“GENERASI VIRTUAL GENERASI COPY-PASTE”
Oleh : Yoyarib Mau
Plagiarisme merupkan perilaku yang marak dilakukan di tengah masyarakat, baik oleh mereka yang berpendidikan rendah bahkan guru besar di perguruan tinggi tidak luput dari perilaku ini, plagiarisme dapat dikategorikan sebagai kebohongan publik. Dikategorikan sebagai kebohongan publik karena hasil perilaku ini berhubungan langsung dengan masyarakat luas, akibat dipublikasikan di media atau melalui tulisan seperti skripsi, opini, buku, makalah dan tulisan yang dipublikasikan lewat media cetak maupun media elektronik. Hal terkini bahkan dapat disaksikan dalam jaringan sosial elektronik seperti facebook dan twitter, dimana statusnya dilakukan penulisan pendapat, pemikiran para filsuf, peneliti atau bahkan kata-kata para motifator atau pengarah acara yang di tayangkan di sejumlah TV nasional seperti Andre Wongso. Alvin Lie, Andy Noya dan lain-lain, para pemilik akun dapat saja melakukan penjiplakan diakunnya tanpa menuliskan kalimat ini pendapat siapa atau sumber dari pendapat tersebut.
Aktifitas atau perilaku ini tidak hanya menyangkut tulisan tetapi di bidang lain seperti dalam bidang seni seperti nada lagu atau irama lagu, bahkan teks atau syair lagu kadang di tiru atau diubah dari para pemilik atau pencipta nada atau lagu aslinya, seperti yang dilakukan Malaysia terhadap beberapa lagu dan karya kesenian Indonesia seperti; lagu Rasa Sayange yang asli dari Ambon, Reog Ponorogo dari Jawa Timur digunakan promosi pariwisatanya. Bahkan Indonesia dikagetkan dengan sebuah kasus yang mencederai perguruan tinggi di Indonesia yang melibatkan Anak Agung Banyu Prawita seorang Guru Besar dari Unversitas Parahyangan Bandung (Harian Kompas 10 Februari – 2010).
Kegiatan plagiarisme ini hampir setiap saat dilakukan dengan tidak tersembunyi tetapi dilakukan terang-terangan tanpa ada ketakutan bahwa kegiatan ini illegal atau melanggar prosedur keilmiahan atau mencuri hak cipta seseorang (kekayaan intelektual)
Dari gambaran perilaku plagiarisme diatas maka plagiarisme memiliki pengertian sebagai berikut. Pengertian Plagiarisme menurut KBBI menuliskan bahwa, kata ”plagiarisme” berarti penciplakan yang melanggar hak cipta, sedangkan kata ”plagiat” sendiri memiliki pengertian, pengambilan karangan (pendapat dsb) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dsb) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama diri sendiri, jiplakan. Sedangkan kata Plagiator memeliki pengertian orang yang mengambil karangan (pendapat dsb) orang lain yang disiarkan sebagai karangan (pendapat dsb) sendiri; penjiplak (KBBI – Balai Pustaka 2003).
Pengertian Plagiarisme diatas dapat disimpulkan sebagai kegiatan yang mengambil barang orang lain dalam pengertian hasil karya orang lain, atau mengklaim karya orang lain sebagai karya sendiri atau hasil daya cipta diri, yang menjadi permasalahan yang terkadang luput dari pengmatan karena lemahnya dokumentasi. Faktor domukentasi pribadi hasil karangan atau pendapat dalam hal ini upaya dari penulis, pencipta, untuk medokumentasikan melalui penulisan di agenda harian atau dibukukan oleh penulis menyangkut pendapat yang dilontarkan, atau hasil karya baik itu dalam bidang apapun yang merupakan hasil usaha, hasil penelitian, hasil ujicoba atau hasil cipta sebaiknya didaftarkan ke lembaga terkait untuk proses pengakuan seperti HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual). Hal ini merupakan salah satu faktor pendorong terciptanya plagiarisme di samping faktor-faktor lain.
Faktor lain yang menjadi pendorong terjadinya plagiarisme antara lain; akibat budaya instant dan lunturnya semangat kerja keras, serta peran negara dalam mendorong rakyat untuk melaporkan hasil karya ciptanya atau pendapat serta karangannya, Negara juga sebaiknya melakukan jemput bola dimana dinas terkait melakukan pendataan atas kegiatan masyarakat yang menyangkut hasil cipta atau karangan yang dihasilkan, dan memberikan apresiasi atau award atas karya cipta rakyatnya, namun hal ini dianggap menghbiskan anggaran negara, sehingga menimbulkan pertanyaan bahwa maraknya plagiarisme akibat lemahnya negara dalam menegakan hukum ?
Padahal aturan hukum dengan tegas mengatur tentang hak cipta yakni dalam Undang-Undang nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta, kemudian di perbaharui dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 khususnya dalam sanksi pelanggaran Pasal 72 tentang Hak Cipta :
1. Barang siapa dengan senagaja melangar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan / atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000, 00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau di denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Bunyi undang-undang ini hampir disetiap barang cetakan dicantumkan termasuk dalam buku-buku cetak hasil tulisan atau karya dari para penulis tetapi mungkin saja hanya memnuhi prasyarat pencetakan sebuah buku atau karya cipta, namun kenyataannya plagiarisme tak dapat dibendung bahkan marak dilakukan oleh para intlektual bahkan para pejabat dalam mempertahankan serta mempromosikan dirinya menghalalkan plagiarisme untuk mencapai nafsu atau menjaga kepopulerannya, melakukan penjiplakan dapat saja dilakukan karena tuntutan kejar target dan meraup keuntungan dari pemuatan disejumlah jurnal, bahkan digunakan oleh para peselancar dunia maya di akun facebook dan twiternya untuk menadapatkan pengakuan dari para penggemar atau para fansnya.
Perilaku penjiplakan yang memaksa orang untuk melakukan hal ini seperti yang dituliskan oleh Janianto Damanik di media kompas online bahwa, ada tiga penyebab yangh diduga kuat menggiring orang terjerumus ke dalam perbuatan aib itu; Pertama, meminjam istilah Koentjraningrat (1986) adalah mentalitas menerabas dalam arti ingin cepat tenar dengan cara yang cemar - masih bercokol kuat di masyarakat. Kedua, budaya simulacra yang bukannya terkikis habis oleh eskalasi rasionalitas, tetapi justru cenderung kian mengental, sepertinya ada sindrom megalomania alias “pantang tidak disebut hebat” yang mendera akal sehat banyak orang. Kaum terdidik tidak luput dari sindrom ini, hal ini terpapar lewat potret kinerja akademik : publikasi ilmiah. Karena takut tidak disebut pakar hebat, mereka lalu melakukan memproduksi banyak karya ilmiah dalam tempo sesingkat.singkatnya; Ketiga : minimnya sanksi hukum. Penjiplakan sebagai tindakan mengambil karya oran lain tanpa pemberitahuan secara terbuka, hal ini seyogianya memenuhi unsur pedant (Janianton Damanik, edukasi.kompas.com).
Ketiga hal yang disebutkan diatas merupakan hal yang sangat berpotensi mendorong orang melakukan pelagiarisme terutama dalam dunia perguruan tinggi karena ingin cepat tenar maka melakukan perbuatan instant, atau sarjana copy-paste, ingin menjadi sarjana untuk memenuhi tuntutan tertentu, seperti mengejar kenaikan pangkat, atau dipandang terhormat di mata masyarakat (prestise) jika ada label sarjana, memenuhi pra-syarat mengikuti Pilkada harus memiliki ijasah strata-1 sehingga memaksa masyarakat menempuh jalur instant.
Perilaku ini mewabah dan berifeksi dalam masyarakat Indonesia sering terjadi karena sang mahasiswa tidak ingin dibebankan dengan pengerjaan skripsi tetapi diserahkan kepada pihak lain untuk mengerjakan, apalagi iklan pengerjaan skripsi/makalah marak di sejumlah media massa yang menawarkan jasa pengerjaan skripsi padahal, sang penawar jasa tidak memiliki latar belakang keilmuan yang sesuai, sehingga dengan mudah dapat melakukan penjiplakan dari karya orang lain hanya saja memberikan penambahan kata-kata atau hanya mengganti kata-kata tertentu sesuai permintaan atau judul yang menjadi topik pembahasan mahasiswa tersebut, terkadang pemikiran orang diketik atau diambil keseluruhanya tanpa mencamtumkan nama asli sang pemikir atau sumber pendapat menjadi seolah-olah menjadi pemikiran sang mahasiswa.
Plagiarisme dapat dilakukan meliputi tindakan seperti (filsafat.ugm.ac.id/aw/plagiat.doc) :
1. menggunakan atau mengmbil teks, data atau gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan terhadap sumber secara benar dan lengkap.
2. menyajikan struktur atau tubuh utama gagasan yang diambil dari sumber pihak ketiga sebagai gagasan atau karya sendiri bahkan meskipun referensi pada penulis lain dicantumkan;
3. mengambil materi audio atau visual orang lain atau materi test, sofware dan kode program tanpa menyebut sumber dan menampilkan seolah-olah sebagai karyanya sendiri;
4. tidak menunjukan secara jelas dalam teks, misalnya dengan tanda kutipan atau penggunaan lay-out tertentu, bahwa kutipan literal atau yang mendekati literal dimasukan dalam sebuah karya, bahkan meskipun rujukannya yang benar terhadap sumber sudah dimasukan;
5. memparafrase (mengubah kalimat orang lain ke dalam susunan kalimat sendiri tanpa mengubah idenya) isi dari teks orang lain tanpa rujukan yang memadai terhadap sumber;
6. menggunakan teks yang pernah dikumpulkan sebelumya, atau menggunakan teks yang mirip dengan teks yang pernah dikumpulkan sebelumnya untuk tugas sebuah mata kuliah;
7. mengambil karya sesama mahasiswa dan menjadikannya sebagai karya sendiri;
8. mengumpulkan paper yang dibuat dengan cara membeli atau membayar orang lain untuk membuatnya.
Contoh dari tindakan pelagiarisme pertama di atas yakni mengutip secara haafiah dari sebuah sumber buku tetapi tidak mencantumkan sumber buku tersebut seperti kutipan ini;
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan.
Kutipan diatas dikutip sepenuhnya dari buku Prof. Drs. HAW. Widjaja dari buku, Penyelenggara Otonomi Di Indonesia diterbitkan oleh Rajawali Pers pada tahun 2005. namun penjiplak dapat saja menuliskan ini sebagai pendapatnya pribadi tanpa mencantumkan sumber penulisnya padahal tulisan yang benar dapat dilakukan dengan mencantumkan sumbernya.
Dapat dilakukan seperti ini; Adminstarasi menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam sebuah institusi atau organisasi baik itu swasta atau pemerintah, menurut HAW Widajaja;
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan[1]
Dalam konten ini diberikan angka satu atau penomeran kecil agak ketas sebagai catatan kaki (fotenote) seperti yang dilakukan dalam esai ini. Dan di bawah catatan kaki menuliskan HAW Widjaja, Penyelenggara Otonomi di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2005, hal. 3. atau model penulisan lain yakni langsung mencantumkan di akhir kutipan tersebut angka kemudian dengan membuat lampiran daftar referensi sumber sesuai dengan nomor kutipan. Namun ada model lain yakni menuliskan secara langsung atau menunjukan secara langsung sumber referensi tersebut dalam kutipan tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, administrasi, istilah ini dipergunakan dalam dua arti, yaitu adminsitrasi dalam arti luas dan adminitrasi dalam arti sempit, secara sempit administrasi diacukan sebagai kegiatan yang bersifat tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi atau usaha. Seperti pekerjaan mengetik, mengirim surat, mencatat keluar masuknya. Sementara itu adminitrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan. (HAW Widjaja – Radjawali Pers – 2005).
Model penulisan sumber referensi diatas seperti lazimnya dalam penulisan sebuah tulisn opini atau makalah singkat intinya bahwa apa yang dituliskan dalam makalah atau sebuah penulisan skripsi adalah penulisan pendapat oranng lain apabila kutipan tersebut diambil dari tulisan orang lain atau pun dalam penulisan di status Facebook atau Twitter sejatinya pemuatan sumber atau pendapat orang harus dicantumkan agar tidk melakukan kesalahan bahkan penyesatan pemikiran bagi orang lain
Pelagiarisme tidak dijijnakan dalam ulisan akademik atau pun tulisan yang dipubliksakian ke-publik hal ini mengjarkan ketidakjujuran padahal proses akademik dilalui atau hadir guna menghadirkan para intelektual yang mampu menghadirkan gagasan-gagasan baru bagi proses keilmuan atau menghadirkan pemikiran-pemikiran baru dari pemikiran-pemikiran yang sudah dihadrikan oleh pendahulu.
Apabila perilaku plagiarisme dilakukan dalam kancah akademik maka sepertinya proses keilmuan atau akademik mengalami stagnasi hanya berputar pada pemikiran yang sama dan tidak mengalami perkembangan atau tidak mengalami proses yang dinamis sesuai dengan kondisi dan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Pembiaran plagiarisme yang dilakukan oleh berbagai institusi akademik dimana mewisuda orang yang melakukan plagiarisme merupakan kontribusi pendidikan bagi karakter bangsa yang tidak lagi jujur terhadap diri serta pembentukan jati diri yang mencoba memperoleh sesuatu dengan cara yang tidak lazim, atau dengan kata lain membudayanya proses instant, atau hendak mendapatkan sesuatu melalui ’pintu belakang” perilaku ini kemudian mengakar dalam budaya serta mendistorsi setiap proses adminitrasi kenegaraan.
Syarat adminitratif hanya formalitas serta mengabaikan tuntutan ilmiah sehingga menyuburkan praktek-praktek plagiarisme, ditambah dengan penegakan hukum yang fleksibel tanpa ada ketegasan, dimana perilaku plagiarisme melanggar unsrur pidana tetapi tidak dilakukan tuntutan atau karena hukum di Indonesia yang menanti tuntutan dari pihak penuntut baru dilakukan proses hukum, sehingg yang ada hanya penerapan sanksi administratif dan moril membuat perilaku pelagiarisme tidak mengalami efek jera.
*Penulis Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI.
Kamis, 28 Oktober 2010
Selasa, 19 Oktober 2010
"JALAN SK. LERIK, JALAN UMUM ATAU JALAN POLITIK"
“JALAN RAYA SK. LERIK, JALAN UMUM ATAU JALAN POLITIK ?”
*Yoyarib Mau
Kebijakan merupakan peluru dari sebuah jabatan politis itulah yang di lakukan Bupati Rote – Ndao dengan kebijakan pembangunan patung Jenderal Sudirman sebagai monumen di pulau Ndana, pulau terluar di ujung selatan Indonesia, demikian juga Walikota Kupang – Daniel Adoe dengan Surat Keputusan Walikota Kupang Nomor 163A/F/HK/Trans 2010.
Penetapan Jalan raya SK. Lerik di salah satu jalan raya kota Kupang menurut Walikota Kupang bahwa SK. Lerik sebagai mantan Walikota Kupang sudah memberikan yang terbaik untuk kota Kupang selain itu juga almarhum adalah sebagai peletak dasar kota Kupang, selayaknyalah dikenang oleh masyarakat kota Kupang dengan pemberian nama Jalan Samuel Kristian Lerik.
Pemberian nama bagi almarhumah menjadi nama sebuah jalan di Kota Kupang tidak banyak di persoalkan oleh warga kota karena merupakan hal yang mungkin saja tidak secara langsung mempengaruhi kepentingan warga kota sehingga tidak banyak warga kota mempersoalkan pemberian nama jalan yang menempati ruang antara jalur Jalan Ade Irma dan Jalan Sam Ratulangi.
Pemberian nama Jalan SK. Lerik ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan seperti yang diungkapkan oleh Walikota Daniel Adoe bahwa Mantan Walikota Kupang periode 1997 – 2007, Kolonel Infantri Purnawirawan Samuel Kristian Lerik sudah memberikan yang terbaik bagi kota Kupang, selain itu menurutnya almarhum sebagai peletak dasar pembentukan kota Kupang, selayaknyalah dikenang oleh masyarakat Kota Kupang dengan pemberian nama Jalan Samuel Kristian Lerik.
Sah-sah saja jika pemberian nama salah satu ruas jalan di kota Kupang bagi Mantan Walikota Kupang, namun yang menjadi persoalan adalah apakah telah melalui mekanisme, kajian yang mendalam serta sejauhmana melibatkan warga kota dalam penentuan dan pemberian nama pada ruas jalan tersebut ?
Pakar kebijakan publik George Gallup berpendapat bahwa, ”Opini publik dalam pasar politik adalah mirip dengan permintaan konsumen dalam pasar ekonomi. Dalam demokrasi, seseorang bisa mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu fungsi dari opini publik. Permintaan kebijakan menentukan penawaran kebijakan. Dan argumen yang menyatakan agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh opini publik dan kekuatan publik diperkuat oleh fakta bahwa opini diukur dan diperlakukan dengan penuh perhatian oleh pembuat kebijakan” (Wayne Parson – Public Policy – Kencana – 2005).
Surat Keputusan Walikota Kupang Nomor 163A/F/HK/Trans 2010, apakah telah melalui proses opini publik atau merupakan sebuah kebijakan pribadi yang lebih bernuansa politis ? pemberian gelar atau nama jalan merupakan bagian dari kebijakan publik sehingga sebuah kebijakan sudah barang tentu diawali dengan dengan membangun opini publik tentang kebijakan publik.
Apabila di tingkat nasional yang memeliki keterkaitan dengan pemberian nama jalan adalah pemberian gelar sebagai pahlawan nasional, contoh saja dalam tahun ini akan di berikan gelar sebagai pahlawan nasional terhadap beberapa tokoh yang sudah almarhumah namun memiliki nilai- kejuangan serta memberikan dampak baik langsung-maupun tidak langsung bagi masyarakat, diantaranya adalah Johanes Leimena dan Ignatius Joseph Kasimo, masyarakat yang merasa bahwa nilai, spirit dan semangat kejuangan yang dimiliki kedua tokoh ini sangat berarti dan memiliki peranan penting bagi bangsa sehingga merasa perlu untuk diajukan sebagai Pahlawan Nasional.
Proses membangun opini dilakukan melalui seminar, panitia mengenang Johanes Leimena melakukan seminar di UKRIDA (Universitas Krida Wacana) pada 17 Juni 2005, kemudian 04 Agustus 2005 di Kementrian Kesehatan,dan di Auditorium Balai Pustaka pada 24 September 2005, sedangkan kelompok masyarakat yang mengusulkan Ignatius Joseph Kasimo melakukan dua kali seminar di Yogyakarta 08 Oktober 2010, dan di Jakarta pada 12 Oktbober 2010.
Bentuk kegiatan diatas merupakan proses membangun opini dan secara tidak langsung mencoba membangun dilektika di tengah masyarakat agar adanya pendapat publik (umum) mengenai keberadaan dua tokoh ini apakah berkenan di hati masyarakat atau tidak.
Ditingkat daerah tokoh lokal yang memiliki peran terbatas di lokal pun pemebrian nama jalan sudah serta merta memberikan gelar kepahlawanan daerah, seyogianya melalui proses dan mekanisme yang sama guna membangun opini publik, bukan tidak ada ”hujan atau angin” langsung surat sakti dikeluarkan dan ada penetapan nama jalan tersebut.
Pengusulan nama sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan pengabdian dari tokoh yang memiliki peran penting, namun akibat tidak melalui proses yang tepat menyebabkan penghargaan yang diseharusnya sesuatu yang berharga dan mulia pagi pengenangan tokoh tersebut cenderung dilihat sebagai bentuk belas kasihan atau balas budi belaka.
Kecenderungan pemikiran ini bisa saja timbul karena dilatar belakangi oleh berbagai persoalan karena menganggap hal ini dilakukan sebagai oligarki kekuasaan, bahwa kekuasaan dikelola oleh sekelompok orang dalam hal ini keluarga (istri walikota saat ini yang merupakan saudara dari mantan walikota sebelumnya) demi kepentingan keluarga. Atau pertimbangan lain bahwa penganugerahan nama jalan ini sebagai bentuk kompromi politik antara Walikota dan Ketua DPDR Kota yang nota bene adalah anak dari Mantan Walikota SK. Lerik sehingga antara Legislatif dan Eksekutif tidak saling menggangu tetapi saling mengamankan. Hal lain lagi yakni pemberian nama jalan ini sebagai bentuk ampun dosa dari Walikota karena pernah memaksa sang Mantan Walikota untuk meninggalkan rumah jabatan yang di tempati.
Pemikiran dalam tulisan ini menyoroti hal ini demi sebuah proses kebijakan yang bermutu dan berkualitas bukan karena keberadaan kota Kupang yang jauh dari Ibu Kota negara sehingga setiap kebijakan hanya dilegalkan melalui sebuah surat sakti yakni Surat Keputusan tetapi sebaiknya melalui mekanisme, proses perumusan yang mendalam dan berbobot sehingga menjadi dasar yang kuat dan mengakomodir semua kepentingan masyarakat.
Seandainya melibatkan semua masyarakat dengan membangun opini publik terlebih dahulu dalam setiap kebijakan publik maka akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas sehingga jika ada pergantian kepemimpinan di tingkat kota tidak mempermasalahkan atau menganulir jalan tersebut dengan alasan bahwa pemberian nama tersebut tidak melalui proses dan opini publik tetapi sebuah keputusan politis.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
*Yoyarib Mau
Kebijakan merupakan peluru dari sebuah jabatan politis itulah yang di lakukan Bupati Rote – Ndao dengan kebijakan pembangunan patung Jenderal Sudirman sebagai monumen di pulau Ndana, pulau terluar di ujung selatan Indonesia, demikian juga Walikota Kupang – Daniel Adoe dengan Surat Keputusan Walikota Kupang Nomor 163A/F/HK/Trans 2010.
Penetapan Jalan raya SK. Lerik di salah satu jalan raya kota Kupang menurut Walikota Kupang bahwa SK. Lerik sebagai mantan Walikota Kupang sudah memberikan yang terbaik untuk kota Kupang selain itu juga almarhum adalah sebagai peletak dasar kota Kupang, selayaknyalah dikenang oleh masyarakat kota Kupang dengan pemberian nama Jalan Samuel Kristian Lerik.
Pemberian nama bagi almarhumah menjadi nama sebuah jalan di Kota Kupang tidak banyak di persoalkan oleh warga kota karena merupakan hal yang mungkin saja tidak secara langsung mempengaruhi kepentingan warga kota sehingga tidak banyak warga kota mempersoalkan pemberian nama jalan yang menempati ruang antara jalur Jalan Ade Irma dan Jalan Sam Ratulangi.
Pemberian nama Jalan SK. Lerik ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan seperti yang diungkapkan oleh Walikota Daniel Adoe bahwa Mantan Walikota Kupang periode 1997 – 2007, Kolonel Infantri Purnawirawan Samuel Kristian Lerik sudah memberikan yang terbaik bagi kota Kupang, selain itu menurutnya almarhum sebagai peletak dasar pembentukan kota Kupang, selayaknyalah dikenang oleh masyarakat Kota Kupang dengan pemberian nama Jalan Samuel Kristian Lerik.
Sah-sah saja jika pemberian nama salah satu ruas jalan di kota Kupang bagi Mantan Walikota Kupang, namun yang menjadi persoalan adalah apakah telah melalui mekanisme, kajian yang mendalam serta sejauhmana melibatkan warga kota dalam penentuan dan pemberian nama pada ruas jalan tersebut ?
Pakar kebijakan publik George Gallup berpendapat bahwa, ”Opini publik dalam pasar politik adalah mirip dengan permintaan konsumen dalam pasar ekonomi. Dalam demokrasi, seseorang bisa mengatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu fungsi dari opini publik. Permintaan kebijakan menentukan penawaran kebijakan. Dan argumen yang menyatakan agenda kebijakan sangat dipengaruhi oleh opini publik dan kekuatan publik diperkuat oleh fakta bahwa opini diukur dan diperlakukan dengan penuh perhatian oleh pembuat kebijakan” (Wayne Parson – Public Policy – Kencana – 2005).
Surat Keputusan Walikota Kupang Nomor 163A/F/HK/Trans 2010, apakah telah melalui proses opini publik atau merupakan sebuah kebijakan pribadi yang lebih bernuansa politis ? pemberian gelar atau nama jalan merupakan bagian dari kebijakan publik sehingga sebuah kebijakan sudah barang tentu diawali dengan dengan membangun opini publik tentang kebijakan publik.
Apabila di tingkat nasional yang memeliki keterkaitan dengan pemberian nama jalan adalah pemberian gelar sebagai pahlawan nasional, contoh saja dalam tahun ini akan di berikan gelar sebagai pahlawan nasional terhadap beberapa tokoh yang sudah almarhumah namun memiliki nilai- kejuangan serta memberikan dampak baik langsung-maupun tidak langsung bagi masyarakat, diantaranya adalah Johanes Leimena dan Ignatius Joseph Kasimo, masyarakat yang merasa bahwa nilai, spirit dan semangat kejuangan yang dimiliki kedua tokoh ini sangat berarti dan memiliki peranan penting bagi bangsa sehingga merasa perlu untuk diajukan sebagai Pahlawan Nasional.
Proses membangun opini dilakukan melalui seminar, panitia mengenang Johanes Leimena melakukan seminar di UKRIDA (Universitas Krida Wacana) pada 17 Juni 2005, kemudian 04 Agustus 2005 di Kementrian Kesehatan,dan di Auditorium Balai Pustaka pada 24 September 2005, sedangkan kelompok masyarakat yang mengusulkan Ignatius Joseph Kasimo melakukan dua kali seminar di Yogyakarta 08 Oktober 2010, dan di Jakarta pada 12 Oktbober 2010.
Bentuk kegiatan diatas merupakan proses membangun opini dan secara tidak langsung mencoba membangun dilektika di tengah masyarakat agar adanya pendapat publik (umum) mengenai keberadaan dua tokoh ini apakah berkenan di hati masyarakat atau tidak.
Ditingkat daerah tokoh lokal yang memiliki peran terbatas di lokal pun pemebrian nama jalan sudah serta merta memberikan gelar kepahlawanan daerah, seyogianya melalui proses dan mekanisme yang sama guna membangun opini publik, bukan tidak ada ”hujan atau angin” langsung surat sakti dikeluarkan dan ada penetapan nama jalan tersebut.
Pengusulan nama sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan pengabdian dari tokoh yang memiliki peran penting, namun akibat tidak melalui proses yang tepat menyebabkan penghargaan yang diseharusnya sesuatu yang berharga dan mulia pagi pengenangan tokoh tersebut cenderung dilihat sebagai bentuk belas kasihan atau balas budi belaka.
Kecenderungan pemikiran ini bisa saja timbul karena dilatar belakangi oleh berbagai persoalan karena menganggap hal ini dilakukan sebagai oligarki kekuasaan, bahwa kekuasaan dikelola oleh sekelompok orang dalam hal ini keluarga (istri walikota saat ini yang merupakan saudara dari mantan walikota sebelumnya) demi kepentingan keluarga. Atau pertimbangan lain bahwa penganugerahan nama jalan ini sebagai bentuk kompromi politik antara Walikota dan Ketua DPDR Kota yang nota bene adalah anak dari Mantan Walikota SK. Lerik sehingga antara Legislatif dan Eksekutif tidak saling menggangu tetapi saling mengamankan. Hal lain lagi yakni pemberian nama jalan ini sebagai bentuk ampun dosa dari Walikota karena pernah memaksa sang Mantan Walikota untuk meninggalkan rumah jabatan yang di tempati.
Pemikiran dalam tulisan ini menyoroti hal ini demi sebuah proses kebijakan yang bermutu dan berkualitas bukan karena keberadaan kota Kupang yang jauh dari Ibu Kota negara sehingga setiap kebijakan hanya dilegalkan melalui sebuah surat sakti yakni Surat Keputusan tetapi sebaiknya melalui mekanisme, proses perumusan yang mendalam dan berbobot sehingga menjadi dasar yang kuat dan mengakomodir semua kepentingan masyarakat.
Seandainya melibatkan semua masyarakat dengan membangun opini publik terlebih dahulu dalam setiap kebijakan publik maka akan mendapatkan dukungan dari masyarakat luas sehingga jika ada pergantian kepemimpinan di tingkat kota tidak mempermasalahkan atau menganulir jalan tersebut dengan alasan bahwa pemberian nama tersebut tidak melalui proses dan opini publik tetapi sebuah keputusan politis.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP - UI
"STANDAR GANDA HUKUM BAGI PEJABAT DI INDONESIA"
“STANDAR GANDA HUKUM BAGI PEJABAT INDONESIA”
*Yoyarib Mau
Perwujudan hukum yang dijalankan di Indonesia dalam implementasinya berlaku standar ganda, karena ada pembedaan dalam menjalankan menjalani proses hukum, sejak dari Polisi, kejaksaan dan hingga jatuhnya putusan pengadilan. Sepertinya hukum di mana keadilan hanya ditafsirkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa memberikan tips atau komisi bagi aparat penegak hukum seperti yang dialami oleh Artalita yang terlibat suap terhadap Jaksa Urip dalam kasus BLBI, dapat menikmati ruang penjara seperti suasana apartement atau hotel dengan mendapatkan fasilitas yang memadai dan juga mendapatkan ijin keluar dengan pengawalan aparat di penjara wanita Pondok Bambu.
Ironis jika hal ini dibandingkan dengan masyarakat yang miskin dan tidak mampu memberikan komisi bagi para penegak hukum maka akan mengalami proses yang berbelit-belit, mengalami perlakuan kasar bahkan penyiksaan dan sudah tentu harus mendekam di penjara karena tidak dapat membayar para pengacara untuk membela atau melakukan pendampingan hukum terhadap dirinya. Hukum dalam konteks Indonesia saat ini sebagai segmen pasar bisnis dimana sebagai peluang bisnis baru, seorang pengacara tidak lagi berperan sebagai pembela perkara dengan profesinya sebagai pengacara tetapi berperan sebagai “broker” kasus antara klien yang di dampingi dan jaksa dan hakim yang akan memutuskan perkara terdakwanya seperti kasus perkara DL Sitorus dimana pengacaranya tertangkap tangan hendak menyerahkan sejumlah uang bagi Jaksa di bilangan Cempaka Putih.
Polisi dalam kasus ini dapat berperan sebagai penegak hukum awal yang berperan untuk memproses dan menetapkan seseorang dijadikan tersangka atau melanggar hukum, karena kasus ini bisa saja didiamkan serta berkas pemeriksaan tidak diajukan ke kejaksaan dengan alasan kurang bukti, jika orang miskin atau tidak memiliki uang maka disarankan untuk berdamai saja, padahal rakyat butuh kepastian hukum.
Permasalahan hukum dimana rakyat berusaha untuk mencari keadilan namun yang diperoleh bukanlah keadilan yang berperikemanusiaan tetapi berkeadilan bagi mereka yang sanggup membayar, sehingga timbul pertanyaan apakah hukum di Indonesia telah memenuhi asas kemanusiaan yang adil dan beradab atau proses hukum hanya sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan demokrasi ?
Salah satu sendi yang mencerminkan terwujudnya proses demokrasi di Indonesia adalah ”supremasi hukum” atau penegakan hukum, hukum sebagai alat operasional negara untuk menjalankan pemerintahan sehingga tercipta keseimbangan kehidupan, namun juga hukum ada untuk menghukum atau menjerat mereka yang melanggar.
Hukum hadir sebagai rambu-rambu yang harus di taati, jika tanpa hukum maka liarlah bangsa ini. hukum berlaku mutlak dan menyeluruh bagi setiap warga negara tanpa adapengecualiaan. Pancasila dalam sila yang kedua menyatakan bahwa “kemanusiaan yang adil dan beradab” adil dapat diartikan adanya kesimbangan atau kesetaraan di mata hukum.
Aspek hukum dalam penerapannya harus mempertimbangkan kemanusiaan yang adil dan beradab, adil tidak ada pembedaan dalam proses hukumnya, tidak ada perlakuan istimewa, seperti ada mantan pejabat atau pejabat yang menjalani hukuman putusan hukuman dapat dinegosasikan apabila koruptor yang mampu memberikan alasan dan berlaku alim saat dipenjara menjadi manusia soleh atau agamais dengan mudah mendaptkan keringanan hukuman berupa grasi, abolisi dan bebas bersyarat lainnya.
Tempat menjalani hukuman pun dapat dilobi dengan alasan atau pertimbangan tertentu sehingga dapat djalani beberapa tempat yang sebenarnya bukan Lapas seperti di Markos Komando Brimob, apabila yang terpidana adalah mantan Polisi atau seorang Jenderal maka sudah tentu akan mendapatkan perlakuan khusus, atau apabila seorang pejabat yang di penjara jika mampu membayar di peetugas Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) maka akan mendapatkan kamar khusus dengan sejumlah fasilitas.
Sedangkan bagi rakyat biasa yang setiap hari membayar pajak kepada pemerintah dan dengan pajak tersebut gaji para aparat penegak hukum dibayar. Tetapi apabila melanggar hukum dan menjalani proses tersebut melalui proses penyiksaan sejak dari kepolisian sudah mengalami berbagai penyiksaan oleh aparat penegak hukum sebagai upaya untuk mempercepat proses BAP (Berita Acara Perkara).
Masyarakat langsung didakwa dengan sejumlah pasal tanpa ada pendampingan hukum dari para pengacara, pengakuan bersalah di akui melalui berbagai tekanan dan tindak kekerasan, padahal besar kerugian yang dilakukan tidak sebanding dengan kerugian yang dilakkukan para pejabat, seorang Nenek yang hanya mencuri 5 piring di rumah majikannya harus ditahan dan menerima ancaman 5 tahun penjara. Apabila keadilan diibaratkan dengan timbangan maka hukum yang diharapkan memberikan rasa keadilan tidak akan terwujud karena jika 5 tahun penjara di bandingkan dengan 5 piring maka timbangan keadilan yang ditawarkan hukum akan berat sebelah.
Hukum akan menjadi terbalik bagi mereka yang melakukan pelanggran dalam hal ini mencuri uang rakyat dengan tersangkut korupsi uang rakyat dengan segala argument hukumnya membuat proses hukum diulur-ulur seperti apa yang di lakukan Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihsa Mahendra melakukan “judicial review” sehingga dirinya juga belum ditahan. Demikian juga yang dilakukan oleh Anggota DPR dari PDIP yakni Panda Nababan yang diduga sebagai “broker” antara 16 Angggota DPR lainya yang di dakwa menerima untuk memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur BI.
Panda Nababan berpendapat bahwa hal itu wajar jika yang mengundang untuk pertemuan dengan para anggota DPR, pengundang harus bertanggung jawab atas operasional para undangan, sehingga terkuak bahwa setiap pejabat publik yang ingin mengkikuti pemilihan pejabat lembaga negara seperti BPK, Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang pemilihannya dilakukan oleh anggota DPR dibenarkan bahwa melalui proses lobi karena menyangkut kepentingan politi.
Padahal hal ini sudah dikategorikan sebagai pelanggran karena menerima gratifikasi namun tidak di sentuh oleh hukum, tetapi jika di bandingkan dengan rakyat kecil karena alaan kebutuhan mendesak dan melakukan pencurian karena dengan alasan lapar harus menjalani hukuman.
Padahal jumlah yang diambil tidak langsung mematikan atau membunuh sang empunya, tetapi yang diambil atau dikorupsi oleh pejabat yang bermiliaran rupiah dapat membunuh sejuta anak yang tidak dapat makan dan menikmati susu karena uang negara yang haursnya di nikmati oleh rakyat hanya di nikmati oleh para pejabat.
Sehingga dimanakah hukum yang seyogianya menitik beratkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan berarti hukum itu memanusiakan manusia sehingga proses hukuman harus sesuai procedural yang berlaku, adil berarti hukuman harus setimpal dan senilai dengan angka yang dilakukan bukan pada pertimbangan jabatan atau kelas sosal karena akan menodai asas keadilan hukum yakni semua sama di mata hukum.
Hukum yang beradab bukan pada penafsiran akan konteks peradaban yakni kehidupan primitif dan modern seperti pejabat yang mengerti hukum dan berargument hukum jika dibandingkan dengan rakyat yang hanya bisa menerima hukum dalam keterbataannya.
Beradab sejatinya menempatkan peradaban negara yang menjungjung tinggi negara hukum dalam sistem negara yang demokratis dengan menerapkan hukum itu bagi semua tanpa ada pengecualian.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – Universitas Indonesia
*Yoyarib Mau
Perwujudan hukum yang dijalankan di Indonesia dalam implementasinya berlaku standar ganda, karena ada pembedaan dalam menjalankan menjalani proses hukum, sejak dari Polisi, kejaksaan dan hingga jatuhnya putusan pengadilan. Sepertinya hukum di mana keadilan hanya ditafsirkan bagi mereka yang berada dalam lingkaran kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa memberikan tips atau komisi bagi aparat penegak hukum seperti yang dialami oleh Artalita yang terlibat suap terhadap Jaksa Urip dalam kasus BLBI, dapat menikmati ruang penjara seperti suasana apartement atau hotel dengan mendapatkan fasilitas yang memadai dan juga mendapatkan ijin keluar dengan pengawalan aparat di penjara wanita Pondok Bambu.
Ironis jika hal ini dibandingkan dengan masyarakat yang miskin dan tidak mampu memberikan komisi bagi para penegak hukum maka akan mengalami proses yang berbelit-belit, mengalami perlakuan kasar bahkan penyiksaan dan sudah tentu harus mendekam di penjara karena tidak dapat membayar para pengacara untuk membela atau melakukan pendampingan hukum terhadap dirinya. Hukum dalam konteks Indonesia saat ini sebagai segmen pasar bisnis dimana sebagai peluang bisnis baru, seorang pengacara tidak lagi berperan sebagai pembela perkara dengan profesinya sebagai pengacara tetapi berperan sebagai “broker” kasus antara klien yang di dampingi dan jaksa dan hakim yang akan memutuskan perkara terdakwanya seperti kasus perkara DL Sitorus dimana pengacaranya tertangkap tangan hendak menyerahkan sejumlah uang bagi Jaksa di bilangan Cempaka Putih.
Polisi dalam kasus ini dapat berperan sebagai penegak hukum awal yang berperan untuk memproses dan menetapkan seseorang dijadikan tersangka atau melanggar hukum, karena kasus ini bisa saja didiamkan serta berkas pemeriksaan tidak diajukan ke kejaksaan dengan alasan kurang bukti, jika orang miskin atau tidak memiliki uang maka disarankan untuk berdamai saja, padahal rakyat butuh kepastian hukum.
Permasalahan hukum dimana rakyat berusaha untuk mencari keadilan namun yang diperoleh bukanlah keadilan yang berperikemanusiaan tetapi berkeadilan bagi mereka yang sanggup membayar, sehingga timbul pertanyaan apakah hukum di Indonesia telah memenuhi asas kemanusiaan yang adil dan beradab atau proses hukum hanya sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan demokrasi ?
Salah satu sendi yang mencerminkan terwujudnya proses demokrasi di Indonesia adalah ”supremasi hukum” atau penegakan hukum, hukum sebagai alat operasional negara untuk menjalankan pemerintahan sehingga tercipta keseimbangan kehidupan, namun juga hukum ada untuk menghukum atau menjerat mereka yang melanggar.
Hukum hadir sebagai rambu-rambu yang harus di taati, jika tanpa hukum maka liarlah bangsa ini. hukum berlaku mutlak dan menyeluruh bagi setiap warga negara tanpa adapengecualiaan. Pancasila dalam sila yang kedua menyatakan bahwa “kemanusiaan yang adil dan beradab” adil dapat diartikan adanya kesimbangan atau kesetaraan di mata hukum.
Aspek hukum dalam penerapannya harus mempertimbangkan kemanusiaan yang adil dan beradab, adil tidak ada pembedaan dalam proses hukumnya, tidak ada perlakuan istimewa, seperti ada mantan pejabat atau pejabat yang menjalani hukuman putusan hukuman dapat dinegosasikan apabila koruptor yang mampu memberikan alasan dan berlaku alim saat dipenjara menjadi manusia soleh atau agamais dengan mudah mendaptkan keringanan hukuman berupa grasi, abolisi dan bebas bersyarat lainnya.
Tempat menjalani hukuman pun dapat dilobi dengan alasan atau pertimbangan tertentu sehingga dapat djalani beberapa tempat yang sebenarnya bukan Lapas seperti di Markos Komando Brimob, apabila yang terpidana adalah mantan Polisi atau seorang Jenderal maka sudah tentu akan mendapatkan perlakuan khusus, atau apabila seorang pejabat yang di penjara jika mampu membayar di peetugas Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) maka akan mendapatkan kamar khusus dengan sejumlah fasilitas.
Sedangkan bagi rakyat biasa yang setiap hari membayar pajak kepada pemerintah dan dengan pajak tersebut gaji para aparat penegak hukum dibayar. Tetapi apabila melanggar hukum dan menjalani proses tersebut melalui proses penyiksaan sejak dari kepolisian sudah mengalami berbagai penyiksaan oleh aparat penegak hukum sebagai upaya untuk mempercepat proses BAP (Berita Acara Perkara).
Masyarakat langsung didakwa dengan sejumlah pasal tanpa ada pendampingan hukum dari para pengacara, pengakuan bersalah di akui melalui berbagai tekanan dan tindak kekerasan, padahal besar kerugian yang dilakukan tidak sebanding dengan kerugian yang dilakkukan para pejabat, seorang Nenek yang hanya mencuri 5 piring di rumah majikannya harus ditahan dan menerima ancaman 5 tahun penjara. Apabila keadilan diibaratkan dengan timbangan maka hukum yang diharapkan memberikan rasa keadilan tidak akan terwujud karena jika 5 tahun penjara di bandingkan dengan 5 piring maka timbangan keadilan yang ditawarkan hukum akan berat sebelah.
Hukum akan menjadi terbalik bagi mereka yang melakukan pelanggran dalam hal ini mencuri uang rakyat dengan tersangkut korupsi uang rakyat dengan segala argument hukumnya membuat proses hukum diulur-ulur seperti apa yang di lakukan Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihsa Mahendra melakukan “judicial review” sehingga dirinya juga belum ditahan. Demikian juga yang dilakukan oleh Anggota DPR dari PDIP yakni Panda Nababan yang diduga sebagai “broker” antara 16 Angggota DPR lainya yang di dakwa menerima untuk memilih Miranda Gultom sebagai Deputi Gubernur BI.
Panda Nababan berpendapat bahwa hal itu wajar jika yang mengundang untuk pertemuan dengan para anggota DPR, pengundang harus bertanggung jawab atas operasional para undangan, sehingga terkuak bahwa setiap pejabat publik yang ingin mengkikuti pemilihan pejabat lembaga negara seperti BPK, Pemilihan Deputi Bank Indonesia, Pemilihan Gubernur Bank Indonesia yang pemilihannya dilakukan oleh anggota DPR dibenarkan bahwa melalui proses lobi karena menyangkut kepentingan politi.
Padahal hal ini sudah dikategorikan sebagai pelanggran karena menerima gratifikasi namun tidak di sentuh oleh hukum, tetapi jika di bandingkan dengan rakyat kecil karena alaan kebutuhan mendesak dan melakukan pencurian karena dengan alasan lapar harus menjalani hukuman.
Padahal jumlah yang diambil tidak langsung mematikan atau membunuh sang empunya, tetapi yang diambil atau dikorupsi oleh pejabat yang bermiliaran rupiah dapat membunuh sejuta anak yang tidak dapat makan dan menikmati susu karena uang negara yang haursnya di nikmati oleh rakyat hanya di nikmati oleh para pejabat.
Sehingga dimanakah hukum yang seyogianya menitik beratkan pada kemanusiaan yang adil dan beradab, kemanusiaan berarti hukum itu memanusiakan manusia sehingga proses hukuman harus sesuai procedural yang berlaku, adil berarti hukuman harus setimpal dan senilai dengan angka yang dilakukan bukan pada pertimbangan jabatan atau kelas sosal karena akan menodai asas keadilan hukum yakni semua sama di mata hukum.
Hukum yang beradab bukan pada penafsiran akan konteks peradaban yakni kehidupan primitif dan modern seperti pejabat yang mengerti hukum dan berargument hukum jika dibandingkan dengan rakyat yang hanya bisa menerima hukum dalam keterbataannya.
Beradab sejatinya menempatkan peradaban negara yang menjungjung tinggi negara hukum dalam sistem negara yang demokratis dengan menerapkan hukum itu bagi semua tanpa ada pengecualian.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – Universitas Indonesia
Selasa, 12 Oktober 2010
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”
*Yoyarib Mau
Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah, tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan.
Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan.
Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan, ”kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang, yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa manusia itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya.
Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan. Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak belakang tersebut ?
Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya mampu membangun “sebuah psikologi politik yang mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena takut akan kematian” (Joseph Losco & Leonard Williams – Rajawali Pers – 2005) .
Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki kekuatan.
Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik menarik seperti dua kutub magnet utara – selatan atau aliran listrik positik – negatif, ada nafsu yang menggebu untuk menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk melakukan kebaikan karena suatu waktu di perhadapkan pada suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda pedati.
Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh ”kontrak keselamatan dan penjagaan bersama”. Kontrak keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada lembaga tersbutlah mereka mau tunduk.
Indonesia merupakan sebuah negara – bangsa berdasarkan kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan. Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa membeli kekuasaan.
Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan desa menegang dan meningkat.
Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20, 2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di vonis masing-masing 3 tahun penjara pada tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi president (sumber : Kompas 04/10/2010).
Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari. Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan 5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010).
Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.
Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna ”adil” itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini memakai pertimbangan ”beradab” dalam pengertian karena memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi, menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan, hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI – NPM : 0806383314
*Yoyarib Mau
Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah, tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan.
Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan.
Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan, ”kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang, yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa manusia itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya.
Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan. Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak belakang tersebut ?
Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya mampu membangun “sebuah psikologi politik yang mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena takut akan kematian” (Joseph Losco & Leonard Williams – Rajawali Pers – 2005) .
Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki kekuatan.
Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik menarik seperti dua kutub magnet utara – selatan atau aliran listrik positik – negatif, ada nafsu yang menggebu untuk menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk melakukan kebaikan karena suatu waktu di perhadapkan pada suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda pedati.
Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh ”kontrak keselamatan dan penjagaan bersama”. Kontrak keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada lembaga tersbutlah mereka mau tunduk.
Indonesia merupakan sebuah negara – bangsa berdasarkan kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan. Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang untuk bisa membeli kekuasaan.
Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan desa menegang dan meningkat.
Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20, 2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri, Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) di vonis masing-masing 3 tahun penjara pada tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi president (sumber : Kompas 04/10/2010).
Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari. Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan 5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010).
Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.
Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna ”adil” itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini memakai pertimbangan ”beradab” dalam pengertian karena memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi, menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan, hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI – NPM : 0806383314
Senin, 11 Oktober 2010
"KONFLIK SEBAGAI BUKTI KEGAGALAN SBY"
“KONFLIK SEBAGAI BENTUK KEGAGALAN SBY”
*Yoyarib Mau
Indonesia sejak berdiri sebagai negara tidak melepaskan diri dari konflik sosial baik itu konflik horisontal maupun vertikal, konflik horisontal terjadi diantara masyarakat sedangkan konflik vertikal terjadi antara negara (aparat pemerintah) dengan masyarakat atau rakyatnya sendiri.
Konflik vertikal terjadi akibat kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah sehingga muncul ide untuk memisahkan diri, kesenjangan ekonomi, sosial dan politik membuat rakyat di daerah menuntut untuk di perlakukan adil namun respon itu tidak di tanggapi sehingga membentuk diri melalui isu serta mengorganisir diri melalui organisasi guna membangun kekutan dan basis masa yang kuat.
Organisasi-organisasi yang dalam sejarah berkonflik dengan negara antara lain seperti; RMS (Republik Maluku Selatan), DI/TII Karto Suwiryo di Jawa Barat, DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, Gerakan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah semua ini terjadi pada masa Orde Baru, selain perjuangan kelompok atau sekelompok rakyat atau sering dibahasakan dengan sebutan separatis seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), selain itu ada konflik yang merupakan pelanggran HAM (Hak Azasi Manusia) oleh negara seperti kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari di Lampung, kasus Kedung Ombo, dan kasus 27 Juli di Jalan Diponegoro - Jakarta.
Selain konflik-konflik dimana negara berperan karena negara terlibat bahkan bagian dari konflik tersebut, ada juga konflik yang merupakan konflik karena kegagalan negara sehingga terjadi konflik antar masyarakat sendiri seperti konflik yang dibangun dengan sentiment agama di Ambon, Ternate dan Poso, konflik karena sentiment suku seperti yang terjadi di Kalimantan Barat antara Dayak dan Madura. Dan terakhir konflik di Tarakan antara Dayak dan Bugis-Makasar. Bahkan konflik antar organisasi kepemudaan di Tanah Kusir antara Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rembug (FBR), bentrok antara kelompok pemuda di Jalan Ampera.
Konflik juga terjadi antar ormas yang mengatasnamakan agama seperti FPI (Front Pembela Islam) yang melakukan kekerasan terhadap umat beragama tertentu yang akan menjalankan ibadah seperti yang terjadi atas Jemaat HKBP – Pondok Indah Timur – Bekasi, GKI Yasmin di Bogor dan pembakaran tempat Ibadah Jama’ah Ahmadiah di Bogor dan NTB, Konflik juga terjadi pada arena politik dalam era otonomi daerah dimana konflik antar pendukung kepala daerah dalam PILKADA Gubernur (Pemilihan Kepala Daerah) yang pernah terjadi berlarut-larut di Maluku Utara antara Kubu Abdul Gafur – Abdul Rachim Fabanyo Vs Kubu Thaib Armain – Abdul Gani Kasuba, Konflik di Sumatra Utara dimana terjadi pemukulan terhadap Ketua DPRD SUMUT hingga meninggal dunia akibat permintaan pembentukan Propinsi Tapanuli.
Konflik – konflik yang terjadi sepanjang masa ini merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan atau terabaikan sehingga muncul ke permukaan sebagai bentuk depresi sosial dari masyarakat, kondisi ini menghadirkan pertanyaan, dimanakah peran negara untuk mengatasi persoalan serta mengakomodasi kepentingan tiap kelompok sehingga tidak terjadinya konflik ?
Kedamaian merupakan dambaan dari tujuan nasional bangsa Indonesia yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur atau yang dikenal dengan sebutan ”summum bonum” atau kebaikan umum. Namun kondisi manusia yang mengalami pergeseran dari natur semula yang adalah makluk sosial bergeser menjadi makhluk yang saling memangsa antar sesamanya (homo homini lupus) sebagai sikap reflektif akibat tidak mendapatkan atau tidak terpenuhinya kebutuhan primernya menyebabkan dirinya berkonflik atau melakukan perlawanan.
George C. Homans menuliskan bahwa, ”dalam kondisi tidak alamiah, seperti hewan laborotorium yang lapar namun tidak terlatih, contohnya burung merpati, akan mengekplorasi kandangnya dan cepat atau lambat akan mematuki sebuah kunci yang sudah di letakan psikolog di dalam kandang, agar ketika si hewan mematuk kunci dengan benar, pelet makanan diberikan padanya” (Anthony Gidens dan Jonathan Turner – Social Teory Today – 2008).
Gambaran yang dianalogikan oleh George C. Homans menunjukan bahwa konflik terjadi jika tidak terpenuhinya kebutuhan hakiki dari manusia itu sendiri akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidupnya dia akan berespon dengan aksi-reaksinya dengan satu tujuan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tidak perduli dengan pola apa yang akan di pakai untuk mendpatkannya namun hanya dengan tujuan kebutuhannya dapat terpenuhi.
Akiabt reaksi manusia yang responsif tersebut tidak mengenal ini milik siapa ? karena baginya hanya satu tujuan terpenuhinya kebutuhan, kondisi mengibaratkan manusia sebagai mangsa bagi manusia lain, perilaku ini menghadirkan hukum alam siapa yang kuat dialah yang akan menang.
Akiabt dari perilaku manusia ini maka Thomas Hobbes menyatakan bahwa, manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes), keadaan inilah membuat manusia untuk saling berperang dan membunuh untuk mempertahankan hidup dan kondisi ini menyebabkan manusia berpikir untuk menghindarkan diri dari kematian yang mengancam bahkan membuat manusia hidup tidak tentram sehingga Menurut Hobbes nalar manusia mendorong orang untuk hidup damai.
Hidup damai merupakan ”kebutuhan bersama” yang mengatur akan kehidupan manusia sehingga Hobbes berargumentasi bahwa, terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial, dalam istilah Hobbes, Covenant. Dalam perjanjian itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa negara atau semacam dewan rakyat Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat – 2007).
Dengan demikian untuk mengatur kehidupan manusia maka tanggung jawab telah di serahkan kepada negara. Kekuasaan ada pada negara untuk mengatur keterpenuhan hak atau kebutuhan dari masyarakat. Pertikaian dalam masyarakat terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhannya isu-isu yang memicu pertikaian yakni (Demokrasi di tingkat Lokal – International Institute For Democracy And Electoral Asistance - 2002 :
Kebijakan transportasi : Metode pemerintah untuk menghubungkan antar kelompok masyarakat atau antara masyarakat dan pusat-pusat bisnis.
Peluang mendapatkan pekerjaan, dan persamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan berbagai pekerjaan dan berbagai tunjangan.
Perumahan, akses kepemilikan lahan, bea sewa rumah yang terjangkau dan kualitas proyek publik bagi kelompok - kelompok ekonomi yang tidak beruntung
Kebijakan pemakaian bahasa, terutama disekolah-sekolah negeri dan forum-forum publik resmi, misalnya pada sidang dewan kota dan pertemuan-pertemuan terbuka untuk mengambil keputusan
Pelayanan ketertiban yang tidak diskriminatif atas dasar kelompok etnies,ras, atau agama, dan masalah keamanan di wilayah rawan kejahatan
Praktik pelaksanaan ibadah, dan dukungan atau kekangan publik terhadap suatu kepercayaan agama tertentu, terutama apabila nilai-nilai yang terkandung dari agama tersebut membentuk basis hukum atau undang-undang yang berdampak pad penganut agama lain dan,
Ekspresi Budaya, misalnya pengaturan tata cara sekelompok masyarakat dapat merayakan tradisi budayanya, terutama pad situasi-situasi ketika ekspresi kecintaan atau rasa bangga pada kelompok itu bisa menyinggung kelompok yang lain.
Isu-isu di atas tidak semuanya menjadi penyebab yang mengakibatkan konflik di Indonesia namun ada hal-hal yang disebutkan di atas menjadi persoalan yang sering menyulut terjadinya konflik, konflik-konflik ini tak dapat dipisahkan atau tak terhindarkan dari diri manusia, sehingga keberadaan negara di harapkan kehadirannya atau dibentuk dengan tujuan menjamin masyarakat untuk dapat hidup aman dan damai.
Untuk dapat memberikan jaminan kemanan dan ketentraman dari masyarakat maka tugas negara sanagat di harapkan untuk mensiptakan kondisi aman, kondisi aman merupakan kebutuhan publik maka dengan itu kemanan merupakan kebutuhan kebijakan publik, kebijakan publik merupakan bagian dari administrasi publik keberadaanya sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan publik dengan memanfaatkan kelompok pegawai negeri sipil (civil servant) yang tugasnya melaksanakan perintah dari orang-orang yang dipilih oleh rakyat (Wayne Parson – Public Policy – 2008).
Kebijakan Publik merupakan hasil keputusan atau kebijakan pemimpin yang di pilih oleh rakyat, kondisi Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, maka Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggung jawab atas semua konflik yang terjadi di tanah air karena kebijakan pemerintah dalam hal ini President yang lemah atau gagal memanfaatkan birokrasi yang ada.
Penentu kebijakan merupakan ”agent moral” dimana setiap kebijaknnya harus mengandung kadar kandungan moral, sehingga perilaku penentu kebijakan dalam hal ini Presiden harus mampu merefleksikan moral dalam kebijakannya sehingga mencerminkan pemimpin yang bijak. Penekanan sebagai agen moral karena hal ini akan berdampak pada setiap kebijakannya setiap kebijakan akan berdampak positif dan negatif berdasarkan penilaian moral.
Melihat Fenomena kekacauan saat ini menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa gagalnya negara mengakibatkan konflik hal ini sesuai dengan pendapat ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahmud MD yang berpendapat bahwa aksi kekerasan akhir-akhir ini terjadi karena negara tidak hadir (Kompas 4/10/10), negara dalam hal ini kepemimpinan nasional, karena kepemimpinan yang egoistis yang menurut Alois Agus Nugroho, ”kepemimpinan yang menjadikan dirinya moral patient tunggal dari seluruh kiprah organisasi. Organisasi dan kekuasaan tidak ditujukan pada kebaikan bersama atau kepentingan umum melainkan diabadikan bagi kepentingan diri sang penguasa” (Keadilan Sosial – Kompas – 2004).
Kepentingan diri sang penguasa saat ini jelas terlihat, anak presiden dan keluarga yang mendapatkan kemudahan untuk melakukan pembagian souvenir tentang publikasi diri mereka melalui tulisan buku yang melukiskan kepemimpinan positif sang Presiden yang dibagikan secara gratis dalam acara kenegaraan pada perayaan hari kemerdekan 17 Agustus 2010, sedangkan ketika seorang anggota TNI-AU Adjie Suradjie mengkritik kepemimpinan minus sang Presiden dirinya mengalami disiplin hanya karena pertimbangan etika keprajuritan.
Kepentingan diri sang penguasa tidak hanya terbatas pada lingkaran keluarga tetapi berdampak pada lingkran organisasi pendukung seperti pada periode sebelumnya untuk mengamankan majunya sang Presiden dalam periode berikut maka ketua Partai Demokrat sebelumnya dipimpin oleh Hadi Utomo yang merupakan Ipar sang President, dan kemudian dalam kepengurusan Partai Demokrat kepemimpinan Anas Urbaningrum lingkaran kekusaan istana pun sebagai faktor penentu dimana Sekertaris Jenderal dikondisikan untuk kepentingan sang penguasa yakni di jabati oleh Edhie Baskoro (Ibas) putra bungsu sang Presiden.
Kebijakan lain yang terasa tidak memenuhi kebaikan bersama masyarakat, menyangkut pemberian remisi bagi nara pidana yang diberikan bagi Aulia Pohan yang merupakan ”besan” dari sang Presiden, pada kampanye untuk maju sebagai Presiden, sang kepala negara berkomitment untuk membasmi para koruptor, namun kebijakan atau keputusannya tidak sejalan dengan kebijakan afirmatif bagi kepentigan ego sang penguasa.
Kasus bank century yang merugikan uang rakyat senilai 6,7 triliun, hingga bergulir dengan isu ”impeachment” terhadap sang Presiden oleh legislatife, namun kondisi ini diredam dengan kompromistis yakni dibentuknya partai koalisi yang mendukung pemerintah secara permanent dengan membentuk SEKBER (Sekretariat Bersama) mematikan proses hukum dari kasus bank century, bahkan kehadiran SEKBER sebagai kekuatan sang presiden untuk menyepakati setiap kebijakannya, akhirnya menghilangkan peran DPR sebagai wakil rakyat dan lebih sebagai wakil partai politik. Peran SEKBER sebagai penulis sekaligus aransemen lagu paduan suara dan peran DPR hanya sebagai Paduan Suara yang hanya menyanyikan sesuai teks yang ada, seperti sebagian lirik lagu dari Iwan Fals.
Kebijakan lain yang terlihat pemaksaan yakni penentuan Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), posisi ini sepertinya merupakan jabatan karena pertimbangan keluarga dekat sang Presiden diman Pramono Edhie adalah adik kandung dari istri sang Presiden. Sebelumnya juga hadir kepermukaan tentang nama kandidat pengganti Kapolri yang akan diajukan adalah Inspektur Imam Sudjarwo yang adalah besan Aulia Pohan, kan tetapi respon masyarakat yang begitu kuat terutama tercipta resistensi di petinggi polri mengakibatkan sang Presiden membatalkan nama tersebut sehinggga nama Timur Pradopo yang diajukan sebagai pengalihan isu bahwa kekuasaan di kuasai keluarga istana.
Realitas ini merupakan salah satu faktor frustasi sosial dalam kehidupan masyarakat karena kekuasaan dimana peran negara, yakni kebijakan yang diharapkan mampu menjamin kepentingan umum tidak terpenuhi yang kelihatan adalah menjamin kepentingan segelintir orang di lingkaran penguasa. Negara sepertinya tidak hadir untuk kepentingan umum atau kebutuhan bersama, negara sepertinya hadir untuk kepentingan penguasa saja. Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara, serta ketidakadilan yang merata bagi semua pihak sehingga masyarakat memilih menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri.
Negara di bentuk dengan kesepakatan bersama untuk menjamin terpenuhinya rasa keadilan serta pemenuhan kebutuhan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, namun hal ini tidak lagi terpenuhi maka mereka memilih kembali kepada perilaku alami, yakni saling memangsa untuk menundukan lawan guna mendapatkan pemenuhan kebutuhannya. Bentuk reaksi ini sebagai pengingatan dimana ketika dirinya lapar maka rakyat akan bereaksi dengan mematuk (baca : konflik) apa yang ada di sekitarnya dengan tujuan negara bergerak untuk memberikan pelet (baca : pemenuhan kebutuhan) kepada rakyat.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
*Yoyarib Mau
Indonesia sejak berdiri sebagai negara tidak melepaskan diri dari konflik sosial baik itu konflik horisontal maupun vertikal, konflik horisontal terjadi diantara masyarakat sedangkan konflik vertikal terjadi antara negara (aparat pemerintah) dengan masyarakat atau rakyatnya sendiri.
Konflik vertikal terjadi akibat kesenjangan yang terjadi antara pusat dan daerah sehingga muncul ide untuk memisahkan diri, kesenjangan ekonomi, sosial dan politik membuat rakyat di daerah menuntut untuk di perlakukan adil namun respon itu tidak di tanggapi sehingga membentuk diri melalui isu serta mengorganisir diri melalui organisasi guna membangun kekutan dan basis masa yang kuat.
Organisasi-organisasi yang dalam sejarah berkonflik dengan negara antara lain seperti; RMS (Republik Maluku Selatan), DI/TII Karto Suwiryo di Jawa Barat, DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, DI/TII Daud Beureuh di Aceh, Gerakan Permesta di Sulawesi Utara dan Tengah semua ini terjadi pada masa Orde Baru, selain perjuangan kelompok atau sekelompok rakyat atau sering dibahasakan dengan sebutan separatis seperti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka), selain itu ada konflik yang merupakan pelanggran HAM (Hak Azasi Manusia) oleh negara seperti kasus Tanjung Priok, kasus Talang Sari di Lampung, kasus Kedung Ombo, dan kasus 27 Juli di Jalan Diponegoro - Jakarta.
Selain konflik-konflik dimana negara berperan karena negara terlibat bahkan bagian dari konflik tersebut, ada juga konflik yang merupakan konflik karena kegagalan negara sehingga terjadi konflik antar masyarakat sendiri seperti konflik yang dibangun dengan sentiment agama di Ambon, Ternate dan Poso, konflik karena sentiment suku seperti yang terjadi di Kalimantan Barat antara Dayak dan Madura. Dan terakhir konflik di Tarakan antara Dayak dan Bugis-Makasar. Bahkan konflik antar organisasi kepemudaan di Tanah Kusir antara Pemuda Pancasila (PP) dan Forum Betawi Rembug (FBR), bentrok antara kelompok pemuda di Jalan Ampera.
Konflik juga terjadi antar ormas yang mengatasnamakan agama seperti FPI (Front Pembela Islam) yang melakukan kekerasan terhadap umat beragama tertentu yang akan menjalankan ibadah seperti yang terjadi atas Jemaat HKBP – Pondok Indah Timur – Bekasi, GKI Yasmin di Bogor dan pembakaran tempat Ibadah Jama’ah Ahmadiah di Bogor dan NTB, Konflik juga terjadi pada arena politik dalam era otonomi daerah dimana konflik antar pendukung kepala daerah dalam PILKADA Gubernur (Pemilihan Kepala Daerah) yang pernah terjadi berlarut-larut di Maluku Utara antara Kubu Abdul Gafur – Abdul Rachim Fabanyo Vs Kubu Thaib Armain – Abdul Gani Kasuba, Konflik di Sumatra Utara dimana terjadi pemukulan terhadap Ketua DPRD SUMUT hingga meninggal dunia akibat permintaan pembentukan Propinsi Tapanuli.
Konflik – konflik yang terjadi sepanjang masa ini merupakan akumulasi dari persoalan-persoalan negara yang belum terselesaikan atau terabaikan sehingga muncul ke permukaan sebagai bentuk depresi sosial dari masyarakat, kondisi ini menghadirkan pertanyaan, dimanakah peran negara untuk mengatasi persoalan serta mengakomodasi kepentingan tiap kelompok sehingga tidak terjadinya konflik ?
Kedamaian merupakan dambaan dari tujuan nasional bangsa Indonesia yakni terciptanya kehidupan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur atau yang dikenal dengan sebutan ”summum bonum” atau kebaikan umum. Namun kondisi manusia yang mengalami pergeseran dari natur semula yang adalah makluk sosial bergeser menjadi makhluk yang saling memangsa antar sesamanya (homo homini lupus) sebagai sikap reflektif akibat tidak mendapatkan atau tidak terpenuhinya kebutuhan primernya menyebabkan dirinya berkonflik atau melakukan perlawanan.
George C. Homans menuliskan bahwa, ”dalam kondisi tidak alamiah, seperti hewan laborotorium yang lapar namun tidak terlatih, contohnya burung merpati, akan mengekplorasi kandangnya dan cepat atau lambat akan mematuki sebuah kunci yang sudah di letakan psikolog di dalam kandang, agar ketika si hewan mematuk kunci dengan benar, pelet makanan diberikan padanya” (Anthony Gidens dan Jonathan Turner – Social Teory Today – 2008).
Gambaran yang dianalogikan oleh George C. Homans menunjukan bahwa konflik terjadi jika tidak terpenuhinya kebutuhan hakiki dari manusia itu sendiri akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidupnya dia akan berespon dengan aksi-reaksinya dengan satu tujuan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya tidak perduli dengan pola apa yang akan di pakai untuk mendpatkannya namun hanya dengan tujuan kebutuhannya dapat terpenuhi.
Akiabt reaksi manusia yang responsif tersebut tidak mengenal ini milik siapa ? karena baginya hanya satu tujuan terpenuhinya kebutuhan, kondisi mengibaratkan manusia sebagai mangsa bagi manusia lain, perilaku ini menghadirkan hukum alam siapa yang kuat dialah yang akan menang.
Akiabt dari perilaku manusia ini maka Thomas Hobbes menyatakan bahwa, manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes), keadaan inilah membuat manusia untuk saling berperang dan membunuh untuk mempertahankan hidup dan kondisi ini menyebabkan manusia berpikir untuk menghindarkan diri dari kematian yang mengancam bahkan membuat manusia hidup tidak tentram sehingga Menurut Hobbes nalar manusia mendorong orang untuk hidup damai.
Hidup damai merupakan ”kebutuhan bersama” yang mengatur akan kehidupan manusia sehingga Hobbes berargumentasi bahwa, terbentuknya sebuah negara atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial, dalam istilah Hobbes, Covenant. Dalam perjanjian itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya serta kebebasannya kepada seorang penguasa negara atau semacam dewan rakyat Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat – 2007).
Dengan demikian untuk mengatur kehidupan manusia maka tanggung jawab telah di serahkan kepada negara. Kekuasaan ada pada negara untuk mengatur keterpenuhan hak atau kebutuhan dari masyarakat. Pertikaian dalam masyarakat terjadi akibat tidak terpenuhinya kebutuhannya isu-isu yang memicu pertikaian yakni (Demokrasi di tingkat Lokal – International Institute For Democracy And Electoral Asistance - 2002 :
Kebijakan transportasi : Metode pemerintah untuk menghubungkan antar kelompok masyarakat atau antara masyarakat dan pusat-pusat bisnis.
Peluang mendapatkan pekerjaan, dan persamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan berbagai pekerjaan dan berbagai tunjangan.
Perumahan, akses kepemilikan lahan, bea sewa rumah yang terjangkau dan kualitas proyek publik bagi kelompok - kelompok ekonomi yang tidak beruntung
Kebijakan pemakaian bahasa, terutama disekolah-sekolah negeri dan forum-forum publik resmi, misalnya pada sidang dewan kota dan pertemuan-pertemuan terbuka untuk mengambil keputusan
Pelayanan ketertiban yang tidak diskriminatif atas dasar kelompok etnies,ras, atau agama, dan masalah keamanan di wilayah rawan kejahatan
Praktik pelaksanaan ibadah, dan dukungan atau kekangan publik terhadap suatu kepercayaan agama tertentu, terutama apabila nilai-nilai yang terkandung dari agama tersebut membentuk basis hukum atau undang-undang yang berdampak pad penganut agama lain dan,
Ekspresi Budaya, misalnya pengaturan tata cara sekelompok masyarakat dapat merayakan tradisi budayanya, terutama pad situasi-situasi ketika ekspresi kecintaan atau rasa bangga pada kelompok itu bisa menyinggung kelompok yang lain.
Isu-isu di atas tidak semuanya menjadi penyebab yang mengakibatkan konflik di Indonesia namun ada hal-hal yang disebutkan di atas menjadi persoalan yang sering menyulut terjadinya konflik, konflik-konflik ini tak dapat dipisahkan atau tak terhindarkan dari diri manusia, sehingga keberadaan negara di harapkan kehadirannya atau dibentuk dengan tujuan menjamin masyarakat untuk dapat hidup aman dan damai.
Untuk dapat memberikan jaminan kemanan dan ketentraman dari masyarakat maka tugas negara sanagat di harapkan untuk mensiptakan kondisi aman, kondisi aman merupakan kebutuhan publik maka dengan itu kemanan merupakan kebutuhan kebijakan publik, kebijakan publik merupakan bagian dari administrasi publik keberadaanya sebagai sarana untuk mengamankan kepentingan publik dengan memanfaatkan kelompok pegawai negeri sipil (civil servant) yang tugasnya melaksanakan perintah dari orang-orang yang dipilih oleh rakyat (Wayne Parson – Public Policy – 2008).
Kebijakan Publik merupakan hasil keputusan atau kebijakan pemimpin yang di pilih oleh rakyat, kondisi Indonesia yang menganut sistem pemerintahan Presidensial, maka Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat bertanggung jawab atas semua konflik yang terjadi di tanah air karena kebijakan pemerintah dalam hal ini President yang lemah atau gagal memanfaatkan birokrasi yang ada.
Penentu kebijakan merupakan ”agent moral” dimana setiap kebijaknnya harus mengandung kadar kandungan moral, sehingga perilaku penentu kebijakan dalam hal ini Presiden harus mampu merefleksikan moral dalam kebijakannya sehingga mencerminkan pemimpin yang bijak. Penekanan sebagai agen moral karena hal ini akan berdampak pada setiap kebijakannya setiap kebijakan akan berdampak positif dan negatif berdasarkan penilaian moral.
Melihat Fenomena kekacauan saat ini menimbulkan sebuah kesimpulan bahwa gagalnya negara mengakibatkan konflik hal ini sesuai dengan pendapat ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahmud MD yang berpendapat bahwa aksi kekerasan akhir-akhir ini terjadi karena negara tidak hadir (Kompas 4/10/10), negara dalam hal ini kepemimpinan nasional, karena kepemimpinan yang egoistis yang menurut Alois Agus Nugroho, ”kepemimpinan yang menjadikan dirinya moral patient tunggal dari seluruh kiprah organisasi. Organisasi dan kekuasaan tidak ditujukan pada kebaikan bersama atau kepentingan umum melainkan diabadikan bagi kepentingan diri sang penguasa” (Keadilan Sosial – Kompas – 2004).
Kepentingan diri sang penguasa saat ini jelas terlihat, anak presiden dan keluarga yang mendapatkan kemudahan untuk melakukan pembagian souvenir tentang publikasi diri mereka melalui tulisan buku yang melukiskan kepemimpinan positif sang Presiden yang dibagikan secara gratis dalam acara kenegaraan pada perayaan hari kemerdekan 17 Agustus 2010, sedangkan ketika seorang anggota TNI-AU Adjie Suradjie mengkritik kepemimpinan minus sang Presiden dirinya mengalami disiplin hanya karena pertimbangan etika keprajuritan.
Kepentingan diri sang penguasa tidak hanya terbatas pada lingkaran keluarga tetapi berdampak pada lingkran organisasi pendukung seperti pada periode sebelumnya untuk mengamankan majunya sang Presiden dalam periode berikut maka ketua Partai Demokrat sebelumnya dipimpin oleh Hadi Utomo yang merupakan Ipar sang President, dan kemudian dalam kepengurusan Partai Demokrat kepemimpinan Anas Urbaningrum lingkaran kekusaan istana pun sebagai faktor penentu dimana Sekertaris Jenderal dikondisikan untuk kepentingan sang penguasa yakni di jabati oleh Edhie Baskoro (Ibas) putra bungsu sang Presiden.
Kebijakan lain yang terasa tidak memenuhi kebaikan bersama masyarakat, menyangkut pemberian remisi bagi nara pidana yang diberikan bagi Aulia Pohan yang merupakan ”besan” dari sang Presiden, pada kampanye untuk maju sebagai Presiden, sang kepala negara berkomitment untuk membasmi para koruptor, namun kebijakan atau keputusannya tidak sejalan dengan kebijakan afirmatif bagi kepentigan ego sang penguasa.
Kasus bank century yang merugikan uang rakyat senilai 6,7 triliun, hingga bergulir dengan isu ”impeachment” terhadap sang Presiden oleh legislatife, namun kondisi ini diredam dengan kompromistis yakni dibentuknya partai koalisi yang mendukung pemerintah secara permanent dengan membentuk SEKBER (Sekretariat Bersama) mematikan proses hukum dari kasus bank century, bahkan kehadiran SEKBER sebagai kekuatan sang presiden untuk menyepakati setiap kebijakannya, akhirnya menghilangkan peran DPR sebagai wakil rakyat dan lebih sebagai wakil partai politik. Peran SEKBER sebagai penulis sekaligus aransemen lagu paduan suara dan peran DPR hanya sebagai Paduan Suara yang hanya menyanyikan sesuai teks yang ada, seperti sebagian lirik lagu dari Iwan Fals.
Kebijakan lain yang terlihat pemaksaan yakni penentuan Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), posisi ini sepertinya merupakan jabatan karena pertimbangan keluarga dekat sang Presiden diman Pramono Edhie adalah adik kandung dari istri sang Presiden. Sebelumnya juga hadir kepermukaan tentang nama kandidat pengganti Kapolri yang akan diajukan adalah Inspektur Imam Sudjarwo yang adalah besan Aulia Pohan, kan tetapi respon masyarakat yang begitu kuat terutama tercipta resistensi di petinggi polri mengakibatkan sang Presiden membatalkan nama tersebut sehinggga nama Timur Pradopo yang diajukan sebagai pengalihan isu bahwa kekuasaan di kuasai keluarga istana.
Realitas ini merupakan salah satu faktor frustasi sosial dalam kehidupan masyarakat karena kekuasaan dimana peran negara, yakni kebijakan yang diharapkan mampu menjamin kepentingan umum tidak terpenuhi yang kelihatan adalah menjamin kepentingan segelintir orang di lingkaran penguasa. Negara sepertinya tidak hadir untuk kepentingan umum atau kebutuhan bersama, negara sepertinya hadir untuk kepentingan penguasa saja. Kondisi ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada negara, serta ketidakadilan yang merata bagi semua pihak sehingga masyarakat memilih menyelesaikan persoalan dengan cara sendiri.
Negara di bentuk dengan kesepakatan bersama untuk menjamin terpenuhinya rasa keadilan serta pemenuhan kebutuhan oleh pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, namun hal ini tidak lagi terpenuhi maka mereka memilih kembali kepada perilaku alami, yakni saling memangsa untuk menundukan lawan guna mendapatkan pemenuhan kebutuhannya. Bentuk reaksi ini sebagai pengingatan dimana ketika dirinya lapar maka rakyat akan bereaksi dengan mematuk (baca : konflik) apa yang ada di sekitarnya dengan tujuan negara bergerak untuk memberikan pelet (baca : pemenuhan kebutuhan) kepada rakyat.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
Kamis, 07 Oktober 2010
"GLOBALISASI DEMOKRASI"
"Globalization Of Democrazy"
(Mengurai Jalan Pemikiran Arsalan Ghorbani Sheikneshin)
*Yoyarib Mau
Jalan pemikiran Arsalan sebagai seorang Profesor dalam Ilmu Politik dari Tehran Tarbiat Moalem University memaparkan jalan pemikirannya mengenai Globalisasi demokrasi yang menjadi demensi penting sebagai “kebutuhan umum” atau paham umum dalam globalisasi demokrasi yang dibutuhkan sebuah system politik untuk menerapkan hak asasi manusia.
Aliaran Globalisasi menyebabkan adegan perubahan pemikiran dalam politik, teknologi, budaya, dan urusan sosial yang diputuskan oleh pasar dunia di akhir abad 20.
Ditentukan dikendalikan instrument baru dalam komunikasi dan teknologi baru.
Keadaan ini membuat manusia seakan keluar dari lingkungan, industri, hasil temuan ilmiahnya, sehingga mendorong kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama dan mengembangkan kebebasan.
Perubahan ini terjadi sangat srimultan dalam semua konsep atau ideology antara lain; kekuasaan, wewenang, dari rasa kebangsaan, keamanan, militer, damai dan perang semuanya memberikan tempat bagi konsep-konsep ini guna menginginkan kesejahteraan, lingkuangan hidup, hak asasi manusia, perdagangan, peran masyarakat sipil dunia, ekonomi, budaya dan pembangunan demokrasi.
Keadaan ideal yang digambarkan Arsalan Ghorbani di atas merupakan tujuan utama dari globalisasi demokrasi, globalisasi demokrasi menyebabkan hadirnya kebijakan luar negeri dari tiap negara keadaan ini menyebabkan lemahnya kekuasaan untuk melihat kekuasaan lain yang hadir sebagai pemain internasional yang berdampak terhadap struktur dan arus hubungan Internasional.
Globalisasi di manfaatkan oleh pemain tertentu untuk melakukan percobaan untuk mengakhiri sistem lama dari distribusi kekuasaan di dunia. Menyebabkan banyaknya permintaan untuk kemajuan serta kebergantungan dan hubungan bilateral antar negara serta pembagian kekayaan dan kekuasaan secara adil.
Perubahan baru dari hubungan antar bangsa memberikan gambaran bahwa kekuasaan mulai berkurang dari bangsa tersebut dan menggambarkan akan kebergantungan terhadap orang lain semakin meningkat dalam sistem Internasioanal. Keadaan ini sepertinya menjelaskan bahwa kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bangsa lain sehingga perlu membuka diri untuk membangun hubungan dan aktifitas dengan bangsa lain.
Membangun hubungan dengan negara lain melalui hubungan bilateral atau multi lateral harus di lakukan dalam bentuk kerjasama ekonomi dalam batas geografis tertentu, seperti yang dilakukan Indonesia saat ini bergabung dalam ACFTA, ASEAN, OPEC dan APEC, sedangkan di belahan Eropa menggabungkan diri dalam Uni Eropa dengan satu mata uang yakni EURO, atau ketika negara lain melakukan kunjungan atau perjalanan ke luar negeri khususnya ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa tidak perlu lagi mengurus visa di setiap negara anggota cukup sekali saja.
Dalam aspek ekonomi proses globalisasi sangat ditentukan oleh besarnya modal, faktor produksi serta bentuk pekerjaan yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang tidak sama.
Keadaan ini menyebabkan kesenjangan serta membutuhkan intervensi dari negara lain hal inilah yang menjadi kritik dan analisa dari Arsalan Ghorbani, karena kondisi inilah menjadi arena keberuntungan bagi MNC (Multi National Coorporation) atau TNC (Trade National Coorporation) melakukan investasi di mana-mana seperti Exxon Mobil, General Motor, Nike, Reebok, Adidas dan Louis Vuiton, Piere Cardien, Mc Donald, Carrefour, Lote Mart, Black Berry dan berbagai merek terkenal yang merepresentasikan perusahaan asing yang mendominasi dunia, sehingga membentuk sebuah persepsi bahwa yang dikategorikan sejahtera adalah mereka yang mengkonsumsi dan mengenakan merek-merek tersebut.
Keadaan ini menyebabkan sebuah putaran global yang menyebabkan perubahan di akhir decade 20-an dan gambaran keadaan dari proses globalisasi itu sendiri. Gambaran umum globalisasi ini merupakan berbagai fenomena dari dominasi interaksi dan aktifitas dalam aspek kehidupan global dalam bidang ekonomi, sosial, politik, teknologi, militer, lingkungan, dan budaya.
Arsalan mengungkapkan suka atau tidak suka faktor utama dari globalisasi adalah sesuatu yang tidak dapat di bantah tetapi disukai oleh semua bangsa yakni demokrasi, dan aspek lain dari globalisasi yakni mendunianya demokrasi sebagai sebuah wajah yang menantang.
Kondisi ini membuat kita bertanya apakah kita menolak globalisasi demokrasi atau menerimanya dengan berbagai catatan ? Arsalan Ghorbani menawarkan dua argument utama terhadap globalisasi demokrasi. pertama ; dimana karakteristik perubahan kepemimpinan terhadap globalisasi demokrasi budaya yang sangat prinsip dari globalisasi demokrasi, demokrasi liberal barat sebagai budya yang lebih dominan, sementara harus berhadapan dengan nilai budaya di negara-negara non-barat atau negara-negara dunia ketiga.
Demokrasi Liberal Barat (Negara Maju) Vs Budaya Non-Barat (Negara Dunia Ketiga)
Demokrasi Liberal Barat yang berkembang pesat di Eropa, dan telah mengalami fase globalisasi serta mengalami peradaban yang cukup maju pasca perang dunia ke II, dan ideologi kebebasan dalam menjalankan hidup dan melakukan aktivitas ekonominya indivudu sangat di berikan keleluasan yang cukup untuk menjalankan usahanya, pemerintah hanya berperan sebagai ”penjaga malam” peran negara dibutuhkan untuk memberikan rasa aman bagi para individu.
Namun dalam perjalanan waktu gagasan itu berubah menjadi pemerintah perlu bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. untuk mewujudkan hal tersebut maka di butuhkan konsep untuk terwujudkannya kesejahteraan yakni the rule of law. Syarat-syarat dasar untuk terselengaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008):
1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3.Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
4.Pendidikan Kewarganegaraan (civil education)
Hal- hal diatas menjadi ukuran dalam pelaksanaan demokrasi di Eropa hal ini juga seperti-nya harus menjadi bagian dari globalisasi demokrasi yang akan dan harus menjadi bagian dari kehidupan negara lain seperti apa yang di katakan Anthony Gidens bahwa; Globalisasi meninggalkan negara-bangsa dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki oleh negara, termasuk yang mendasari manejemen ekonomi keynesian telah di perlemah, tetapi globalisasi juga ”menekan ke bawah” ia menciptakan tuntutan-tuntutan dan kesempatan –kesempatan baru untuk meregenerasi identitas lokal (The Third Way – Gramedia – 2000).
Isu ini menyebabkan perbedaan yang sangat prinsipil dari keadaan negara-negara ketiga atau negara-negara non-barat seperti di Timur Tengah, Asia, Afrika serta Amerika Latin, Budaya dari belahan wilayah dari negara-negara non-barat memiliki nilai identitas yang kuat dan merupakan bagaian dari harga diri dan martabat dirinya, sebagaimana identitas di Timur Tengah yang dipengaruhi oleh budaya Arab dan Islam yang kental, dimana Ulama memiliki kekuatan kekuasaan yang cukup kental ingind i gantikan secara langsung hal ini akan menimbulkan konflik, keberadaan ini yang membenarkan globalisasi demokrasi mengalami hambatan seperti tesisnya Samuel Huntington mengenai ”benturan peradaban antara Barat dan Islam”.
Karena di lain pihak identitas dari negar-negara non barat akan melakukan proteksi terhadap nilai-nilai budayanya sehingga menurut Arsalan dibutuhkan proses integrasi dari pemikiran globalisasi demokrasi yang utama untuk dikonsolidasikan dengan ideentitas lokal sehingga mendapatkan parameter bagi budaya untuk sebuah perbedaan atau pengecualian dari globalisasi demokrasi sebagai sebuah konsekuensi. Dan hal inipula yang terjadi di beberapa negara eropa yang menginginkan perlakuan khusus yang otonom dari sebuah entitas nasional seperti Quebec melepaskan diri dari Canada.
Globalisasi Demokrasi dan Hak Azasi Manusia
Isu kedua yang menjadi bahan kajian dari Arsalan Ghorbani adalah globalisasi demkorasi dan hak sasi manusia. Keberadaan konsep ini merupakan hak asasi manusia yang menekankan kebergantungan citra antara manusia, hal in merupakan arti dari partisipasi dari seluruh keberadaan manusia. Hal inilah yang mendorong didirikannya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagi prinsip yang fundamental dari demokrasi.
Menjadi permasalahan adalah dalam menjalankan kepedulian social dari semangat yang prinsip dari demokrasi di bentuknya lembaga-lembaga social antar bangsa untuk melakukan pengentasan kemiskinan, kelaparan dan menyelesaikan pertikaian antar sesama manusia di berbagai belahan dunia sehingga adanya lembaga seperti WHO, UNICEF, UNDP dan lembaga donor lainya yang melakukan tugas kemanusiaan.
Sejatinya keberadaan lembaga-lembaga ini tidak terlepas dari sikap caritas atau filantropi dari berbagai perusahaan MNC atau TNC yang cukup besar penghasilannya dan menyisihkan CSR (Coorperate Social Responsibility) untuk lembaga-lembaga bentukan ini. Pemberian bantuan terkadang tidak selamnya tulus untuk kemanusiaan tetapi memberi dengan berbagai kepentingan yakni lembaga-lembaga donor harus menjamin agar perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dapat melakukan investasi di negara mana saja yang mereka ingin untuk melebarkan usahanya.
Kondisi ini seperti yang Indonesia alami saat ini dana PNPM merupakan bantuan World Bank untuk mengentaskan keinginan dan mewujudkan tujuan pembangunan dunia MDG’s (Milenium Development Goal’s) namun seturut dengan bantuan tersebut keinginan perusahaan pendonor yang berasal dari negara maju menuntut agar investasinya di Indonesia tetap di jamin sebagaimana keberadaan Freeport dan Exxon Mobil yang tetap dilindungi walaupun menguras alam dan masyarakat di sekitar tempat pertambangan tetap miskin dan kelaparan, dengan demikian globalisasi demoikrasi dan HAM (Hak Azasi Manusia) telah di bajak oleh kapitalis dan di jadikan sebagai topeng untuk meraup keuntungan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
NPM : 0806383314
(Mengurai Jalan Pemikiran Arsalan Ghorbani Sheikneshin)
*Yoyarib Mau
Jalan pemikiran Arsalan sebagai seorang Profesor dalam Ilmu Politik dari Tehran Tarbiat Moalem University memaparkan jalan pemikirannya mengenai Globalisasi demokrasi yang menjadi demensi penting sebagai “kebutuhan umum” atau paham umum dalam globalisasi demokrasi yang dibutuhkan sebuah system politik untuk menerapkan hak asasi manusia.
Aliaran Globalisasi menyebabkan adegan perubahan pemikiran dalam politik, teknologi, budaya, dan urusan sosial yang diputuskan oleh pasar dunia di akhir abad 20.
Ditentukan dikendalikan instrument baru dalam komunikasi dan teknologi baru.
Keadaan ini membuat manusia seakan keluar dari lingkungan, industri, hasil temuan ilmiahnya, sehingga mendorong kecenderungan masyarakat untuk meningkatkan kerjasama dan mengembangkan kebebasan.
Perubahan ini terjadi sangat srimultan dalam semua konsep atau ideology antara lain; kekuasaan, wewenang, dari rasa kebangsaan, keamanan, militer, damai dan perang semuanya memberikan tempat bagi konsep-konsep ini guna menginginkan kesejahteraan, lingkuangan hidup, hak asasi manusia, perdagangan, peran masyarakat sipil dunia, ekonomi, budaya dan pembangunan demokrasi.
Keadaan ideal yang digambarkan Arsalan Ghorbani di atas merupakan tujuan utama dari globalisasi demokrasi, globalisasi demokrasi menyebabkan hadirnya kebijakan luar negeri dari tiap negara keadaan ini menyebabkan lemahnya kekuasaan untuk melihat kekuasaan lain yang hadir sebagai pemain internasional yang berdampak terhadap struktur dan arus hubungan Internasional.
Globalisasi di manfaatkan oleh pemain tertentu untuk melakukan percobaan untuk mengakhiri sistem lama dari distribusi kekuasaan di dunia. Menyebabkan banyaknya permintaan untuk kemajuan serta kebergantungan dan hubungan bilateral antar negara serta pembagian kekayaan dan kekuasaan secara adil.
Perubahan baru dari hubungan antar bangsa memberikan gambaran bahwa kekuasaan mulai berkurang dari bangsa tersebut dan menggambarkan akan kebergantungan terhadap orang lain semakin meningkat dalam sistem Internasioanal. Keadaan ini sepertinya menjelaskan bahwa kemajuan dan kemunduran sebuah bangsa sangat ditentukan oleh bangsa lain sehingga perlu membuka diri untuk membangun hubungan dan aktifitas dengan bangsa lain.
Membangun hubungan dengan negara lain melalui hubungan bilateral atau multi lateral harus di lakukan dalam bentuk kerjasama ekonomi dalam batas geografis tertentu, seperti yang dilakukan Indonesia saat ini bergabung dalam ACFTA, ASEAN, OPEC dan APEC, sedangkan di belahan Eropa menggabungkan diri dalam Uni Eropa dengan satu mata uang yakni EURO, atau ketika negara lain melakukan kunjungan atau perjalanan ke luar negeri khususnya ke negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa tidak perlu lagi mengurus visa di setiap negara anggota cukup sekali saja.
Dalam aspek ekonomi proses globalisasi sangat ditentukan oleh besarnya modal, faktor produksi serta bentuk pekerjaan yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan informasi yang tidak sama.
Keadaan ini menyebabkan kesenjangan serta membutuhkan intervensi dari negara lain hal inilah yang menjadi kritik dan analisa dari Arsalan Ghorbani, karena kondisi inilah menjadi arena keberuntungan bagi MNC (Multi National Coorporation) atau TNC (Trade National Coorporation) melakukan investasi di mana-mana seperti Exxon Mobil, General Motor, Nike, Reebok, Adidas dan Louis Vuiton, Piere Cardien, Mc Donald, Carrefour, Lote Mart, Black Berry dan berbagai merek terkenal yang merepresentasikan perusahaan asing yang mendominasi dunia, sehingga membentuk sebuah persepsi bahwa yang dikategorikan sejahtera adalah mereka yang mengkonsumsi dan mengenakan merek-merek tersebut.
Keadaan ini menyebabkan sebuah putaran global yang menyebabkan perubahan di akhir decade 20-an dan gambaran keadaan dari proses globalisasi itu sendiri. Gambaran umum globalisasi ini merupakan berbagai fenomena dari dominasi interaksi dan aktifitas dalam aspek kehidupan global dalam bidang ekonomi, sosial, politik, teknologi, militer, lingkungan, dan budaya.
Arsalan mengungkapkan suka atau tidak suka faktor utama dari globalisasi adalah sesuatu yang tidak dapat di bantah tetapi disukai oleh semua bangsa yakni demokrasi, dan aspek lain dari globalisasi yakni mendunianya demokrasi sebagai sebuah wajah yang menantang.
Kondisi ini membuat kita bertanya apakah kita menolak globalisasi demokrasi atau menerimanya dengan berbagai catatan ? Arsalan Ghorbani menawarkan dua argument utama terhadap globalisasi demokrasi. pertama ; dimana karakteristik perubahan kepemimpinan terhadap globalisasi demokrasi budaya yang sangat prinsip dari globalisasi demokrasi, demokrasi liberal barat sebagai budya yang lebih dominan, sementara harus berhadapan dengan nilai budaya di negara-negara non-barat atau negara-negara dunia ketiga.
Demokrasi Liberal Barat (Negara Maju) Vs Budaya Non-Barat (Negara Dunia Ketiga)
Demokrasi Liberal Barat yang berkembang pesat di Eropa, dan telah mengalami fase globalisasi serta mengalami peradaban yang cukup maju pasca perang dunia ke II, dan ideologi kebebasan dalam menjalankan hidup dan melakukan aktivitas ekonominya indivudu sangat di berikan keleluasan yang cukup untuk menjalankan usahanya, pemerintah hanya berperan sebagai ”penjaga malam” peran negara dibutuhkan untuk memberikan rasa aman bagi para individu.
Namun dalam perjalanan waktu gagasan itu berubah menjadi pemerintah perlu bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. untuk mewujudkan hal tersebut maka di butuhkan konsep untuk terwujudkannya kesejahteraan yakni the rule of law. Syarat-syarat dasar untuk terselengaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law ialah (Miriam Budiardjo – Gramedia - 2008):
1.Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2.Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial tribunals)
3.Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroposisi.
4.Pendidikan Kewarganegaraan (civil education)
Hal- hal diatas menjadi ukuran dalam pelaksanaan demokrasi di Eropa hal ini juga seperti-nya harus menjadi bagian dari globalisasi demokrasi yang akan dan harus menjadi bagian dari kehidupan negara lain seperti apa yang di katakan Anthony Gidens bahwa; Globalisasi meninggalkan negara-bangsa dalam arti bahwa kekuatan-kekuatan yang dulu dimiliki oleh negara, termasuk yang mendasari manejemen ekonomi keynesian telah di perlemah, tetapi globalisasi juga ”menekan ke bawah” ia menciptakan tuntutan-tuntutan dan kesempatan –kesempatan baru untuk meregenerasi identitas lokal (The Third Way – Gramedia – 2000).
Isu ini menyebabkan perbedaan yang sangat prinsipil dari keadaan negara-negara ketiga atau negara-negara non-barat seperti di Timur Tengah, Asia, Afrika serta Amerika Latin, Budaya dari belahan wilayah dari negara-negara non-barat memiliki nilai identitas yang kuat dan merupakan bagaian dari harga diri dan martabat dirinya, sebagaimana identitas di Timur Tengah yang dipengaruhi oleh budaya Arab dan Islam yang kental, dimana Ulama memiliki kekuatan kekuasaan yang cukup kental ingind i gantikan secara langsung hal ini akan menimbulkan konflik, keberadaan ini yang membenarkan globalisasi demokrasi mengalami hambatan seperti tesisnya Samuel Huntington mengenai ”benturan peradaban antara Barat dan Islam”.
Karena di lain pihak identitas dari negar-negara non barat akan melakukan proteksi terhadap nilai-nilai budayanya sehingga menurut Arsalan dibutuhkan proses integrasi dari pemikiran globalisasi demokrasi yang utama untuk dikonsolidasikan dengan ideentitas lokal sehingga mendapatkan parameter bagi budaya untuk sebuah perbedaan atau pengecualian dari globalisasi demokrasi sebagai sebuah konsekuensi. Dan hal inipula yang terjadi di beberapa negara eropa yang menginginkan perlakuan khusus yang otonom dari sebuah entitas nasional seperti Quebec melepaskan diri dari Canada.
Globalisasi Demokrasi dan Hak Azasi Manusia
Isu kedua yang menjadi bahan kajian dari Arsalan Ghorbani adalah globalisasi demkorasi dan hak sasi manusia. Keberadaan konsep ini merupakan hak asasi manusia yang menekankan kebergantungan citra antara manusia, hal in merupakan arti dari partisipasi dari seluruh keberadaan manusia. Hal inilah yang mendorong didirikannya PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagi prinsip yang fundamental dari demokrasi.
Menjadi permasalahan adalah dalam menjalankan kepedulian social dari semangat yang prinsip dari demokrasi di bentuknya lembaga-lembaga social antar bangsa untuk melakukan pengentasan kemiskinan, kelaparan dan menyelesaikan pertikaian antar sesama manusia di berbagai belahan dunia sehingga adanya lembaga seperti WHO, UNICEF, UNDP dan lembaga donor lainya yang melakukan tugas kemanusiaan.
Sejatinya keberadaan lembaga-lembaga ini tidak terlepas dari sikap caritas atau filantropi dari berbagai perusahaan MNC atau TNC yang cukup besar penghasilannya dan menyisihkan CSR (Coorperate Social Responsibility) untuk lembaga-lembaga bentukan ini. Pemberian bantuan terkadang tidak selamnya tulus untuk kemanusiaan tetapi memberi dengan berbagai kepentingan yakni lembaga-lembaga donor harus menjamin agar perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dapat melakukan investasi di negara mana saja yang mereka ingin untuk melebarkan usahanya.
Kondisi ini seperti yang Indonesia alami saat ini dana PNPM merupakan bantuan World Bank untuk mengentaskan keinginan dan mewujudkan tujuan pembangunan dunia MDG’s (Milenium Development Goal’s) namun seturut dengan bantuan tersebut keinginan perusahaan pendonor yang berasal dari negara maju menuntut agar investasinya di Indonesia tetap di jamin sebagaimana keberadaan Freeport dan Exxon Mobil yang tetap dilindungi walaupun menguras alam dan masyarakat di sekitar tempat pertambangan tetap miskin dan kelaparan, dengan demikian globalisasi demoikrasi dan HAM (Hak Azasi Manusia) telah di bajak oleh kapitalis dan di jadikan sebagai topeng untuk meraup keuntungan.
*Penulis : Mahasiswa Ilmu Politik – Kekhususan Politik Indonesia – FISIP – UI
NPM : 0806383314
Selasa, 05 Oktober 2010
"NEGARA AGAMA ATAU AGAMA NEGARA"
“AGAMA NEGARA ATAU NEGARA AGAMA”
*Yoyarib Mau
Indonesia dalam sejarah menorehkan catatan penting bagi kehidupan beragama di tanah air, karena dari berbagai negara di dunia, Indonesia memiliki keberagaman agama dimana tidak adanya agama tunggal tetapi beragam agama di Indonesia, dan hampir agama-agama yang ada bukanlah agama asli dari Indonesia tetapi hampir semuanya di pengaruhi oleh peradaban dari negeri seberang.
Agama atau keyakinan asli dari masyarakat Indonesia tentang kekuasaan alam semesta dan pencipta ada tetapi tidak mendapatkan arti atau pengakuan sebagai agama, lebih diyakini sebagai keyakinan primitive atau kepercayaan leluhur dan lebih dikategorikan sebagai budaya dan bukanlah agama.
Pengakuan akan agama resmi menurut negara di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa orde baru hanya mengakui akan kebera daan dari lima agama yakni; Islam, Kriten (Kristen Katolik dan Kristen Protestan), Hindu dan Budha sedangkan tibalah masa Pemerintahan Gus Dur, setelah masa orde baru dan masuk pada fase reformasi barulah Gus Dur mengakui akan penambahan adanya agama yakni Konghucu. Kondisi ini secara angka menunjukan bahwa kehidupan keberagamana berjalan dengan baik karena saling mengakui akan eksistensi dan memberikan ruang bagi pelaksanaan ritual keagamaan atau tata cara beribadah.
Pelaksanaan kehidupan beragama tidak dibatasi tetapi diatur dalam konstitusi bernegara yakni UUD 1945 dalam pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.
Konstitusi mengatur tentang kehidupan beragama dimana setiap penganut kepercayaan dijamin haknya dalam UUD 1945 untuk beribadah, dengan demikian konstitusi mengamanatkan bagi seluruh warga negara untuk menjalankan kehidupan beragamanya.
Dalam implementasi konstitusi dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan pengertian bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan gambaran bahwa Negara Indonesia menyakini akan keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta, dimana termasuk manusia di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia “negara agama”. Kondisi ini mendaulat agama sebagai sarana bagi warga negara untuk melakukan pengakuan akan keberadaan Tuhan, kemudian jika agama sebagai sarana untuk melakukan pemujaan akan keberadaan Tuhan maka warga negara akan mewujudkannya dalam ritual keagamaan, ritual keagamaan sebagai suatu prosesi yang sakral yang membutuhkan kekhususan dan kekusukan.
Kekhususan dan kekusukan merupakan dua hal penting sebagai sakralitas dari ritual peribadatan untuk menjaga sakralitas dari sebuah peribadatan maka dibutuhkan tempat untuk beribadah maka dibutuhkanlah “rumah ibadah”. Agama Islam akan beribadah di Masjid, Kriten (Katolik dan Protestant) di Gereja, Hindu akan melakukanya di Pura, Budha melakukannya di Wihara, sedangkan Konghuchu melakukannya di Klenteng.
Seiring perjalanan kehidupan beragama di Indonesia sepertinya ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah, adapun kebebasan untuk beribadah yang di jamin oleh UUD 1945, tetapi kebebasan beribadah itu mengalami kesulitan karena adanya regulasi yang mengatur bagaimana mendirikan rumah ibadah seperti penolakan pendirian rumah Ibadah Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Bekasi yang berbuntut pada Pemukulan Pdt. Luspida Simanjuntak dan penusukan terhadap pengurus gereja Asian Lumbantoruan Sihombing (Majalah Tempo/20-26 September 2010), atau pembakaran masjid dan lima rumah anggota jemaat ahmadiyah di kampong Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Majalah Tempo/4-10 Oktober 2010), praktek kekerasan beragama yang sedang berlangsung ini menimbulkan pertanyaan bahwa, Indonesia menganut agama negara atau negara agama ?
Pertanyaan Indonesia menganut ”negara agama atau agama negara” sebenarnya aliena terdahulu telah diutarakan dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan gambaran bahwa Indonesia negara agama karena mengakui akan keberadaan agama dan meberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan kepercayaannya.
Harus di akui bahwa Indonesia adalah negara agama tetapi bukan berarti mendaulat agama tertentu sebagai agama negara, Agama dibutuhkan sebagaimana dicantumkan dalam sila kesatu yakni “ketuhanan yang maha esa” pengakuan ini dapat dilihat sebagaimana Thomas Aquinas mengatakan bahwa; “tugas negara juga mencakup usaha bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati, itu berarti negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang bersifat sakral, sehingga Ahmad Suhelmi menegaskan Pemikiran Thomas Aquinas bahwa Negara dengan demikian dituntut menyediakan saranah ibadah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya masyarakat spiritual di dunia ini (Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat- Gramedia – 2007).
Penjaminan kehidupan beragama oleh karena perilaku ”negara agama” guna manusia bertingkalaku sesuai dengan ajaran kebaikan yang ditawarkan agama, sehingga rakyat dapat menjadikan ini sebagai panutan moral dalam hidup bermasyarakat. Tetapi ketika negara memaksakan agar norma agama menjadi norma hukum positif negara dalam mengatur kehidupan beragama sebagaimana surat SKB dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) maka telah terjadi pergeseran makna karena akan masuk dalam ranah dogmatika.
Pertarungan dogmatika akan terjadi dimana akan masuk dalam keputusan politik, yang kemungkinan besar akan mendasarinya pada suara terbanyak, apabila dasarnya adalah suara terbanyak maka pertimbangan yang digunakan adalah suara mayoritas dan minoritas. Maka tidak akan memungkinkan bagi masyarakat yang minoritas berada dalam komunitas yang mayoritas untuk menjalankan ibadahnya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara.
Negara agama bukan berarti melegitimasi negara untuk menjalankan proses kenegaraan dengan regulasi yang dihasilkan untuk mengatur kehidupan beragama seyogianya tidak berdasarkan standar agama mayoritas tetapi lebih pada pendekatan sosiologis dimana negara yang mengakui akan keberadaan agama-agama harus dilihat sebagai sebuah rekonstruksi pengalaman hidup bersama, dengan demikian pengalaman hidup bersama tersebut yang membentuk negara berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian bahwa penentu Indonesia kedepan bukan pada pemeluk agama mayoritas dalam angka tetapi negara harus dibangun melalui kacamata kepentingan seluruh rakyat yang memeluk berbagai agama.
Sehingga semua komponen agama dapat menerima Indonesia sebagai “negara agama” (negara mengakui agama-agama) tetapi bukan “agama negara” (agama tertentu menjadi penentu dalam negara). Kondisi ini menjamin setiap agama ditampung dalam negara dan setiap rakyat yang yang masuk dalam negara tidak kehilangan hak nya untuk beribadah sesuai dengan keyakinanya bahkan negara memperkuatnya dengan menyediakan fasilitas atau menjamin agar hak beribadahnya terpenuhi sehingga dapat disimpulkan Indonesia adalah negara agama karena berperan menjalankan fungsi negara yang ideal karena berdasarkan kehendak umum atau kepentingan umum.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI
*Yoyarib Mau
Indonesia dalam sejarah menorehkan catatan penting bagi kehidupan beragama di tanah air, karena dari berbagai negara di dunia, Indonesia memiliki keberagaman agama dimana tidak adanya agama tunggal tetapi beragam agama di Indonesia, dan hampir agama-agama yang ada bukanlah agama asli dari Indonesia tetapi hampir semuanya di pengaruhi oleh peradaban dari negeri seberang.
Agama atau keyakinan asli dari masyarakat Indonesia tentang kekuasaan alam semesta dan pencipta ada tetapi tidak mendapatkan arti atau pengakuan sebagai agama, lebih diyakini sebagai keyakinan primitive atau kepercayaan leluhur dan lebih dikategorikan sebagai budaya dan bukanlah agama.
Pengakuan akan agama resmi menurut negara di Indonesia sejak kemerdekaan hingga masa orde baru hanya mengakui akan kebera daan dari lima agama yakni; Islam, Kriten (Kristen Katolik dan Kristen Protestan), Hindu dan Budha sedangkan tibalah masa Pemerintahan Gus Dur, setelah masa orde baru dan masuk pada fase reformasi barulah Gus Dur mengakui akan penambahan adanya agama yakni Konghucu. Kondisi ini secara angka menunjukan bahwa kehidupan keberagamana berjalan dengan baik karena saling mengakui akan eksistensi dan memberikan ruang bagi pelaksanaan ritual keagamaan atau tata cara beribadah.
Pelaksanaan kehidupan beragama tidak dibatasi tetapi diatur dalam konstitusi bernegara yakni UUD 1945 dalam pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu.
Konstitusi mengatur tentang kehidupan beragama dimana setiap penganut kepercayaan dijamin haknya dalam UUD 1945 untuk beribadah, dengan demikian konstitusi mengamanatkan bagi seluruh warga negara untuk menjalankan kehidupan beragamanya.
Dalam implementasi konstitusi dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan pengertian bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan gambaran bahwa Negara Indonesia menyakini akan keberadaan Tuhan yang menciptakan alam semesta, dimana termasuk manusia di dalamnya sehingga dapat dikatakan bahwa Indonesia “negara agama”. Kondisi ini mendaulat agama sebagai sarana bagi warga negara untuk melakukan pengakuan akan keberadaan Tuhan, kemudian jika agama sebagai sarana untuk melakukan pemujaan akan keberadaan Tuhan maka warga negara akan mewujudkannya dalam ritual keagamaan, ritual keagamaan sebagai suatu prosesi yang sakral yang membutuhkan kekhususan dan kekusukan.
Kekhususan dan kekusukan merupakan dua hal penting sebagai sakralitas dari ritual peribadatan untuk menjaga sakralitas dari sebuah peribadatan maka dibutuhkan tempat untuk beribadah maka dibutuhkanlah “rumah ibadah”. Agama Islam akan beribadah di Masjid, Kriten (Katolik dan Protestant) di Gereja, Hindu akan melakukanya di Pura, Budha melakukannya di Wihara, sedangkan Konghuchu melakukannya di Klenteng.
Seiring perjalanan kehidupan beragama di Indonesia sepertinya ada kesulitan untuk mendirikan rumah ibadah, adapun kebebasan untuk beribadah yang di jamin oleh UUD 1945, tetapi kebebasan beribadah itu mengalami kesulitan karena adanya regulasi yang mengatur bagaimana mendirikan rumah ibadah seperti penolakan pendirian rumah Ibadah Gereja HKBP Pondok Timur Indah di Bekasi yang berbuntut pada Pemukulan Pdt. Luspida Simanjuntak dan penusukan terhadap pengurus gereja Asian Lumbantoruan Sihombing (Majalah Tempo/20-26 September 2010), atau pembakaran masjid dan lima rumah anggota jemaat ahmadiyah di kampong Cisalada, Desa Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor (Majalah Tempo/4-10 Oktober 2010), praktek kekerasan beragama yang sedang berlangsung ini menimbulkan pertanyaan bahwa, Indonesia menganut agama negara atau negara agama ?
Pertanyaan Indonesia menganut ”negara agama atau agama negara” sebenarnya aliena terdahulu telah diutarakan dalam pasal 29 UUD 1945 memberikan gambaran bahwa Indonesia negara agama karena mengakui akan keberadaan agama dan meberikan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan kepercayaannya.
Harus di akui bahwa Indonesia adalah negara agama tetapi bukan berarti mendaulat agama tertentu sebagai agama negara, Agama dibutuhkan sebagaimana dicantumkan dalam sila kesatu yakni “ketuhanan yang maha esa” pengakuan ini dapat dilihat sebagaimana Thomas Aquinas mengatakan bahwa; “tugas negara juga mencakup usaha bagaimana manusia dapat mencapai kebahagiaan hidup abadi setelah mati, itu berarti negara memiliki fungsi spiritual keagamaan yang bersifat sakral, sehingga Ahmad Suhelmi menegaskan Pemikiran Thomas Aquinas bahwa Negara dengan demikian dituntut menyediakan saranah ibadah dan menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya masyarakat spiritual di dunia ini (Ahmad Suhelmi – Pemikiran Politik Barat- Gramedia – 2007).
Penjaminan kehidupan beragama oleh karena perilaku ”negara agama” guna manusia bertingkalaku sesuai dengan ajaran kebaikan yang ditawarkan agama, sehingga rakyat dapat menjadikan ini sebagai panutan moral dalam hidup bermasyarakat. Tetapi ketika negara memaksakan agar norma agama menjadi norma hukum positif negara dalam mengatur kehidupan beragama sebagaimana surat SKB dua Menteri (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) maka telah terjadi pergeseran makna karena akan masuk dalam ranah dogmatika.
Pertarungan dogmatika akan terjadi dimana akan masuk dalam keputusan politik, yang kemungkinan besar akan mendasarinya pada suara terbanyak, apabila dasarnya adalah suara terbanyak maka pertimbangan yang digunakan adalah suara mayoritas dan minoritas. Maka tidak akan memungkinkan bagi masyarakat yang minoritas berada dalam komunitas yang mayoritas untuk menjalankan ibadahnya sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara.
Negara agama bukan berarti melegitimasi negara untuk menjalankan proses kenegaraan dengan regulasi yang dihasilkan untuk mengatur kehidupan beragama seyogianya tidak berdasarkan standar agama mayoritas tetapi lebih pada pendekatan sosiologis dimana negara yang mengakui akan keberadaan agama-agama harus dilihat sebagai sebuah rekonstruksi pengalaman hidup bersama, dengan demikian pengalaman hidup bersama tersebut yang membentuk negara berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian bahwa penentu Indonesia kedepan bukan pada pemeluk agama mayoritas dalam angka tetapi negara harus dibangun melalui kacamata kepentingan seluruh rakyat yang memeluk berbagai agama.
Sehingga semua komponen agama dapat menerima Indonesia sebagai “negara agama” (negara mengakui agama-agama) tetapi bukan “agama negara” (agama tertentu menjadi penentu dalam negara). Kondisi ini menjamin setiap agama ditampung dalam negara dan setiap rakyat yang yang masuk dalam negara tidak kehilangan hak nya untuk beribadah sesuai dengan keyakinanya bahkan negara memperkuatnya dengan menyediakan fasilitas atau menjamin agar hak beribadahnya terpenuhi sehingga dapat disimpulkan Indonesia adalah negara agama karena berperan menjalankan fungsi negara yang ideal karena berdasarkan kehendak umum atau kepentingan umum.
*Mahasiswa Ilmu Politik – FISIP – UI
Langganan:
Postingan (Atom)