Kamis, 23 April 2015

"POLITIK AKLAMASI"



“POLITIK AKLAMASI”
*Yoyarib Mau

            Perhelatan yang dilakukan dalam agenda organisasi partai politik, dengan tujuan untuk pergantian kepemimpinan. Dalam agenda organisasi pasca pemilu legislatif 2014, berupa kongres, musyawarah dan muktamar. Didahului oleh Munas Golkar yang dilakukan Kubu ARB pada 06 Desember 2014 hingga 07 Desember 2014 dengan menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian diberi julukan Ketum Golkar versi Munas Bali. Waktu yang bersamaan ada Munas Golkar versi Ancol yang dimotori oleh Agung Laksono dengan melihat celah bahwa Munas Bali hanya ada satu calon tunggal, sedangkan Munas Ancol didesign agak berbeda dengan Munas Bali, berupa tampilnya beberapa kandidat seperti Agus Gumiwang Kartasasmita dan Priyo Budisantoso.

Munas Partai Hanura dilakukan di Solo, Jawa Tengah, pada 13 - 15 Februari 2015. Sejumlah agenda  seperti Laporan Pertanggunggung Jawaban DPP Periode 2010-2015. Serta agenda utama yakni penetapan ketua umum. Hanura berbeda dari Golkar dimana Munas Hanura hanya melanjutkan hasil rapimnas sebelumnya, yakni memantapkan keputusan DPD yang meminta Wiranto untuk memimpin kembali partai Hanura. Keinginan besar pengurus DPD dan DPC yang menginginkan Wiranto memimpin kembali partai adalah karena figurnya masih dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai perjuangan partai yang mengedepankan hati nurani kepada setiap kader.

Partai Amanat Nasional (PAN) juga menggelar Kongres ke-IV di Hotel Westin Nusa Dua Bali pada 28 Februari 2015  - 02 Maret 2015. Salah satu agendanya adalah menentukan orang nomor satu di partai berlambang matahari terbit itu, menarik dari PAN adalah adanya dua kandidat yang siap untuk bertarung, yakni Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan, perlu diberi apresiasi untuk Kongres PAN adalah adanya konsolidasi yang kuat dari dua kandidat ini dan dilakukan dengan persaingan yang sehat, walau kemudian dimenangkan oleh Zulkifli Hasan. Jelang beberapa bulan kemudian PDIP menjalankan agenda yang sama untuk menjalankan kongres, Kongres PDIP di Bali pada 09-12 April 2015, momentum kongres ini seharusnya  menjadi penegasan PDIP sebagai partai ideologis. PDIP hendak tampil sebagai partai yang progresif dalam regenerasi kepemimpinan sebagaimana berani mengajukan Jokowi sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif.  

Hasil Kongres IV PDIP dengan kembali menetapkan Megawati sebagai ketua umum lagi, sesungguhnya PDIP telah kehilangan rohnya sebagai "Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan Partai" karena agenda penting yaitu pemilihan Ketua Umum Partai telah dibonsai oleh forum Rakernas PDIP pada bulan September 2014 yang lalu di Semarang. Keputusan Rakernas PDIP yang secara hirarki berada pada dua tingkat dibawah Kongres Partai bisa mendaulat kewenangan Kongres sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Agenda evaluasi dalam kongres sepertinya mati suri karena proses evaluasi kepemimpinan tidak dapat dilakukan soal kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Kenyataan Kongres kali ini minus acara pemilihan Ketua Umum, karena memang sudah didaulat dalam acara Rakernas Partai di Semarang. Padahal agenda pemilihan Ketua Umum seharusnya dibuka agar kader-kader muda potensial mendapat kesempatan untuk berkompetisi secara sehat, sekalipun peluang untuk memenangkan pemilihan sangat kecil. 

Lembaga Survei Poltracking Indonesia sempat mengeluarkan hasil survei jelang Kongres PDIP 2015 pada April mendatang di Bali. Hasil survei menunjukkan trah Soekarno tidak lagi direkomendasikan untuk memimpin PDIP. Responden menginginkan regenerasi kepemimpinan menjadi agenda prioritas PDIP dalam kongres kali ini, Survei itu memilih Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prananda Prabowo sebagai figur yang paling tidak direkomendasikan memimpin partai banteng. (http://www.tempo.co/read/news/2015/03/22/078651986/Kongres-PDIP-Jokowi-Lebih-Layak-Gantikan-Megawati).  

Banyak kalangan yang mengharapkan Joko Widodo tampil dalam kongres ini namun karena sebagai “petugas partai” bahasa yang dikenakan kepada Joko Widodo sehingga dengan sendirinya melemahkan ambisi untuk maju sebagai calon ketua umum. Partai Demokrat yang akan melakukan kongres juga sedang mengalami dilema organisasi antara mempertahankan SBY sebagai ketua umum atau membuka ruang bagi kader-kader Demokrat untuk bertarung dalam Kongres III PD yang akan di gelar pada 11-13 Mei 2015 di Hotel Shangrilla, Surabaya. Namun melihat gejolak internal yang terjadi dimana tuntutan dari sejumlah DPC untuk menggunakan hak suara mereka dalam kongres. Sedangkan sejumlah DPC memilih untuk mendukung keterpilihan SBY secara aklamasi. Menurut mereka aklamasi ini adalah bagian dari Pancasila yaitu sila keempat. Musyawarah untuk mufakat itu bagian dari politik kita, proses aklamasi jauh lebih baik daripada voting. Voting itu bisa terjadi permainan-permainan, bisa transaksional. 

Fenomena yang berkembang di internal partai politik pasca pemilu legislatif 2014 ini, hadir pertanyaan; apakah atas dasar musyawarah mufakat menyepakati adanya aklamasi dan mengharamkan adanya kompetisi ?  musyawarah dan kompetisi adalah dua hal yang berbeda yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan. Keberadaan partai politik seyogiannya memiliki peran untuk membangun iklim serta kualitas demokrasi sekaligus sebagai organisasi kader yang mengedepankan regenerasi kepemimpinan. Robert Dahl menyebutkan bahwa demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan dua dimensi politik yaitu: pertama; seberapa tinggi kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan dan kedua; seberapa banyak warga Negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.

Dua dimensi diatas menjadi tolak ukur penting demi menjalankan demokratisasi, hal ini seyogiannya diterapkan semaksimal mungkin dalam internal partai politik, karena cerminan kepemimpinan dalam partai politik merupakan embrio bagi kepemimpinan bernegara. Partai politik sepertinya mengalami pergeseran makna berpartai dimana bukan lagi ideologi partai sebagai perekat tetapi, membangun diksi baru bahwa ketokohan menjadi alat perekat kader. Ketokohan juga mengalami pergeseran persepsi yakni mereka yang mendirikan partai politik, mereka yang merugi bagi konsolidasi partai politik, bahkan diperluas lagi bahwa tokoh partai itu adalah mereka yang mampu mendatangkan atau membiayai akomodasi serta transportasi peserta kongres.   

Menjadi persoalan bagi matinya kompetisi dan memberi kesuburan bagi aklamasi adalah menipisnya “fair play”. Kebiasaan yang terlihat dari kongres sebelumnya adalah selalu saja kelompok yang kalah dikucilkan dari kepengurusan, atau kelompok yang mencoba melakukan konsolidasi di awal kongres untuk mendorong adanya kompetitor, selalu saja tidak diakomodir dalam kepengurusan berikutnya. Kualitas demokrasi masih dikekang oleh kekuatan feodal dan para pendukung yang hendak meraup keuntungan dari kedekatan dengan pendiri/penguasa partai politik. Musyawarah mufakat tidak juga dengan mudah di pahami sesederhana yakni suara bulat atas dasar menghindari konflik, musyawarah mufakat sejatinya disana perlu ada perdebatan dengan berbagai pertimbangan dan aspek yang berkualitas, bermutu bagi tercipta atau terbukannya kompetisi. Musyawarah itu bukan menghindari kompetisi tetapi bagaimana menciptakan iklim kompetisi yang sehat.

*Pemerhati Sosial - Politik


Tidak ada komentar:

Posting Komentar