“MUSIM
ANGKET”
*Yoyarib Mau
Angket menjadi “trending topic” dan menjadi seolah satu-satunya pilihan dari
berbagai pilihan yang dimiliki oleh institusi perwakilan rakyat. Memasuki tahun
2015 dalam setiap perlawanan yang dilakukan oleh wakil rakyat akibat perbedaan
pendapat, baik oleh DPRD maupun DPR RI selalu saja hendak menyelesaikannnya dengan
mengajukan inisiasi angket.
Hak
Angket menjadi heboh ketika pada 27 Januari 2015, DPRD DKI menggelar sidang
paripurna bersama dengan Pemprov DKI Jakarta. Dalam sidang itu, ketua DPRD DKI
Jakarta Prasetyo Edi Mursadi telah mengetuk palu dan memutuskan APBD DKI
sebesar Rp73,08 triliun. Jumlah tersebut meningkat 0,24 persen dibandingkan
APBD 2014 lalu, tanggal 2 Februari 2015 Pemerintah DKI pun mengajukan draf APBD
2015 ke Kemendagri, tanggal 6 Februari 2015 draf APBD yang telah dikirimkan pun
dikembalikan ke Pemerintah DKI dengan alasan tidak lengkap, pada 09 Februari Ahok
mengakui draf APBD yang telah dikirimkan ke Kemendagri dipulangkan lagi ke
Pemprov DKI.
Kisruh
ini kemudian pada tanggal 24 Februari 2015, 90 persen anggota DPRD telah
melakukan tanda tangan untuk mengajukan hak angket setara dengan 95 orang
anggota dewan yang telah setuju dari total politikus yang berada di Kebon Sirih
sebanyak 106 orang. Kemudian usul hak angket ini menjadi blunder karena ada
beberapa fraksi seperti Fraksi Nasdem, Fraksi PKB dan Fraksi PDIP yang menarik
diri dari dukungan hak angket.
Sebulan
kemudian setelah kisruh hak angket di DPRD DKI, giliran DPR RI yang menggulirkan hak angket pasca Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menerbitkan
surat keputusan yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar versi Musyawarah
Nasional Ancol pimpinan Agung Laksono, Keputusan Menteri Hukum dan HAM No:
M.HH-01.AH.11.01 tahun 2015 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar
Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi Personalia DPP Partai Golkar. Surat
pengesahan ini ditandatangani pada 23 Maret 2015 oleh Menkumhan Yasonna Laoly. Dalam
surat tersebut disebutkan bahwa dengan ditetapkannya AD/ART serta kepengurusan
DPP Partai Golkar berdasar SK Menkumham ini, maka kepengurusan DPP Partai
Golkar Masa Bakti 2009-2015 tidak berlaku lagi.
Dasar pengajuan angket digulirkan
Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie bersama fraksi partai politik di DPR yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP). KMP menganggap Menkumham telah
bertindak sewenang-wenang dengan mengesahkan Golkar kubu Agung Laksono. Selain
itu, KMP juga sekaligus mempermasalahkan keputusan Menkumham yang juga
mengesahkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Surabaya kubu
Romahurmuziy. Jumlah anggota
dewan yang menggunakan hak angket tersebut. Partai Golkar 55 orang, Gerindra 37
orang, PKS 20 orang, lalu PAN dan PPP masing-masing 2 orang, sehingga
keseluruhan anggota DPR RI yang mengajukan hak angket berjumlah 116 orang.
Hak angket yang
mengatasnamakan 5 fraksi yang bergabung dalam KMP, tidak tentu bulat karena
dalam diri Partai Golkar dan PPP ada dua kubu, Golkar kubu Agung Laksono dan
PPP Kubu Romahurmuziy tentu akan menolak pengajuan hak angket yang diajukan
oleh Golkar Kubu Aburizal Bakrie bersama Kubu yang tergabung dalam KMP,
sehingga upaya ini menurut kelompok KIH ditambah dengan kubu Agung dan
Romahurmuziy sepertinya hanya wacana. KMP seakan masih bereuforia akan
kemenangan KMP pada tahun yang lalu dalam voting pengesahan UU MD3 dan UU
Pilkada, dan UU Pemerintahan Daerah serta Tatib DPR RI.
Politik selalu
bergerak dinamis dan berubah sesuai kepentingan, hal ini terlupakan oleh para
wakil rakyat yang menjalankan haknya, sehingga Yorryes Raweyai melakukan
pernyataan balik untuk menyerang balik KMP dengan menggulirkan inisiatif hak
angket tandingan. Menurutnya, Angket itu bisa dikeluarkan kalau menyangkut
hajat hidup orang banyak. Memang apa SK Menkumham itu, dampaknya apa bagi
masyarakat ? Yorrys mengatakan, DPR lebih baik menggunakan hak angket untuk
luapan lumpur Lapindo yang hingga kini belum jelas penuntasannya (Metrotvnews.com,
26-3-2015).
Sekelumit persoalan
diangkat menghadirkan pertanyaan, untuk
siapa hak angket ini digulirkan, demi kepentingan siapa ? apakah untuk hajat
hidup rakyat banyak, atau untuk kepentingan pribadi/kelompok ? Menurut
teori Montesquieu yang dikenal denganTrias Politica. Maksud pemisahan kekuasaan
ini untuk mencegah supaya kekuasaan negara itu tidak berada pada satu tangan
atau organ saja, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan penyalahgunaan
kekuasaan oleh organ tersebut. Pemisahan kekuasaan ini merujuk pada pemisahan
antara eksekutif (pemerintah) serta legislatif (DPR/DPRD).
Hak Angket adalah hak konstitusional
yang melekat dalam diri DPR/DPRD hal ini diatur dalam UUD 1945, Ketentuan
mengenai hak angket diatur berdasarkan ketentuan pasal 20A ayat (2) UUD 1945
(hasil amandemen), sebagai berikut; “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak
yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat. Setiap wakil rakyat baik itu DPR/DPRD
berhak memanfaatkan hak-nya yang melekat pada dirinya, namun perlu diingat
bahwa perjuangan mewujudkan hak angket itu untuk hajat hidup orang banyak.
Hak yang dimiliki setiap anggota
DPR/DPRD dalam menjalankan fungsinya untuk melakukan pengawasan terhadap
pemerintah (eksekutif), termasuk didalamnya hak angket untuk melakukan
penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis, serta
berdampak luas pada kehidupan masyarakat, bernegara dan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. Apa yang terjadi di tingkatan DPRD DKI hal ini
wajar jika harus dilakukan karena mengyangkut APBD 2015 yang mengatur kehidupan
hajat hidup warga DKI. Hal ini berbeda dengan kepentingan KMP soal SK
Kemenkumham yang harus digiring untuk dilakukan hak angket karena ini tidak
memenuhi unsur hajat hidup orang banyak. Ini lebih pada persoalan internal
dipartai politik yang bisa dilakukan melalui gugatan PTUN dan bukan melalui hak
angket, pesoalan internal partai politik bukan persoalan hajat hidup orang
banyak.
Jika kebiasaan yang dibangun untuk
semua persoalan pribadi/kelompok, termasuk persoalan internal kepartaian, yang
dipaksakan penyelesaiannya melalui hak angket, maka hak istimewa yang dimiliki
DPR/DPR sepertinya diumbar tanpa di tempatkan pada tempat yang tepat.
Kebiasaaan ini akan menjadi kebiasaan musiman, sebagaimana masyarakat gandrung
dengan daun anthurium, kemudian saat ini terserang demam batu akik, kebiasaan
ini ngetrend tetapi hanya dibutuhkan
oleh beberapa orang dan bukan
menjadi kebutuhan pokok bagi semua orang.
*Pemerhati Sosial-Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar