“LEGALITAS NATAL”
*Yoyarib Mau
Hari
Raya Natal merupakan salah satu hari raya penting dalam kehidupan Kekristenan,
Kekristenan adalah sebuah identitas keimanan
yang tumbuh dan berkembang menjadi sebuah peradaban, dikatakan sebagai
sebuah peradaban karena Kekristenan mampu mempengaruhi pola pikir manusia
tentang bagaimana manusia hidup. Sehingga keberadaan Hari Raya Natal merupakan
sebuah hari bersejarah bagi Kekristenan, karena hari dimana Sang Pembawa Damai
Sejahtera yakni Yesus sebagai tokoh yang menjadi dasar keyakinan Kekristenan lahir.
Natal
yang ditetapkan dalam kalender Masehi yakni setiap 25 Desember merupakan
tanggalan penting dalam peradaban dunia untuk merayakan kelahiran Yesus.
Perayaan ini kemudian menjadi selebrasi tahunan yang melibatkan semua penganut
Kekristenan dan bahkan mereka yang merasa berkepentingan dengan perayaan Natal.
Mereka yang berkepentingan dengan perayaan Natal antara lain pelaku ekonomi,
pelaku politik, pelaku media, dan bahkan para penikmat hiburan (pelancong).
Pelaku
ekonomi berkepentingan dengan Natal karena menjadikan perayaan Natal sebagai
momentum untuk meningkatkan omzet penjualan atau keuntungan ekonomis dengan
menjual aksesoris yang berhubungan dengan perayaan Natal fenomena ini
melahirkan masyarakat yang konsumtif dan komersil . Para pelaku politik
menjadikan momentum Natal sebagai alat propaganda diri, dengan berbagai ucapan
selamat merayakan Natal melalui berbagai media seperti Radio, TV, iklan Koran, media
sosial, spanduk/baliho yang bertebaran di man-mana. Pelaku media juga
menjadikan ajang ini untuk melakukan pemberitaan perayaan untuk mendapatkan
rating pemberitaan yang dapat menarik minat para penayang iklan promosi produk.
Para pelancong menjadikan tempat-tempat penting di berbagai belahan dunia dan
daerah yang merayakan hari raya Natal, untuk menikmati suasana perayaan Natal
sekaligus alam di musim Natalan.
Kelompok-kelompok
kepentingan ini kemudian menggeser keberadaan Natal dengan sebuah paradigma
bahwa Natal dianggab sah atau legal jika ada peran para kelompok kepentingan
ini, bahkan menghadirkan kontroversi Natal bagi berbagai kelompok sosial
lainnya sebagaimana di tengah ramainya perdebatan di Tanah Air soal
boleh-tidaknya umat muslim mengucapkan Selamat Natal terhadap kaum Nasrani,
bahkan lembaga masyarakat yang keberadaannya untuk mengatur atau memberi
label/stempel halal-tidak halal, pernyataan kontroversialnya menggiring opini
masyarakat dengan menghadirkan “fatwa haram” apabila mengucapkan Selamat Hari
Natal.
Persoalan
di atas menghadirkan pertanyaan Apakah
Natal legal atau sah hanya karena sebuah ucapan selamat dan peran
keolompok-kelompok kepentingan ? Francis Hutcheson seorang filsuf abad 18
memberikan pepatahnya: “tindakan yang terbaik adalah yang memberikan sebanyak
mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang.” Pepatah ini kemudian
dikembangkan oleh Jeremi Bentham menjadi filsafat moral yang menyatakan bahwa
benar salahnya suatu tindakan harus dinilai berdasarkan konsekuensi-konsekuensi
yang diakibatkannya. Konsekuensi yang baik adalah konsekuensi yang memberikan
kenikmatan kepada seseorang, konsekuensi yang buruk adalah konsekuensi yang
memberikan penderitaan kepada seseorang. Permikiran kedua filsuf diatas
melahirkan aliran pemikiran
Utilitarianisme yang dirumuskan oleh John Stuart Mill dengan “prinsip
kebahagiaan terbesar” yakni tindakan adalah benar jika condong untuk menambah
kebahagiaan atau salah jika condong untuk menimbulkan kebalikan dari
kebahagiaan (Ahmad Asnawi – Indo Literasi – 2014).
Pemikiran Utilitarianisme ini ada dalam syair
lagu Natal yang berjudul “Kau Penebusku” dinyanyikan oleh penyanyi kondang Viktor
Hutabarat, Natal adalah hari bahagia Kau
(Yesus ) datang untuk menebus dosa umat manusia. Dimensi lagu ini syarat makna
dilagukan pada suasana Natal yang syarat kebahagiaan tetapi tujuan dari
kebahagiaan itu ada pada suasana paskah yang syarat pilu. Etika Utilitarian
sangat termaktum dalam syair lagu itu karena mempunyai daya tarik intuitif
karena memiliki kecenderungan kuat pada peningkatan kesenangan dan penurunan
kesakitan.
Utilitarianisme
mereduksi nilai-nilai individu menjadi manfaat dan kebaikan bersama, bagaimana
manusia memaksimalkan jumlah terbesar kesejahteraan yang kemudian kita kenal
dalam konsep keadilan yakni; prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle), prinsip perbedaan (difference principle); prinsip persamaan
kesempatan (equal opportunity principle). Ketiga prinsip ini adalah menjadi hak warga
masyarakat untuk mendapatkan hidup yang adil dan sejahtera secara merata.
Hidup
berbangsa dan bernegara bertujuan untuk mendatangkan kesejahteraan dan
menurunkan jeritan kesakitan. Memberikan ucapan selamat natal apabila mampu
memberikan efek manfaat positif, dimana menghadirkaan kedamaian bagi kehidupan
bertetangga maka patutlah hal itu dilakukan. Namun jika ucapan Selamat Natal
itu menyita hak publik untuk mendapatkan informasi yang mensejahterahkan
masyarakat tetapi hak publik itu dibajak oleh pelaku politik, sebagaimana yang
dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD Kabupaten Kupang yang menggunakan Siaran
Radio Suara Kabupaten Kupang (RSKK) untuk menayangkan iklan ucapan Selamat
Natalnya. Sejumlah Politisi Nasional sibuk mempersiapkan perayaan Natal bersama
di daerah pemilihannnya yang menghabiskan banyak anggaran untuk sebuah
selebrasi tanpa memberikan kebahagiaan yang menyentuh dan mengurangi jeritan
kesakitan rakyat.
Ucapan
yang dilakukan sejumlah politisi itu apakah sudah mendatangkan kesejahteraan
pada momentum Natal, tentunya kebahagiaan Natal membutuhkan alat ukur yang
jelas yakni karakteristik kualitatif dan kuantitatif, para politisi sudah
menghasilkan berapa banyak produk kebijakan yang mensejahterahkan rakyat, atau
sibuk memperebutkan jabatan alat kelengkapan dewan, dan berebut daftar isian
proyek yang bisa memberikan keuntungan bagi partai politik pengusung, atau berkolusi
dengan para pengusaha hitam untuk memberikan amplop Natal kepada Politisi
dengan imbalan jatah proyek pada tahun 2015.
Natal
yang dipahami dengan kebahagiaan, kemudian kebahagiaan itu sandingkan dengan
nilai mata uang, kebagaiaan Natal seolah-olah bermakna jika mampu melakukan
selebrasi Natal yang menghabiskan sejumlah nilai rupiah dalam acara perayaan.
Perayaan natal menampilkan ilusi kehidupan selebrasi Natal di Eropa dalam
berbagai tontonan yang menggiurkan, akan
tetapi mengabaikan esensi dan konteks kebahagiaan masyarakat lokal yang
kesehariannya bergelut dengan pilu Golgota.
Kebahagian
Natal seyogianya berdampak pada keberlanjutan kehidupan rakyat pasca Natal,
Legalitas Natal sejatinya adalah bagaimana memberikan kebahagiaan yang mampu mengurangi
kadar jeritan pilu rakyat dengan sentuhan dan belaian yang menyentuh jantung
kehidupan rakyat, stempel sah dan legalnya Natal harus merasuk jauh melampaui
kedalaman, sebagaimana Yesus mengosongkan diri dari ketinggian dan hadir dalam
kerendahan di kandang domba, dan bukan menanti dan mengharapkan sebuah ucapan
Selamat Natal dalam permainan kata dan slogan kosong.
*Pemerhati
Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar