“UU DESA MENJADI BUMERANG BAGI DESA”
*Yoyarib Mau
Penetapan
Desa sebagai jantung pembangunan Indonesia merupakan berkah bagi rakyat
Indonesia, karena wajah Indonesia akan terlihat dari Desa, jika wajah
pembangunan desa terpuruk maka tercorenglah Indonesia. Ketika Desa tidak di
perhatikan oleh pemerintah pusat yang berdampak pada persoalan ekonomi masyarakat,
maka masyarakat desa memilih untuk mencari jalan lain yang dapat mengancam
keutuhan NKRI. Sebagaimana sepuluh desa di Kecamatan Long Apari, Kabupaten
Mahakam Ulu, Kalimantan Timur ingin bergabung Malaysia, Kesepuluh desa tersebut
adalah, Desa Simantipal, Sinapad, Labang, Lagas, Panas, Tambalang, Langsasua,
Ngawal, Tembaluhut dan Desa Tembalujud.
Tentu
ada alasan yang kuat bagi mereka untuk memilih bergabung dengan Malaysia warga
Kecamatan Lumbis Ogong meninggalkan wilayahnya dan memilih pindah warga negara
karena desakan ekonomi yang tak kunjung membaik. Hal ini juga tak lepas dari
sulitnya akses jalan masuk ke ibu kota kabupaten atau provinsi. Sedangkan akses
jalan menuju wilayah Malaysia sangat baik. Pemerintah Kerajaan Malaysia memang
aktif membangun akses jalan langsung ke wilayah itu. Alasan desakan ekonomi
menjadi alasan WNI di Kecamatan Lumbis Ogong ini memilih pindah warga negara
(Malaysia) yang kemudian diperparah dengan tidak adanya perhatian untuk
membangun infrastruktur jalan, telekomunikasi dan lain-lainnya.
Kondisi
ini kemudian mendorong pemerintah pusat untuk merubah orientasi pembangunan
akhirnya RUU Desa disahkan menjadi UU oleh DPR pada 18 Desember 2013 menyetujui
rancangan Undang-Undang Desa untuk disahkan menjadi Undang-Undang Desa. Ribuan
Kepala Desa diseluruh Indonesia menyambut dengan gegap gempita dan penuh dengan
sukacita. Pengesahan UU ini dipercaya akan memberikan
perubahan signifikan bagi pembangunan Indonesia ke depan, ada harapan perubahan
orientasi pembangunan dari sebelumnya cenderung meng-anak-emas-kan kota, kini
diharapkan bisa melihat desa sebagai tulang punggung pembangunan manusia dan
ekonomi Indonesia. Dengan pengesahan UU Desa ini diharapkan akan memiliki
perangkat yang dijamin kesejahteraannya oleh pemerintah, karena desa memiliki potensi
transfer tunai dari pemerintah pusat maupun daerah hingga Rp 1 miliar per desa,
dan ada kesempatan bagi warga desa untuk menentukan penggunaan anggaran yang
dimiliki oleh desanya.
Setelah
UU Desa ini disahkan maka dalam RAPBN ada anggaran yang dialokasikan untuk desa
di seluruh nusantara, besaran angngaran untuk dana desa sekitar Rp104,6 triliun ini dibagi sekitar 72.000
desa. Sehingga total Rp1,4 miliar per tahun per desa. Namun yang akan di terima desa jumlah
hanya 10 persen dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam
anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. sehingga
besaran anggaran yang kemungkinan besar akan di terima desa hanya akan berkisar Rp.
700.000.000,- hal ini belum juga
disesuaikan dengan keadaan geografis, jumlah penduduk, jumlah kemiskinan.
Domain
pemerintah pusat dan daerah masih sangat kental dalam pengelolaan anggaran dana
desa ini, dilain pihak ada tarik menarik antara Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI)
dan Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), siapa yang akan memiliki wewenang untuk
mengelola anggaran ini, Kemendes PDTT merasa memiliki hak untuk mengelola dana
desa, karena itu mereka menolak
jika Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dianggap lebih berhak mengelola dana
desa. Menurutnya Kemendagri tidak memiliki fungsi pemberdayaan masyarakat desa.
Kemendagri ada hanya untuk mengatur fungsi administrasi pemerintahan di desa
seperti: pemilihan kepala desa, pemekaran desa, penetapan tapal desa.
Kemendagri
Tjahjo Kumolo berpendapat, seharusnya tidak semua urusan terkait desa
dilimpahkan dari kementeriannya ke Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi.
Urusan yang tidak perlu diintegrasikan adalah urusan pemerintahan desa.
Pasalnya, pemerintahan desa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pemerintahan daerah yang jadi tanggung jawab Kemendagri. Sementara Kemendes
PDTT Marwan Djafar bersikukuh seluruh
urusan desa yang selama ini ditangani Kemendagri dilimpahkan ke kementeriannya,
tidak terkecuali pemerintahan desa. Urusan pemerintahan desa tidak bisa
dipisahkan dari urusan pembangunan dan pemberdayaan desa sehingga tidak mungkin
urusan itu berada di kementerian lain. Selain itu, jika urusan pemerintahan
desa terpisah di kementerian lain, akan terjadi duplikasi fungsi di Kemendagri
dan Kementerian Desa yang dampaknya membuat birokrasi terkait desa menjadi
tidak efisien dan efektif,”
Problematika
ini semoga bukan karena tarik menarik kepentingan partai politik, karena harus
realistis bahwa penjabat kementerian berasal dari politisi Parpol. Sehingga
kepentingan Parpol sangat berpeluang
untuk memanfaatkan keberadaan dana desa ini. Persoalan peran Parpol dalam
dana desa ini, walau dana desa ini merupakan elemen penting bagi keberhasilan
pembangunan desa, akan tetapi di sisi lain dana ini justru menjadi sebuah
ancaman yang terbilang serius dan sangat istimewa (extraordinary).
Geliat
persoalan dana desa ini menghadirkan pertanyaan yakni; apakah dana sebagai alat politik parpol atau sebagai alat untuk
mensejahterahkan ?. Teori singkat dan padat dari Lord Acton, “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost
always bad men.” Kekuasaan itu cenderung korup, baik di negara demokrasi
maupun di negara otoriter. Kekuasaan absolut cenderung melahirkan korupsi yang sporadis. Dan
yang mengejutkan adalah kalimat singkat Acton yang terakhir, “pria besar hampir
selalu orang jahat”. Pria besar yang dia maksud adalah seseorang yang memegang
kekuasaan (http://www.republikinstitute.com/korupsi-membantai-akal-sehat.html).
Buah Simalaka
Korupsi
tidak selamanya berhubungan dengan uang tetapi biasanya berhubungan dengan
wewenang, sebagaimana ada dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal,
korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni: Merugikan keuangan Negara;
Suap-menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan; serta Gratifikasi.
Dari
pengelompokan korupsi ini ada kecenderungan kuat jika peran kepentingan politik
dari para politisi yang menjabat menteri memanfaatkan anggaran dana desa, Hermen
H.K (1994) mendefiniksan korupsi sebagai kekuasaan tanpa aturan hukum, oleh
karena itu selalu ada praduga pemakaian kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan
selain tujuan yang tercantum dalam pelimpahan kekuasaan tersebut.
Presiden
harus menetapkan produk hukum yang menjamin bahwa pelaksanaan anggaran dana
desa bukanlah alat partai politik untuk dimanfaatkan oleh partai politik dalam
pelaksananaannya. Ruang demi penjapaian tujuan parpol sangat terbuka, karena kementerian
yang dijabat oleh politisi dari partai politik bisa saja dengan kebijakannya
membentuk Satgas, Relawan atau apapun bentuknya sebagai kaki tangan parpol
dengan memanipulasi kemasan bahwa demi melakukan pendampingan di desa jika
tidak akan terjadi penyalagunaan keuangan oleh perangkat desa. Peluang
lain adalah aturan internal kementerian
yang diperhalus dalam kebijakan kementerian dalam penggunaan anggaran dana desa
menyangkut kebutuhan adminsitratif kepengurusan pencairan anggaran, sebagaimana
lazimnya untuk pencairan masih ada biaya tak terduga yang harus dikeluarkan di
bawah meja untuk percepatan pencairan.
*Pemerhati Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar