“REFLEKSI PASKAH; GOLKAR DAN TAMAN
GETSEMANI”
*Yoyarib Mau
Alih-alih
tulisan ini bukan hendak menggiring gereja atau pembaca yang memahami soal
Taman Getsemani untuk kemudian melakukan
penghakiman atas kekisruhan yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar, tulisan ini
tidak pada posisi untuk memihak atau menyalahkan, tetapi tulisan ini hendak
menggambarkan hal menarik dari apa yang terjadi dalam Partai Golkar, kemudian
mengkorelasikannya dengan apa yang terjadi di Taman Getsemani.
Tidak
dipungkiri bahwa Golkar berada pada kekisruhan yang akut, dan menggiring
pengurus partai, anggota partai serta anggota DPR/DPRD untuk menentukan
keberpihakannya. Partai Golkar membelah diri dalam Munas Ancol dan Munas Bali,
kemudian teranyar di Senayan konflik berlanjut dengan perebutan ruangan fraksi,
dimana Kelompok Munas Ancol yang menetapkan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai
Ketua Fraksi, melakukan upaya paksa perebutan ruangan Fraksi Golkar di lantai 12 di Kompleks
DPR RI pada 30 Maret 2015. Sebelumnya ruangan ini dikuasai oleh Kubu Munas Bali
yang telah menetapkan Ade Komarudin sebagai Ketua Fraksi dan Sekertaris Fraksi
Bambang Susatyo beserta kelompoknya yang berusaha untuk mempertahankan ruangan
fraksi dengan bertahan didalamnya.
Konflik
berkepanjangan dalam tubuh Partai Golkar yang dalam sejarah kepartaian
Indonesia menunjukan kepiawaiannya dalam perpolitikan di tanah air. Namun
kesolidan masa lalu tidak berjalan lurus dengan kondisi hari ini dimana Golkar
sudah terbelah menjadi 3 (tiga) kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda
pula. Kelompok Pertama, berawal
saat Ketua Umum Aburizal Bakrie
mengusung capres-cawapres Prabowo-Hatta dan kelompok ini didominasi oleh
kalangan struktur partai dari pusat hingga daerah. Kelompok ini kemudian tetap
berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan kekuatan kelompok ini kemudian mengkonsolidasikan
diri dan melaksanakan Munas di Bali, yang mengaklamasi Aburizal Bakrie tetap
sebagai Ketua Umum Golkar versi Munas Bali. Kelompok
Kedua, awalnya diinisiasi oleh kalangan muda golkar yang progresif didukung
oleh beberapa sesepuh golkar dan organisasi sayap partai menentang pilihan
paratai yang berlambang pohon beringin ini dalam pilihannya mendukung
Prabowo-Hatta, dan dengan terang-terangan menyatakan dukungannya ke Joko
Widodo-Jusuf Kalla yang adalah mantan Ketua Umum Golkar.
Pasca
pilpres kelompok ini menggeliat dan mendapatkan dukungan dari beberapa pengurus
defenitif Golkar seperti Agung Laksono Wakil Ketua Umum Golkar, Yorrys Raweyai (Ketua
Umum AMPG), Priyo Budisantoso (Ketua Umum MKGR), Laurens Siburian (SOKSI) memilih untuk melakukan Munas Partai
Golkar di Ancol. Dalam Munas Ancol ada tiga calon yang bertarung dalam
memperebutkan posisi ketua umum, yakni Agung Laksono, Agus Gumiwang
Kartasasmita dan Priyo Budisantoso yang kemudian dimenangkan oleh Agung Laksono. Kelompok ini mendapatkan
energi dukungan ketika SK Menkumham dikeluarkan bagi Kubu Munas Ancol untuk
melakukan pembentukan kepengurusan baru yang
mengakomodir pengurus partai dari Kubu Munas Bali. Keputusan ini menyebabkan 91
wakil rakyat Partai Golkar yang ada di parlemen menjadi gamang dan terbelah,
sejumlah pengurus struktur partai yang sebelumnya berada di Kubu Munas Bali,
tetapi memilih berada bersama Kubu Munas Ancol mereka antara lain Mahyuddin dan
Airlangga Hartarto.
Kelompok
ketiga adalah kelompok abu-abu mereka yang sebagian adalah pengurus partai
hasil Munas Riau, para pendiri partai sespuh yang memilih tenang tidak
mendukung dan maupun menolak keputusan partai, gerbong ini sepertinya tak kuasa
berbuat banyak, mereka sedang bermimpi bagaimana tampil sebagai pahlawaan untuk
menggiring partai ke titik aman. Kelompok ini terlihat jelas dalam posisi
Muladi sebagai anggota Mahkamah Partai Golkar dalam sidang Mahkamah Partai
Golkar yang tertuang dalam amar putusan Mahkamah Partai Golkar yakni, 1.
Menghindari kubu yang menang mengambil semua jabatan di kepengurusan, 2.
Rehabilitasi kader yang di pecat, 3. Apresiasi yang kalah dalam kepengurusan,
4. Dan terakhir yang kalah berjanji tidak akan membentuk partai baru. Amar
putusan mahkamah partai tidak memberikan kemenangan bagi kubu tertentu, namun
kemudian Muladi memberikan dukungan atas keputusan Menkumham dan dampak
politiknya adalah anak menantu Muadi Fayakhun Andriadi diakomodir oleh Kubu
Munas Anocol sebagai Sekertaris Fraksi Golkar mendampingi Agus Gumiwang
Kartasasmita.
Konflik
yang berkepanjangan ini menghadirkan pertanyaan kemana arah Golkar dalam perjuangannya bagi rakyat ? Faksi dalam
tubuh Golkar selalu ada dalam setiap kepengurusan dan faksi dalam tubuh Golkar selalu saja berakhir dengan hadirnya partai
baru. Faksi selalu ada dalam kehidupan komunitas atau kelompok masyarakat.
Dalam Partai politik ada embrio partai politik berupa sekumpulan “faksi.” Faksi
ialah subsistem dalam sistem partai, yang terbentuk berupa sekelompok orang
yang biasanya memiliki kedekatan primordial (keluarga, suku, agama, ras),
kesamaan ideologis (ideal), atau kesamaan kepentingan (oportunis, pragmatis).
Biasanya faksi dipimpin oleh para pendiri (founding
persons) partai itu.
Menurut Samuel P. Huntington Faksionalisasi dalam partai politik
pada tahapan ini, konflik internal sebuah partai berkutat pada perebutan
pengaruh dan wewenang untuk mengendalikan partai yang berakar pada kekuatan
faksi-faksi yang tarik-menarik satu sama lain. Apabila dalam proses ini
terdapat faksi yang kuat namun menganggap kewenangan diperolehnya tidak
proporsional (misalnya kalah karena faksi-faksi lain berkoalisi), dapat terjadi
pembangkangan yang berujung pada terpecahnya partai, yakni faksi yang tidak
puas tadi akan memisahkan diri, keluar dari partai tersebut dan membentuk
partai sendiri. Namun apabila terjadi keselarasan kepentingan dan masing-masing
faksi memandang bahwa kewenangan yang mereka peroleh proporsional, maka partai
itu akan tetap utuh dan berkembang. Dalam pengertian koalisi, ini sering
diistilahkan koalisi tetap atau jangka panjang, dan dalam istilah fusi
(penyatuan) sering disebut fusi tuntas (penyatuan sepenuhnya) (Samuel
Huntington – Political Order In Changing Societies – 1968)
Konflik Golkar ini jauh sebelumnya terjadi juga di Taman Getsemani,
Yesus hendak mengakhiri pelayanannnya, murid-murid Yesus tampil dengan berbagai
perilaku yang mencerminkan faksi-faksi karena memikirkan siapa yang akan
melanjutkan tampuk kekuasaan yang akan di tinggalkan Yesus. Kisruh di Taman
Getsemani memberikan gambaran jelas soal orientasi hidup dalam
setiap komunitas/organisasi ataupun partai politik. Faksi Yudas yang
orientasinya adalah kepingan dinar dan tidak pada kepentingan jangka panjang
sehingga dapat dikategorikan sebagai faksi pragmatis, Simon Petrus merepresentasikan
Faksi Mbalelo perilakunya tergantung tiupan angin kemana tiupan angin kesitu
hatinya memilih, suka cari muka, dan cari jalan selamat ketika terdesak. Faksi
terakhir Yakobus dan Yohanes yang tampil sebagai Faksi Ideologis yang dengan
tenang menjaga marwah perjuangan.
Kenyataan
politik dalam faksi di tubuh Golkar yang berperan seperti Yakobus dan Yohanes
untuk tetap berdiri pada marwah perjuangan partai tidak terlihat dengan jelas.
para sesepuh juga telah memilih untuk berpihak seperti Akbar Tanjung yang
memilih untuk ke Kubu Ical, sedangkan pendiri SOKSI Suhardiman memilih ke Kubu Agung. Dengan
demikian kisruh Partai Golkar hari ini akan menghadirkan kebimbangan bagi
rakyat untuk menaruh harapan pada partai ini, serta menggiring rakyat untuk
berperilaku yang sama dengan mengabaikan marwah perjuangan.
*Pemerhati
Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar