“POLITIK
AKLAMASI”
*Yoyarib
Mau
Perhelatan yang dilakukan dalam agenda
organisasi partai politik, dengan tujuan untuk pergantian kepemimpinan. Dalam agenda
organisasi pasca pemilu legislatif 2014, berupa kongres, musyawarah dan
muktamar. Didahului oleh Munas Golkar yang dilakukan Kubu ARB pada 06 Desember
2014 hingga 07 Desember 2014 dengan menetapkan Aburizal Bakrie secara aklamasi
menjadi Ketua Umum Partai Golkar yang kemudian diberi julukan Ketum Golkar versi
Munas Bali. Waktu yang bersamaan ada Munas Golkar versi Ancol yang dimotori
oleh Agung Laksono dengan melihat celah bahwa Munas Bali hanya ada satu calon
tunggal, sedangkan Munas Ancol didesign agak berbeda dengan Munas Bali, berupa tampilnya
beberapa kandidat seperti Agus Gumiwang Kartasasmita dan Priyo Budisantoso.
Munas Partai
Hanura dilakukan di Solo, Jawa Tengah, pada 13 - 15 Februari
2015. Sejumlah agenda seperti Laporan Pertanggunggung
Jawaban DPP Periode 2010-2015. Serta agenda utama yakni penetapan ketua umum. Hanura
berbeda dari Golkar dimana Munas Hanura hanya melanjutkan hasil rapimnas sebelumnya,
yakni memantapkan keputusan DPD yang meminta Wiranto untuk memimpin kembali
partai Hanura. Keinginan besar pengurus DPD dan DPC yang menginginkan Wiranto
memimpin kembali partai adalah karena figurnya masih dibutuhkan untuk
menanamkan nilai-nilai perjuangan partai yang mengedepankan hati nurani kepada
setiap kader.
Partai
Amanat Nasional (PAN) juga menggelar Kongres ke-IV di Hotel Westin Nusa Dua
Bali pada 28 Februari 2015 - 02
Maret 2015. Salah satu agendanya adalah menentukan orang nomor satu di partai
berlambang matahari terbit itu, menarik dari PAN adalah adanya dua kandidat
yang siap untuk bertarung, yakni Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan, perlu diberi
apresiasi untuk Kongres PAN adalah adanya konsolidasi yang kuat dari dua
kandidat ini dan dilakukan dengan persaingan yang sehat, walau kemudian dimenangkan
oleh Zulkifli Hasan. Jelang beberapa bulan kemudian PDIP menjalankan agenda
yang sama untuk menjalankan kongres, Kongres PDIP di Bali pada 09-12 April 2015,
momentum kongres ini seharusnya menjadi
penegasan PDIP sebagai partai ideologis. PDIP hendak tampil sebagai partai yang
progresif dalam regenerasi kepemimpinan sebagaimana berani mengajukan Jokowi
sebagai calon presiden sebelum pemilu legislatif.
Hasil
Kongres IV PDIP dengan kembali menetapkan Megawati sebagai ketua umum lagi,
sesungguhnya PDIP telah kehilangan rohnya sebagai "Forum Tertinggi
Pengambilan Keputusan Partai" karena agenda penting yaitu pemilihan Ketua
Umum Partai telah dibonsai oleh forum Rakernas PDIP pada bulan September 2014
yang lalu di Semarang. Keputusan Rakernas PDIP yang secara hirarki berada pada
dua tingkat dibawah Kongres Partai bisa mendaulat kewenangan Kongres sebagai
forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik. Agenda evaluasi dalam
kongres sepertinya mati suri karena proses evaluasi kepemimpinan tidak dapat
dilakukan soal kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Kenyataan Kongres kali ini
minus acara pemilihan Ketua Umum, karena memang sudah didaulat dalam acara
Rakernas Partai di Semarang. Padahal agenda pemilihan Ketua Umum seharusnya
dibuka agar kader-kader muda potensial mendapat kesempatan untuk berkompetisi
secara sehat, sekalipun peluang untuk memenangkan pemilihan sangat kecil.
Lembaga
Survei Poltracking Indonesia sempat mengeluarkan hasil survei jelang Kongres
PDIP 2015 pada April mendatang di Bali. Hasil survei menunjukkan trah Soekarno
tidak lagi direkomendasikan untuk memimpin PDIP. Responden menginginkan
regenerasi kepemimpinan menjadi agenda prioritas PDIP dalam kongres kali ini, Survei
itu memilih Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan Prananda Prabowo sebagai
figur yang paling tidak direkomendasikan memimpin partai banteng. (http://www.tempo.co/read/news/2015/03/22/078651986/Kongres-PDIP-Jokowi-Lebih-Layak-Gantikan-Megawati).
Banyak
kalangan yang mengharapkan Joko Widodo tampil dalam kongres
ini namun karena sebagai “petugas partai” bahasa yang dikenakan kepada Joko
Widodo sehingga dengan sendirinya melemahkan ambisi untuk maju sebagai calon
ketua umum. Partai Demokrat yang akan melakukan kongres juga sedang mengalami dilema
organisasi antara mempertahankan SBY sebagai ketua umum atau membuka ruang bagi
kader-kader Demokrat untuk bertarung dalam Kongres III PD yang akan di gelar
pada 11-13 Mei 2015 di Hotel Shangrilla, Surabaya. Namun melihat gejolak
internal yang terjadi dimana tuntutan dari sejumlah DPC untuk menggunakan hak
suara mereka dalam kongres. Sedangkan sejumlah DPC memilih untuk mendukung keterpilihan
SBY secara aklamasi. Menurut mereka aklamasi ini adalah bagian dari Pancasila
yaitu sila keempat. Musyawarah untuk mufakat itu bagian dari politik kita, proses
aklamasi jauh lebih baik daripada voting. Voting itu bisa terjadi
permainan-permainan, bisa transaksional.
Fenomena
yang berkembang di internal partai politik pasca pemilu legislatif 2014 ini,
hadir pertanyaan; apakah atas dasar
musyawarah mufakat menyepakati adanya aklamasi dan mengharamkan adanya kompetisi
? musyawarah dan kompetisi adalah dua
hal yang berbeda yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan. Keberadaan partai
politik seyogiannya memiliki peran untuk membangun iklim serta kualitas
demokrasi sekaligus sebagai organisasi kader yang mengedepankan regenerasi
kepemimpinan. Robert Dahl menyebutkan bahwa demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah
secara terus menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya.
Tatanan politik seperti itu dapat digambarkan dengan dua dimensi politik yaitu: pertama; seberapa tinggi kontestasi,
kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan dan kedua; seberapa banyak warga Negara yang memperoleh
kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.
Dua dimensi
diatas menjadi tolak ukur penting demi menjalankan demokratisasi, hal ini
seyogiannya diterapkan semaksimal mungkin dalam internal partai politik, karena
cerminan kepemimpinan dalam partai politik merupakan embrio bagi kepemimpinan
bernegara. Partai politik sepertinya mengalami pergeseran makna berpartai
dimana bukan lagi ideologi partai sebagai perekat tetapi, membangun diksi baru
bahwa ketokohan menjadi alat perekat kader. Ketokohan juga mengalami pergeseran
persepsi yakni mereka yang mendirikan partai politik, mereka yang merugi bagi
konsolidasi partai politik, bahkan diperluas lagi bahwa tokoh partai itu adalah
mereka yang mampu mendatangkan atau membiayai akomodasi serta transportasi
peserta kongres.
Menjadi
persoalan bagi matinya kompetisi dan memberi kesuburan bagi aklamasi adalah
menipisnya “fair play”. Kebiasaan yang terlihat dari kongres sebelumnya adalah
selalu saja kelompok yang kalah dikucilkan dari kepengurusan, atau kelompok
yang mencoba melakukan konsolidasi di awal kongres untuk mendorong adanya
kompetitor, selalu saja tidak diakomodir dalam kepengurusan berikutnya. Kualitas
demokrasi masih dikekang oleh kekuatan feodal dan para pendukung yang hendak
meraup keuntungan dari kedekatan dengan pendiri/penguasa partai politik. Musyawarah
mufakat tidak juga dengan mudah di pahami sesederhana yakni suara bulat atas
dasar menghindari konflik, musyawarah mufakat sejatinya disana perlu ada
perdebatan dengan berbagai pertimbangan dan aspek yang berkualitas, bermutu
bagi tercipta atau terbukannya kompetisi. Musyawarah itu bukan menghindari
kompetisi tetapi bagaimana menciptakan iklim kompetisi yang sehat.
*Pemerhati Sosial - Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar