggab sah atau legal jika ada peran para kelompok kepentingan ini, bahkan menghadirkan kontroversi Natal bagi berbagai kelompok sosial lainnya sebagaimana di tengah ramainya perdebatan di Tanah Air soal boleh-tidaknya umat muslim mengucapkan Selamat Natal terhadap kaum Nasrani, bahkan lembaga masyarakat yang keberadaannya untuk mengatur atau memberi label/stempel halal-tidak halal, pernyataan kontroversialnya menggiring opini masyarakat dengan menghadirkan “fatwa haram” apabila mengucapkan Selamat Hari Natal.

Persoalan di atas menghadirkan pertanyaan Apakah Natal legal atau sah hanya karena sebuah ucapan selamat dan peran keolompok-kelompok kepentingan ? Francis Hutcheson seorang filsuf abad 18 memberikan pepatahnya: “tindakan yang terbaik adalah yang memberikan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.” Pepatah ini kemudian dikembangkan oleh Jeremi Bentham menjadi filsafat moral yang menyatakan bahwa benar salahnya suatu tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang diakibatkannya. Konsekuensi yang baik adalah konsekuensi yang memberikan kenikmatan kepada seseorang, konsekuensi yang buruk adalah konsekuensi yang memberikan penderitaan kepada seseorang. Permikiran kedua filsuf diatas melahirkan  aliran pemikiran Utilitarianisme yang dirumuskan oleh John Stuart Mill dengan “prinsip kebahagiaan terbesar” yakni tindakan adalah benar jika condong untuk menambah kebahagiaan atau salah jika condong untuk menimbulkan kebalikan dari kebahagiaan (Ahmad Asnawi – Indo Literasi – 2014).

 Pemikiran Utilitarianisme ini ada dalam syair lagu Natal yang berjudul “Kau Penebusku”  dinyanyikan oleh penyanyi kondang Viktor Hutabarat, Natal adalah hari bahagia  Kau (Yesus ) datang untuk menebus dosa umat manusia. Dimensi lagu ini syarat makna dilagukan pada suasana Natal yang syarat kebahagiaan tetapi tujuan dari kebahagiaan itu ada pada suasana paskah yang syarat pilu. Etika Utilitarian sangat termaktum dalam syair lagu itu karena mempunyai daya tarik intuitif karena memiliki kecenderungan kuat pada peningkatan kesenangan dan penurunan kesakitan.

Utilitarianisme mereduksi nilai-nilai individu menjadi manfaat dan kebaikan bersama, bagaimana manusia memaksimalkan jumlah terbesar kesejahteraan yang kemudian kita kenal dalam konsep keadilan yakni; prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle), prinsip perbedaan (difference principle); prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle).  Ketiga prinsip ini adalah menjadi hak warga masyarakat untuk mendapatkan hidup yang adil dan sejahtera secara merata. 

Hidup berbangsa dan bernegara bertujuan untuk mendatangkan kesejahteraan dan menurunkan jeritan kesakitan. Memberikan ucapan selamat natal apabila mampu memberikan efek manfaat positif, dimana menghadirkaan kedamaian bagi kehidupan bertetangga maka patutlah hal itu dilakukan. Namun jika ucapan Selamat Natal itu menyita hak publik untuk mendapatkan informasi yang mensejahterahkan masyarakat tetapi hak publik itu dibajak oleh pelaku politik, sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD Kabupaten Kupang yang menggunakan Siaran Radio Suara Kabupaten Kupang (RSKK) untuk menayangkan iklan ucapan Selamat Natalnya. Sejumlah Politisi Nasional sibuk mempersiapkan perayaan Natal bersama di daerah pemilihannnya yang menghabiskan banyak anggaran untuk sebuah selebrasi tanpa memberikan kebahagiaan yang menyentuh dan mengurangi jeritan kesakitan rakyat. 

Ucapan yang dilakukan sejumlah politisi itu apakah sudah mendatangkan kesejahteraan pada momentum Natal, tentunya kebahagiaan Natal membutuhkan alat ukur yang jelas yakni karakteristik kualitatif dan kuantitatif, para politisi sudah menghasilkan berapa banyak produk kebijakan yang mensejahterahkan rakyat, atau sibuk memperebutkan jabatan alat kelengkapan dewan, dan berebut daftar isian proyek yang bisa memberikan keuntungan bagi partai politik pengusung, atau berkolusi dengan para pengusaha hitam untuk memberikan amplop Natal kepada Politisi dengan imbalan jatah proyek pada tahun 2015.

Natal yang dipahami dengan kebahagiaan, kemudian kebahagiaan itu sandingkan dengan nilai mata uang, kebagaiaan Natal seolah-olah bermakna jika mampu melakukan selebrasi Natal yang menghabiskan sejumlah nilai rupiah dalam acara perayaan. Perayaan natal menampilkan ilusi kehidupan selebrasi Natal di Eropa dalam berbagai tontonan yang menggiurkan,  akan tetapi mengabaikan esensi dan konteks kebahagiaan masyarakat lokal yang kesehariannya bergelut dengan pilu Golgota. 

Kebahagian Natal seyogianya berdampak pada keberlanjutan kehidupan rakyat pasca Natal, Legalitas Natal sejatinya adalah bagaimana memberikan kebahagiaan yang mampu mengurangi kadar jeritan pilu rakyat dengan sentuhan dan belaian yang menyentuh jantung kehidupan rakyat, stempel sah dan legalnya Natal harus merasuk jauh melampaui kedalaman, sebagaimana Yesus mengosongkan diri dari ketinggian dan hadir dalam kerendahan di kandang domba,  dan  bukan menanti dan mengharapkan sebuah ucapan Selamat Natal dalam permainan kata dan slogan kosong.  

*Pemerhati Sosial-Politik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar