“GERONTOKRASI
PARTAI POLITIK”
*Yoyarib Mau
Usai Munas PDIP di Bali, yang mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum
PDIP, Megawati terpilih sebagai peserta pemilu sejak tahun 1999 hingga nanti tahun
2020, sudah 4 kali kongres Megawati tetap menjadi ketua umum, hal ini dapat
menegaskan bahwa selama empat periode 20 tahun kepemimpinan di tubuh PDIP masih
dikendalikan penuh oleh Megawati. Berbeda dengan Golkar yang mampu dikendalikan
oleh Soeharto selama 32 tahun, akan tetapi Soeharto tidak menempati posisi
sebagai Ketua Umum Golkar, Soeharto hanya sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar.
Kesamaannya masing-masing dapat mengendalikan partai untuk menjalankan
kekuasaan, sedangkan perbedaannya adalah Megawati hanya satu periode menjabat
sebagai Presiden, sedangkan Soeharto sebanyak 32 tahun berkuasa, dengan
didukung oleh kapasitas Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI dan posisi
sebagai Presiden yang dengan mudah dapat mengendalikan birokrasi.
Namun kelebihan Megawati adalah mampu membangun PDIP dari keterpurukan
dengan menjadikan ideologi kerakyatan yang diwariskan Soekarno sebagai perekat
PDIP dan konstituen. Berbeda dengan Soeharto yang dengan pola depresif
kolaborasi antara pendekatan militer dan birokrasi menjadi keuntungan bagi
Golkar, sehingga mereka mampu bertahan cukup lama dalam mengendalikan partai
politik. Gus Dur juga membangun PKB namun tidak bertahan lama karena faktor
kesehatan sehingga kemudian Gus Dur tidak dapat nenjalankan PKB dengan baik,
namun karena manajemen kepemimpinan yang baik PKB mampu bertahan, SBY juga
mendirikan Partai Demokrat yang terilhami oleh kekalahan
terhormat Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam
Sidang MPR tahun 2001. Namun SBY tetap memposisikan diri sebagai Ketua Dewan
Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan. Namun ketika pada periode 2010-2015 terjadi
gonjang-ganjing dalam tubuh Demokrat maka SBY turun gunung dan mengambil
kendali Partai Demokrat sebagai Ketua Umum merangkap Ketua Majelis Tinggi
Partai Demokrat.
Model
pengendalian partai oleh pendiri dan tokoh central partai menjadi model
kepemimpinan dalam menjalankan partai politik di tanah air. Namun menjadi pertanyaan adalah sejaumana
dan tujuan keberadaan tokoh central/pendiri partai mengendalikan serta
menjalankan partai politik di tanah air ?.
Daniel
Dhakidae dalam ulasannya dalam Jurnal Primsa
menulis dalam artikel Demokrasi, Harta dan Negara bahwa; Orang kaya, bangsawan,
selalu menjadi pengetua masyarakat mana pun, dan kapan pun, di Nusantara. Orang
kaya berarti pemilik tanah, para tuan tanah. Dengan memiliki tanah mereka
dengan sendirinya memiliki apa saja yang bisa diusahakan di atas tanah itu.
Dengan begitu orang kaya adalah mereka yang memiliki hasil ladang dan sawah
berlimpah dengan memanfaatkan tenaga kerja tak berbayar, yaitu para budak hasil
keturunan atau budak belian. Khusus mengenai budak belian semuanya tidak bisa
berlangsung sebelum negara dan konsep negara dipakai semestinya. Salah satu
bentuk kegiatan negara adalah mengumpulkan pajak. Yang tidak bisa membayar
pajak menggadaikan diri, dan dari sanalah berasal budak belian yang biasanya
dibedakan dari budak turunan. Para budak tidak berhak atas tanah. Dengan
sendirinya, dia dikucilkan dari turut mengambil bagian dalam pertemuan adat,
perundingan, dan juga memerintah dalam pengertian yang sangat asli, yaitu
memberikan perintah tentang apa saja yang harus dilaksanakan dalam suatu
persekutuan adat-menjaga ladang dan sawah, memelihara ternak, menjalankan
pernikahan, dan sebagainya.
Partai
politik ibarat tanah atau perusahaan yang dikendalikan oleh pemilik yakni tokoh
central yang mendirikan dan mengendalikan partai politik. Sedangkan pengurus
partai dan wakil rakyat yang terpilih lewat parpol diposisikan sebagai tenaga
kerja atau budak yang di berikan kesempatan untuk bekerja mengumpulkan hasil
pengusahaan atas tanah dan laba usaha perusahan, untuk kemudian diserahkan
kepada pemilik tanah (baca : partai politik) yakni tokoh central pendiri partai
politik. Pemahaman ini yang mungkin ada dalam benak Megawati sehingga
keberadaan Presiden Jokowi dianggap sebagai “petugas partai” sehingga dalam Kongres VI PDIP di Bali, Mega ingin
Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan, sudah seharusnya menjalankan garis
kebijakan partai.
Megawati
menempatn diri sebagai tuan tanah serta pemilik saham sehingga dalam Kongres VI
PDIP, Jokowi tidak diberikan ruang bagi Jokowi untuk memberikan kata sambutan
sebagaimana biasanya ketika Presiden hadir dalam sebuah hajatan parpol diberi
kesempatan untuk menyampaikan kata sambutan atau pidato, bahkan Jokowi harus
menundukan diri dan mencium tangan Megawati. Jelas dan tidak dapat dipungkiri bahwa
terpilihnya Jokowi sebagai Presiden adalah karena diusung oleh PDIP namun perlu
disadari bahwa ketika Jokowi telah terpilih sebagai Presiden maka ada mandat
besar yang digariskan bahwa Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan, ini amanat konstitusi untuk dilaksanakan, keberadaan Jokowi
tidak sebagai petugas partai lagi tetapi adalah sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Perilaku
Megawati seolah-olah hendak mengembalikan Indonesia masih dibawah pengaruh
feodal (para penguasa tanah) dalam waktu yang sangat lama, dan hendak
menjalankan feodalisme baru yakni daerah dibawah kendali pemilik
tanah/perusahaan yang berkuasa, tidak mengubah apa pun dan hanya melanjutkan
kembali apa yang sudah/sedang berjalan, dan malah bersikeras untuk itu dengan
mengancam jika tidak mau berperan sebagai petugas partai maka dipersilahkan
untuk keluar dari PDIP.
Perilaku
Megawati apabila dilihat menurut pemikiran para filsuf Yunani kuno sebagai
sikap plutokrasi yang kini lebih populer sebagai oligarki. Padahal rakyat
berharap pada partai politik agar keberadaan dalam kekuasaan membawa perubahan,
melalui demokrasi elektoral hasil reformasi, namun justru memperkuat siklus
hartawan/pemilik partai menjadi penguasa: politik untuk menjadi hartawan, dan
berharta demi kekuasaan politik.
Perilaku
partai politik yang dikendalikan oleh para rezim “gerontokrasi” yang mungkin lama berkuasa mengalami
kehilangan arah perjuangan kemudian berdampak pada perilaku plutokrasi yang
feodal yang hanya menginginkan berapa hasil pengusahaan tanah dan hasil usaha
yang diperoleh melalui kerja politik parpol. Padahal pernah Presiden Soekarno
pada pidato 17 Agustus 1951 mengingatkan bangsa Indonesia untuk; Adakanlah
koordinasi, adakanlah simponi yang seharmoni-harmoninya antara kepentingan
sendiri dan kepentingan umum, dan janganlah kepentingan sendiri itu dimenangkan
diatas kepentingan umum.
Gerontokrasi
bukanlah haram namun perilaku gerontokrasi harus mampu ditundukan bahwa parpol
berpihak kepada rakyat, sebagai mana sebutan lain sebagai “wong cilik” yang
harus lebih mengutamakan kepentingan rakyat, jika demikian maka Jokowi harus
ditempatkan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang harus bekerja
memenuhi janji-janji kampanye kepada masyarakat serta menjalankan pemerintahan
ini guna mensejahterahkan rakyat semata. Para kaum gerontokrasi dimana
kepemimpinan yang dikendalikan oleh para tetua seharusnya bangga tidak perlu berharap
banyak untuk mendapatkan ciuman tangan, atau menunggu setoran dari mereka yang
dianggap petugas partai atau buruh yang mengabdi kepada majikan, sehingga para
pemilik tanah (baca: partai politik) hanya menunggu setoran. Sehingga acapkali
petugas partai terjebak dalam suap dan tertangkap tangan dalam transaksi untuk
mendapatkan setoran bagi parpol dan pemilik parpol.
*Pemerhati Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar