Kamis, 28 Oktober 2010

"GENERASI VIRTUAL GENERASI COPY-PASTE"

“GENERASI VIRTUAL GENERASI COPY-PASTE”
Oleh : Yoyarib Mau

Plagiarisme merupkan perilaku yang marak dilakukan di tengah masyarakat, baik oleh mereka yang berpendidikan rendah bahkan guru besar di perguruan tinggi tidak luput dari perilaku ini, plagiarisme dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik. Dikategorikan sebagai kebohongan publik karena hasil perilaku ini berhubungan langsung dengan masyarakat luas, akibat dipublikasikan di media atau melalui tulisan seperti skripsi, opini, buku, makalah dan tulisan yang dipublikasikan lewat media cetak maupun media elektronik. Hal terkini bahkan dapat disaksikan dalam jaringan sosial elektronik seperti facebook dan twitter, dimana statusnya dilakukan penulisan pendapat, pemikiran para filsuf, peneliti atau bahkan kata-kata para motifator atau pengarah acara yang di tayangkan di sejumlah TV nasional seperti Andre Wongso. Alvin Lie, Andy Noya dan lain-lain, para pemilik akun dapat saja melakukan penjiplakan diakunnya tanpa menuliskan kalimat ini pendapat siapa atau sumber dari pendapat tersebut.

Aktifitas atau perilaku ini tidak hanya menyangkut tulisan tetapi di bidang lain seperti dalam bidang seni seperti nada lagu atau irama lagu, bahkan teks atau syair lagu kadang di tiru atau diubah dari para pemilik atau pencipta nada atau lagu aslinya, seperti yang dilakukan Malaysia terhadap beberapa lagu dan karya kesenian Indonesia seperti; lagu Rasa Sayange yang asli dari Ambon, Reog Ponorogo dari Jawa Timur digunakan promosi pariwisatanya. Bahkan Indonesia dikagetkan dengan sebuah kasus yang mencederai perguruan tinggi di Indonesia yang melibatkan Anak Agung Banyu Prawita seorang Guru Besar dari Unversitas Parahyangan Bandung (Harian Kompas 10 Februari – 2010).

Kegiatan plagiarisme ini hampir setiap saat dilakukan dengan tidak tersembunyi tetapi dilakukan terang-terangan tanpa ada ketakutan bahwa kegiatan ini illegal atau melanggar prosedur keilmiahan atau mencuri hak cipta seseorang (kekayaan intelektual)

Dari gambaran perilaku plagiarisme diatas maka plagiarisme memiliki pengertian sebagai berikut. Pengertian Plagiarisme menurut KBBI menuliskan bahwa, kata ”plagiarisme” berarti penciplakan yang melanggar hak cipta, sedangkan kata ”plagiat” sendiri memiliki pengertian, pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama diri sendiri, jiplakan. Sedangkan kata Plagiator memeliki pengertian orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain yang disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri; penjiplak (KBBI – Balai Pustaka 2003).

Pengertian Plagiarisme diatas dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang mengambil barang orang lain dalam pengertian hasil karya orang lain, atau mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri atau hasil daya cipta diri, yang menjadi permasalahan yang terkadang luput dari pengmatan karena lemahnya dokumentasi. Faktor domukentasi pribadi hasil karangan atau pendapat dalam hal ini upaya dari penulis, pencipta, untuk medokumentasikan melalui penulisan di agenda harian atau dibukukan oleh penulis menyangkut pendapat yang dilontarkan, atau hasil karya baik itu dalam bidang apapun yang merupakan hasil usaha, hasil penelitian, hasil ujicoba atau hasil cipta sebaiknya didaftarkan ke lembaga terkait untuk proses pengakuan seperti HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong terciptanya plagiarisme di samping faktor-faktor lain.

Faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya plagiarisme antara lain; akibat budaya instant dan lunturnya semangat kerja keras, serta peran negara dalam mendorong rakyat untuk melaporkan hasil karya ciptanya atau pendapat serta karangannya, Negara juga sebaiknya melakukan jemput bola dimana dinas terkait melakukan pendataan atas kegiatan masyarakat yang menyangkut hasil cipta atau karangan yang dihasilkan, dan memberikan apresiasi atau award atas karya cipta rakyatnya, namun hal ini dianggap menghbiskan anggaran negara, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa maraknya plagiarisme akibat lemahnya negara dalam menegakan hukum ?

Padahal aturan hukum dengan tegas mengatur tentang hak cipta yakni dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta, kemudian di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 khususnya dalam sanksi pelanggaran Pasal 72 tentang Hak Cipta :
1. Barang siapa dengan senagaja melangar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000, 00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau di denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Bunyi undang-undang ini hampir disetiap barang cetakan dicantumkan termasuk dalam buku-buku cetak hasil tulisan atau karya dari para penulis tetapi mungkin saja hanya memnuhi prasyarat pencetakan sebuah buku atau karya cipta, namun kenyataannya plagiarisme tak dapat dibendung bahkan marak dilakukan oleh para intlektual bahkan para pejabat dalam mempertahankan serta mempromosikan dirinya menghalalkan plagiarisme untuk mencapai nafsu atau menjaga kepopulerannya, melakukan penjiplakan dapat saja dilakukan karena tuntutan kejar target dan meraup keuntungan dari pemuatan disejumlah jurnal, bahkan digunakan oleh para peselancar dunia maya di akun facebook dan twiternya untuk menadapatkan pengakuan dari para penggemar atau para fansnya.

Perilaku penjiplakan yang memaksa orang untuk melakukan hal ini seperti yang dituliskan oleh Janianto Damanik di media kompas online bahwa, ada tiga penyebab yangh diduga kuat menggiring orang terjerumus ke dalam perbuatan aib itu; Pertama, meminjam istilah Koentjraningrat (1986) adalah mentalitas menerabas dalam arti ingin cepat tenar dengan cara yang cemar - masih bercokol kuat di masyarakat. Kedua, budaya simulacra yang bukannya terkikis habis oleh eskalasi rasionalitas, tetapi justru cenderung kian mengental, sepertinya ada sindrom megalomania alias “pantang tidak disebut hebat” yang mendera akal sehat banyak orang. Kaum terdidik tidak luput dari sindrom ini, hal ini terpapar lewat potret kinerja akademik : publikasi ilmiah. Karena takut tidak disebut pakar hebat, mereka lalu melakukan memproduksi banyak karya ilmiah dalam tempo sesingkat.singkatnya; Ketiga : minimnya sanksi hukum. Penjiplakan sebagai tindakan mengambil karya oran lain tanpa pemberitahuan secara terbuka, hal ini seyogianya memenuhi unsur pedant (Janianton Damanik, edukasi.kompas.com).

Ketiga hal yang disebutkan diatas merupakan hal yang sangat berpotensi mendorong orang melakukan pelagiarisme terutama dalam dunia perguruan tinggi karena ingin cepat tenar maka melakukan perbuatan instant, atau sarjana copy-paste, ingin menjadi sarjana untuk memenuhi tuntutan tertentu, seperti mengejar kenaikan pangkat, atau dipandang terhormat di mata masyarakat (prestise) jika ada label sarjana, memenuhi pra-syarat mengikuti Pilkada harus memiliki ijasah strata-1 sehingga memaksa masyarakat menempuh jalur instant.

Perilaku ini mewabah dan berifeksi dalam masyarakat Indonesia sering terjadi karena sang mahasiswa tidak ingin dibebankan dengan pengerjaan skripsi tetapi diserahkan kepada pihak lain untuk mengerjakan, apalagi iklan pengerjaan skripsi/makalah marak di sejumlah media massa yang menawarkan jasa pengerjaan skripsi padahal, sang penawar jasa tidak memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai, sehingga dengan mudah dapat melakukan penjiplakan dari karya orang lain hanya saja memberikan penambahan kata-kata atau hanya mengganti kata-kata tertentu sesuai permintaan atau judul yang menjadi topik pembahasan mahasiswa tersebut, terkadang pemikiran orang diketik atau diambil keseluruhanya tanpa mencamtumkan nama asli sang pemikir atau sumber pendapat menjadi seolah-olah menjadi pemikiran sang mahasiswa.

Plagiarisme dapat dilakukan meliputi tindakan seperti (filsafat.ugm.ac.id/aw/plagiat.doc) :
1. menggunakan atau mengmbil teks, data atau gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan terhadap sumber secara benar dan lengkap.
2. menyajikan struktur atau tubuh utama gagasan yang diambil dari sumber pihak ketiga sebagai gagasan atau karya sendiri bahkan meskipun referensi pada penulis lain dicantumkan;
3. mengambil materi audio atau visual orang lain atau materi test, sofware dan kode program tanpa menyebut sumber dan menampilkan seolah-olah sebagai karyanya sendiri;
4. tidak menunjukan secara jelas dalam teks, misalnya dengan tanda kutipan atau penggunaan lay-out tertentu, bahwa kutipan literal atau yang mendekati literal dimasukan dalam sebuah karya, bahkan meskipun rujukannya yang benar terhadap sumber sudah dimasukan;
5. memparafrase (mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya) isi dari teks orang lain tanpa rujukan yang memadai terhadap sumber;
6. menggunakan teks yang pernah dikumpulkan sebelumya, atau menggunakan teks yang mirip dengan teks yang pernah dikumpulkan sebelumnya untuk tugas sebuah mata kuliah;
7. mengambil karya sesama mahasiswa dan menjadikannya sebagai karya sendiri;
8. mengumpulkan paper yang dibuat dengan cara membeli atau membayar orang lain untuk membuatnya.

Contoh dari tindakan pelagiarisme pertama di atas yakni mengutip secara haafiah dari sebuah sumber buku tetapi tidak mencantumkan sumber buku tersebut seperti kutipan ini;

Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan.


Kutipan diatas dikutip sepenuhnya dari buku Prof. Drs. HAW. Widjaja dari buku, Penyelenggara Otonomi Di Indonesia diterbitkan oleh Rajawali Pers pada tahun 2005. namun penjiplak dapat saja menuliskan ini sebagai pendapatnya pribadi tanpa mencantumkan sumber penulisnya padahal tulisan yang benar dapat dilakukan dengan mencantumkan sumbernya.

Dapat dilakukan seperti ini; Adminstarasi menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam sebuah institusi atau organisasi baik itu swasta atau pemerintah, menurut HAW Widajaja;
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan[1]


Dalam konten ini diberikan angka satu atau penomeran kecil agak ketas sebagai catatan kaki (fotenote) seperti yang dilakukan dalam esai ini. Dan di bawah catatan kaki menuliskan HAW Widjaja, Penyelenggara Otonomi di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hal. 3. atau model penulisan lain yakni langsung mencantumkan di akhir kutipan tersebut angka kemudian dengan membuat lampiran daftar referensi sumber sesuai dengan nomor kutipan. Namun ada model lain yakni menuliskan secara langsung atau menunjukan secara langsung sumber referensi tersebut dalam kutipan tersebut.

Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. (HAW Widjaja – Radjawali Pers – 2005).

Model penulisan sumber referensi diatas seperti lazimnya dalam penulisan sebuah tulisn opini atau makalah singkat intinya bahwa apa yang dituliskan dalam makalah atau sebuah penulisan skripsi adalah penulisan pendapat oranng lain apabila kutipan tersebut diambil dari tulisan orang lain atau pun dalam penulisan di status Facebook atau Twitter sejatinya pemuatan sumber atau pendapat orang harus dicantumkan agar tidk melakukan kesalahan bahkan penyesatan pemikiran bagi orang lain

Pelagiarisme tidak dijijnakan dalam ulisan akademik atau pun tulisan yang dipubliksakian ke-publik hal ini mengjarkan ketidakjujuran padahal proses akademik dilalui atau hadir guna menghadirkan para intelektual yang mampu menghadirkan gagasan-gagasan baru bagi proses keilmuan atau menghadirkan pemikiran-pemikiran baru dari pemikiran-pemikiran yang sudah dihadrikan oleh pendahulu.

Apabila perilaku plagiarisme dilakukan dalam kancah akademik maka sepertinya proses keilmuan atau akademik mengalami stagnasi hanya berputar pada pemikiran yang sama dan tidak mengalami perkembangan atau tidak mengalami proses yang dinamis sesuai dengan kondisi dan realitas dalam kehidupan masyarakat.

Pembiaran plagiarisme yang dilakukan oleh berbagai institusi akademik dimana mewisuda orang yang melakukan plagiarisme merupakan kontribusi pendidikan bagi karakter bangsa yang tidak lagi jujur terhadap diri serta pembentukan jati diri yang mencoba memperoleh sesuatu dengan cara yang tidak lazim, atau dengan kata lain membudayanya proses instant, atau hendak mendapatkan sesuatu melalui ’pintu belakang” perilaku ini kemudian mengakar dalam budaya serta mendistorsi setiap proses adminitrasi kenegaraan.

Syarat adminitratif hanya formalitas serta mengabaikan tuntutan ilmiah sehingga menyuburkan praktek-praktek plagiarisme, ditambah dengan penegakan hukum yang fleksibel tanpa ada ketegasan, dimana perilaku plagiarisme melanggar unsrur pidana tetapi tidak dilakukan tuntutan atau karena hukum di Indonesia yang menanti tuntutan dari pihak penuntut baru dilakukan proses hukum, sehingg yang ada hanya penerapan sanksi administratif dan moril membuat perilaku pelagiarisme tidak mengalami efek jera.

*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar