Rabu, 01 April 2015

"REFLEKSI PASKAH; GOLKAR DAN TAMAN GETSEMANI"

“REFLEKSI PASKAH; GOLKAR DAN TAMAN GETSEMANI”
*Yoyarib Mau

Alih-alih tulisan ini bukan hendak menggiring gereja atau pembaca yang memahami soal Taman Getsemani  untuk kemudian melakukan penghakiman atas kekisruhan yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar, tulisan ini tidak pada posisi untuk memihak atau menyalahkan, tetapi tulisan ini hendak menggambarkan hal menarik dari apa yang terjadi dalam Partai Golkar, kemudian mengkorelasikannya dengan apa yang terjadi di Taman Getsemani.  

Tidak dipungkiri bahwa Golkar berada pada kekisruhan yang akut, dan menggiring pengurus partai, anggota partai serta anggota DPR/DPRD untuk menentukan keberpihakannya. Partai Golkar membelah diri dalam Munas Ancol dan Munas Bali, kemudian teranyar di Senayan konflik berlanjut dengan perebutan ruangan fraksi, dimana Kelompok Munas Ancol yang menetapkan Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai Ketua Fraksi, melakukan upaya paksa perebutan  ruangan Fraksi Golkar di lantai 12 di Kompleks DPR RI pada 30 Maret 2015. Sebelumnya ruangan ini dikuasai oleh Kubu Munas Bali yang telah menetapkan Ade Komarudin sebagai Ketua Fraksi dan Sekertaris Fraksi Bambang Susatyo beserta kelompoknya yang berusaha untuk mempertahankan ruangan fraksi dengan bertahan didalamnya. 

Konflik berkepanjangan dalam tubuh Partai Golkar yang dalam sejarah kepartaian Indonesia menunjukan kepiawaiannya dalam perpolitikan di tanah air. Namun kesolidan masa lalu tidak berjalan lurus dengan kondisi hari ini dimana Golkar sudah terbelah menjadi 3 (tiga) kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda pula. Kelompok Pertama, berawal saat  Ketua Umum Aburizal Bakrie mengusung capres-cawapres Prabowo-Hatta dan kelompok ini didominasi oleh kalangan struktur partai dari pusat hingga daerah. Kelompok ini kemudian tetap berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP) dan kekuatan kelompok ini kemudian mengkonsolidasikan diri dan melaksanakan Munas di Bali, yang mengaklamasi Aburizal Bakrie tetap sebagai Ketua Umum Golkar versi Munas Bali. Kelompok Kedua, awalnya diinisiasi oleh kalangan muda golkar yang progresif didukung oleh beberapa sesepuh golkar dan organisasi sayap partai menentang pilihan paratai yang berlambang pohon beringin ini dalam pilihannya mendukung Prabowo-Hatta, dan dengan terang-terangan menyatakan dukungannya ke Joko Widodo-Jusuf Kalla yang adalah mantan Ketua Umum Golkar. 

Pasca pilpres kelompok ini menggeliat dan mendapatkan dukungan dari beberapa pengurus defenitif Golkar seperti Agung Laksono Wakil Ketua Umum Golkar, Yorrys Raweyai (Ketua Umum AMPG), Priyo Budisantoso (Ketua Umum MKGR), Laurens Siburian  (SOKSI) memilih untuk melakukan Munas Partai Golkar di Ancol. Dalam Munas Ancol ada tiga calon yang bertarung dalam memperebutkan posisi ketua umum, yakni Agung Laksono, Agus Gumiwang Kartasasmita dan Priyo Budisantoso yang kemudian dimenangkan oleh  Agung Laksono. Kelompok ini mendapatkan energi dukungan ketika SK Menkumham dikeluarkan bagi Kubu Munas Ancol untuk melakukan pembentukan kepengurusan baru  yang mengakomodir pengurus partai dari Kubu Munas Bali. Keputusan ini menyebabkan 91 wakil rakyat Partai Golkar yang ada di parlemen menjadi gamang dan terbelah, sejumlah pengurus struktur partai yang sebelumnya berada di Kubu Munas Bali, tetapi memilih berada bersama Kubu Munas Ancol mereka antara lain Mahyuddin dan Airlangga Hartarto.

Kelompok ketiga adalah kelompok abu-abu mereka yang sebagian adalah pengurus partai hasil Munas Riau, para pendiri partai sespuh yang memilih tenang tidak mendukung dan maupun menolak keputusan partai, gerbong ini sepertinya tak kuasa berbuat banyak, mereka sedang bermimpi bagaimana tampil sebagai pahlawaan untuk menggiring partai ke titik aman. Kelompok ini terlihat jelas dalam posisi Muladi sebagai anggota Mahkamah Partai Golkar dalam sidang Mahkamah Partai Golkar yang tertuang dalam amar putusan Mahkamah Partai Golkar yakni, 1. Menghindari kubu yang menang mengambil semua jabatan di kepengurusan, 2. Rehabilitasi kader yang di pecat, 3. Apresiasi yang kalah dalam kepengurusan, 4. Dan terakhir yang kalah berjanji tidak akan membentuk partai baru. Amar putusan mahkamah partai tidak memberikan kemenangan bagi kubu tertentu, namun kemudian Muladi memberikan dukungan atas keputusan Menkumham dan dampak politiknya adalah anak menantu Muadi Fayakhun Andriadi diakomodir oleh Kubu Munas Anocol sebagai Sekertaris Fraksi Golkar mendampingi Agus Gumiwang Kartasasmita.

Konflik yang berkepanjangan ini menghadirkan pertanyaan kemana arah Golkar dalam perjuangannya bagi rakyat ? Faksi dalam tubuh Golkar selalu ada dalam setiap kepengurusan dan faksi dalam tubuh Golkar  selalu saja berakhir dengan hadirnya partai baru. Faksi selalu ada dalam kehidupan komunitas atau kelompok masyarakat. Dalam Partai politik  ada embrio partai politik berupa sekumpulan “faksi.” Faksi ialah subsistem dalam sistem partai, yang terbentuk berupa sekelompok orang yang biasanya memiliki kedekatan primordial (keluarga, suku, agama, ras), kesamaan ideologis (ideal), atau kesamaan kepentingan (oportunis, pragmatis). Biasanya faksi dipimpin oleh para pendiri (founding persons) partai itu.

Menurut Samuel P. Huntington Faksionalisasi dalam partai politik pada tahapan ini, konflik internal sebuah partai berkutat pada perebutan pengaruh dan wewenang untuk mengendalikan partai yang berakar pada kekuatan faksi-faksi yang tarik-menarik satu sama lain. Apabila dalam proses ini terdapat faksi yang kuat namun menganggap kewenangan diperolehnya tidak proporsional (misalnya kalah karena faksi-faksi lain berkoalisi), dapat terjadi pembangkangan yang berujung pada terpecahnya partai, yakni faksi yang tidak puas tadi akan memisahkan diri, keluar dari partai tersebut dan membentuk partai sendiri. Namun apabila terjadi keselarasan kepentingan dan masing-masing faksi memandang bahwa kewenangan yang mereka peroleh proporsional, maka partai itu akan tetap utuh dan berkembang. Dalam pengertian koalisi, ini sering diistilahkan koalisi tetap atau jangka panjang, dan dalam istilah fusi (penyatuan) sering disebut fusi tuntas (penyatuan sepenuhnya) (Samuel Huntington – Political Order In Changing Societies – 1968)

Konflik Golkar ini jauh sebelumnya terjadi juga di Taman Getsemani, Yesus hendak mengakhiri pelayanannnya, murid-murid Yesus tampil dengan berbagai perilaku yang mencerminkan faksi-faksi karena memikirkan siapa yang akan melanjutkan tampuk kekuasaan yang akan di tinggalkan Yesus. Kisruh di Taman Getsemani memberikan gambaran jelas soal orientasi hidup dalam setiap komunitas/organisasi ataupun partai politik. Faksi Yudas yang orientasinya adalah kepingan dinar dan tidak pada kepentingan jangka panjang sehingga dapat dikategorikan sebagai faksi pragmatis, Simon Petrus merepresentasikan Faksi Mbalelo perilakunya tergantung tiupan angin kemana tiupan angin kesitu hatinya memilih, suka cari muka, dan cari jalan selamat ketika terdesak. Faksi terakhir Yakobus dan Yohanes yang tampil sebagai Faksi Ideologis yang dengan tenang menjaga marwah perjuangan.

Kenyataan politik dalam faksi di tubuh Golkar yang berperan seperti Yakobus dan Yohanes untuk tetap berdiri pada marwah perjuangan partai tidak terlihat dengan jelas. para sesepuh juga telah memilih untuk berpihak seperti Akbar Tanjung yang memilih untuk ke Kubu Ical, sedangkan pendiri SOKSI  Suhardiman memilih ke Kubu Agung. Dengan demikian kisruh Partai Golkar hari ini akan menghadirkan kebimbangan bagi rakyat untuk menaruh harapan pada partai ini, serta menggiring rakyat untuk berperilaku yang sama dengan mengabaikan marwah perjuangan.

*Pemerhati Sosial - Politik



Tidak ada komentar:

Posting Komentar